ISTRI RAHASIA BAB 1 NOVELTOON
Begitu Abay memasuki kamar, dia mencium aroma yang merangsang. Aliran darahnya berjalan lebih cepat, jantungnya memompa lebih keras dan matanya... melotot besar.
Ada sinar nafsu beredar di mata Abay. Penuh kerinduan dan keinginan untuk menghabiskan malam bersama wanita cantik yang terbaring samping di atas kasur bertilam putih.
Wanita itu berkulit putih bersih, kemilau kulitnya tak bisa dicegah gaun sutera hitam yang transparan. Bisa dibilang, segala bagian dalam tubuh wanita itu bisa terlihat mata, tanpa harus membuka bajunya, kecuali di bagian tubuh yang harus tertutup.
Wanita itu mempunyai wajah bulat telur, sungguh cantik dengan matanya yang tajam dan dagu runcing. Bibirnya merah merekah dan siap menerima sentuhan bibir Abay. Rambut berombak bak ombak laut selatan dipermainkan jemari yang lentik dengan kuku yang panjang.
"Ke marilah Sayang!"
Abay tak bisa menahan dirinya. Dia berlari, lalu menubruk ke arah si wanita. Tetapi cukup dengan mengangkat tangan kirinya, wanita itu berhasil menahan tubuh Abay yang kekar.
"Nanti dulu kuda jantan ku! Apa kamu bisa memijit kakiku?"
"Tentu saja bisa Nyi Malini. Mari, mana kakimu!" Abay mendengus, wajahnya memerah dengan mata berkeliaran menikmati pesona tubuh wanita di depannya.
Nyi Malini turunkan kakinya, lalu dia menujuk Abay untuk duduk di lantai dan memulai memijit kakinya yang putih bersih.
Begitu jemari Abay yang kasar menyentuh kaki mulusnya, Nyi Malini melenguh.
Abay mengangkat kepalanya, dia melihat betapa sorot mata Nyi Malini mengajak dirinya untuk segera bercumbu. Padahal baru sebentar saja dia menyentuh kaki wanita cantik di depannya itu.
Tetapi yang terjadi selanjutnya membuat Abay kaget. Kaki Nyi Malini melingkar di pinggangnya, lalu sekali sentak tubuh kekar Abay terangkat dan jatuh di pelukan Nyi Malini.
Tubuh yang lembut dan wangi merangsang membuat Abay lupa diri. Tanpa terkendali, Abay lampiaskan nafsunya yang telah membakar tubuh dan kepalanya.
Tetapi bukan Abay yang menjadi peran utama di atas ranjang. Nyi Malini yang terlihat lebih buas.
Tanpa peduli jeritan kesakitan Abay, Nyi Malini bergerak liar dan kasar.
Tangan Nyi Malini merangkul dan mencakar punggung Abay. Kakinya melingkar tubuh Abay, seakan ular besar yang sedang membelit mangsanya dan membuat lemas kehabisan napas yang lalu dilahapnya.
Nyi Malini serupa ular dan saat bayangan di tembok terlihat, Abay bukan sedang bercumbu dengan manusia. Karena wanita yang ditindih dan diciumi Abay itu seekor ular besar.
Sepanjang malam itu, Abay yang sejatinya tak cukup kuat untuk bertempur sampai pagi, kini mempunyai kekuatan untuk terus mendaki puncak kenikmatan surga dunia bersama Nyi Malini. Lagi dan lagi.
Selama pergulatan dan pergumulan Abay dengan Nyi Malini, dari tubuh ular berjatuhan lima lembar sisik yang nantinya akan berubah menjadi lembaran daun emas.
Sampai mendekati waktu subuh, kurang lebih empat jam pergesekan tubuh Abay dan Nyi Malini pun berakhir.
Abay tidur pulas, sementara Nyi Malini merayap turun dari atas ranjang. Tubuh panjangnya meliuk-liuk membentuk huruf S, lalu dengan santainya menembus dinding kamar dan menghilang, sampai nanti di bulan purnama pertama tiga bulan depan mereka akan bertemu lagi.
*
Satu jam menjelang jam makan siang. Pelupuk mata Abay mulai terbuka, tetapi ketika tangannya menyentuh sesuatu, dia buka matanya lebar-lebar dan melihat kepada tiga benda berkilau di atas kasurnya.
Emas. Lima lembar daun emas.
"Hahaha, aku akan kaya dan punya uang!" teriak Abay keras.
Abay tak perlu takut teriakannya terdengar tetangga. Karena rumahnya yang terpencil di kampungnya, berada di batas kampung dengan hutan bukit. Dia pun tinggal sendiri, setelah istrinya lari meninggalkan dirinya yang tak kunjung punya uang dan pekerjaan.
Abay tak punya tanah, dia juga malas untuk jadi buruh tani. Dia tak terlalu suka mencari kayu untuk dikumpulkan dan dijual sebagai kayu bakar. Kerjaannya hanya berburu binatang dan cukup puas ketika bisa membawa pulang sedikit hasil buruan, setelahnya dia berleha-leha membiarkan istrinya yang mencari uang.
Endah istrinya itu menikah karena dijodohkan, dia tak punya rasa cinta pada Abay. Tetapi sayangnya, pria yang disukainya memilih menikah dengan wanita lain. Padahal Endah telah kena tipu mentah-mentah. Dirinya menikah dengan Abay membawa benih dari Sasan, pria yang memilih kabur ke kota dengan Lala sebagai istrinya.
Abay tahu Endah menikah membawa bayi Sasan di perutnya. Karena itu dia tak terlalu peduli dengan memberi nafkah untuk Endah, tetapi dia cukup sayang pada si mungil Dina.
Hanya saja, saat usia Dina setahun dan sedang lucu-lucunya, Endah kabur membawa Dina ke rumah orang tuanya. Endah sudah tak kuat dan memilih bercerai dengan Abay, kecuali Abay punya uang baru mau bersatu lagi.
Abay marah. Apalagi dia juga tak boleh melihat Dina dan bermain dengan anak itu. Orang tua Endah yang tertinggal hanyalah ayahnya dan kakeknya Dina itu sama melarang Abay untuk bertemu Dina.
Kemarahan Abay membuat dia mencoba bekerja keras untuk mengumpulkan uang. Tetapi bukan demi Endah. Dia terlanjur kepincut Dina yang telah dianggap sebagai anaknya.
Bagaimana pun Abay sering menggendong Dina kala bayi. Memang awalnya Abay tak terlalu menganggap penting kehadiran Dina, karena merasa bukan anaknya.
Tetapi lambat laun, Abay mulai menyukai dan menyayangi Dina. Sebab Dina tak bersalah, dia tak tahu apa-apa dan tak bisa memilih pada siapa dia dilahirkan dan berstatus apa. Dina bukan anak haram, karena ada Abay sebagai ayahnya, yang haram itu perbuatan Endah dan Sasan.
Tetapi tekad Abay untuk mencari uang lebih banyak terbentur dengan sifat malasnya yang tak bisa dikikis dalam waktu cepat.
Sampai sore itu, Abay duduk di bonggol kayu dengan bertopang dagu menatap semak belukar di depannya. Di belakang semak itu ada batu besar.
"Bagaimana caranya aku bisa dapat uang banyak dalam waktu cepat, ya? Apa aku harus merampok? Ah, itu perbuatan jahat! Tidak, aku tak mau hidup dalam penjara!" keluh Abay.
"Tetapi Dina... anak itu sungguh manis dan cantik. Aku akui, saat besar nanti dia akan menjadi bidadari, kembang desa!" puji Abay untuk Dina.
"Cuma, apa bagusnya hidup di kampung ini. Jauh dari kata menjadi lebih baik. Untuk bisa ke kampung ini saja, harus berjalan kaki cukup lama dari Desa Tayu yang lebih maju. Apa aku harus merantau? Tetapi Dina...." Abay membuang napas berat.
"Kalau saja aku, Abay bisa bertemu peri yang bisa memberikan aku banyak harta. Aku siap menghamba pada dirinya!" Abay berdiri.
Abay berdiri karena telinganya mendengar suara berisik di dalam semak, lalu matanya tertuju pada semak itu. Seekor ular sebesar lengan orang dewasa berada di depannya.
"Mari ikuti aku! Kamu akan bertemu peri!"
Ular itu berbicara dan Abay berdiri bengong tak percaya dengan pendengarannya.
Abay merasakan tubuhnya tak bisa dia kontrol dan seperti kena jerat sepasang mata ular yang baru saja bicara tadi.
Buktinya, tanpa bisa dicegah kakinya melangkah maju ke arah semak-semak yang membuka jalan sendiri, mempermudah dirinya melihat ada lubang di bawah batu.
Ular itu merayap masuk ke dalam lubang.
Abay meragu, dia tak merasa yakin tubuhnya yang terbilang cukup kekar itu bisa muat memasuki lubang yang hanya muat untuk satu kakinya saja.
Tetapi mendadak Abay merasakan ada yang menarik kakinya dan menyeretnya masuk ke dalam lubang.
Abay menjerit dan berusaha melihat apa yang membelit pergelangan kaki kanannya. Ternyata ekor dari ular dan ketika dia merasa tubuhnya akan membentur kerasnya batu, dia menutup matanya.
"Buka matamu!"
Bisikan lembut mengalun di telinga Abay.
Abay membuka matanya dan dia kaget, dirinya telah berada di sebuah kamar batu yang terbilang luas. Dia berada di dunia lain.
"Siapa kamu? Di mana aku? Tempat apa ini?" tanya Abay beruntun.
"Aku ya aku! Apa kamu tak melihat betapa cantiknya aku? Kamu juga pria aneh, punya mata apa tak bisa melihat di mana kamu saat ini berada? Tempat ini ya bukan tempatmu, tapi tempat kami!"
Abay bengong. Bukan keterangan yang didapat, malah dirinya semakin bingung. Wajahnya pun berubah-ubah warnanya
"Hihihi, kasihan wajahmu lucu! Baiklah, aku terangkan diriku. Namaku Garini. Aku pelayan di tempat ini, oh juga aku ular yang kamu temui tadi." Garini menatap Abay.
"Ular? Kamu ular? Ah, kamu tentu bohong! Buktinya kamu sangat cantik, seperti bidadari!" Abay tak percaya.
"Hihihi, tunggu sampai kamu bertemu dengan Nyi Malini, pasti matamu melompat keluar!" Pipi Garini bersemu merah.
"Nyi Malini siapa?" tanya Abay tertarik.
"Dia itu Ratu kami. Peri ular yang bisa berikan kamu kekayaan secara mudah. Bukannya kamu mau kaya kan? Karena itu, aku mengundang dirimu masuk. Tetapi...." Ketika berhenti bicara, mata Garini menyorot merah.
Hati Abay bergidik, tubuhnya gemetar.
"Kami tak akan memaksa dirimu untuk mengikat kontrak dan perjanjian dengan keuntungan kekayaan untukmu. Hanya saja, jika kamu menolak, maka aku yang lancang mengajak dirimu ke mari akan mati. Karena itu sebelum aku mati, ya aku butuh teman perjalanan. Kamu paham kan maksudku?" tanya Garini tegas.
Abay menelan ludahnya. Dia tak menyangka, kehadiran dirinya yang dipaksa masuk, malah akan membuat jiwanya lenyap.
"Ini salahku. Seharusnya aku biarkan kamu datang sendiri dan memohon bertemu Nyi Malini, lalu melakukan ritual untuk mengadakan kontak agar keinginan cepat kaya yang menjadi impianmu terpenuhi. Jika kamu suka dengan syaratnya, kamu bisa lanjut. Jika tidak pun tak masalah. Hanya saja, kami baru pindah ke bukit ini. Belum ada orang yang menjadi perantara. Sekarang, karena aku yang mengajakmu masuk... maka ada tiga pilihan untukmu!" tutur Garini.
"Apa pilihan itu?" tanya Abay tanpa pikir panjang.
"Hihihi, tunggu dulu! Tak perlu terburu-buru!"
"Kenapa?" tanya Abay heran.
"Badanmu bau! Di situ ada kolam air, mandi dan bersihkan tubuhmu. Aku akan bicara sambil menemanimu mandi." Garini menunjuk ke arah belakang Abay.
Abay menengok ke belakang. Di balik kasur yang tergantung dan terikat tali akar, ada sebuah kolam air berbentuk kotak. Kolam yang tak terlalu besar dan sepertinya hanya cukup untuk satu orang berendam.
"Ayo, buka bajumu!" perintah Garini.
"Di depanmu?' Wajah Abay memerah.
Garini tertawa, lalu dia gerakan tangannya seperti merenggut sesuatu di udara.
Abay menjerit, lalu dia berlari terbirit-birit ke arah kolam. Karena baju di tubuhnya mendadak hancur berkeping-keping.
Garini terkekeh geli. Dia berjalan pelan menuju ke kolam, di mana Abay telah masuk ke dalamnya.
Di dalam kolam, Abay merasakan betapa segar dan wanginya air kolam. Lalu dia menengok ke arah Garini yang mendatangi. Cepat dia benamkan tubuhnya, tetapi tak bisa. Karena dalamnya kolam tak seberapa dan untuk bisa menyembunyikan seluruh tubuhnya, dia harus menekuk lebih rapat lagi. Padahal dia duduk di dalam kolam dengan dengkul tertekuk.
"Tiga pilihan itu, kamu bisa menawar syarat yang diberikan Nyi Malini dan kamu bisa memiliki emas yang dapat menjadikan dirimu kaya dan ini pilihan pertama. Berikutnya, kamu bisa menolak dengan mengorbankan diriku dan juga dirimu sendiri, aih aku pikir kamu tak akan sejahat itu membuat aku mati dengan tubuh dan wajah secantik ini. Aku masih terlalu muda untuk mati!" Garini berjongkok di depan Abay di pinggir kolam.
Tangan Garini masuk ke dalam kolam dan sengaja membelai betis Abay.
Abay gemetar tubuhnya. Dia merasakan nafsunya bangkit karena sentuhan lembut jemari Garini. Tetapi dia mencoba bertahan.
"Pilihan yang ketiga apa?" tanya Abay untuk mengusir nafsunya yang sudah mulai bangkit.
"Oh, yang terakhir itu... kamu jadi juru kunci dan mencari orang untuk mau bersekutu dengan Nyi Malini. Tetapi kamu tak akan dapat apa-apa, kecuali kebaikan orang yang kamu bawa saja! Hanya saja, kamu tak bisa bikin perjanjian dengan mereka. Setahuku, menjadi juru kunci untuk kami itu hidupnya akan miskin. Rugi, bukan?" Garini tersenyum manis.
"Ya, sangat rugi! Tapi...." Abay merinding karena sentuhan jemari Garini belum mau berhenti. Kini pundaknya kanannya yang jadi sasaran.
"Tapi apa?"
"Kamu bilang, kalian baru pindah. Memangnya di tempat yang lama kenapa?" tanya Abay.
"Oh, Nyi Malini baru saja dilepas oleh Ratu kami yang paling agung dan besar. Ratu yang tak hanya menguasai laut, tetapi daratan di sekitarnya. Nyi Malini diberikan kekuasaan penuh untuk mendirikan kerajaannya sendiri dan tentunya tetap berada di pengawasan Ratu agung kami itu!" terang Garini tanpa ditutupi.
"Siapa Ratu paling agung kalian itu?" tanya Abay.
"Garini, apa tamu pertama untukku sudah siap?"
"Nah, dengar itu! Nyi Malini sudah memanggil dan menunggu dirimu!" Garini mencubit pipi Abay.
Abay juga mendengar, suara yang bertanya tentang keadaannya itu terdengar sungguh merdu. Tetapi dia tak melihat siapa yang bicara, karena di dalam kamar hanya ada dirinya dan Garini.
"Ayo, sudahi mandi mu. Pakai baju di atas kasur dan temui Nyi Malini. Tetapi ingat, jiwaku ada di tanganmu dan sebaliknya!" Garini lantas pergi. Tetapi bukan berjalan dengan kakinya.
Abay kaget karena dia melihat Garini merayap dengan ekornya yang besar.
Bergidik hati Abay. Tetapi dia bingung bagaimana harus mengambil keputusan. Menerima syarat Nyi Malini akan buat dia kaya sesuai keinginan hatinya dan mempermudah dirinya menemui Dina. Menolak tawaran, dia akan berkorban dua nyawa, nyawanya dan Garini. Memilih yang terakhir menjadi juru kunci, dia akan tetap hidup miskin.
Abay belum bisa mengambil keputusan, tetapi dia harus segera keluar dari dalam kolam dan memakai baju, karena air kolam mendadak mulai panas suhunya dan bau sedikit busuk tercium.
Abay berjalan layaknya pembesar di jaman dulu. Jubah yang dipakainya terbuat dari kain mahal, warna hitam dengan benang emas bermotif ular.
Tetapi yang membuat kedua matanya terbelalak itu, saat dia tiba di ujung lorong, ada cahaya silau menerobos matanya dan itu belum berakhir.
Karena saat ini Abay berdiri diam dengan mata jelalatan. Dia tiba di ruangan besar, seperti sebuah aula dengan tiang-tiang besar dan sekiranya butuh tiga orang untuk melingkarkan tangan. Di tiang terpasang tongkat obor.
Selain itu, ruangan pun dipenuhi aneka keindahan, kilau emas dan batu permata. Tetapi segala macam kemilau perhiasan itu tak sebanding dengan barisan wanita-wanita cantik yang berdiri rapi.
Garini sudah cantik, tetapi yang lainnya pun sama cantik dan jelita. Belum lagi aroma wangi yang menguar di seluruh ruangan. Membuat Abay merasa dirinya di surga.
Ada pikiran busuk Abay, kalau wanita-wanita itu menjadi istrinya. Betapa akan senang hatinya berganti-ganti malam dengan banyak wanita pilihan dan masih muda tersebut.
"Maju ke sini!"
Angan Abay buyar. Dia tertarik dengan suara merdu yang memanggil dirinya. Dia pun injak anak tangga dan turun untuk bisa memijak lantai aula yang terlihat bening seperti kaca.
Sambil berjalan, kepala Abay menengok kiri dan kanan. Tak lupa dia lepaskan senyum pemikat yang dibalas tawa cekikikan para wanita muda. Tetapi dia tak melihat Garini.
Di depan Abay ada panggung dan sebuah kursi kebesaran berlapis emas dengan ornamen ular di kepala kursi yang masih kosong. Di bawah panggung berdiri sosok wanita berwajah dingin, tetapi terkesan anggun.
"Berhenti dan berlutut menunggu Nyi Malini hadir!" ucap si gadis berwajah dingin di bawah panggung itu.
Abay menurut, pikirannya tak masalah dia ikuti kemauan si gadis itu.
Cukup lama Abay berlutut, hingga kaki terasa kaku. Tetapi dia bisa sepuas hati menatap paras-paras cantik di dalam aula.
Hingga bunyi gemerincing terdengar. Abay menengok ke kiri dan dia kaget, karena suara itu berasal dari gesekan rantai dan lantai. Rantai itu dibawa Garini yang terikat tubuhnya dan didorong masuk dua wanita berwajah kejam. Mata tombak yang tajam tak seberapa jauh dari punggung Garini.
Lalu Garini disuruh berlutut di sebelah Abay.
"Ingat, kamu menolak aku mati. Tetapi kamu akan menemani diriku di tanah yang sama," ucap Garini lantang.
Abay menelan ludahnya. Ancaman Garini sepertinya sungguh-sungguh.
"Nyi Malini datang!"
Teriakan itu disusul bunyi tetabuhan, lalu suasana aula mendadak gelap dan kembali terang ketika api obor menyala serentak.
Abay kaget dan selanjutnya dia menatap terkesima. Barisan wanita cantik menari di depan matanya, mengurung dirinya dan Garini di tengah-tengah.
Bukan tarian biasa, karena keringat Abay bercucuran dan matanya memerah penuh hawa nafsu. Tarian erotis dan menggoda darah kejantanan Abay bangkit.
"Tetap berlutut! Berdiri mati," ucap Garini keras.
Abay yang mau bangkit dan gabung menari itu, pun terkejut dan dia bertahan sekuat tenaga, supaya kakinya tak berdiri.
Sungguh penyiksaan batin yang sangat berat bagi Abay. Wangi tubuh para gadis itu merangsang darahnya mengalir lebih cepat, sentuhan jemari lentik mencubit dan membelai membuat wajahnya memerah, belum lagi gesekan tubuh yang disengaja membuat dia ingin memeluk salah satu dari para penari erotis itu.
Tubuh Abay menggigil. Dia menggigit bibirnya dan tangannya sibuk menghapus keringat sebesar jagung di wajahnya, terutama di bagian kening. Lalu matanya diturunkan dan melihat lembaran pakaian di atas lantai, lalu kaki-kaki yang putih mulus tak luput dari matanya. Tak ada pilihan, dia pun menutup matanya.
"Jangan menutup mata atau kamu akan lebih cepat bangkit dan mati!" bisik Garini
"Ah!" jerit Abay mengeluh.
Karena Garini benar. Ketika Abay menutup mata, dia malah terbayang banyak adegan kemesraan dan cumbuan yang biasa dia lakukan dengan Endah istrinya.
Hampir saja Abay bangkit dan menerkam salah satu penari untuk menuntaskan hasratnya yang bangkit. Tetapi ucapan Garini menyadarkannya. Entah dia harus berterima kasih pada Garini atau tidak.
Karena Abay masih teringat akan ancaman Garini. Sebab kini hanya ada dua pilihan yang bisa dia ambil, menerima persekutuan dengan Nyi Malini yang katanya akan hadir, tetapi belum juga tampak batang hidungnya. Kemudian dia harus memilih menjadi juru kunci yang hidupnya akan tetap miskin seumur hidup.
Teringat si kecil Dina, Abay memilih bersekutu dengan Nyi Malini. Mendapatkan kekayaan dan pindah ke kota berdua dengan Dina. Tak ada niat mengajak Endah bersamanya.
"Nyi Malini datang, bangun!"
Teriakan itu mengakhiri bunyi tetabuhan, para wanita yang menari pun usai dan api obor mati berganti dengan aula yang terang benderang seperti di awal Abay masuk.
Kali ini Abay bangun tanpa menunggu ucapan Garini. Ternyata Garini diam saja dan ikut berdiri.
Mata Abay menatap sekeliling, dia merasa heran di mana para penari erotis tadi. Karena kalau masih ada di dalam aula, tentunya mereka berdiri tanpa sehelai benang menutup tubuh. Tetapi waktu mata Abay melihat ke lantai, tak tersisa lembaran kain yang dilepaskan tadi.
Lantai bersih dan bening seperti kaca. Setitik debu pun tak terlihat, mana ada lembaran kain penutup tubuh segala.
"Hei, manusia... lihat aku!"
Abay mengarahkan pandangannya ke arah suara, ke atas panggung dan dia kaget. Entah kapan di atas panggung itu duduk sosok wanita yang paling cantik di antara wanita lainnya.
Dari jarak Abay berdiri saja, dia bisa melihat betapa putih dan mulusnya kulit wanita yang dia tebak sebagai Nyi Malini itu, nyaris tanpa cela dan cacat karena sutera hitam transparan yang menutup tubuh Nyi Malini seperti tak berguna sama sekali.
Rambut panjang hitam berombak Nyi Malini terlihat bercahaya, ditambah mahkota kecil di atas kepalanya dengan dua batu merah sebagai mata ular. Mahkota berbentuk ular, itu yang dipakai Nyi Malini.
"Siapa namamu?" tanya Nyi Malini merdu.
"Abay," jawab Abay dengan mata tak pernah berkedip memandang keindahan Nyi Malini.
"Apa kamu tahu siapa aku?"
"Ya, Nyi Malini."
"Hihihi, itu namaku. Tapi tahukah kamu, aku ini jin ular yang dipercaya menjadi pemimpin di istana ini oleh dia si Ratu Agung."
"Ya, Garini sudah berkata."
"Hihihi, kerja yang bagus Garini!" Nyi Malini mengangguk pada Garini.
Garini mengucap terima kasih..
"Suamiku Abay, apa kamu sudah menetapkan pilihan?" tanya Nyi Malini.
Syur rasa hati Abay ketika Nyi Malini sebut dirinya sebagai suami.
"Apa pilihanmu? Menjadi suamiku yang pertama dan mendapat kekayaan atau lebih memilih jadi abdi juru kunci kerajaan yang aku pimpin ini?"
"Aku memilih jadi suamimu!" jawab Abay tegas.
"Bagus. Mari sini suamiku!" Nyi Malini menggerakkan tangannya seperti menarik Abay.
Abay memekik kecil karena tubuhnya terbang ke arah Nyi Malini, lalu jatuh dalam pangkuan wanita cantik itu. Wanita yang sebenarnya jin ular.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!