Malam yang sepi, jam menunjukkan pukul 12 tengah malam, Dinda terbangun dari tidurnya, dan menyadari kalau dia masih berada di dalam kamar anak nya, dia ketiduran ketika menidurkan anaknya Arka.
"Ah, sudah tengah malam, Mas Ardi masih belum pulang," gumamnya.
Dinda pun beranjak dari tempat tidur anak nya, dan masuk ke dalam kamar nya sendiri. Sambil menunggu suaminya pulang, iseng-iseng dia membuka aplikasi Facebook-nya.
Melihat kembali fotonya bersama Arka yang diunggahnya tadi sore.
Dan ia melihat akun yang bernamakan Cinta terpendam, selalu melihat dan menyukai status nya.
Siapa sebenarnya dia? apa teman sekelas ku? Soalnya aku konfirmasi permintaan pertemanan nya karena foto profil nya yang berupa gedung sekolah ku dulu, pikirnya.
Namun akhirnya Dinda pun tak dapat menahan rasa kantuknya dan tertidur.
Esok paginya Dinda terbangun dan mendapati suaminya sudah tidur di sampingnya.
"Aku lagi-lagi tidak menyadari kamu pulang Mas. Maafin aku ya," bisiknya pelan.
Kemudian Dinda bangun dan mulai melakukan tugasnya sebagai ibu rumah tangga.
"Tadi malam Mas lembur lagi, maaf ya Din," kata Ardi ketika sudah di meja makan.
"Iya, nggak apa-apa Mas, kemarin sore Mas kan udah kasih tau juga sama Dinda," kata Dinda sambil tersenyum.
"Mungkin malam ini aku harus lembur lagi, karena pekerjaan kemarin belum selesai," katanya lagi sambil melirik istrinya sekilas.
"Aku harus mengejar target penyelesaian proyek ini dengan cepat, biar tahun ini aku dipromosikan naik jabatan," sambungnya.
"Iya Mas, semoga keinginan Mas tercapai," sahut Dinda menyemangati.
"Nanti kalau Papa sudah naik jabatannya, Papa mau belikan mobil buat Arka," kata Ardi sambil mencubit halus pipi anaknya.
"Horeee... Arka bakalan naik mobil dong kalau ke Sekolah," seru Arka riang mendengar perkataan Papanya.
"Ya sudah, Mas berangkat duluan ya, nanti jangan lupa kamu servis motornya Din," kata Ardi setelah menghabiskan suapan terakhir nya.
"Iya Mas," jawab Dinda.
Setelah suaminya berangkat, Dinda pun mengantarkan Arka ke sekolah dengan motornya.
Keadaan ekonomi mereka memang tidak mewah, Dinda hanya memiliki motor sebagai alat transportasi. Sementara Ardi memakai mobil, karena perusahaan tempatnya bekerja berada di kota dan jauh dari rumah nya.
Berhubung Ardi hanyalah pegawai biasa di sebuah perusahaan, dan Dinda hanyalah seorang ibu rumah tangga.
Lima belas menit perjalanan, Dinda dengan anaknya pun sampai di Sekolah.
"Arka masuk dulu ya Ma," kata Arka kecil dan menyalami ibunya sambil tersenyum begitu manisnya.
"Iya sayang, nanti Mama jemput ya." Dinda mengecup dahi anaknya lembut.
Setelah anaknya masuk, seorang wanita paruh baya menyapanya.
"Mama Arka ya?" tanya ibu-ibu itu.
Dinda menoleh dan tersenyum ramah.
"Iya Bu, Ibu baru nganterin anaknya juga ya?"
"Iya, saya sering liat Arka dianterin mamanya," jawab si Ibu.
"Tapi kok saya gak pernah liat papanya Arka ya?" sambungnya.
"Iya Bu, memang saya yang selalu nganterin Arka ke sekolah, karena ayahnya sibuk bekerja, jadi gak sempet nganterin."
"Ooh gitu, maaf saya lancang nanyain, soalnya saya sempet mikir kalau Mama Arka singgle parents," katanya merasa bersalah.
"Iya, ngak apa-apa Bu. Ya udah, kalo gitu saya duluan ya Bu, mau nganterin motor buat di servis."
"Wah, Mama Arka memang mandiri ya, mau servis motor juga dibawa sendiri," puji si Ibu.
Dinda tersenyum tipis mendengarnya.
"Cuma nggak mau ngerepotin suami aja Bu."
Dinda menghidupkan kembali motornya.
Jarak Sekolah Arka dengan tempat servis nya tidak lah jauh.
Dinda membawa motornya pelan, walaupun jalanannya tidak lah ramai. Karena daerah tempat tinggalnya bukanlah di pusat kota. Berhubung semua pekerjaan di rumah sudah dikerjakannya, jadi tidak buru-buru untuk pulang ke rumah.
Dia kembali terpikirkan kata-kata Ibu-ibu tadi.
Memang selama ini, Ardi tidak pernah membantunya mengurus Arka.
Bahkan dihari acara di Sekolah Arka yang mengharuskan kehadiran kedua orangtuanya, Ardi juga tidak bisa menemaninya.
Hh... Mas Ardi sibuk bekerja, bukannya tidak peduli, pikirnya sambil menghela nafas.
Tiba-tiba saja lamunannya buyar dan ia begitu terkejut melihat sebuah mobil berwarna hitam dengan cepat menyalipnya dari belakang, dan berhenti tepat di depannya.
Dinda yang panik ikut menghentikan motornya.
Lalu dari mobil itu turun seseorang yang memakai pakaian serba hitam dan memakai masker yang menutup separuh wajah nya.
Orang itu langsung berjalan dengan cepat ke arah Dinda. Tanpa basa-basi dia membekap seluruh wajah Dinda dengan sebuah sapu tangan.
Dinda pun memberontak sekuat tenaga dan menarik tangan orang itu dari wajahnya. Tapi ada bau menusuk yang masuk kedalam hidungnya ketika dia menarik nafas.
Setelah beberapa saat, Dinda terkulai lemas tak sadarkan diri karena menghirup aroma obat bius yang ada disapu tangan itu.
Dengan sigap orang itu membopong tubuh Dinda kedalam mobilnya.
Saat itu jalanan sedikit sepi, yang ada hanya beberapa pengendara motor yang masih jauh dari tempat itu.
Setelah meletakkan Dinda kedalam mobilnya, ia langsung mengebut mobilnya dengan kencang.
Begitu mobil yang membawa Dinda sudah melaju, dari belakang menyusul sebuah mobil berwarna putih dan berhenti tepat di samping motor Dinda.
Dari dalam mobil itu turun seseorang yang memakai helm dan langsung mengendarai motor Dinda yang tergeletak di tengah jalan.
*****
Mobil hitam itu terus melaju dengan cepat, membawa Dinda jauh dari rumahnya, dari anaknya, dan dari suaminya.
Sesaat kemudian tampak si pengemudi menekan sebuah tombol di mobilnya untuk mengangkat telepon.
"Gimana? motornya udah aman?" tanyanya tanpa melepaskan maskernya.
Sesaat ia mendengar jawaban dari seberang.
"Udah bos"
Lalu laki-laki itu menutup teleponnya dan fokus menyetir kembali.
Setelah Satu jam mengemudi, tampak laki-laki itu mengurangi kecepatan mobilnya, dan ia melirik sedikit ke arah Dinda .
Lalu dia melepas masker yang menutupi wajahnya.
Wajah tampan dibalik masker itu terlihat dingin dan kaku.
Mata nya yang tajam menatap kembali kearah jalan didepannya. Dia menghela nafas yang tampak berat, dan terus mengemudikan mobilnya tanpa henti.
Tiga jam sudah mobil itu masih melaju. Tampak Dinda mulai menggerakkan tangannya, dan membuka matanya.
Laki-laki itu terkejut melihat Dinda yang sudah sadar.
Dengan cepat ia menepikan mobilnya, dan langsung mengambil sapu tangan yang mengandung obat bius dari sakunya. Lalu dia menutup wajah Dinda kembali dengan sapu tangan itu.
Mata indah Dinda terbelalak menatap laki-laki asing yang menutup mulut dan hidungnya itu. Refleks Dinda kembali meronta.
Siapa laki-laki ini sebenarnya? pikirnya saat melihat wajah tampan di depannya yang terlihat panik.
Namun kesadaran nya kembali menghilang ketika ia menghirup aroma obat bius. Perlahan tubuh Dinda melemah dan kepalanya bersandar di bahu si laki-laki tampan.
Laki-laki itu menghela nafas lega.
Tanpa disadari jantungnya berdegup kencang merasakan wajah Dinda yang sangat dekat dengan wajahnya.
Laki-laki itu tampak gugup dan langsung memindahkan kepala Dinda bersandar ke sandaran kursinya kembali.
Setelah menarik nafas dalam-dalam ia menyalakan lagi mesin mobilnya dan melaju membelah jalanan.
Sebuah mobil berwarna hitam memasuki komplek perumahan mewah dan berhenti di depan rumah yang bergaya scandinavian dengan cat putihnya.
Pagar rumah itu terbuka otomatis dan mobil itu langsung masuk ke dalam pekarangannya. Tampak banyak pohon hijau yang menghiasi taman depan.
Pemilik mobil itu pun turun setelah memarkir mobilnya ke dalam garasi rumah yang juga terbuka otomatis.
Laki-laki tampan berbaju hitam itu menuju ke pintu mobil sebelah nya. Dia membuka pintu mobil nya dan mengangkat tubuh Dinda yang masih pingsan.
Bibir nya sedikit tersenyum melihat Dinda yang terkulai dalam pelukannya, tapi pandangan matanya tetap terlihat dingin.
Dinda membuka matanya perlahan, sedikit kabur pandangan nya melihat sebuah ruangan yang sangat bersih bercat putih. Dia menyadari bahwa dirinya sedang tidur di atas tempat tidur yang besar dan mewah dan dia berada di dalam sebuah kamar yang asing.
"Aku sedang di mana ini?" pikirnya.
Dinda mengernyitkan dahi nya, kepalanya terasa pusing. Dia mencoba mengingat kembali apa yang telah terjadi kepada nya.
Terbersit dalam ingatan nya kejadian disaat dia dibius seseorang di jalanan setelah mengantarkan Arka ke Sekolah.
"Ada apa ini? Kenapa aku dibius? Apakah aku diculik?" berbagai pertanyaan muncul di dalam benaknya. Dia sangat kebingungan.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan sosok berbaju hitam itu masuk kedalam menghampiri Dinda. Semakin orang itu mendekat, Dinda pun tahu bahwa orang itu adalah laki-laki yang membius nya. Dia langsung merasa takut, tubuh nya terasa kaku dan bergetar.
"Apa mau mu? Siapa kamu?" tanya Dinda dengan suara bergetar.
Laki-laki itu menyeringai dan sedikit mendengus.
"Hh... Jadi kamu tidak ingat siapa aku?"
kata si laki-laki sambil tersenyum sinis.
Dinda menatap wajah laki-laki di depan nya itu, dan dia sepertinya mengenal laki-laki ini. Dinda mencoba mengingat siapa sosok di depannya ini. Wajahnya tampan dan bertubuh atletis.
"Ya.. Seperti nya aku memang mengenal nya," pikirnya.
Dia Vino, yang satu sekolah dengan nya dulu saat dia SMU. Cowok yang selalu bersikap dingin kepada siapapun, dan menjadi idola di sekolahnya karena wajah nya yang tampan dan juga anak nya seorang jutawan.
Vino menatap Dinda sambil terdiam, dia menunggu reaksi wanita di depan nya ini.
"Apa aku harus memperkenalkan diriku padamu?" tanya Vino dingin.
"Kamu Vino kan? Teman sekolahku dulu?" tanya Dinda dengan wajah bingung.
"Teman katamu? Memang nya aku pernah berteman denganmu?" seru Vino ketus.
" Huh.. Dia memang Vino, laki-laki yang kasar dan masih kasar sampai sekarang rupanya," gumam Dinda.
"Kenapa kamu menculik aku?" Dinda mulai berani bertanya, setelah tahu bahwa penculiknya adalah orang yang dikenal nya.
"Aku hanya ingin memberi pelajaran kepada cewek yang sombong setengah mati," sahut Vino sambil menyeringai.
"Kamu berfikir kalau kamu itu cantik, hah?!" suara Vino membentak.
"Apa maksudmu? Sombong? Bukannya kamu yang sombong dan dingin sama orang, sampai kamu dijuluki 'raja es'?" sahut Dinda tak terima dituduh sembarangan.
"Kamu berani ngejawab aku, heh...?!" Vino menjadi marah mendengar jawaban Dinda.
"Berani sekali wanita sombong ini malah menghinaku," pikirnya.
Vino mendekat untuk mencengkeram tangan Dinda. Tapi Dinda menarik nya dengan cepat dan langsung mundur ke pojok tempat tidur dengan ketakutan.
"Tolong jangan sakiti aku," kata Dinda memohon.
Matanya mulai berkaca-kaca.
"Bukan kah kita bisa menyelesaikannya baik-baik? Apa yang membuat kamu dendam sama aku? Apa aku membuat kesalahan sama kamu?" tanya Dinda mulai menangis.
Vino merayap keatas tempat tidur mendekati Dinda.
"Apa kamu takut?" Vino menyeringai kembali sambil menatap Dinda yang sedang menangis.
"Berhenti di sana, jangan mendekat, jangan sakiti aku, tolong lah..." Dinda mulai memelas.
"Semakin kamu memelas, semakin aku ingin mendekat," kata Vino masih menyeringai .
Dia menatap Dinda yang sedang menangis untuk beberapa saat. Lalu tiba-tiba saja dia berhenti mendekat.
Dan ia mengalihkan pandangannya.
"Tapi kamu tidak usah khawatir, aku membawamu ke sini bukan untuk mendekatimu".
Vino menjauh dan turun dari tempat tidur. Dia berbalik dan menatap dingin ke arah Dinda.
"Jangan pernah mencoba untuk kabur," ancamnya dengan suara tajam sambil membuka pintu kamar dan keluar.
Dinda hanya bisa menghela nafas nya sedikit lega tapi juga khawatir dengan apa yang akan dialaminya nanti.
Apa tujuan Vino menculikku? Nggak mungkin dia mau menjual aku, kan? Dari dulu dia adalah anak dari seorang pengusaha yang kaya raya, nggak mungkin rasanya kalau dia sekarang melakukan perdagangan manusia, pikirnya.
Dinda terbayang kembali tentang Vino saat dulu mereka SMU.
Vino adalah cowok idaman setiap siswi di SMU nya. Dia tampan dan kaya raya.
Dia selalu cuek dan dingin terhadap semua orang, terutama terhadap para siswi.
Tapi menurut Dinda, Vino itu cowok sombong dan tidak menghargai orang lain. Sehingga dia tak mau ikut-ikutan mengejar Vino seperti teman-temannya.
Namun suatu hari Vino pernah berbuat baik kepadanya.
Hari itu ia pulang dari Sekolah sendirian tanpa teman-temannya. Tiba-tiba saja seorang pencopet dengan memakai jaket dan topi hitam merampas tasnya dan langsung kabur.
Dinda berteriak minta tolong dan berusaha mengejar pencopetnya.
Tapi pencopet itu berlari dengan sangat cepat, sehingga Dinda tidak sanggup mengejar dan kehilangan jejak si pencopet.
Dinda terus mencari pencopet itu sampai ia melihat seorang laki-laki memakai jaket dan topi hitam sedang memegang tas berwarna putih miliknya dan berdiri di depan sebuah Halte bis.
Bergegas Dinda berlari mendekati laki-laki itu dan merampas tasnya kembali.
Namun ia begitu terkejut melihat laki-laki itu ternyata adalah Vino siswa di sekolahnya.
"Ternyata kamu Vin pencopetnya.
Setahu aku kamu itu orang kaya. Ternyata latar belakang yang hebat nggak bisa nutupin perangai jahat kamu ya," seru Dinda keras dengan marah.
Tampak Vino terkejut. Dan terbersit sedikit luka dimatanya mendengar cacian Dinda. Ia mendengus kesal dan langsung pergi meninggalkan Dinda.
Dinda semakin marah melihat Vino yang pergi begitu saja.
Baru saja ia hendak mengejar Vino, salah seorang yang berada di halte itu memanggilnya.
"Neng tunggu dulu, kayaknya neng salah paham deh. Malah anak laki-laki tadi yang menangkap pencopetnya. Tuh, pencopetnya baru aja di tangkap polisi," kata seorang laki-laki paruh baya yang memanggil nya itu sambil menunjuk ke seberang jalan.
Dinda melihat ke seberang jalan dan melihat si pencopet yang memakai jaket dan topi hitam sedang diamankan polisi.
Untuk sesaat Dinda terperangah. Ternyata dia telah salah menuduh Vino dengan kejam.
Dia ingin meminta maaf, tapi Vino sudah tidak ada di sana.
"Apa mungkin Vino menaruh dendam padaku?" pikirnya. Ia memandang sekeliling kamar itu dengan perasaan kalut.
Untuk beberapa saat, Dinda masih meringkuk di pojok tempat tidur. Dia masih tenggelam dalam ketakutan dan kebingungannya.
Kemudian dia memberanikan diri untuk mencoba keluar dari kamar itu. Dinda menarik gagang pintunya, tapi ternyata pintu itu terkunci dari luar. Ia lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, jendelanya pun dipasang terali besi.
"Apa yang harus kulakukan? Tidak ada jalan keluar sama sekali," gumamnya.
Bagaimana ini ya Tuhan? Jam berapa ini pun aku tidak tahu, ponselku pun diambil oleh nya. Bagaimana dengan Arka? Apa Mas Ardi yang menjemputnya di Sekolah? Mereka pasti panik karena tidak tahu aku ada di mana, pikirnya.
Dinda merasa frustasi, dia menggedor-gedor pintu sambil berteriak-teriak, tapi tidak ada jawaban apapun dari luar.
Dan sepertinya ruangan itu kedap suara, sehingga suara teriakannya tenggelam begitu saja.
Lelah berteriak, Dinda pun terduduk di lantai sambil menangis sejadi-jadinya. Akhirnya Dinda pun jatuh pingsan.
Vino masuk ke dalam kamar itu kembali dan menemukan Dinda yang tergeletak di lantai. Dengan cepat dia mengangkat tubuh Dinda ke atas tempat tidur, dan menidurkannya dengan perlahan.
Dia menatap wajah wanita di depannya dengan tatapan sendu begitu lama. Setelah menyelimuti nya, Vino pun keluar kembali.
Sudah 2 hari Dinda dikurung di dalam kamar itu, dia tak pernah mau bergerak dari tempat tidur.
Setiap saat Vino membawa masuk makanan ke kamar, namun Dinda tak pernah mau memakannya.
Sampai siang itu, Vino tidak tahan lagi melihat Dinda yang tidak mau makan.
Kalau aku membiarkan dia tidak makan sama sekali seperti ini, dia akan jatuh sakit, sehingga aku harus membawanya ke Rumah Sakit. Sementara aku tidak mungkin membawanya keluar. Batin Vino.
Kemudian Vino mendekati Dinda sambil membawa piring makanannya. Dinda tidur meringkuk membelakanginya. Perlahan ia mengulurkan tangan untuk membalikkan tubuh Dinda. Entah kenapa jantungnya tiba-tiba berdetak kencang saat hendak menyentuh wanita itu.
Namun baru saja ia menyentuhnya sedikit, tubuh yang tampak terbaring lemah itu tiba-tiba berbalik dan bangkit dengan cepat. Dengan wajah pucat dan ekspresi ketakutan, ia bergerak menjauhi Vino.
"Mau apa kamu?" tanya Dinda dengan suara yang lemah dan bergetar.
Vino menatap Dinda dengan pandangan terluka, namun sesaat kemudian raut wajahnya tampak kesal dan marah.
"Aku mau memberi kamu makan! Setiap saat aku menyediakan makanan untukmu, tapi kau tidak pernah memakannya. Kamu mau mati di sini, heh?!" Seru Vino keras
"Untuk apa kamu memberiku makan? Sebenarnya apa tujuan kamu menculikku?" tanya Dinda memberanikan diri.
"Aku memberi kamu makan tentu saja agar kamu tidak mati di sini. Tapi kalau masalah tujuanku menculik kamu, aku tidak harus menjawabnya"
Vino mendorong piring makanannya ke dekat Dinda. Lalu ia mengambil ponselnya untuk menelepon seseorang.
Dinda melirik ke arah piring makanannya, ada garpu di sana. Ia merasa ini adalah kesempatannya untuk merebut ponsel laki-laki tampan yang sedang menekan tombol ponselnya itu.
Dinda menarik nafasnya dalam-dalam untuk mengumpulkan keberaniannya. Perlahan ia mengambil garpu yang ada di piring makanannya. Setelah mendapatkan garpu itu, ia menggenggam kuat-kuat gagangnya dengan tangan yang bergetar.
Ia menghitung dalam hatinya, pada hitungan ketiga ia mengangkat garpu itu, dan dengan sekuat tenaga ia arahkan ke punggung Vino. Namun wajah tampan itu dengan cepat berpaling menatapnya tajam, dan tangannya bergerak cepat menangkap tangan Dinda.
Dinda sangat terkejut mendapati tangannya kini di genggaman Vino. Ia berusaha menekan kembali garpu itu. Namun tenaganya tentu saja tidak bisa melawan Vino.
Laki-laki tampan itu menyeringai mendapat serangan dari Dinda. Lalu ia menekan balik tangan Dinda dan memutar arah garpu ke leher Dinda. Dengan menatap mata Dinda tajam, ia dengan kuat mendorong tubuh Dinda hingga terhempas di tempat tidur.
"Ternyata kamu wanita yang pemberani juga, aku jadi semakin penasaran padamu," Ujar Vino sambil menindih Dinda. Sementara Dinda hanya bisa memejamkan matanya, ia benar-benar merasa takut sekarang.
Perlahan Vino mendekatkan wajahnya ke wajah Dinda, lalu berbisik di telinganya.
"Tapi aku nggak suka wanita yang kasar dan sombong," bisiknya dengan bibir menyeringai.
Kemudian ia bangun kembali dan mendorong piring makanannya ke samping Dinda yang masih terlentang dengan mata terpejam.
Vino langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain, karena jantungnya tiba-tiba berdetak kencang lagi saat melihat Dinda terbaring seperti itu. Lalu Vino beranjak bangkit dari tempat tidur, dan berkata,
"Makanlah, aku akan keluar sekarang" Ujarnya pelan sambil berjalan keluar.
Setelah Vino keluar, Dinda membuka matanya kembali. Ia menatap piring makanannya.
Perutnya terasa begitu sakit menahan rasa laparnya, tapi ia tidak mempedulikannya, karena rasa sakit di hatinya lebih mendominasi.
Dinda begitu rindu dengan anaknya. rasa rindu yang begitu mendalam. Bagaimana tidak? Dia adalah seorang ibu yang selalu bersama anaknya, setiap waktunya di rumah berdua dengan Arka.
Sorenya Vino kembali masuk ke kamar sambil membawa makanan untuk Dinda.
Akhirnya Dinda berusaha bangun dari tidurnya dengan tubuh yang lemah.
Dia menatap Vino dengan mata yang berkaca-kaca.
"Tolong izinkan aku pulang, aku sangat merindukan anakku," kata Dinda memelas.
Vino berjalan kearah tempat tidur dan duduk di samping Dinda. Dia mengeluarkan beberapa lembar kertas yang ternyata adalah foto, dan menyerahkannya kepada Dinda.
Dengan perlahan Dinda mengambil foto dari tangan Vino. Itu adalah fotonya Arka. Difoto itu terlihat Arka yang sedang bercengkrama dengan bibinya, kakaknya Dinda. Arka tampak baik-baik saja.
Dinda ikut tersenyum melihat senyum anaknya di foto itu. Dia mencium foto-foto Arka, lalu mulai sesenggukan lagi.
Vino ikut tersenyum melihat senyum Dinda, dan dia ikut menghela nafas berat saat melihat Dinda yang menangis kembali.
Arka memang sedang berada di rumah bibinya, dia dititipkan di sana oleh Ardi karena dia tidak bisa membawa anaknya ke tempat kerja.
Lagi pula kakaknya Dinda yang bernama Yanti itu tidak memiliki anak sampai sekarang, jadi dia tidak keberatan sama sekali untuk menjaga Arka.
Ini hari kedua Arka tidak melihat ibunya. Dia kembali bertanya kepada bibinya.
"Bibi, kapan Arka bisa sama Mama lagi? Arka rindu banget Bi," kata Arka saat sedang ditemani bibinya bermain mainan.
"Nanti sayang, kalau mama kamu udah selesai kerjanya di luar kota, kan Mama mau bantuin ayah cari uang buat beli mobil" sahut Yanti memberi alasan.
Karena dia sendiri tidak tahu kapan adiknya itu akan pulang, dan ada di mana dia sekarang.
Mereka telah melaporkan ke Polisi, namun Polisi baru akan melakukan pencarian setelah dua hari.
"Tapi Arka nggak mau mobil, Arka mau sama Mama," kata Arka merengek.
"Iya, sabar ya sayang. Mama bilang, kepingin melihat Arka bisa naik mobil, dan nganterin Arka sekolah pakai mobil" kata Yanti sambil mememeluk keponakannya.
"Esok hari polisi akan melakukan pencarian, semoga Dinda akan ditemukan dalam keadaan baik-baik saja. ya... semoga saja", desah Yanti sambil berdoa dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!