NovelToon NovelToon

Kerajaan Kristal Merah

Permulaan

Rembulan bersinar terang menyinari Istana kerajaan Kastala. Istana itu menjulang tinggi dan menampakkan keindahannya ketika dinding peraknya mengkilat berhiaskan cahaya.

Di sekitar istana tersebut terdapat pemukiman warga yang terlihat sepi. Hanya ada beberapa pendaran lampu kecil karena para warga sedang terlelap di dalam tempat tinggal mereka. Beberapa orang tampak berjalan menyusuri sekitar area pemukiman karena adanya beberapa petugas yang melaksanakan kewajiban mereka sebagai penjaga malam.

Terlihat bayangan lima Penyihir berjalan bersamaan di atas sebuah bukit tidak jauh dari pemukiman Istana. Kemudian, mereka menghentikan langkah dan berdiri sejajar sambil memandangi pemukiman yang tampak sunyi.

Beberapa saat  kemudian, kelima Penyihir tersebut merentangkan tangan mereka ke arah istana sembari mulai mengucapkan mantra.

Cahaya lemah keemasan berpendar dari telapak tangan kelima Penyihir tersebut ketika barisan – barisan mantra mereka ucapkan dengan suara lantang.

Perlahan, cahaya tersebut semakin terang dan semakin terang. Akhirnya, sinarnya menyebar dan membutakan pandangan.

Setelah rapalan mantra dihentikan, pendaran cahaya itu perlahan meredup dan menghilang. Pemukiman tersebut tampak tenang seperti sedia kala.

Para Penyihir tersebut berputar arah. Mereka berjalan menuju seorang pria tua yang sedang berdiri sambil menyandarkan diri di bawah pohon. Setelah menghampiri pria tersebut, mereka membungkuk hormat.

“Tugas sudah selesai, Tuan Faraq!” kata salah seorang Penyihir.

“Bagus, Rafael!” kata Faraq sambil mengangkat tangannya, isyarat untuk menyudahi penghormatan mereka. “Kita hanya tinggal menunggu tindakan Raja Endan terhadap hal ini.”

“Kapan kita bisa memperoleh kekuasaan atas Istana Kastala?” Rafael melangkah maju, menampakkan rambut pendek dan luka sayatan mendatar di dahinya.

“Kalian perlu sabar sebentar, Rafael!” Faraq tersenyum, lalu melanjutkan dengan suara seraknya. “Kekuasaan ini akan menjadi milik kita dan kalian akan kuberi bagian – bagiannya.”

“Kami percayakan sisanya kepadamu, Tuan Faraq. Jika kau butuh bantuan, kami akan senantiasa siap sedia,” kata Rafael.

Faraq bersedekap dengan rasa puas. “Tentu saja.”

Rafael memandang kalung hijau yang dikenakan oleh Faraq. “Bagaimana kau mendapatkan Jimat itu, Tuan Faraq?”

Faraq menggenggam kalung yang dikenakannya. “Aku sudah berkeliling ke kelima kerajaan di seluruh Namaril karena memang itu adalah tugasku sebagai Petinggi Bagian Hubungan Antarwilayah. Kutemukan Jimat ini di pemukiman Kerajaan Rimasti. Semuanya berjumlah enam. Aku memegang satu buah. Sisanya sudah kuberikan kepada kalian.”

“Betapa mudahnya kau menyerahkan Jimat ini kepada kami, Tuan Faraq?” kata Rafael. “Apakah kau memang memberikan kepercayaan begitu besar  kepada kami?”

Faraq menghela. “Kalian tidak perlu membicarakan soal kepercayaan, Rafael. Aku hanya beruntung karena aku menemukan orang – orang yang mau diajak bekerja sama.”

Faraq mengedarkan pandangan ke arah seluruh Penyihir. “Bisakah kau berdiri dengan kawan – kawanmu yang lain?” pintanya. “Aku akan menunjukkan secercah keajaiban Jimat ini.”

Rafael mengangguk. Ia mundur dan berdiri sejajar dengan Penyihir lain.

Setelah itu, Faraq memandang para Penyihir dan menyapukan tangannya ke arah mereka. Jimat batu kehijauan yang terkalung di masing – masing leher mereka berpendar lemah.

Terlihat tiga Penyihir laki – laki dan dua Penyihir perempuan yang merasakan kehangatan yang dipancarkan cahaya tersebut. Perlahan, kehangatan tersebut berubah menjadi kekuatan yang semakin lama semakin berlipat ganda.

Rafael melihat telapak tangannya sambil menyeringai seakan - akan ia bisa melakukan apapun.

“Itu adalah salah satu kekuatan Jimat ini,” Faraq menjelaskan, “tetapi kita harus mengambil alih Kastala terlebih dahulu jika kalian ingin menggunakan kekuatannya yang sesungguhnya karena kekuatan ini tidak seperti sihir biasa.”

“Ini adalah sebuah tawaran menakjubkan.” Rafael menyeringai. “Kami tidak akan mengecewakanmu, Baginda.”

Faraq tersenyum. “Kuakui, sangatlah terhormat bagiku dipanggil dengan gelar Baginda oleh kalian. Namun aku bukanlah raja kalian. Belum. Kalian tidak perlu terburu -  buru memanggilku dengan pangkat tinggi itu ketika kita belum mendapatkan hasilnya.”

Seorang Penyihir perempuan di belakang Rafael berujar, “Tapi kami menganggapmu sebagai Baginda sebagai pujian atas rencana ini.” Wajahnya masih tidak terlihat karena tertutup oleh bayangan malam.

“Pujian itu akan menyebabkan diriku menjadi arogan. Itu tidak perlu, Larisa.” Ujar Faraq. “Ketika kita sudah memiliki Kastala, yang lainnya tidak akan sulit.”

Larisa mengangguk. “Baiklah, Tuan Faraq.” Ia kembali menggenggam kalungnya.

Faraq melanjutkan, “Berkat Jimat ini, kita bisa melakukan hal ini walaupun sebenarnya kalian bukanlah Penyihir, bahkan aku pun bukan Penyihir.” Pria tua itu melepaskan kalung hijau itu dan menengadahkannya. “Ada berbagai macam rahasia yang terkandung di dalam Jimat ini. Namun, belum saatnya kuberitahu kepada kalian.”

“Betapa menakjubkan!” Rafael meninggikan suaranya. “Kita sudah mengerti tetang apa yang akan terjadi pada pemukiman ini.”

“Cukup sudah kita bicara!” Faraq mengalungkan kembali Jimatnya. “Mari kita pergi dari sini. Pengaruh sihir Jimat ini akan dimulai sebentar lagi.”

“Baiklah,” ujar Rafael. Ia segera memberitahu Penyihir lainnya. “Biarkan ini menjadi sebuah permulaan.”

Setelah itu, ia memimpin perapalan mantra, yang diikuti oleh rekan – rekannya. Perlahan,  Percikan cahaya hitam bermunculan dan mengitari Faraq dan para Penyihir lainnya.

Sesaat kemudian, mereka berenam lenyap dari pandangan.

-

Tanah pemukiman Kastala bergetar. Seluruh Istana dan pemukiman di sekitarnya mulai berguncang. Getaran itu menimbulkan berbagai macam bunyi yang menyebabkan dinding – dinding rumah retak. Lampu – lampu berjatuhan. Tidak sedikit pula bangunan – bangunan tidak kokoh yang mulai roboh karenanya.

Tampak orang – orang berhamburan keluar rumah, mengabaikan rasa kantuk mereka. Tidak hanya bangunan, retakan- retakan kecil juga terbentuk di jalanan. Para penghuni pemukiman tersebut merasa panik dan menyelamatkan diri puing – puing bangunan yang berjatuhan.

Beberapa saat kemudian, gempa tersebut berhenti.

Satu persatu lampu – lampu perumahan dinyalakan. Malam itu, para petugas istana langsung bertugas untuk membantu warga yang bertebaran di luar tempat tinggal mereka untuk memeriksa kondisi dan situasi.

Warga yang terluka langsung dibawa ke sejumlah rumah sakit yang tersedia. Karena gempa ini, puluhan rumah sakit disekitar pemukiman tersebut mendadak menjadi sibuk karena bencana yang melanda mereka secara tiba – tiba untuk menampung mereka yang yang terluka, bahkan tidak sedikit juga yang kehilangan nyawa.

Dua hari kemudian, guncangan tersebut terjadi kembali.

Gempa itu terjadi pada siang hari. Para warga berhenti dari aktivitas mereka. Para warga yang sedang tinggal di pengungsian dan rumah sakit terpaksa mengeluarkan diri agar selamat, walaupun tidak mengetahui kemana harus berlindung.

Sesaat kemudian, bencana itu berhenti.

Pegawai Kantor yang masih sempat bekerja di pemukiman tersebut mendapati gedung – gedung perkantoran mereka berserakan dengan puing – puing bangunan sehingga mereka memutuskan untuk meliburkan kegiatan mereka.

Para Prajurit dan Pegawai Istana kembali diutus untuk membantu warga.

Para penduduk pemukiman di sekitar istana tidak mengetahui kapan datangnya gempa. Namun, dua hari kemudian, setelah gempa ketiga yang terjadi di pagi hari, pihak istana mengumumkan kepada warga bahwa gempa terjadi selama dua hari sekali.

Perkiraan itu benar. Gempa itu terjadi secara berkala. Dua hari sekali.

Para  Prajurit dan Pegawai Istana mulai dikerahkan untuk pengarahan tambahan tempat – tempat pengungsian bagi warga. Berbagai macam kegiatan ditiadakan, bahan makanan pokok dibagikan, walaupun ada beberapa oknum warga yang melakukan penolakan.

Situs – situs khusus untuk evakuasi juga bertambah sebagai bentuk perlindungan terhadap warga yang ingin selamat dari bencana, atau yang sudah kehilangan tempat tinggal serta keluarganya.

Seperti yang diucapkan oleh Rafael, bencana ini adalah sebuah permulaan.

Unjuk Rasa

Sudah dua minggu semenjak gempa berkala tersebut melanda Kerajaan Kastala. Bencana tersebut menyebabkan berbagai dampak buruk bagi istana dan rumah – rumah di pemukiman. Banyak tempat tinggal rusak. Tidak sedikit pula korban jiwa berjatuhan.

Alhasil, banyak warga berunjuk rasa kepada para pegawai istana dan meminta dukungan dan tambahan biaya atas penderitaan yang mereka alami akibat bencana ini.

Ratusan warga pemukiman berbondong – bondong ingin memasuki istana Kerajaan sambil berseru dan merutuk.

“Turunkan Raja!”

“Raja Endan tidak tahu diri!”

“Tidak ada aksi!”

“Kami kelaparan!”

“Hentikan gempa ini!”

“Berikan makanan!”

Para penghuni pemukiman merangsek masuk ke dalam gerbang istana. Namun, para Prajurit Resmi dikerahkan untuk mencegah mereka dan juga sejumlah Penyihir. Para Penyihir hanya diizinkan untuk melakukan serangan – serangan skala kecil agar warga tidak terluka.

“Kami ingin bertemu langsung dengan Raja Endan!” seruan itu dilontarkan berulang kali oleh para warga sambil merusak pagar betis yang sudah dipasang oleh para pegawai kerajaan.

Beberapa Prajurit kewalahan disebabkan banyaknya warga yang ingin memaksakan diri untuk masuk ke istana. Beberapa dari mereka juga harus bertindak tegas kepada warga yang berani melukai Prajurit.

Ros, Frigg, dan Heil, tiga orang warga berprotes, berhasil menyusup ke istana. Mereka bertiga berlari di menelusuri koridor.

“Raja Endan bodoh!” Ros merutuk sambil berlari dengan kedua kawannya. “Apa yang ia lakukan sampai – sampai keluarga kami jadi taruhannya?”

“Mungkin saja dia tidur seharian sehingga tidak sempat memperhatikan warga,” kata Heil yang berlari sambil mengacak - acak rambutnya karena tembakan pasir yang dilakukan oleh seorang Penyihir.

“Aku tidak tahu,” ujar Frigg sambil memainkan pedangnya. “Kita harus sampai kepada Raja Endan untuk menuntutnya secara langsung. Jika tidak, dia akan merasakan pedang tajam yang baru saja kucuri ini.”

Ketika mereka  hampir sampai di ruang akhir koridor ke ruang utama, seorang Penyihir Wanita dan seorang Prajurit menghadang mereka.

Penyihir itu mengenakan jubah putih, sedangkan Sang Prajurit menggunakan tombak dan zirah merah khas Kastala.

“Rakyat bisa tidak boleh masuk tanpa izin resmi!” Prajurit itu memperingatkan.

“Kami ingin bicara langsung dengan Raja!” Ros membalas seruan itu dengan lantang.

“Baiklah, sampaikan kepada kami, kami berdua adalah petinggi.” ujar Penyihir itu. “Namaku Rena, petinggi Bagian Sihir dan Klerik.” Rena menunjuk Sang Prajurit. “Ini rekanku, Rowan, Bagian Pertahanan.”

Heil berseru, “Kami tidak perduli dengan siapa kalian!”

“Kalian sudah dengar, kan?” kata Frigg dengan nada mengejek. “Kami ingin bertemu langsung dengan Raja.”

“Kalian tidak punya hak untuk berbicara langsung dengan Raja!” Rowan berseru dengan suara menggelegar. “Kalian bisa langsung keluar atau kami akan mencelakakan kalian.”

“Raja Endan Bodoh!” rutuk Frigg sambil menyapukan pedangnya seolah mengancam.  “Apakah dia tidak tahu bahwa kami merasakan kesengsaraan karena dia tidak lekas bertindak? Kalau tidak, aku akan—”

“Tidak boleh ada seorangpun yang boleh menghina Raja!” seru Rowan sambil mengangkat tombaknya. “Berani – beraninya kalian!”

Sang Prajurit langsung berlari untuk menghujamkan tombaknya ke arah Frigg. Warga sipil itu bersiap dengan pedangnya. Namun, ia tampak linglung karena tidak pernah bermain pedang sebelumnya. Raut mukanya pucat.

Sebuah dinding air menjulang tinggi deras di antara Rowan dan Frigg, sehingga tombak Prajurit itu menembus dinding air tersebut.

Frigg, Ros, dan Heil terhempas jatuh ke belakang, lalu berusaha berdiri sambil tertatih. Wajah mereka  ketakutan.

Pegangan tombak Rowan masih tetap kokoh dan tidak terpengaruh oleh dinding air itu. Rowan menoleh ke arah Rena yang sedang mengangkat tangan kanannya kedepan. Cahaya biru berpendar di telapak tangan Penyihir itu.

Setelah mencegah serangan Rowan, Rena meredupkan cahaya di telapak tangannya. Dinding air deras itu segera sirna. “Sesuai dengan titah Raja, kita tidak boleh menyakiti rakyat biasa.”

Rowan menghela nafas dalam – dalam sambil menarik tombaknya. “Ini sangat konyol!”

Ross, Heil, dan Frigg mundur teratur ke belakang sambil ketakutan. Keberanian mereka bertiga menyusut.

“Baiklah!” ujar Rowan sembari menengadahkan tangannya.  “Setidaknya, kembalikan pedang itu!”

Karena melihat sihir air Rena yang telah lenyap, Frigg mencoba mengumpulkan keberaniannya. Ia berdiri dan melemparkan pedang yang dipegangnya ke arah Rowan dan tergeletak begitu saja. “Ini pedang bodohmu!”

Rowan kembali naik pitam dan menggeram. Renata menatap ketiga warga itu dengan kesal  sambil menggerakkan tangannya.

Perlahan, sebuah pusaran air muncul dan mengalir deras mengelilingi Frigg, Heil, dan Ross. Mereka bertiga mundur berdekatan dengan satu sama lain dengan ketakutan untuk menghindar supaya tidak terkena. Lalu, lingkaran air itu meninggi dan membentuk kubah yang menutupi mereka bertiga.  Walaupun bagian dalam aliran air di kubah itu masih berudara, namun mereka bertiga terjebak di sana.

“Seharusnya kau mengembalikannya dengan baik,” kata Rena dengan tenang, “bukan melemparkannya begitu saja.”

Rowan mengambil pedang itu dan memasukkannya ke sarung pedangnya. Kemarahannya mereda. Ia merasa puas dengan apa yang rekannya lakukan kepada mereka bertiga.

“Apakah barisan yang diutus untuk yang mencegah mereka belum cukup untuk menghadang mereka?” Prajurit itu berjalan menghampiri Rena yang masih melakukan sihir.

“Sudah aku umumkan bahwa gempa terjadi secara periodik. Selama dua kali sehari,” Rena menjelaskan, “Raja Endan sebelumnya menugaskanku untuk mengadakan rapat tertutup dengan para Penyihir Istana lainnya. Kejadian gempa periodik itu adalah salah satu maklumat yang kami simpulkan. Perihal ini juga sudah kusampaikan kepada Istandi.”

“Terlepas dari itu, banyak Prajurit yang sudah susah payah membantu dilukai oleh warga.” Rowan mendengus. “Hah! Kekacauan warga ini sangat tidak masuk akal!”

“Memang sangat disayangkan.“ Rena menghadap ke bawah dengan rasa kecewa. “Kukira keputusan Raja Endan sudah cukup baik. Pemantauan perkembangan adalah cara yang tepat walaupun desakan warga seperti ini memang tidak disangka – sangka.”

“Biarpun begitu,” ujar Rowan, “aku percaya penuh dengan segala keputusan Raja Endan.”

Rena mengangguk. “Aku juga sejalan denganmu, Rowan.”

Tiba – tiba, seorang Petugas Istana datang menghampiri Rowan dan Rena. Sepuluh orang Prajurit juga mengikutinya dari belakang.

“Apakah kalian tidak apa – apa?” tanya Petugas itu kepada Rowan.

Rowan berdehem sambil menunjuk pada kubah pusaran air. “Kau bisa lihat sendiri, Istandi!”

“Unjuk rasa di luar istana sudah berakhir,” Istandi terheran. “Apa yang terjadi?”

Rowan dan Rena memberitahukan tentang apa yang terjadi baru saja pada Istandi.

“Itu benar,” kata Rowan. “Laporkan pada bahwa ada tiga orang penyusup yang ingin menentang Raja.”

“Apa mereka memang ingin menentang Raja?” Istandi meragukan rekannya.

“Mereka hanya ingin aspirasi mereka di dengar,” kata Rena, “tetapi mereka melampaui batas.”

Sesaat kemudian, Penyihir itu meredupkan cahaya sihir di tangannya. Kubah air yang mengelilingi Frigg dan lainnya segera sirna. Rowan menyuruh Prajurit bawaan Istandi untuk menggiring ketiga warga sipil tersebut keluar istana.

“Aku tahu bahwa kita juga perlu melihat bencana ini dari sudut pandang warga,” Rowan memandangi Frigg dan kedua temannya yang sedang dituntun keluar. “Sebagai Petinggi Bagian Kemasyarakatan, itu selalu kau junjung tinggi, bukankah begitu?”

Istandi mengangguk. “Itu benar.”

Rowan membalikkan tombaknya. “Namun, para warga yang berdemonstrasi hanya ingin memperburuk kondisi kerajaan dengan pengabaian mereka, padahal kita sebagai pihak istana juga tidak ingin dengan sengaja mencelakakan mereka.”

Istandi memasukkan tangannya ke saku celana. “Kurasa memang Raja Endan sudah menilai dan membutuhkan waktu untuk membuat keputusan, Tuan Rowan,” ujarnya. “Jika ia langsung memutuskan untuk membangun kembali bangunan – bangunan yang rusak, hal itu akan jadi sia –sia.”

“Ada banyak hal yang tidak terduga dan tidak bisa ditebak,” Rena mengusap rambutnya. “Istandi, sebaiknya kau ceritakan kepada Raja Endan tentang apa yang terjadi barusan.”

Istandi menggaruk kepala. “Dimana Raja Endan sekarang?”

“Aku bertemu Raja Endan tadi pagi,” Rowan mengedarkan pandangan ke sekeliling. “Beliau bilang bahwa beliau ada di teras lantai atas.”

Istandi mengangguk. “Baiklah! aku akan segera melapor.” Ia langsung berjalan cepat meninggalkan Rowan dan Rena.

-

Raja Endan berdiri di teras lantai lima istana sambil memandangi keadaan pemukiman dan memilin janggutnya. Ia sedang tenggelam dalam lamunan tentang kejadian janggal yang terjadi di Kastala.

Pandangan Sang Raja memindai rumah – rumah yang tampak rusak dan tidak tertata, bahkan dari ketinggian. Ia sudah mengetahui bahwa warga sudah berunjuk rasa mengenai keputusannya untuk melihat keadaan. Sebagai bentuk perhatiannya kepada warga, ia sudah memberi titah kepada para bawahannya untuk memantau masyarakat, terutama warga pemukiman di sekitar istana.

Beberapa saat kemudian, Istandi menghampiri Sang Raja dan melapor. “Selamat siang, Baginda.”

“Silahkan, Istandi!”

“Baginda…” Istandi memulai. “Menurut laporan dari para Petugas Kemasyarakatan Istana, gempa ini sudah banyak menimbulkan korban dan tidak sedikit pula warga yang kesulitan karena tidak bisa menjalankan kegiatan mereka dengan tenang.”

“Rena sudah mengumumkan pada bencana ketiga bahwa gempa ini terjadi secara berkala,” kata Endan. “Selama dua hari, bukankah begitu?”

“Benar, Baginda,” Istandi melanjutkan. “Seperti yang sudah diketahui, gempa memang terjadi dua hari sekali. Namun, Petinggi Rena juga tidak bisa memastikan waktu terjadinya gempa. Bisa siang, bisa malam, atau pun pagi. Beberapa warga juga membelot sehingga menimbulkan korban jiwa ketika gempa terjadi.”

“Bagaimana kabar tempat – tempat pengungsian?”

“Tentang tempat pengungsian…” Istandi terlihat ragu. “Banyak warga yang tidak patuh aturan karena mereka tidak nyaman di situs – situs tersebut. Beberapa dari mereka berkata bahwa mereka tidak nyaman jika harus memenuhi satu ruangan yang dipenuhi warga yang diungsikan. Apalagi, setelah mereka tahu bahwa gempa terjadi setiap dua hari sekali, mereka mencari celah untuk melanggar aturan. Alasannya adalah bahwa mereka tidak suka bepergian kesana – kemari ke tempat pengungsian.

“Beberapa rumah mereka ada yang tidak roboh karena bencana ini, sehingga mereka lebih percaya diri untuk tinggal di rumah mereka sendiri daripada tinggal di situs – situs pengungsian di mana mereka akan merasa tidak nyaman. Selain itu, mereka juga enggan meninggalkan rumah mereka karena, seperti yang sudah saya sampaikan, tempat – tempat pengungsian yang kami buat juga jauh dari tempat kerja mereka.”

“Apakah mereka masih tidak mengerti bahwa seluruh kegiatan seharusnya diliburkan?”

“Pengumuman resmi tentang kebijakan itu sudah tersampaikan. Tuan Rowan juga sudah memberi perintah untuk menutup paksa segala jenis aktivitas kerja.

“Namun, beberapa oknum warga masih mengadakan kegiatan untuk memperlancar bisnis mereka. beberapa pegawai kantoran pun masih bekerja dengan iming – iming pemasukan tinggi karena mereka tidak betah dengan hanya menerima bahan makanan pokok dari istana dan tinggal di pengungsian.”

“Begitu, ya?” Endan menghela cemas. “Mengapa mereka tidak menghargai hidup mereka sendiri?”

“Baginda…” Istandi mengangguk seolah merasakan apa yang dipikirkan Endan. “Apa yang harus kita lakukan?”

Endan terdiam sejenak sambil kembali memandangi pemukiman sambil memikirkan jawaban atas pertanyaan Istandi. Permasalahan ini cukup pelik. Bencana seperti ini belum pernah terjadi di Kastala. Apalagi, tidak semua warga mau mengikuti aturan yang telah diterapkan.

Istandi melihat Raja Endan termangu. Mungkin ini saatnya ia menyampaikan tentang apa yang baru saja terjadi. Sang Petinggi menambahkan, “Ada lagi, Baginda…”

“Ya?”

“Baru saja, ada tiga orang warga yang sangat ingin menemui anda, sampai – sampai mereka menyusup ke bagian dalam istana,” ujar Istandi. Kemudian, ia memelankan suaranya, “namun sudah dibereskan oleh Petinggi Rowan dan Rena.”

“Sudah kuduga,” kata Endan. “Mereka akan melakukan itu. Masalah ini tidaklah pelik. Namun aku sendiri juga masih belum bisa meraba – raba tentang kejadian ganjil ini.”

Setelah menenangkan diri, akhirnya Endan berujar, “Istandi, aku ingin mengetahui lebih tentang ini. Kita akan mengadakan rapat tertutup satu jam lagi. Panggil Hikin Sang Pixi! suruh dia untuk  mengajak seluruh anggota Tujuh Petinggi, kau termasuk. Aku akan mengajak Ratu Sofia dalam rapat ini.”

“Baiklah, Baginda.” Istandi mengangguk. Kemudian, ia segera pamit dan pergi meninggalkan Sang Raja untuk memanggil Hikin.

Endan memandang pemukiman warga ke sekian kalinya. Ia berharap agar setelah ia mengetahui seluruh maklumat dan mengadakan diskusi dengan para petinggi istana tentang permasalahan ini, ia bisa langsung bertindak.

Sang Raja langsung berbalik untuk memanggil Ratu Sofia dan bersiap untuk mengadakan rapat tertutup.

Rapat Cepat

Setelah memasuki ruang rapat, Raja Endan dan Ratu Sofia duduk di kursi pimpinan dan mengamati para petinggi yang sedang menunggu dimulainya rapat dengan seksama.

Di seberang mereka berdua, terdapat satu meja memanjang dan tujuh kursi sejajar yang sudah ditempati oleh enam anggota dari Tujuh Petinggi.

Seorang lelaki kerdil sebesar capung mengenakan kaos merah lengan panjang dan celana panjang putih tampak melayang – layang di samping Ratu Sofia. Sayap capungnya mengepak cepat. Cahaya emas berpendar lemah dari tubuhnya. Ia adalah Hikin, seorang Pixi.

Istandi yang bertempat di ujung sudah duduk rapi dan siap sedia sejak Sang Raja dan Sang Ratu masuk ke Ruang Rapat. Ia mengamati mereka berdua sembari memperhatikan Hikin dan cahaya keemasannya.

Di sebelah Istandi, duduklah Hita. Ia menjabat sebagai Petinggi Bagian Kelautan. Ia mengenakan seragam abu – abu khas kantor. Wanita berambut pendek itu sedang mempersiapkan berkas – berkas yang digunakan untuk laporan sembari sesekali membenahi kacamatanya.

Rowan yang sedang duduk di sebelah Hita sedang bersedekap dan memandang langit – langit di ruang rapat tersebut. Ia tampak tidak sabar untuk memulai pertemuan kali ini. Di sebelah Prajurit itu, Rena sedang menulis sesuatu di sebuah kertas sambil sesekali membenahi rambut ponytail-nya.

Gurin bertugas sebagai Petinggi Bagian Keuangan. Seperti Hita, ia juga sedang memeriksa berkas – berkas yang akan dilaporkan di dalam rapat ini.

Di sebelah Gurin, duduklah Faraq. Pria itu menjabat sebagai penanggungjawab Hubungan Antarwilayah. Ia sedang mengedarkan pandangan ke sekitar ruang rapat sambil tenggelam di dalam lamunan.

Sofia memandangi seluruh petinggi yang sudah datang. Ketika pandangan Sang Ratu tertuju pada kursi kosong, alisnya mengerut. “Hikin, apakah kau sudah memberitahu Kamasa tentang rapat ini?”

“Sudah, Ratu...” ujar Hikin dengan suara mencicit. “Saya tidak menemui beliau di sekitar istana”

“Apakah kau sudah mencapainya melalui Bola Hubungan?” Sofia merapikan gaun merah yang dikenakannya.

Hikin menggeleng. “Bola Hubungan Tuan Kamasa juga tidak bisa dicapai.”

Setelah Endan mendengarkan percakapan antara Sofia dan Hikin, ia memutuskan untuk bertanya langsung kepada para Petinggi.

“Apakah di antara kalian ada yang mengetahui tentang keberadaan Kamasa?” Sang Raja meninggikan suaranya.

Beberapa Petinggi tertegun. Tidak ada jawaban. Sesaat kemudian, Faraq menjawab pelan, “Beliau menitipkan izin kepada saya bahwa beliau sedang melakukan kunjungan ke kerajaan Oslar selama tiga minggu, Baginda.”

“Sejak kapan?”

“Sejak gempa keempat, Baginda.”

Sofia berujar pelan, “Baginda, walaupun sebagai Penasehat Istana, Kamasa memang sudah jarang berada di istana akhir – akhir ini. Aku ingat bahwa kau bertitah kepada beliau agar berkarib dengan Faraq agar pengetahuannya tentang Namaril menjadi lebih luas.”

Endan mengangguk. Sofia benar. Ia bahkan jarang membutuhkan nasehat Kamasa tentang upaya pemerintahan istana. Kali ini berbeda. Ia membutuhkan Kamasa. Namun ia jarang berkomunikasi dengannya di awal terjadinya musibah ini, bahkan perihal yang dibicarakannya bukanlah mengenai bencana ini.

Endan masih merasa sedikit penasaran mengenai keperluan Kamasa ke Kerajaan Oslar. Mungkin beliau sedang melakukan negoisasi atau mencoba memecahkan masalah ini.

“Apakah ini termasuk pembagian tugas denganmu, Faraq?” tanya Sang Raja.

Faraq menggeleng. “Tidak, Baginda. Tuan Kamasa pergi ke Oslar atas inisiatifnya sendiri.”

Endan mengangguk. Mungkin masalah Kamasa akan ia bahas di dalam rapat ini. Keadaannya sedang genting. Ia sebaiknya langsung memulai rapat yang dicanangkannya. “Hikin, mari kita mulai rapatnya!”

“Baiklah.” Hikin menjentikkan jarinya. Sebuah kertas dan pena hitam seketika muncul dan mengudara di sampingnya. Sang Pixi bersiul, memerintahkan kedua alat itu siap menuliskan catatan.

Para Petinggi mulai memperhatikan dengan seksama.

-    -

"Kalian sudah mengerti tentang tujuan pertemuan ini," Endan memulai. "Kita sedang ada di dalam keadaan genting. Kita harus bertindak secepatnya. Namun sebelumnya, aku ingin mendengarkan tentang perkembangan kondisi kerajaan ini dari laporan - laporan kalian."

Sang Raja menghadap ke arah Hita. "Silahkan laporkan perkembangan pada sektor kelautan, Hita!"

Hita memegang berkas laporannya.  “Baginda, gempa periodik ini mungkin terjadi dalam waktu sekitar satu menit, namun banyak kapal - kapal karam karenanya. Dikarenakan gempa, tiga Atasan melaporkan bahwa beberapa awak kapal tewas tenggelam dikala mereka melakukan aktivitas di tengah laut."

"Ini sangat ganjil." kata Endan. Pandangannya mengarah ke Rena. "Apakah Penyihir Istana mempunyai keterangan tentang gempa di laut?"

"Baginda," kata Rena, "dalam diskusi dengan Para Penyihir Elemental, kami menarik kesimpulan bahwa getaran di laut masih dianggap tidak membahayakan. Saya dan Hita juga sudah sepakat bahwa kegiatan kelautan akan dilaksanakan seperti biasa."

"Apakah itu benar, Hita?" tanya Endan.

"Itu benar, Baginda," jawab Hita, wanita itu membuka berkas di atas meja sejenak. Beberapa saat kemudian, ia menambahkan, "Hal lain yang patut dikhawatirkan adalah, Ubida, petinggi dari Kerajaan Igardias juga tidak mengetahui tentang ini. Perwakilan mereka melaporkan bahwa beberapa awak kapal mereka juga tewas ketika melakukan perdagangan di sekitar laut Kastala.

Saya khawatir bahwa, jika hal ini terus berlarut dan gempa berkala ini tidak segera diatasi, maka seluruh kerajaan di Namaril akan enggan melakukan bisnis dengan kita."

Raja Endan terdiam sesaat. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh Petinggi. Setelah itu, ia berujar, "Terima kasih atas laporannya, Hita."

"Sama - sama, Baginda." kata Hita.

Endan menelungkupkan kedua telapak tangannya.  "Rowan, laporan selanjutnya!"

Rowan meletakkan kedua tangannya di atas meja. "Saya sudah tugaskan barisan prajurit untuk membantu warga. Mereka juga menjadi penyergah utama dalam unjuk rasa warga yang terjadi hari ini, dibantu oleh beberapa Penyihir yang dikirim oleh Petinggi Rena.

“Di samping itu, saya juga menugaskan para Prajurit untuk bertugas untuk mengayomi warga yang menjadi korban bencana ini. Bersama dengan Petinggi Istandi, saya juga sudah memaksa warga untuk meliburkan aktivitas mereka dan mengevakuasi diri di situs - situs tertentu yang sudah disediakan  guna menjaga keselamatan mereka.”

"Bagaimana dengan latihan pasukan, Rowan?" Endan membuka tangannya. "Setahuku, kau sangat gencar dalam hal penguatan pasukan."

"Penguatan pasukan juga masih saya nomor satukan, Baginda," Rowan melanjutkan. "Lagipula, saya juga mencurigai bahwa hal ini termasuk sebuah persekongkolan untuk menjatuhkan anda."

"Maksudmu, apa ada seseorang yang ingin merebut kekuasaanku?"

"Itu adalah asumsi terburukku, Baginda."

"Baiklah," Endan berpikir sejenak, lalu berujar, "Akan kutampung asumsimu, Rowan. Namun kita tidak akan berburuk sangka tentang ini. Terima kasih atas laporannya."

"Sama - sama, Baginda."

"Istandi?"

"Si-siap Baginda," kata Istandi sambil terbata - bata karena keterkejutannya. Ia segera mengumpulkan berkasnya, lalu melapor, "Saya sudah mengumpulkan maklumat tentang kondisi masyarakat yang tinggal di pemukiman istana, Baginda.

"Patroli yang saya lakukan dengan Tuan Rowan menghasilkan kumpulan laporan bahwa masih ada orang - orang yang melakukan pekerjaan di sela - sela terjadinya gempa. Seperti yang sudah diumumkan oleh Petinggi Rena, guncangan ini terjadi selama dua hari sekali. Kemungkinan besar mereka menyimpulkan bahwa mereka bisa bekerja dan beraktivitas seperti biasa di sela - sela kekosongan bencana."

Rena menambahkan, "Periode dua hari sekali yang kami umumkan belum tentu konsisten, Baginda."

"Itu benar," Istandi melanjutkan. "Apalagi, karena hal itu, beberapa oknum warga juga membelot dengan masih melakukan aktivitas pekerjaan yang sudah diumumkan untuk ditiadakan.

"Ditambah lagi, unjuk rasa yang dilakukan warga hari ini, menurut perkiraan saya, adalah karena warga tidak puas dengan kehidupan mereka dan ingin anda segera bertindak.

"Ketika saya dan Tuan Rowan sedang berpatroli kemarin, saya bahkan mencuri dengar bahwa keputusan raja tidak masuk akal. Mereka berkata bahwa seharusnya beberapa kegiatan boleh dikerjakan di luar ruangan, seperti kegiatan belajar mengajar.

"Itu kulakukan untuk memastikan keselamatan warga. Karena gempa yang tidak berkepastian ini, kita tidak bisa memastikan puing bangunan mana yang akan jatuh di atas kepala mereka," Endan menjelaskan.  "Di samping itu, situs evakuasi pun bukanlah tempat efektif untuk melakukan kegiatan belajar mengajar."

Istandi mengangguk. "Mungkin itu saja yang bisa saya sampaikan saat ini, Baginda."

"Baiklah, Istandi," kata Endan. "Aku ingin memastikan kondisi dan situasi dahulu sebelum membuat keputusan selanjutnya. Terima kasih atas laporannya."

"Sama - sama, Baginda."

"Gurin, laporkan segera tentang perbendaharaan istana!"

Gurin mulai melaporkan, "Bagian keuangan kerajaan masih termasuk stabil, Baginda. Walaupun sebelum musibah ganjil ini terjadi, kami bisa memastikan bahwa kita masih memiliki sumber daya yang berkelimpahan.

“Saya khawatir. Jika situasinya begini, walaupun sedangkal apapun, hasil sektor kelautan menjadi tumpuan utama Kerajaan Kastala akan berkurang, karena uang kerajaan juga ikut keluar untuk membiayai orang - orang yang terkena bencana.

"Selain itu, sudah dua minggu gempa ini. Sedangkan ketidakpastian gempa periodik yang terjadi ini akan membuat sektor keuangan menjadi tidak pasti dan cenderung menyusut.”

"Aku sudah mengerti, Gurin. Kebijakan untuk menjadi bagian keuangan akan mengalami pukulan signifikan karena ini. Namun, untuk saat ini, kita masih bisa menarik pajak dari orang - orang dari kalangan atas yang tinggal di sekitar pemukiman Kastala. Bukankah begitu?"

"Hal tersebut sudah diumumkan, Baginda, tetapi kita mengalami masalah dalam hal eksekusi karena orang - orang kaya yang ada di pemukiman sekitar istana merasa bahwa diri mereka dimanfaatkan."

"Itu benar, Baginda," kata Rowan. "Bersama Istandi, saya juga sudah berpatroli dan mengumumkan penarikan pajak tambahan kepada warga. Namun orang - orang berasal dari kalangan menengah ke atas memilih untuk tidak mengungsi, melainkan melarikan diri ke pulau lain, Baginda."

“Baiklah, Gurin," Endan menghela panjang. Terima kasih atas laporannya."

"Sama - sama, Baginda."

"Rena, apakah hal krusial tentang bencana ini yang ingin kau beritahu kepada kita?"

Rena meletakkan kedua tangannya di atas meja. "Baginda, saya sudah menyimak laporan - laporan sebelumnya.

“Perkumpulan Penyihir Istana menyimpulkan bahwa Magnitudo atau tingkat getaran yang terjadi ketika gempa terjadi memang tidak begitu besar sehingga beberapa bagian daerah yang terpengaruh magnitudo besar dan beberapa darinyaa tidak sebesar itu dan menyebabkan beberapa penduduk masih memaksakan diri untuk bekerja.

“Pemukiman - pemukiaman lain di Pulau Kastala juga merasakan gempa tersebut. Namun, tidak separah pemukiman di sekitar Istana Kastala. Hal ini dikarenakan pusat gempa berada di sini.

“Sebagai tambahannya, Rumah sakit, Situs Evakuasi, dan situs - situs penting lain masih kokoh karena dibangun menggunakan bahan khusus tahan gempa dan tahan guncangan. Sehingga, sampai saat ini, tempat - tempat tersebut masih tidak terpengaruh oleh gempa ini.

“Walaupun, jika gempa ini terus terjadi, yang saya takutkan adalah kehancuran tempat - tempat tersebut, Baginda. Bahkan Penyihir Elemen tanah dan Elemen Air pun tidak memiliki pengetahuan tentang ini.”

Raja Endan memegang dagu sambil memandang seluruh Petinggi. Ratu Sofia memperhatikan setiap laporan dengan seksama. Ia memperhatikan keresahan yang terlukis di raut muka Sang Raja.

Raja Endan mengarahkan pandangannya ke Faraq. "Laporan selanjutnya, Hubungan Antarwilayah"

Faraq memperbaiki posisi duduknya. "Kerajaan Igardias, Rimasti, Oslar, dan Enmar sudah saya kunjungi untuk menyampaikan tentang hal ini, Baginda. Dengan sihir percepatan milik Kamasa, saya bisa keliling dunia Amaril dalam tempo cepat.

“Kesimpulan yang bisa saya utarakan kepada anda melalui perjalanan saya selama gempa  janggal ini berlangsung adalah bahwa kerajaan lainnya tidak terbebani dengan memberikan bantuan berupa kebutuhan pokok lewat jalur laut, sebagaimana yang dilaporkan oleh Petinggi Hita, mengalami berbagai permasalahan.

"Selain Tuan Rowan yang memiliki asumsi bahwa ada yang ingin menjatuhkan anda, saya memiliki asumsi bahwa Penyihir di luar Kerajaan Kastala adalah pelaku dari bencana ketidakpastian ini."

"Sihir bukanlah asal utama bencana ini, Faraq," kata Rena. "Kami sudah sepakat dengan itu."

"Kau bisa bilang begitu, Rena," Faraq menyeringai. Ia melirik Penyihir itu. "Tidak dapat memungkiri bahwa ada beberapa sihir yang bahkan Penyihir pun tidak bisa terka, bahkan perkumpulan yang kalian adakan hasilnya nihil, kan?"

Rena hanya menatap Faraq kesal. "Iya, tapi—"

“Kau harus mendengar penjelasan Faraq dahulu, Rena,” potong Endan. "Apakah Kamasa mengetahui ini, Faraq?"

"Kamasa memang tidak sejalan dengan saya dalam ini," kata Faraq, "akan tetapi beliau menitipkan solusi untuk memulihkan gempa ini kepada saya."

Endan menatap Faraq dengan tatapan serius dengan rasa ingin tahu. "Baiklah, segera sampaikan!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!