Suara riuh tepuk tangan terdengar saat not terakhir permainan piano Megi selesai. Gadis kecil dengan balutan gaun berwarna putih itu bangun dari kursinya dan mengembangkan senyuman dari bibir mungilnya kepada pelanggan cafe.
Detik kemudian ia berlari kebelakang dan melihat jam yang melingkari salah satu pergelangan tangan.
"Sudah hampir jam sepuluh malam, aku harus cepat," ucapnya, ketika jarum arloji itu menunjukan waktu yang semakin larut.
Ia bergegas merapikan tas dan meminta izin untuk pulang. Pekerjaannya sebagai salah satu penyanyi di cafe, membuat nama Megi menjadi jelek. Gadis berusia 18 tahun ini harus rela setiap malam pulang larut, karena tuntutan pekerjaannya.
"Mas aku pulang ya, sudah mau jam sepuluh." Izinnya saat melewati kasir cafe.
"Udah dijemput, Meg?" tanya pria itu pada gadis belia di depannya.
Megi menggelengkan kepala, menghela napas sedikit berat.
"Yasudah tunggu di dalam saja, nanti gue panggil kalau jemputan lu nongol."
"Gak usah deh, Mas. Aku tunggu di depan saja."
"Nanti lu diculik om-om baru tahu," ucap Wahyu, si pria penjaga kasir itu.
"Ha ... ha. Ada-ada saja kamu Mas, aku balik dulu ya."
Megi melambaikan tangannya dan berlalu pergi meninggalkan cafe. Hanya berjarak lima meter dari teras cafe, Megi menunggu jemputannya datang.
"Ikut aku!" Seorang pria ganteng menyeret pergelangan tangan Megi kuat.
"Kemana, Kak?" tanya Megi bingung.
"Sudah ikut saja!" Pria itu semakin menguatkan cengkeraman dan memaksa Megi mengikuti langkahnya.
"Kak ... sakit," rintih Megi, saat merasakan cengkeraman pria itu semakin menguat.
"Diam ... bawel banget!" bentak lelaki berkulit putih itu, kasar.
"Kak ... Kakak mau jual aku lagi di tempat domino?"
"Diem ... ssttt ... ssstt!" Perintah pria tinggi itu ketika Megi melakukan perlawanan.
Sebuah pukulan menghantam wajah ganteng pria putih itu, membuat genggaman eratnya di pergelangan tangan Megi terlepas. Dengan cepat gadis kecil itu sudah berpindah tangan.
Segala makian meluncur dari mulut pria yang kini menggandeng pergelangan tangan gadis imut itu.
"Lu ngapain sih?" Dorong pria yang saat ini sedang memegang rahangnya, sakit.
Kembali pria tinggi berbadan kekar itu mengatupkan rahangnya, tangannya kembali mengepal kuat. Saat ingin melemparkan tumbukkan di wajah pria putih itu, tangannya ditarik dan dihadang oleh tubuh kecil Megi.
"Cukup kak Mika ... kak Mirza. Cukup!" teriak Megi, menghentikan perang di antara dua pria itu.
"Ayo ... ikut!" Mirza menarik kembali pergelangan tangan Megi.
Kembali pukulan keras menghantam pipi putih Mirza, kali ini lebih keras sampai membuat tubuh jangkung Mirza jatuh tergelempang di tanah.
"Cukup ... cukup Mirza, jangan pernah sentuh Megi lagi, atau lu gak akan gue biarkan hidup!" ancam Mika keras di depan wajahnya.
Mika menarik tangan Megi, menjauh dari pria berhati iblis itu. Tidak sanggup lagi ia pikir, Mirza, tega berulang kali menjual adik yang berdarah sama, dengan darah yang mengalir di dalam tubuhnya.
Mika mengambil sepedanya dan membonceng tubuh gadis itu di depan. Bisa saja Mirza menarik Megi, jika ia duduk di boncengan belakang. Bagaimana pun sepeda ini dikayuh, lajunya tidak akan bisa lebih cepat melawan motor.
"Megi, Kakak mohon larilah sekencang mungkin saat kamu melihat Mirza ada di sekitar kamu, Dek," ucap Mika yang masih mengatupkan rahangnya karena geram.
Sudah kesekian kalinya Mirza membawa Megi ke tempat judinya itu. Alih-alih untuk menjual Megi kepada si penagih hutangnya.
Setan apa yang sedang merasuki adik kandungnya itu, sampai dia sangat tega menjual adik bungsunya sendiri untuk kepuasan dirinya.
"Kak, Kak Mirza tadi bibirnya berdarah, dia baik-baik saja, kan?" tanya Megi, cemas.
"Cukup, Megi! Cukup ... jangan sebut dia Kakak kamu lagi. Kakak kamu hanya aku, hanya Mika saja. Anggap Mirza sudah meninggal, Megi."
"Kak, tapi kak Mirza kan--"
"Cukup ... jangan sebut nama Iblis itu di hadapanku!"
Megi menutup mulutnya sebelum laki-laki di belakangnya itu semakin marah. Ada cemas yang menyelimuti hati gadis kecil itu, saat ia melihat salah satu kakaknya terluka, bagaimana dia bisa melupakan hubungan itu? Darah jelas lebih kental dari pada air. Bagaimana juga, Mirza tetaplah kakaknya.
Mika menghentikan sepedanya di depan gedung Gipsi radio fm. Megi selalu siaran malam di sini, bekerja di dua tempat dalam satu malam. Kuat, gadis kecil itu begitu tegar menahan segala beban di pundaknya.
Tanpa perintah Megi langsung masuk ke dalam gedung tersebut. Menyapa beberapa orang penyiar yang baru saja selesai. Dengan cepat dia memasuki ruangan auditorium.
Megi langsung duduk dan menghentikan iklan yang dari tadi menggantikannya siaran di radio.
"Selamat malam. Bertemu lagi dengan Megs di sini."
"Megs akan menenami malam kalian selama dua jam kedepan di siaran 90.6 FM Gipsi radio. Dalam acara berbagi kisah malam kita."
"Baiklah, langsung saja hubungi nomor 0821********, kita akan berbagi kisah kamu dengan Megs, dan para pendengar setia, tentunya."
"Langsung saja kita terima penelpon pertama. Halo, dengan siapa Megs bicara?"
"Halo, panggil saja saya Penggemar Rahasia kamu, Megs," jawab seseorang di ujung telepon.
"Hehe. Sudah ada Penggemar Rahasia, Megs di sana. Mungkin kisah ini berat untuk kamu ceritakan, sampai merahasiakan identitasnya. Tapi gak masalah, setiap orang punya ranah pribadinya sendiri."
"Baiklah, tanpa membuang banyak waktu lagi. Penggemar Rahasia Megs, silahkan berbagi kisah malam kamu dengan Megs, dan pendengar setia kita."
Terdengar helaan napas panjang di ujung sana, sulit memang berbagi kisah kelam ini, bagi lelaki bersuara berat itu.
"Megs, apa yang akan kamu lakukan?
Saat menemui wanita yang akan kamu nikahi, berada satu ranjang dengan pria paruh baya di dalam kamar hotel."
Megi terdiam sejenak, dia seperti tertampar oleh pertanyaan itu. Ia ingat beberapa kali pernah berada dalam satu kamar hotel dengan lelaki paruh baya. Jijik, Megi sendiri jijik saat mengingat kejadian itu.
Syukurlah Mika selalu menyelamatkan ia dari situasi mengerikan itu. Megi selalu menangis dan mengulur waktu, meminta iba dan membuang harga dirinya demi menyelamatkan kehormatannya. Untung setiap kali Megi mengulur waktu, Mika akan datang dan membawa Megi pergi menjauh dari tempat terkutuk itu.
"Megs, apa kamu masih disana?" Suara berat lelaki itu menyadarkan lamunan Megi. Dia menghapus buliran air yang sempat jatuh dari matanya.
"Ya Megs masih di sini, maaf aku terdiam menunggu kelanjutan kisah Penggemar Rahasia. Berat pasti yang dirasakan Tuan Penggemar Rahasia saat itu. Tapi pasti ada alasan di balik perbuatan calon istri Tuan Penggemar Rahasia."
"Alasan apapun tidak bisa menjelaskan perbuatannya yang salah, Megs. Jika kamu berada di posisiku apa yang akan kamu lakukan, Megs? Apakah kamu akan menerimanya atau melupakannya?"
"Baiklah ... menurut saya jika Tuan tidak bisa melupakannya, maka Tuan harus bisa terima dia. Terima segala kesalahannya dan menutup mata atas kisah masa lalunya. Tapi melupakan kesalahannya juga tidak semudah menutup mata, pastinya."
"Tapi, jika Tuan ingin melupakannya dan tidak ingin meneruskan hubungan yang sudah ternoda itu. Kuncinya hanya satu Tuan, kamu harus bisa memaafkannya. Bukan untuk menerima kesalahannya, tapi untuk hati Tuan. Hati Tuan perlu obat untuk menyembuhkan luka, dan obatnya hanya bisa Tuan dapatkan dari mulai membuka maaf untuknya."
"Satu point lagi buat Tuan Penggemar Rahasia aku. Anda harus bisa memafkan diri anda sendiri, anda harus memaafkan diri anda, yang menyalahkan diri sendiri atas kesalahan yang dibuat oleh pasangan anda. Jangan salahkan diri anda atas kesalahan yang dibuat pasangan anda di belakang, Tuan."
"Inilah cara Tuhan menyadarkan anda, sakit memang. Tapi itulah yang terbaik untuk Tuan, anda melihat sisi buruk pasangan anda lebih dulu sebelum semuanya terlambat. Dan satu yang harus Tuan yakini, Tuhan sudah menyiapkan hati yang lebih baik, menggantikan hati yang hilang dari dalam hatimu, Tuan Penggemar Rahasia."
"Terima kasih, Megs. Terima kasih, untuk segalanya."
"Terima kasih kembali Tuan Penggemar Rahasia. Terima kasih untuk partisipasi anda. Dan ... sebuah lagu untuk menyemangati hati Tuan Penggemar Rahasia. Ini dia ... Tentang Rindu dari Virzha."
Megi membuka earphone-nya dan meletakan begitu saja. Teringat tentang perkataan penggemar rahasianya itu, ia ingat bagaimana Mirza, kakak yang seharusnya melindunginya namun malah berulang kali mencoba menjerumuskan dia.
Ada sakit hati yang tidak bisa di lupakan, tapi ikatan antara dia dan Mirza juga bukan sesuatu yang bisa dilepaskan begitu saja. Walaupun Mirza selalu menyakitinya, ia selalu berusaha untuk memafkan. Memaafkan segala tindakan Mirza yang menyerupai iblis tersebut.
Megi melihat jarum jam di tangannya saat keluar dari ruang auditorium, sudah lewat tengah malam. Ia melangkah dengan cepat dan melihat Mika yang masih sabar menunggu di depan gedung.
Mika memberikan jaket yang ia gunakan saat melihat Megi berjalan mendekat ke arahnya. Menutupi tubuh mungil gadis belia itu.
Santai, Mika mengayuh pedal sepedanya, sesekali bersiul dan bernyanyi, melupakan waktu yang saat ini sudah jauh lewat dari tengah malam. Ada candaan setiap kali Megi pulang bekerja bersama Mika, buat Megi, tiga laki-laki yang dikirim Tuhan dalam hidupnya itu adalah anugerah yang tidak bisa digantikan dengan apapun. Walaupun satu dari anugerah itu masih tersesat.
Setelah mengayuh sepedanya melewati dinginnya suasana malam yang semakin mencekam, mereka tiba didepan rumah sederhana yang masih berdindingkan kayu.
"Assalamualaikum, Papa." Suara semangat Megi, memecah keheningan malam dini hari.
Mika yang mengikuti langkahnya itu hanya bisa tersenyum dan menggeleng. Masih ada semangat yang tersisa setelah lelah berbicara di radio dan bernyannyi di cafe. Suaranya itu tidak ada habisnya, Megi selalu tampak ceria saat dirumah.
Untuk menghilangkan rasa cemas papanya yang saat ini terbaring lemas karena penyakit radang paru-paru yang diderita lelaki tua tersebut.
Megi seakan melupakan segala kejadian buruk yang dia alami, berusaha untuk melupakan setiap goresan kenangan pahit yang ditorehkan si Hati Iblis, Mirza.
"Gadis Kecil Papa baru pulang?"
"Ehemm." Megi mengangguk, sembari membuka jaketnya.
Dia berlari memeluk badan gempal laki-laki paruh baya itu yang kini mulai mengurus karena penyakit. Seperti anak kecil yang memeluk Papanya karena rindu. Ia bersikap seakan ia hanyalah bocah kecil tanpa beban.
Mika yang menyaksikan kejadian itu hampir tiap malam, hanya cuek. Dia hanya tersenyum dan kemudian berlalu untuk tidur. Bagaimana bisa seorang gadis belia begitu kuat menahan segala beban ini. Adiknya begitu manja di hadapan Papanya, tapi berubah bagaikan baja di luar sana.
"Eh ... jangan peluk-peluk Papa. Gak mau kamu bau keringat." Respon sang ayah, saat anak gadis kecilnya itu, memeluk badannya sambil tiduran disamping.
"Megi wangi Papa, gak percaya coba Papa cium saja," jawabnya yang masih menempelkan badan ke badan Pria itu.
"Megi tidur sana di kamar, jangan ganggu Papa!" Usir pria itu, pada gadis yang setiap malam selalu menganggu tidurnya.
"Gak mau, Megi mau di sini saja tidur sama Papa," ucap Megi bandel.
"Jangan, kamu bakalan ganggu mimpi indah Papa. Sana ... sana!"
"Ih ... gak mau, Papa." Ia semakin mengeratkan pelukan.
"Nanti kalau malaikat maut datang mau cabut nyawa Papa gimana? Kamu peluk-peluk Papa begini, nanti dia gak bisa ngambil nyawa Papa."
Sontak gadis muda itu memukul lembut bibir Papanya, seperti marah akan omongan pria tersebut.
"Jangan ngomong gitu, gak ada yang bisa bawa Papa, selama Megi peluk Papa begini."
"Iya ... lagian siapa yang berani bawa Papa pergi, kalau ada bidadari cantik di sebelah Papa."
"Iya ... dong," jawab Megi dengan senyum yang mengembang di bibirnya.
"Tapi, sayang, Bidadarinya masih kecil. Ha ... ha ... ha."
"Ih ... Papa. Aku sudah gede tahu," jawab Megi mengerucutkan bibirnya.
"Sudah gede kok masih nempel terus sama Papa begini. Sudah hussh ... sana! Papa mau tidur."
"Iya sudah, Megi tidur disini." Megi masih kekeh dengan pelukannya di samping pria tersebut.
Tidak ada tempat yang paling nyaman selain di dalam pelukan sang ayah.
Seperti apa, pintarnya Megi menyembunyikan lelah, sang ayah akan tetap bisa merasakana kelelahan putrinya itu.
Apalagi di umur Megi yang masih sangat muda, dia seharusnya bermain dan belajar, bukan malah bekerja sampai larut malam begini. Ada perasaan gagal di dalam hati pria itu, dia tidak mampu berbuat banyak untuk memenuhi kehidupan putri semata wayangnya tersebut.
Kehidupan pahit dan keras, harus menjadi jalan putri kecilnya. Sayang sekali, Megi pintar dan juga cantik, seharusnya hidupnya bisa lebih baik dari saat ini.
Akan tetapi, kegagalan itu bukan hanya sekali, ia juga gagal mendidik satu putranya.
Kakak yang seharusnya memberikan pelukan untuk adik kecilnya ini, malah memberikan ancaman bagi hidup dan masa depannya.
Nasib baik, putra pertamanya bisa menjadi seseorang yang menggantikan perannya. Peran dia yang melindungi keluarga ini, dan peran ia yang menafkahi keluarga mereka.
Ada bulir bening yang terlihat di sudut mata lelaki paruh baya itu. Ia menatap wajah polos putri kecilnya yang sedang tertidur di sebelahnya.
"Kasian kamu, Nak." Diraih ujung kepala gadis kecil yang telah masuk ke alam mimpi.
"Andai Papa tidak gagal, pasti kamu tidak mengalami ini semua. Maafkan kegagalan Papa yang membuat kamu memderita, Nak."
Di luar kamar, ada sepasang bola mata yang masih menatap kejadian itu. Mika masih terjaga karena suara gaduh yang timbul, sebelum keheningan malam membawa suara itu lenyap.
"Mika juga gagal, Pa. Gagal menjadi kakak yang baik buat Megi," ucapnya lirih, sengaja ia berbisik agar pria itu tidak mendengarkan.
Lentik jemari gadis belia itu menari indah di atas tuts piano, disertai senandung indah dari suara lembut, sedikit serak milik gadis kecil itu, membuat ia bak penyanyi papan atas.
Selalu banyak mata yang memandang Megi, tidak terkecuali mata-mata para pria hidung belang yang ingin memetik kelopak bunga gadis belia nan rupawan itu.
Memang, pekerjaan yang diambil Megi mengandung resiko yang sangat besar. Berulang kali terjebak dalam lembah hitam, tak membuat Megi keluar dari dunia malam.
Sebenarnya, ia hanya bernyanyi di cafe muda-mudi biasa, namun siapa yang bisa menjamin, tidak akan ada mata nakal yang mencoba meraihnya. Kesempatan itupula lah yang selalu diambil Mirza untuk mendapatkan uang secara mudah dan banyak.
Setiap ada mata nakal yang memandang adiknya itu, maka akan didekati dan melakukan penawaran. Alih-alih mendapatkan uang yang banyak, malah berulang kali Mirza harus terjebak. Lagi dan lagi Mirza harus mengigit jari, karena Mika yang selalu berhasil menghalangi niat busuknya.
Megi yang polos itu tidak pernah sadar, kalau sepasang bola mata selalu memperhatikan dia. Mirza akan mencoba menarik Megi setiap kali ada kesempatan, namun Megi itu, entah beruntung, apa memang ada pelindungnya. Dia terus gagal dan gagal lagi.
Tepuk tangan terdengar riuh saat gadis kecil itu menghentikan tuts terakhir permainan pianonya.
Dia melirik jam di tangan, masih pukul delapan lewat, namun pekerjaannya sudah selesai. Ia membereskan ransel mungil miliknya dan berniat segera pulang. Sekadar melihat keadaan papanya di rumah, sebelum jam siaran malam di radio, mulai.
Baru dua langkah Megi keluar dari cafe, tangannya kembali ditarik keras oleh pria tampan berhidung bangir itu.
"Ikut gue!" teriaknya keras.
"Kak Mirza ... Kakak," ucap Megi sambil melihat sisi bibir Mirza yang pecah karena bogeman tangan besar Mika.
"Kakak gak apa-apa?" tanya Megi cemas.
"Gak usah banyak tanya. Ikut gue!" Tariknya kasar pada pergelangan tangan Megi.
"Aku gak mau, Kak!" Berontak Megi melepaskan cengkeraman tangan Mirza.
Wajah yang menahan marah, Mirza mencengkeram kedua tangan Megi, kuat. Menarik paksa tubuh kecil gadis kecil yang hanya setinggi bahunya tersebut.
"Mas ... Mas Wahyu. Telepon kak Mika ... tolong, Mas!" teriak Megi kencang, berharap si kasir mendengar ucapannya.
Mirza yang sadar rencananya akan kembali gagal, membekap mulut Megi dan menarik tubuh mungil itu masuk kedalam sebuah taksi.
"Kak mau bawa aku kemana?" tanya Megi cemas.
"Diam ... gak usah ribut!" bentak Mirza pada gadis mungil itu.
"Kak ... aku ada siaran malam Kak, bawa aku ke studio Gipsi, Kak."
Mirza yang mendengar celoteh adiknya itu, mencengkeram kuat pipi putih gadis itu dengan satu tangan.
"Gue kasih elu kerjaan yang gampang dan banyak duitnya. Bukan kerjaan yang kere seperti elu jalani itu!"
Mendengar perkataan kakaknya, air mulai mengalir dari kedua mata gadis kecil itu. Bagaimana lagi dia bisa lari dari cengkeraman lelaki ini. Kenapa? Setiap hari selalu saja ia mengalami kejadian menjijikan seperti ini.
Ingin menelpon Mika, namun jika ia mengeluarkan ponselnya, pasti akan direbut paksa oleh Mirza. Itu akan lebih parah, karena Mika akan kehilangan jejaknya.
Mika sengaja mengaktifkan GPS ponsel adiknya itu. Agar sewaktu-waktu jika kejadian ini kembali terjadi, Mika akan mudah mencari di mana keberadaaan gadis kecil itu.
Mobil taksi itu berhenti di depan sebuah kelab malam ternama. Mirza menyeret Megi keluar dari dalam taksi dan mencengkeram kuat kedua tangan gadis kecil itu.
'Dimana kak Mika, apa mas Wahyu gak dengar ucapanku?' benak Megi terus memanggil nama malaikat penolongnya itu.
Megi menendang kuat bagian terlarang Mirza dan mencoba untuk kabur. Dikeluarkan ponsel dengan cepat dan mencari nama Mika. Mirza yang mengejar dengan menahan sakit sempat kehilangan jejak adiknya itu.
"Ah ... sial! Kemana larinya dia?" Dia mengumpat kesal.
***
Di dalam kelab malam itu, duduk seorang pria tampan berambut panjang, dengan mengikat sebagian rambutnya, ia mengeluarkan pesona miliknya.
Ia memesan sebotol sampanye dan duduk di sofa merah kelab malam itu. Mengeluarkan sebungkus rokok dan menghisapnya perlahan.
Tanpa menunggu lama, datang dua orang gadis berpakaian minim dengan bibir merah merona, berjalan melenggang ke hadapannya. Duduk di sebelah pria muda itu tanpa diminta.
"Mas ganteng, kok sendirian saja sih?" tanya seorang gadis tinggi di samping kanannya.
"Kita temenin ya." Kali ini gadis berbadan sintal di samping kirinya.
"Mau temenin?" Dia meraih dagu gadis di sebelah kirinya, dengan satu jarinya.
"Boleh saja," jawabnya sambil merenggangkan kedua tangan dan menaikan sebelah kakinya ke atas pangkuan.
Menggoyang-goyangkan kakinya seolah menikmati keadaan. Kedua gadis itu langsung menjatuhkan kepala ke atas dada bidang milik lelaki kekar tersebut. Jari lentik wanita itu mengelus lembut dada bidang milik lelaki berambut panjang di dalam dekapan.
'Shittt !' umpatnya dalam hati. 'Jadi begini cara mereka menggoda. Dasar murahan'. Ia memaki dua gadis itu dalam hatinya.
Bagaimana bisa mereka menggoda tanpa memikirkan seseorang yang mungkin mencintai mereka dengan sangat tulus.
Dia mengisap rokok di tangan, menjatuhkan putungnya, lalu menginjak dengan sedikit geram. Ia mengeluarkan satu batang lagi, dan membakarnya kembali.
Entah apa yang dia lakukan, dia pun bingung. Yang pasti dia jijik melihat tingkah dua gadis di sampingnya ini.
Pandangan mata lelaki itu beralih ke sofa yang berada di depannya. Beberapa orang lelaki berumuran sekitar empat puluh tahun, tanpa beban menggoda gadis-gadis murahan itu.
"Jijik sekali melihat tingkah mereka, apa dia tidak ingat istrinya di rumah?" teriak pria ganteng itu kesal.
"Mas ... kalau semua laki-laki ingat istrinya di rumah, maka bar ini akan sepi pelanggan, dong, Mas," jawab simpel seorang gadis di sisi kanannya.
"Kalian berdua gak malu kerja begini?" tanyanya kesal.
"Mas sendiri, gak malu datang ke sini?" timpal gadis di sisi kirinya.
Plak ... seperti tertampar oleh pertanyaan sendiri. Setiap orang yang berada di tempat hina ini, jelas statusnya sama saja. Murahan!
Wanita ataupun laki-laki yang berada di tempat ini semua sama hinanya. Sedangkan dia? Apa tujuannya datang kemari, jika bukan untuk menghibur diri.
Entah apa yang mendorong lelaki tampan itu kedaerah hina ini. Ia mencari sebuah jawaban atas pertanyaan hatinya selama ini, namun selama berbulan-bulan jawaban yang ia cari tidak kunjung datang.
Hanya sebuah kecanduan yang membuatnya ingin kembali ke tempat kotor ini. Suasana ramai yang ia kira mampu menghibur luka hati, namun hanya malah menambah beban luka saja.
Ia menatap tajam, saat datang seorang lelaki yang mungkin lebih muda darinya, dengan menyeret gadis muda. Dia memaksa gadis belia itu duduk dan menawarkannya pada lelaki tua yang ada di hadapannya.
Lelaki muda itu menolak badan gadis kecil itu, mendekat pada bibir lelaki tua yang sudah banyak mencium gadis-gadis bar di sini.
Sedang, pria tua itu mencoba mencium aroma tubuh si gadis kecil. Dengan wajah takut, si kecil menghindar dari penciuman lelaki tersebut.
Sean membuang kembali batang rokoknya, kali ini dia menginjak dengan sangat kuat.
"Jijik gue lihatnya!"
Seperti ada kemarahan yang dipendam, melihat tingkah si tua bangka itu.
"Kenapa sih, Mas? Dari tadi jijik mulu ngomongnya?" protes gadis sintal yang membelai lembut dagunya.
Seperti tidak mengindahkan perkataan si gadis sintal itu, dia masih menatap ke arah pria tua dihadapan yang sedang menggoda gadis kecil.
Dilihatnya Mirza yang sedang menghitung uang dengan mata berbinar-binar, senyum merekah lebar di bibir lelaki muda itu.
Dipaksanya si gadis kecil untuk mengikuti langkah pria tersebut. Terdengar rengekan si gadis kecil kepada si pria muda. Namun tanpa menoleh, pria itu seperti tak peduli.
"Dasar sok suci!" makinya lagi.
Kini dia bangkit dari tempat duduk dan melemparkan uang di atas meja. Menutupi kepala dengan topi jaket yang digunakan.
Cepat, tangannya menarik lengan tangan gadis itu, terlihat kekesalan tergambar di wajah pria paruh baya tersebut.
"Eh ... Bos. Dia wanitaku," kata si lelaki tua itu.
"Aku beli dia," jawab Sean angkuh.
"Mau ... tunggu giliran, dong. Aku yang bayar duluan," balas pria paruh baya itu, genit. Tangannya ingin mencolek dagu Megi, namun ditahan oleh Sean.
"Eh ... apa ini?" tanya Mirza, menengahi.
"Aku beli dia," ucapnya kembali.
"Wah ... Bang, kalau mau, tunggu antrean, ya. Bapak ini duluan. Nanti selesai sama Bapak ini, sama Abang deh," ucap Mirza enteng.
Mendengar ucapan Mirza yang bak iblis menyerupai manusia itu, mata gadis kecil tersebut mulai berhiaskan kaca. Tanganya sakit sekali, dicengkeram kiri dan kanan.
'Kak Mika, tolong aku!' Dalam hati ia terus memanggili kakaknya. Seharusnya Mirza juga memperlakukan dia sama seperti Mika. Namun, Mirza malah mencoba merusak hidupnya.
"Aku mau dia, saat ini juga!" ucap Sean, matanya terus memandang lekat gadis kecil yang mulai menangis terseduh itu.
"Gak bisa, Bang ... Bapak ini sudah bayar lima juta. Jadi Abang nunggu antre saja, ya," jawab Mirza antusias, sekalian memancing. Mana tahu paras indah Megi mampu membawa uang yang lebih banyak untuknya.
"Gue bayar dua puluh lima juta."
'Nah ... kena kan umpanku.' Dalam hati Mirza bersorak senang. Umpannya telah di makan sempurna.
Sementara Megi yang dilanda kecemasan, memandangi wajah lelaki yang menawarnya dengan harga tinggi itu. Semakin deras air mata yang melintasi pipinya. Namun, lelaki itu tidak menunjukan ekspresi sama sekali.
"Uangnya dulu Bang, baru aku kasih wanitanya," ucap Mirza tanpa ampun.
"Wah ... gak bisa gitu, dong. Saya yang duluan," protes keras si Bapak tua yang tak terima kekalahannya. Ia sudah tidak sabar bagaimana rasanya mencicipi gadis belia ini.
"Pak, siapa mahal dia dapat. Kalok Bapak mau tiga puluh juta, saya kasih dia ke Bapak." Tawar Mirza seperti berdagang sayur saja.
"Tapi--"
"Dah ... ini uang Bapak, nanti lain kali saya kasih Bapak, deh." Dengan cepat Mirza mengusir Bapak tua itu tanpa harga.
Sean menarik tangan gadis kecil itu, saat Mirza menerima bayaran di rekeningnya. Puas, sekali kerja dia mampu membawa uang dengan jumlah yang sangat banyak. Tidak dia pikirkan bagaimana nasib sang adik di tangan orang asing.
Bahkan Mirza tidak melihat bagaimana rupa sang pembeli badan adiknya itu. Wajah Sean yang tertutup topi jaket ditambah lampu remang-remang dari kelab malam, membuat Mirza tidak dapat melihat dengan jelas.
Toh itu bukan masalah buatnya, mau lajang atau kakek tua sekalipun, yang penting uangnya banyak.
Baginya mendapatkan uang banyak dan bisa berfoya-foya adalah suatu kesenangan tersendiri. Walau dia harus mengorbankan hidup indah sang adik.
Megi dilempar keras, memasuki mobil hitam legam berbodi besar milik Sean. Ia melajukan mobilnya dengan cepat meninggalkan parkiran kelab malam itu.
Sementara Megi yang duduk di sampingnya terus menangis tanpa henti. Mencoba untuk mengirimi pesan kepada kakaknya.
Ada rasa marah yang membuncah dalam dirinya, ketika melihat wajah gadis kecil itu terus dihiasi bulir bening air. Ia menatap sinis dengan sudut mata.
"Gak usah banyak nangis, elu suka kan kerja begini. Sok drama!" ucap Sean dengan nada kejam.
Megi yang mendengar ucapan lelaki muda itu, sontak memalingkan wajah. Dilihatnya pemuda tampan dengan rambut gondrong yang diikat sebagian. Hidung yang mancung bak perosotan dan bibir tipis tetapi kejam.
Wajahnya terlihat lembut tapi kenapa ucapannya kasar sekali?
"Kenapa? Gak suka gue ngomong gitu?" sambung Sean dengan mata yang masih menatap lurus kedepan.
Dengan lihai dia membawa mobil hitam berbadan besar tersebut, melewati keramaian kota malam. Memasuki area hotel bintang lima dan memarkirkannya tepat di depan teras hotel.
"Turun!" perintahnya kasar.
Sean mengenakan kembali topi jaketnya, kali ini ditambah kacamata hitam. Cepat, kakinya menaiki lift menuju lantai delapan dan mencengkeram kuat lengan tangan Megi.
Menyeret badan mungil gadis itu melewati koridor kamar dan membuka pintu sebuah kamar di sisi paling ujung. Ia melemparkan badan Megi ke atas kasur. Menutup pintu hotel dan membuka jaket beserta kacamatanya. Hanya meninggalkan kaus ketat yang membentuk tubuh six pack miliknya.
"Tanggalkan seluruh pakaianmu!" perintahnya langsung.
Megi yang mendengarkan perintahnya langsung melompat keluar kasur dan berlutut di hadapannya.
"Aku mohon Kak, jangan lakukan itu. Aku gadis baik-baik," pinta Megi, mengemis.
"Hah ... baik-baik? Cuiih." Sean membuang saliva ke samping.
Dia mencengkeram pipi Megi dan menekannya.
"Gadis baik-baik, tidak ada di kelab malam. Jangan banyak drama, cepat lepaskan!" perintah Sean sedikit keras.
Megi memeluk betis Sean sembari memohon. Begini memang setiap kali dia ingin menyelamatkan kehormatannya, dia rela membuang harga diri.
"Kak aku mohon. Aku akan gantikan uang Kakak. Tapi aku mohon jangan lakukan ini padaku."
Mendengar kata-kata Megi malah membuat amarah Sean semakin meledak. Dia menarik lengan tangan gadis kecil tersebut. Megi memejamkan mata, menahan sakit cengkeraman tangan kekar pria itu.
"Apa elu lebih suka jika pria tua itu yang menyentuh elu? Dasar Murahan!" Sean membanting tubuh Megi ke atas kasur.
Megi yang kehilangan kekuatan hanya bisa menangis dan meutupi wajah dengan kedua tangan. Semoga kali ini pun Mika bisa menolong dirinya.
Perlahan Sean mendekati gadis kecil itu, terlihat amarah tergambar di wajah tampannya.
"Kak aku mohon ... jangan, Kak," pintanya tergugu.
Melihat air mata gadis kecil itu, perlahan amarah Sean mereda. Dia menjauhkan tangannya dan bangkit dari kasur.
"Mau tanggalkan sendiri? Atau gue yang melepaskannya?" tanya Sean kembali.
Megi menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, dia tidak mengindahkan perintah terakhir Sean. Hanya tangisan yang pecah semakin dalam di balik kedua tangannya.
Melihat tangisan si gadis kecil itu, amarah Sean yang tadi meledak kini mulai mereda. Tidak tega, melihat gadis kecil itu menangis sesegukan.
Kasar, memang sikap Sean kasar. Namun, masih ada nurani di dalam hatinya. Tidak mungkin ia tega melihat gadis kecil menangis sesegukan seperti itu. Ia juga punya adik perempuan di rumah.
"Aku mohon, Kak. Lepasi aku," pintanya, tergugu sampai membuat badan kecilnya bergetar.
"Apa lu masih perawan?" tanya Sean penasaran.
Megi menganggukkan kepala.
"Berapa umur lu?" tanya Sean kembali, penasaran.
"18 tahun, Kak," jawab Megi sembari menangis.
Perlahan tungkai kaki Sean melemas, tidak sanggup melawan perasaannya. Sungguh keji, ia menyiksa gadis kecil yang sama sekali tidak ada salah dengannya.
Dia terduduk lemas di lantai kamar hotel.
'Bodoh ... bahkan umurnya lebih muda dari Rena,' makinya dalam hati.
Sean menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mengacaknya rambut gondrong miliknya, setelah melepaskan ikatan di rambut.
Sejenak, ia terdiam, melamunkan sebagian penggalan kisah pahit hidupnya. Ia marah pada wanita lain, namun kenapa gadis kecil yang tidak berdosa ini yang jadi pelampiasan.
Setelah berdiam selama beberapa menit, ia kembali menguatkan kaki dan berdiri perlahan.
"Pergi dari sini!" perintah Sean, parau.
Megi yang mendengar ucapan lelaki itu, menghentikan tangisan, menyisakan sesegukan. Ia membuka kedua telapak tangan, terdiam mendengar ucapan lelaki berhidung mancung itu.
"Keluar dari sini sebelum gue berubah pikiran!" ucap Sean mengeras.
Cepat gadis kecil itu beranjak dari atas kasur dan menyeka kedua mata. Meraih tas ransel mungil di tengah kasur dan memakainya.
Sementara, Sean hanya berdiri terpaku di depan ranjang.
Megi membuka pintu dengan cepat, ia melompat kaget saat melihat seorang pria tegap berdiri di depan pintu.
"Kak Mika." Megi memeluk badan tegap lelaki itu. Ada perasaan tenang saat melihat Mika berada di hadapannya.
"Kamu gak apa-apa, Meg?" tanya Mika cemas.
Megi hanya menggeleng, Mika meraih wajah adik kecilnya itu, jarinya menghapus sisa air mata di ujung dagu wajah cantik gadis belia tersebut.
Perlahan rahang Mika mengatup keras saat melihat punggung seorang lelaki berbadan kekar yang berdiri terpaku di depan kasur. Wajah Mika mulai memerah, memadam karena menahan amarah. Mika mengepalkan kedua tangannya, memaksa masuk ke dalam kamar.
Mika berjalan cepat dan menarik bahu lelaki itu, melayangkan tangannya untuk menghantam wajah lelaki tinggi itu. Namun, Megi menahannya. Matanya membelalak lebar saat melihat wajah lelaki tampan tersebut.
Genggaman tangannya melemas, perlahan cengkeraman tangan Mika di bahu lelaki itu mulai merenggang.
"Sean," ucap Mika lirih.
"Mika," balas Sean kaget.
Cengkeraman kasar Mika berubah jadi pelukan antara kedua lelaki tegap itu. Megi yang masih sesegukan akibat tangisan tadi, masih menatap bingung kearah keduanya.
Mika kembali menguraikan pelukannya dan menarik kerah baju Sean.
"Elu, yang udah ngerusak adik gue?" tanyanya kasar sembari mengepalkan jemari tangan.
"Adik, lu?" tanya Sean, bingung.
"Kak, lepasin. Kakak ini gak ngapain-ngapain aku, kok," ucap Megi menenangkan Mika.
"Jadi ini adik lu?" tanya Sean, menunjuk tepat di depan wajah Megi.
"Tapi, tadi gue beli dia di kelab malam," kata Sean berusaha menjelaskan.
Mika melepaskan cengkeraman tangannya, ia kembali mengepalkan jemarinya, kali ini dia menumbukkannya ke meja di dekat pintu.
"Mirza ... mati kau!" Wajah Mika memerah padam. Bak api yang sedang berkorbar lalu disiramkan bensin lagi.
Dia berjalan keluar pintu dengan menggeretakan rahang. Amarahnya sudah tidak terbendung lagi. Manusia berhati iblis itu harus mati di tangannya.
"Kak Mika." Megi berlari mengejar Mika yang kembali tersulut amarah.
Sean yang merasa keadaan ini kacau karena dia, ikut mengejar Mika yang tengah berkobar karena amarah.
Megi memeluk badan tegap Mika dari belakang, menghentikan langkah Mika yang mungkin akan membawa kehancuran buat keluarga kecil mereka.
"Mika, tenangkan dirimu," ucap Sean berusaha menenangkan amarah sahabatnya itu.
"Kak Mika ... Kak Mika ... lihat aku!" Megi berusaha membuat Mika tenang dengan menatap mata beningnya.
"Kak, jangan kuasai dirimu dengan amarah, kalau kak Mirza mati, papa bagaimana?" tanya Megi lembut, perlahan amarah lelaki dewasa itu mereda.
"Apalagi kalau papa tahu, kak Mirza mati di tangan kakaknya sendiri," sambung Megi, mencoba membuat Mika kembali ke akal sehatnya.
Perlahan katupan rahangnya mengendur, kepalan tangannya terlepas. Ia meraih kedua pipi adik kecilnya itu. Mencium lembut dahi gadis belia itu dan memeluk erat badan mungilnya.
"Kakak gak sanggup, Megi. Kakak gak sanggup melihat kamu yang terus-terusan seperti ini." Mika mengeratkan pelukannya, terasa embusan napasnya yang mulai berat.
"Kakak gak bisa menjagamu terus, Mirza akan terus mengganggu hidup kamu. Dia akan selalu mengancam kehidupan kamu."
Ada rasa yang menggelitik hati Sean saat melihat pemandangan itu. Sean juga punya adik perempuan di rumahnya. Namun, dia sadar, dia tidak pernah menjadi Mika untuk adiknya. Ia tidak pernah berusaha untuk melindungi Rena. Rena selalu ia biarkan berkeliaran, entah kemana.
Tidak tahu Rena itu bagaimana pergaulannya? Bagaimana kehormatannya? Akankah ia berusaha menjaganya, seperti Megi yang merelakan harga dirinya untuk memohon agar kehormatannya tetap terjaga.
Atau Rena telah memberikan kehormatannya dengan suka rela ke sembarang pria.
"Mika, kita minum di cafe bawah ya, sekalian tenangkan dirimu." Ajak Sean, melembut.
Mika menganggukkan kepala, mengikuti langkah pria berbadan tegap itu menuruni lift. Sesekali, sesegukan bekas tangisan gadis kecil itu terdengar.
Ada rasa bersalah di dalam hati Sean.
Bagaimana jika sampai ia merusak kehormatan Megi tadi?
Bagaimana jika ia tidak mengikuti hati nuraninya?
Mungkin gadis kecil itu sudah menjadi orang yang kacau sekarang dan ialah orang yang menghancurkan hidup gadis belia itu.
Sean memesankan beberapa minuman begitu mereka sampai di cafe tersebut. Lelaki itu mengeluarkan sebungkus rokok dan meletakan di atas meja bundar di depan mereka.
Mika mengerutkan dahinya, seperti tak percaya. Sejak kapan sahabatnya itu menjadi perokok aktif. Namun, ia enggan untuk bertanya, toh setiap orang punya perubahannya sendiri.
Sean membakar sebatang rokok, mengisapnya, lalu mengembuskan asapnya ke atas. Seperti ada beban berat yang sedang mendera sahabat lamanya itu. Tetapi, melihat ekspresi Sean yang datar, Mika kembali enggan membuka suaranya.
"Hey ... gadis kecil. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Sean, sesaat setelah mengisap beberapa kali rokok di tangannya.
"Aku ... aku ... kak Mika." Megi melemparkan pandangannya pada lelaki yang sedang duduk di sampingnya.
Mika mengusap wajahnya kasar, menghela napas panjang.
"Mirza ... dia berungkali berusaha menjual Megi," jelas Mika.
"Apa? Mirza? Adik elu kan?" tanya Sean terkejut.
Terkejut karena di tempat itu bukan hanya berdiri gadis-gadis pekerja s*ks. Namun, juga gadis yang terjerumus karena dorongan lelaki tak bermoral seperti Mirza.
Sesaat, pikirannya melayang ke kejadian beberapa jam silang. Andai ia tidak membeli gadis belia ini, maka apa yang akan terjadi pada si gadis kecil itu?
Membayangkan seorang tua bangka yang akan mengecap manisnya kelopak bunga gadis kecil ini. Hanya menghargai lima juta saja.
"Shittt." Sean menggebrak meja yang ada di hadapannya.
Sontak dua orang di depannya terkaget. Apalagi Megi, yang sampai saat ini masih ada rasa takut terhadap lelaki tampan berambut panjang itu.
"Mirza itu gak waras ... gila aja dia mau jual adik lu ke lelaki tua bangka itu," ucap Sean dipenuhi amarah.
Mika yang mendengar perkataan Sean, langsung melemparkan pandangan ke Megi. Sementara, Megi hanya menundukkan kepala, malu. Orang lain aja bisa semarah itu pada kakaknya, kenapa ia masih dengan mudah memafkan segala tingkah bejat kakaknya itu.
"Kak aku ada siaran, kita pulang yuk!" Ajak Megi. Mengalihkan pembicaraan, agar kakaknya tidak mendengar ucapan Sean lagi.
"Pulang aja ya, Meg. Keadaanmu kacau begini," bujuk Mika yang kembali mengkobarkan amarahnya.
"Jangan kak. Nanti aku dipecat kalau libur terus," pinta Megi manja.
Pasti, Mika akan luluh saat adiknya itu memasang wajah melas seperti ini. Dengan helaaan nalas panjang Mika mengiyakan permintaan adiknya.
Sean yang melihat kejadian itu berniat untuk mengantarkan. Namun, Mika menolak. Dengan sedikit paksaan, akhirnya mereka mau menerima tawaran Sean.
Sesekali Sean melirik wajah manis gadis belia itu dari kaca spion. Ada rasa yang tidak dapat dijelaskan saat ia menatap wajah Megi.
Sesaat, wajah itu membuat amarah Sean meledak keluar, lalu dengan cepat dia menukarnya dengan rasa iba.
Sean menghentikan laju mobilnya di depan gedung radio Gipsi. Cepat langkah gadis belia itu memasuki gedung putih tersebut. Setelah mengucapkan terima kasih, lelaki berambut panjang itu masih enggan untuk pergi.
Dia keluar dari mobilnya dengan membawa dua botol soft drink dan sebungkus rokok.
Mencari tampat untuk sekadar bisa mengobrol dengan sahabat lamanya itu.
"Apa yang terjadi, Mik? Kenapa setelah bertahun-tahun kita gak bertemu, keadaan lu udah kacau begini?" tanya Sean santai sembari membakar sebatang rokok.
"Harus bagaimana gue mengatakannya? Seperti yang lu lihat. Kacau." Mika menarik napas panjang, membuka kaleng soft drink miliknya.
"Itu, gue gak pernah tau lu ada adik perempuan," ucap Sean sambil menunjuk ke arah gedung putih.
"Dia sekolah di Beijing dulu, sebelum keluarga kami bangkrut."
Sean melepaskan kerutan dahinya. Pantas saja ia tidak tahu, jadi dulu gadis kecil itu sekolah di luar.
"Dia saudara kandung lu?"
Mika tersenyum dan menggelengkan kepala, mendengar ucapan Sean. Rampung sekali pertanyaannya.
"Maksud gue, kalok dia adik kandung lu, kenapa Mirza tega ngejual dia di kelab malam?" tanya Sean sambil mengeluarkan asap dari mulutnya.
Perlahan rona wajah Mika berubah, kembali terlihat ada kemarahan yang mulai berkobar di dalam matanya.
"Gue gak tau, Mirza berubah semenjak kehidupan kami mulai susah. Mirza memang benci sama Megi dari kecil. Tapi, gue gak tau kalau ternyata kebencian dia semakin bertambah, seiring berjalannya waktu."
Sean teringat akan adik perempuannya di rumah. Ia memang tidak seburuk Mirza yang tega menjual darahnya sendiri. Tapi ia juga tidak lebih baik dari Mirza yang membenci adiknya sendiri.
"Megi itu perempuan pertama setelah mama, yang gue cintai. Dia malaikat kecil buat gue dan papa. Namun, Mirza menganggap Megi adalah pembawa sial. Yang membuat Mama kami pergi setelah melahirkan dia."
Ya, setiap orang mempunyai alasannya sendiri untuk membenci seseorang. Tetapi tidak ada alasan mengapa seorang kakak membenci darah dagingnya sendiri. Yang ada hanyalah pembenaran atas kesalahan sikapnya.
"Lu sendiri, sejak kapan jadi perokok aktif?" tanya Mika mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Baru. Baru satu tahun," jawabnya santai.
Sean menghidupkan radio mobilnya, mencoba membuat pembahasan lain, selain tentang hidupnya. Mencari siaran yang sedang aktif dan ia mulai mendengar suara yang familier di telinganya.
"Ya ... ketemu lagi dengan Megs di sini. Kita kembali lagi setelah jeda, langsung saja kita tunggu penelpon selanjutnya untuk menceritakan kisah malam mereka."
Sean tersenyum getir, ia memandang Mika yang sedang duduk di belakangnya.
"Ini, suara adik lu?" tanya Sean dengan wajah getir.
Mika hanya mengangguk, sementara Sean kembali mematikan radionya dan menepuk dahi. Tersenyum geli dan menggelengkan kepala.
Jadi yang selama ini selalu didengarkan perkataannya adalah gadis belia yang polos itu. Sean tertawa geli mengingat ia yang selalu berusaha meluangkan waktu untuk mendengar perkataan bijak si artis radio, Megs.
"Aku pikir Megs itu gadis dewasa dengan sejuta wawasannya. Ternyata dia masih gadis belia." Sean terkekeh, geli.
"Megi itu memang pintar. Dia mampu menyelesaikan high schoolnya saat berumur enam belas tahun dan masuk ke universitas Tsing Hua di Beijing. Tapi, karena kebangkrutan papa, Megi harus pulang ke sini dan bekerja seperti ini."
Sesaat, tawa geli Sean menghilang begitu saja. Ia dan Mika yang sudah kenal sejak SMP dan berlanjut ke SMA, namun, harus berpisah saat masuk Universitas. Membuat mereka berdua saling memahami karakter satu sama lain.
"Jadi kenapa Megi bisa sekolah di sana?" tanya Sean bingung, dia tahu sekali Mika, tetapi, kenapa dia bisa tidak tahu kalau Mika punya adik perempuan.
"Dari kecil Megi di bawa tante gue pindah ke sana. Megi tumbuh besar di sana, saat Megi berumur lima belas tahun tante gue meninggal karena penyakit cancer," ucap Mika sembari menatap kosong ke depan.
Terkadang, saat kita merasa benar-benar sudah memahami hidup orang lain, sebenarnya kita belum memahami apapun dari mereka.
Sean merasa begitu sangat dekat dengan Mika, namun ada saja rahasia Mika yang tidak pernah dia ketahui.
Sean menatap wajah Mika lekat. Tidak banyak yang berubah dari wajah sahabatnya itu, hanya ada beberapa kerutan di dahinya dan raut wajah yang tampak begitu lelah.
"Lu kerja di mana, Mika?"
"Toko material bagunan," jawabnya tanpa beban.
Sean hanya tersenyum kecut dan menggelengkan kepalanya. Tidak masuk dalam akal pikirannya. Bagaimana mungkin, Mika bisa bekerja hanya sebagai kuli di toko bangunan.
"Konyol, gak mungkin itu."
"Inilah hidup, Sean. Kadang hal konyol yang lu anggap gak mungkin, malah menjadi sesuatu yang paling berat untuk lu jalani dalam hidup."
Sean hanya tertegun melihat sikap dewasa sahabatnya itu. Mereka adalah dua lelaki yang berasal dari keluarga kaya, dulu. Mika bahkan bersinar lebih terang dari dirinya, dulu. Bagaimana mungkin dengan sekejap mata Mika kehilangan segalanya? Dia, bahkan masih mampu tegar menghadapi segalanya dengan kuat.
"Lu apa kabar? Kok, udah gondrong aja sekarang?" tanya Mika sembari menjambak rambut lurus Sean.
"Coba gaya baru," jawab Sean, memainkan kedua alis matanya.
"Bagaimana kabar Hana?"
Sesaat rona wajah Sean yang tersenyum, langsung memudar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!