Jam makan siang menjadi waktu yang paling menyenangkan bagi hampir seluruf staf. Mereka bisa menghilangkan penat, makan, serta mengobrol bebas dengan yang lain.
Tapi berbeda dengan Mila, sebagai office girl, dia jelas sibuk di jam ini. Apalagi kalau bukan sibuk mondar-mandir mengambil pesanan makanan para staf. Kadang ada yang minta dibuatin ini lah itulah, mentang-mentang posisi mereka lebih tinggi, kadang suka memerintah seenaknya sendiri.
Di kantor ini memang tidak ada kantin atau ketering. Para karyawan mendapatkan uang makan sebagai gantinya. Bagi yang malas keluar, mereka lebih suka membawa bekal atau delivery order. Kadang ada juga yang menyuruh ob atu og untuk membelikan makanan.
Setelah mencuci peralatan makan dan minum, Mila duduk di kursi pantry untuk melepas penat sambil menunggu Reni membuat mie rebus.
"Cepek banget nih kayaknya," ujar Dion yang baru masuk sambil menepuk bahu Mila. Sontak wanita yang sedang melamun itu terjingkat karena kaget.
"Ngagetin aja sih," gerutu Mila sambil memelototi Dion.
"Habis, siang bolong gini malah melamun." Sahut Dion sambil menarik kursi lalu duduk di depan Mila. "Entar kesambet baru tahu," lanjutnya sambil mencibir.
"Mana ada setan yang berani ngerasukin dia, orang jutek gitu. Yang ada setannya insecure duluan, takut digalakin Mila." Reni yang sedang membuat mie rebus tiba-tiba menyahut.
"Hahaha....bener-bener." Dion tertawa ngakak sambil memukul-mukul meja.
Sudah menjadi rahasia umum jika Mila adalah og yang paling jutek. Parasnya yang cantik membuatnya sering digoda oleh para staf bahkan bos setingkat manager, tapi Mila sama sekali tak menanggapi. Dia malah bersikap jutek pada para penggoda itu, kerena sesungguhnya, Mila adalah seorang istri. Ya, dia seorang istri walaupun dimata umum, statusnya adalah single. Karena suatu sebab, dia tak bisa mengatakan tentang statusnya dan siapa suaminya.
"Gimana Pak Bas, masih ngebet mau jadiin lo bini kedua, Mil?" tanya Reni sambil mengaduk mie rebus yang hampir matang.
Kalau sudah membahas tentang Pak Bas, Mila langsung bad mood. Jangankan menjadi istri kedua, melihatnya saja sudah membuat Mila mual. Pria setengah baya yang kelakuannya naudzubillah mindzalik, gatelnya minta ampun. Kelakuannya sudah mirip ABG tua.
"Jangan mau, Mil, mending sama gue aja. Lo jadi istri pertama dan satu satunya. Gue tipe cowok setia," ujar Dion sambil menepuk dadanya dengan bangga.
"Buat apa setia, kalo kere," cibir Reni sambil menyebikkan bibir.
"Lo kalau ngomong suka bener Ren," sahut Mila sambil menahan tawa.
"Parah kalian berdua." Dion menatap Mila dan Reni bergantian. "Jaman sekarang, laki berduit itu banyak, gampang dicari, tapi laki-laki setia, itu langka."
"Cie....dah kayak komodo aja langka." Reni tak henti-hentinya mencibir sambil tertawa.
"Hei...sekarang lo bisa ngetawain gue, tapi lihat aja ntar saat lo udah nikah. Hanya laki-laki yang menghargai seorang wanita yang mampu membuat wanita bahagia. Dan suami seperti itu, zaman sekarang susah dicari. Laki laki pada meremehkan wanita, apalagi kalau berduit. Istri mah, udah kayak sandal jepit, diinjak injak dan mudah digonta-ganti," Dion sok sok an bijak.
Mila yang awalnya tertawa seketika terdiam. Apa yang dikatakan Dion ada benarnya. Tapi sayangnya, atas nama cinta dan uang, dia hanya mampu diam menerima keadaan, biarpun diperlakukan seperti sandal jepit.
"Heleh, sok sok an bijak lo, Yon. Langka konon, tapi tak laku-laku," sindir Reni masih sambil ketawa.
"Bukannya gak laku, tapi gue tipe pemilih."
"Pemilih lo kata, barusan ngajak Mila nikah?"
"Ya karena yang kayak Mila yang gue pilih."
Reni makin ngakak, sedangkan Mila tak menanggapi serius ucapan Dion walaupun dia sesungguhnya tahu, jika Dion memang menyukainya.
"Beruang aja ditolak, apalagi komodo kayak elo." Cibir Reni sambil tertawa terpingkal pingkal.
Grompyang
"Aduh!" pekik Reni yang kaget karena mienya tumpah. Karena serius katawa, dia tak sengaja menyenggol gagang panci hingga jatuh. Beruntung dia sigap menghindar hingga kakinya tak menjadi korban air panas rebusan mie instan.
"Mampos....Itu yang namanya karma dibayar kontan. Hahahaha ... Makanya jangan ngatain orang gak laku, lo sendiri aja juga gak laku," sekarang giliran Dion yang ngakak.
Reni membersihkan tumpahan mie dengan hati kesal. Sedangkan Mila hanya melihat sambil geleng-geleng dan senyum-senyum.
Teman-teman somplak seperti inilah yang membuat Mila betah kerja disini. Terutama Reni dan Dion yang sehari hari mirip tom n jerry.
"Eh Mil, elo disuruh nganter kopi keruangan Pak Elgar," Galang datang membawa pesan dari Elgar.
"Eh, tumben pak Elgar minta kopi jam segini, biasanyakan dia cuma minta kopi pagi saja?" Dion mengernyitkan kening.
"Mana gue tahu begok, gue cuma nyampaiin pesan dari sekretarisnya."
Mila segera bangkit dan membuatkan kopi untuk bos nya itu. Elgar adalah anak pemilik perusahaan. Dia yang tampan dan digadang gadang akan menjadi pewaris tahta, menjadi incaran para staf wanita. Meskipun semua orang tahu jika Elgar sudah punya pacar yang sekarang tengah menempuh pendidikan S2 di USA.
"Eh Mil, beruntung banget sih lo, bisa sering ketemu pak Elgar. Setiap hari, pak Elgar maunya elo yang bikinin kopi," ujar Reni.
Mila hanya menanggapi dengan senyuman.
"Kerena dia gak buta," celetuk Dion.
"Maksud lo?" Reni mengernyit bingung.
"Ya dia tahulah, mana batu mana permata, mana yang bening, mana yang butek," jawab Dion sambil tertawa.
Pletak
Sebuah panci kecil langsung menyambar kepala Dion.
"Gila lo, gimana kalau gue gegar otak," seru Dion sambil mengusap kepalanya.
"Egp, emang gue pikirin."
Selesai membuat kopi, Mila segera menuju ruangan Elgar. Ruangan yang setiap hari Mila masuki untuk mengantar kopi. Ruangan yang setiap hari selalu membuat jantung Mila berdebar setiap mau masuk. Ruangan yang dihuni oleh pemilik hatinya.
Setelah mengetuk pintu, Mila segera masuk sambil membawa nampan berisi secangkir kopi.
Pria yang berada di dalam ruangan langsung menatap tajam kearahnya.
"Kenapa lama sekali?" bentak Elgar.
Mila menghela nafas sambil menutup kembali pintu ruangan. Bentakan Elgar sudah menjadi makanan sehari-hari buatnya. Saking terbiasanya, sampai udah gak baper lagi.
"Lama darimananya, El. Perasaan setelah mendapatkan pesan dari Galang, aku langsung bikin kopi buat kamu." Mila berjalan menuju meja Elgar sambil memasang senyum termanisnya.
Mila geleng-geleng melihat meja Elgar yang berantakan. Tak hanya meja, wajah pria itu juga tampak kusut. Setelah meletakkan kopi di atas meja, Elgar langsung menarik lengan Mila. Ditariknya wanita itu hingga duduk pangkuannya.
"Kenapa?" tanya Mila sambil menoleh kearah Elgar.
"Pala gue pusing, kerjaan numpuk. Lo tahu sendirikan, beban gue berat banget, Mil. Ini proyek gede pertama yang gue tangani, dan gue harus sukses sebagai ajang pembuktian ke bokap." Jawab Elgar sambil membenamkan wajahnya di ceruk leher Mila.
"Mau aku pijitin?"
"Enggak, gue gak butuh itu. Gue butuh ini." Elgar menangkup wajah Mila dan langsung mencium bibirnya. Ciuman yang awalnya lembut berubah menjadi ganas. Bahkan tangan Elgar sudah mulai mer emas dada Mila.
"Jangan El, ini di kantor." Mila berusaha mencegah saat Elgar hendak membuka kancing kemejanya.
Bukan Elgar namanya jika menurut pada Mila. Pria dominan dan egois sepertinya jelas tak bisa menerima yang namanya penolakan.
"Lo nolak gue?" bentak El sambil menatap tajam kedua manik mata Mila.
Dan jika sudah seperti ini , Mila yang terkenal galak dan jutek, hilang begitu saja. Ya, Mila lemah jika berhubungan dengan Elgar.
Elgar melanjutkan aksinya, membuka kancing baju Mila dan mulai memainkan dua benda kesukaannya. Elgar membenamkan wajahnya di dada Mila dan membuat banyak tanda kepemilikan disana.
Mila mulai mende sah menikmati perlakuan Elgar. Walaupun sangat beresiko bermesraan di kantor, tapi dia sangat merindukan El dan sentuhannya. Sudah 3 hari mereka tak bertemu untuk berkeringat bersama. Elgar ke luar kota selama 3 hari untuk mengurusi bisnis.
Tok tok tok
Suara ketukan mengejutkan dua insan yang tengah mendaki puncak kenikmatan. Mila buru-buru bangkit dari pangkuan El dan berdiri membelakangi pintu. Secepat kilat dia merapikan baju serta rambutnya, jangan sampai ada orang yang curiga.
"Siang pak," sapa Tari yang baru masuk. Sekretaris Elgar itu mengernyit melihat perempuan berseragam og berdiri disebelah Elgar dan membelakanginya
"Ada apa, Tar?" Elgar yang tahu kemana arah pandang Tari segera menarik perhatiannya
"Ini ada berkas yang harus bapak tanda tangani." jawab Tari sambil mengangsurkan map berisi berkas kearah Elgar.
Elgar segera meraih berkas dari Tari dan memeriksanya.
Setelah bajunya rapi kembali dan mengatur detak jantung yang deg degan, Mila segera berbalik dan mengambil nampan di meja.
"Saya permisi dulu pak," ujar Mila dengan tangan yang sedikit gemetar. Mila masih tegang karen hampir ketahuan, tapi dilihatnya, Elgar tampak biasa saja, membaca berkas dengan tenang dan tidak menyahuti ucapan Mila.
Seperti itulah hubungan kedua orang itu selama 4 bulan ini. Mereka suami istri saat berdua, tapi menjadi orang asing saat ada yang lain. Bukan tanpa alasan, karena jelas ada alasan kuat dibalik semua ini.
Selamat datang di novel ke 7 saya. Semoga karya ini bisa menemani hari hari reader tersayang.
Salam dari Author receh yang masih terus belajar menulis**
Mila menghela nafas lega setelah berhasil keluar dari ruangan Elgar. Untung saja tadi tak sampai ketahuan, kalau tidak, namanya pasti buruk. Dia pasti dicap sebagai og murahan yang mau digrepe ***** bos. Jadi bahan gosip satu kantor, dan yang paling parah, bakal dibully habis habisan.
Mila berjalan gontai menuju pantry. Tapi sial, dia malah berpapasan dengan Pak Bas. Niat hati ingin berbalik dan kabur, tapi Pak Bas sudah terlanjur melihatnya.
"Mila." Panggil Pak Bas.
Karena sudah tak bisa menghindar, terpaksa Mila menghadapi abg tua itu.
"Iya Pak."
Seperti biasa, mata nakal Pak Bas selalu melotot jika berhadapan dengan Mila.
"Kamu habis makan apa Mil?"
"Saya gak habis makan apa apa. Belum makan malahan." Jawab Mila sambil membersihkan area mulutnya. Takut ada kotoran hingga Pak Bas berkata demikian.
"Wahhh ...kebetulan. Makan siang diluar sama saya yuk." Ajak Pak Bas sambil mengedipkan sebelah matanya. "Saya traktir makan enak. Kamu bisa makan sepuasnya, bisa take away juga kalau mau."
Sial, batin Mila. Bisa bisanya dia terjebak dengan pertanyaan Pak Bas.
"Maaf Pak, saya udah bawa bekal."
"Bekalnya kasih ke temen kamu aja. Mending kita makan enak diluar." Rayu Pak Bas sambil meraih pergelangan tanga Mila.
"Gak usah pegang pegang ya pak." Seru Mila sambil menarik tangannya.
"Hehehe.....sory sory. Galak amat sih." Ujar Pak Bas sambil menyeringai kecil.
"Mau ya. Sekalian shoping deh. Kamu bisa belanja apa aja yang kamu mau."
Mila mendengus kesal. Abg tua itu memang tak tahu diri. Sudah ditolak berkali kali masih saja tak kenal putus asa.
"Maaf Pak, saya disuruh mbak Gisel foto kopi barusan. Jadi maaf, saya harus segera pergi." Bohong Mila.
"Halah gak usah bohong kamu. Barusan saya ketemu Gisel, dia minta ijin pulang awal karena anaknya sakit."
"Sial," batin Mila. Dari sekian banyak staf kenapa pula dia malah menyebut nama Gisel.
"Sudah gak usah mikirin alasan lain. Kita makan diluar ya?"
"Mila, untung ketemu kamu disini." Tiba tiba saja, Dion datang bak dewa penolonh. "Tolong fotokopiin ini di divisi pemasaran atau lainnnya. Mesin fotokopi disini rusak." Dion menyerahkan map berisi berkas untuk difotokopi ke tangan Mila.
"Heh, kamu siapa nyuruh nyuruh Mila." Pak Bas mengambil berkas dari tangan Mila dan menyerahkan balik pada Dion. "Mila ada kerjaan lain, kamu aja yang fotokopi." Bentar Pak Bas.
"Maaf Pak, saya harus keluar untuk membeli obat , di suruh Mas Farel. Dia ambiennya kumat."
Pak Bas tampak menghela nafas berat. Kesal pada Dion yang merusak rencananya.
Mila tak mau membuang kesempatan. Dia segera meraih map ditangan Dion.
"Saya pergi dulu Pak." Buuru buru dia mengambil langkah seribu.
"Saya permisi dulu pak." Pamit Dion.
"Pergi sana." Hardik Pak Bas. Pria tua itu tampak sangat kesal. Dia tak pernah menyangka jika untuk menaklukkan seorang og saja, bisa sesusah ini. Bahkan Mila tak mempan sama sekali dirayu dengan uang.
...******...
Mila berdiri didepan mesin fotokopi sambil mengerjakan tugasnya dengan baik. Beruntung mesin sedang tidak digunakan, jadi dia tak perlu mengantri dulu. Tak jauh darinya, tampak beberapa staf perempuan sedang asyik mengobrol. Sepertinya, pekerjaan didivisi ini lebih santai dibanding divisi tempatnya keberja.
Mila jenis cewek yang cuek. Dia sama sekali bukan tipe kepo yang mau tahu obrolan orang lain, terutama orang yang tak dikenalnya. Tapi saat mereka menyebut nama Elgar. Jiwa kepo Mila meronta ronta. Dan mau tidak mau, dia memasang telinga untuk mendengarkan orolan mereka.
"Lo gak salah dengerkan? ceweknya Pak Elgar mau pulang?"
"Beneran. Makanya gue gak semangat buat acara gala diner anniversary perusahaan bulan depan. Katanya, selain acara anniv perusahaan, acara itu juga sekalian pertunangan mereka."
"WHAT!"
Kertas yang Mila pegang seketika terjatuh dan langsung berserakan. Buru buru dia memungutinya dan menyusun kembali.
"Heh, kalau kerja itu yang bener. Ngelamun lo, sampai jatuh semua kayak gitu." Ujar salah satu staf perempuan yang memgobrol tadi.
Mila tak menanggapi ucapan wanita itu. Saat ini, hati dan pikirannnya sedang tertuju pada Elgar.
Elgar akan bertunangan? Apa ini artinya, dia akan segera disingkirkan?
Selesai memfotokopi dan menyerahkan berkas tersebut , Mila kembali ke pantry. Pantry dalam keadaan kosong, mungkin semua orang sedang sibuk. Dia mengambil segelas air putih dan meneguknya hingga habis. Saat ini,pikirannya sedang kacau. Apalagi kalau bukan gara gara gosip pertunangan Elgar.
"Eh, lo disini Mil. Kata Dion lo ke divisi pemasaran?" Tanya Reni yang baru datang.
"Baru selesai." Jawab Mila pelan.
"Eh, lo kenapa, lemes banget kayaknya? Belum makan siang lo?" Reni menarik kursi lalu duduk didepan Mila.
Makan? Mila bahkan tak ingat lagi kalau dia belum makan siang. Yang ada diotaknya saat ini, hanya Elgar, Elgar, dan Elgar.
"Eh, leher lo kenapa Mil?" Tanya Reni sambil menyibak sedikit kerah baju Mila.
"Kenapa emang?"
"Ada merah merah. Kayak bekas cupangan."
Deg
Jantung Mila seperti merosot ke perut seketika. Buru buru dia merapikan kerah seragamnya. Bisa bisanya dia tak sadar jika El meninggalkan kissmark dilehernya.
"Pantesan tadi leher gue gatel banget. Kayaknya digigit semut." Bohong Mila.
"Kayaknya bukan semut deh." Reni kembali menyibakkan kerah kemeja Mila untuk melihat lebih jelas tanda merah kebiruan itu.
Mila membiarkan saja Reni mengamati tanda tersebut. Karena semakin ditutupi, akan semakin mencurigakan.
"Gak bentol kok Mil. Merah doang, persis bekas ci pokan."
"Sok tahu lo. Emang lo pernah ci pokan?" Tanya Mila sambil tertawa. Lebih tepatnya, tawa untuk menyembunyikan kegugupannya.
"Gak pernah sih. Tapi aku ngertilah. Tetangga kos aku yang kerja jadi pemandu lagu sering tuh, pulang pulang ada bekas kayak gini."
"Masak sih?" Mila pura pura kepo. Dia berharap Reni membahas tetangganya dan melupakan tentang tanda merah dilehernya.
"Ya gitu deh. Eh, tunggu tunggu." Reni tiba tiba membelalakkan matanya.
"Kenapa?"
"Kata Dion, lo tadi ketemu Pak Bas. Lo gak habis di cipokk Pak Bas kan?" Reni buru buru menutup mulutnya yang menganga.
"Dih, apaan sih. Ya enggaklah. Berani dia nyipokk gue, gue pastiin tuh mulut gak bisa makan selama sebulan." Jawab Mila sambil bersungut sungut.
"Terus, dicipokk siapa lo. Pak Elgar?"
Deg
Mila serasa kembali kena serangan jantung. Hari ini sungguh hari yang luar biasa. Dia harus senam jantung berkali kali.
"Estt....Gak mungkin Pak Elgar." Reni menjawab sendiri pertanyaannya. "Biarpun lo cantik, tapi lo bukan tipe dia. Mana mungkin orang seperfeksionis Pak Elgar mau sama office girl."
Hati Mila seakan diremas remas mendengarnya. Kenyataan yang selama ini tak mau dia terima. Kenyataan jika Elgar tak mencintainya dan hanya butuh kepuasan darinya.
"Eh lo gak tahukan pacarnya Pak Elgar. Lo belum kerja disini saat dia sering kesini dulu. Cantik banget pacarnya. Sekarang sedang lanjut S2 di US. Anaknya Pak Rendra. Pemilik saham terbesar kedua disini setelah Pak Dirga, bokapnya Pak Elgar."
Reni tampak bersemangat menceritakan tentang Elgar. Tanpa dia sadari, ada hati yang terluka.
"Kabarnya, mereka akan segera menikah. Gila, dua orang kaya raya akan menikah. Bisa dibayangin gimana mewahnya pesta pernikahan mereka. Kalau mereka punya anak nih, pasti pas lahir gak pakai nangis. Tapi langsung ketawa, karena bayi sultan. Hartanya unlimited."
Mila meremat celananya. Sesakit ini rasanya mendengar kenyataan tentang suaminya. Elgar memang mempunyai kehidupan sendiri yang tak bisa disentuh oleh Mila. Karena Mila tak berhak mengatur hidup El. Mila memang istrinya El. Tapi hanya istri untuk memenuhi kebutuhan biologisnya saja. Karena pernikahan mereka, tak seperti pada umumnya.
Senyum Mila mengembang setelah membaca pesan dari Elgar. Suaminya itu, akan datang malam ini. Tak ingin membuang waktu sia sia, dia segera membuka almari untuk memilih lingerie. Pilihannya jatuh pada lingerie warna hitam kesukaan Elgar.
Mila mengambil lingerie itu dari gantungan sambil tersenyum senyum sendiri. Mengingat ingat, kapan terakhir dia memakainya untuk menghabiskan malam bersama Elgar.
Dia meletakkan lingerie itu diatas ranjang lalu bergegas kekamar mandi. Dia tak boleh membuang waktu, karena ritual mandinya menjadi lebih lama jika Elgar mau datang.
Selesai mandi, dia terkejut saat melihat Elgar yang sudah berbaring diatas ranjang. Sejak kapan dia datang? Dan akan jadi masalah besar jika dia menunggu terlalu lama.
"El." Panggil Mila saat melihat Elgar berbaring diatas ranjang dengan mata tertutup. Entah pria itu tidur atau hanya memejamkan mata saja. Karena tak ada sahutan, Mila berjalan mendekati Elgar.
Tanpa disangka, Elgar tiba tiba menarik lengannya hingga tubuh Mila terjatuh dalam pelukannya.
"Lo tahukan, gue gak suka nunggu." Ujar Elgar dengan suara tegasnya.
"Maaf." Kata andalan yang selalu Mila ucapkan. Entah sudah berapa lali kata itu keluar sejak mereka menikah.
Elgar membalikkan posisi. Dan sekarang, dia berada diatas tubuh Mila.
"I miss you." Ujar Mila sambil menyentuh rahang kokoh dan bibir Elgar.
Seperti biasa, tak pernah ada jawaban I Miss u too. Elgar langsung mencium bibir Mila dengan rakus. Melumatt dan memainkan lidahnya dengan lihai didalam mulut Mila.
"Arghh..." Mila mulai meneluarkan lenguhan saat bibir Elgar mulai turun menyusuri cuping telinga hingga leher. Elgar sangat tahu dimana titik kelemahan Mila.
"El....." Lenguh Mila saat Elgar menarik handuknya hingga terlepas dan melemparkannya ke sembarang arah. Rencana Mila untuk menyambut El dengan lingerie hitam gagal total karena El sudah lebih dulu datang.
Tubuh Mila meliuk liuk tak karuan saat Elgar mulai mengeksplor dada dan menyentuh bagian intinya. Bermain main disana sangat lama hingga Mila tak kuasa menahan pelepassan pertamanya.
Dan sekarang , giliran Mila yang memanjakan El. Dia paham seperti apa kesukaan El. Pria itu menyukai wanita yang agresif dan pandai memanjakan pusakanya.
"Terus Mil." Racau Elgar sambil menekan kepala Mila agar lebih masuk lagi. Dia sangat menyukai servis Mila. Hingga dia benar benar ketagihan dengan wanita itu.
Keduanya terus mengarungi samudera kenikmatan. Dinginnya ac tak mampu lagi mendinginkan panas tubuh mereka. Desahhan demi desahhan tak henti hentinya keluar dari mulut mereka. Hingga akhirnya, keduanya mencapai puncak bersama.
Mila memeluk tubuh El yang basah oleh keringat. Dia sangat menyukai aroma tubuh El disaat seperti ini. Benar benar aroma yang membuatnya mabuk kepayang.
Cup, cup ,cup
Mila menghujani wajah Elgar dengan kecupan. Elgar hanya diam saja sambil menikmati perlakuan Mila. Matanya terpejam, tapi sebenarnya dia tidak tidur.
"El...." Panggil Mila sambil memainkan jari jarinya didada bidang Elgar. Dada yang ditumbuhi bulu bulu halus yang sangat disukai Mila.
"Aku dengar kabar, katanya Salsa akan pulang ke Indonesia. Apa itu benar?" Tanya Mila dengan hati tak karuan.
"Hem." Elgar hanya menjawab dengan deheman.
Dadanya Mika seketika terasa sesak. Apakah kebersamaannya dengan Elgar akan segera usai? Rasanya dia tak sanggup untuk berpisah dengan Elgar.
"Apa kamu akan ninggalin aku saat dia pulang?"
"Mungkin."
Dan saat itu juga, air mata Mila meleleh. Hatinya begitu sakit. Tidak, dia tidak siap berpisah dengan El. Elgar adalah cinta pertamanya. Dan seandainya bisa, dia tak mau berpisah dengan Elgar.
FLASHBACK 4 BULAN YANG LALU
Bruk
Elgar yang berjalan sambil melihat ponsel, tak sengaja menabrak Mila yang sedang membawa nampan berisi kopi.
"Damn." Umpat Elgar yang melihat jas nya terkena sedikit tumpahan kopi.
"Maaf pak, maaf." Ujar Mila dengan gugup. Tubuhnya gemetaran, dia sangat takut. Dia tahu siapa pria yang ada dihadapannya itu. Dia adalah anak pemilik perusahaan.
Ingin sekali Elgar memaki maki office girl didepannya itu. Tapi Elgar berusaha menahan diri demi image positifnya. Apalagi saat itu tidak hanya ada mereka berdua. Tapi ada karyawan lain yang melihat.
Elgar menarik nafas lalu membuangnya perlahan. Menekan emosinya agar tak sampai meledak. Dia lalu melepas jasnya dan memberikannya pada Mila.
"Tolong bersihkan nodanya. Satu jam lagi saya ada meeting. Jadi pastikan jas itu sudah bersih dan antar keruangan saya."
"Ba, baik Pak." Jawab Mila terbata bata.
Elgar berlalu begitu saja. Sebenarnya bisa saja dia menyuruh asistennya untuk membeli jas baru. Tapi rasanya terlalu enak jika og tersebut tidak diberi hukuman.
Untung otak Mila sedang bekerja dengan baik. Dia tahu ada laundry didekat kantor. Setiap hari dia berjalan kaki dari kos ke kantor, sehingga dia hafal apa saja yang ada diarea dekat perkantoran itu.
Mila berlari seperti orang dikejar setan menuju laundry twrsebut. Meminta pegawai loundry mencuci dan menyerika secepat kilat. Beruntung jas tersebut berwarna hitam, jadi nodanya tak terlihat bekasnya. Mila terpaksa harus membayar mahal untuk jasa laundry tersebut, tapi tak apa, daripada dia dipecat.
Mila segera mengantarkan jas tersebut ke ruangan Elgar.
"Kamu terlambat 6 menit." Ujar Elgar sambil melihat jam tanganya.
"Ma, maaf pak." Jawab Mila dengan nafas yang masih ngos ngosan. Kaki dan tangannya gemetaran, antara takut, gugup, dan capek.
Elgar memperhatikan Mila dari atas kebawah. Rasanya, baru hari ini dia melihat gadis itu.
"Kamu pegawai baru?"
"I, iya Pak. Tolong jangan pecat saya pak. Saya minta maaf."
"Kali ini saya maafkan. Tapi pastikan, lain kali bekerja dengan benar."
"Baik pak, terimakasih." Mila bisa bernafas lega. Biarpun dia kehilangan uang untuk membayar laundry yang lumayan mahal, yang penting dia tidak dipecat.
Seharian Elgar disibukkan dengan pekerjaan yang menggunung. Dia sampai harus lembur karena pekerjaannya belum selesai. Elgar adalah pria yang sangat ambisius. Dia berambisi besar menggantikan ayahnya menjadi CEO. Hal itu tentu saja bukan perkara yang bisa didapat dengan mudah. Ada Devan, kakak ipar yang selalu membayanginya.
Elgar dan Devan adalah kandidat calon CEO berikutnya. Elgar yang ambisius jelas tak mau sampai kalah. Baginya, kemenangan adalah harga mutlak. Dan kekalahan, tak ada dalam kamus hidupnya. Devan yang lebih dulu terjun kedunia bisbis, jelas mempunyai pengalaman yang lebih banyak dari Elgar. Hal itu sering membuat Devan berada satu langkah didepan Elgar. Dan buktinya, saat ini Devan yang ditugaskan untuk mengurus perusahaan baru di Singapura.
Tapi Elgar memiliki kartu As yang bisa membuatnya lebih mudah menjadi CEO dan menguasai perusahaan. Selain statusnya sebagai anak kandung Pak Dirga, dia juga punya Salsa. Kekasih yang merupakan anak pemilik saham terbesar kedua setelah ayahnya. Jika dia menikah dengan Salsa. Posisi CEO akan langsung jatuh ketangannya.
Elgar yang mulai lelah, ingin istirahat sejenak. Dia menuju pantry untuk membuat secangkir kopi. Dia sengaja tak menyuruh Tari karena ingin sedikit berjalan untuk melemaskan kakinya. Sejak tadi, dia hanya duduk, membuat persendiannya terasa kaku.
Pertama kalinya masuk ke pantry, membuat El tak paham tempat itu. Dia tak tahu dimana tempat menyimpan kopi. Dibukanya satu persatu almari gantung untuk mencari kopi.
"Hiks hiks hiks."
Samar samar, dia mendengar suara tangisan perempuan. Tubuhnya seketika gemetar dan bulu kudunya meremang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!