NovelToon NovelToon

NADIRA

KECELAKAAN

“Arga! Jangan mengemudi terlalu cepat! Aku takut,” erang Niken yang sesekali memejamkan kedua matanya, takut menatap ke depan.

Malam itu hujan turun cukup deras, sesekali diselingi suara gemuntur yang mengerikan dan kilat yang seolah hendak menyambar.

Arga tak menggubris, kedua mata coklatnya menatap lurus ke depan, sorotnya penuh amarah. Ketakutan Niken akan gaya mengemudinya yang di bawah kendali amarah, bukannya membuatnya untuk meredakan sedikit saja ketakutan gadis itu justru membuatnya makin menambah kecepatan dengan gila.

Niken tahu, kekasihnya itu sedang cemburu berat padanya. Niken sudah cukup tahu bagaimana sifat Arga ketika ia sedang cemburu.

“Kau belum menjawab pertanyaanku Niken, kenapa dia menemuimu? apa kau yang memanggilnya datang?” Arga mengulang pertanyaannya dengan tegas.

Niken tak menjawab, ia menelan ludah sambil menghela nafas menenangkan diri.

Arga menoleh beberapa detik ke samping gadis itu, karena Niken belum jua menjawabnya.

“Arga awas!” teriak Niken ketika menyadari mobil sport mewah yang dikemudikan Arga agak keluar jalur dan nyaris bersinggungan dengan sebuah mobil truk.

Jantung Niken serasa mau copot, nyaris saja mereka bersinggungan dengan maut jika Arga tidak cepat-cepat mengembalikan mobilnya ke jalur semula dan menghindari mobil truk itu. Niken benar-benar ketakutan dan dibuat marah oleh tingkah Arga saat ini.

 

“Aku sudah bilang Ga, kami tidak sengaja ketemu. Kenapa sih kamu tidak percaya padaku?” Niken berujar putus asa.

“Tidak sengaja, katamu?” Arga seolah mengejeknya, “kau sedang berbohong padaku Niken, aku lihat kau berbicara dengannya, dan kalian begitu akrab setelah bertahun-tahun kalian tidak bertemu,”

Niken memejamkan matanya, tak tahu lagi bagaimana menjelaskan pada kekasihnya itu.

“Arga, tidak begini caranya. Kita bisa mencari tempat yang nyaman untuk berbicara, tidak dengan menyudutkanku seperti ini,” geram Niken.

“Kalaupun kita bicara di tempat yang nyaman, jawabanmu pasti sama saja,”

“Memangnya kau mau aku menjawab apa? Desta adalah teman SMA-ku dan kami kebetulan bertemu tadi di Cafe,”

Arga menggeleng. Perasaannya tidak mungkin salah, ada sesuatu antara Niken dan Desta yang membuat hatinya begitu tidak nyaman.

Niken bersandar kesal di jok mobil, matanya melirik ke arah speedometer. Kecepatan Arga mengemudi semakin menggila. Niken sudah tidak bisa mentolerir sikap gila Arga yang dibalut cemburu. 

“Berhenti Arga! Hentikan mobilnya!” erang Niken.

Arga tidak peduli, ia masih fokus menyetir dalam kecepatan tinggi. Berpikir seolah jalan raya ini adalah sirkuit balap.

“Arga, aku bilang hentikan mobilnya sekarang!” Niken tak sudi menjadi pelampiasan kegilaan Arga.

Niken menggeram sebal karena Arga mengacuhkan perintahnya. Niken meraih kenop pintu mobil, membuka kuncinya.

“Aku akan turun sendiri kalau kau tidak mau menghentikan mobilmu,” ancamnya, bersiap membuka pintu dan melompat turun. Tidak peduli bahaya apa yang akan terjadi jika dia benar melakukan tindakan gila terjun bebas dari mobil berkecepatan tinggi. Nyawanya sudah pasti jadi taruhan.

Arga buru-buru menginjak rem mendadak hingga ban mobilnya terdengar mendecit di aspal. Keduanya nyaris terpental jika saja sabuk pengaman tidak melingkari sempurna tubuh mereka.

Niken menarik nafas lega, ancamannya tadi berhasil menghentikan Arga dengan kegilaannya mengemudi mobil. Sedetik kemudian, Niken dengan cekatan melepas sabuk pengamannya.

“Niken,” Arga berusaha menahan gadis itu.

Niken membuka pintu turun dari mobil dan berlari menembus hujan yang masih lebat di luar.

Arga membuka sabuk pengamannya dan berlari mengejar gadis itu di tengah derasnya hujan dan dinginnya malam.

“Niken kamu mau ke mana?” panggil Arga di belakang.

“Jangan mengikutiku!” kini keadaan berbalik, Niken yang sekarang begitu marah kepada Arga.

Arga yang berpostur tinggi, punya kaki yang panjang untuk mengejar dan menyusul Niken di depan. Sekejap saja ia mampu meraih tangan gadis itu, menghentikan langkah cepatnya yang berupaya meninggalkannya.

Arga membalik tubuh Niken menghadapnya dan mengunci tangan gadis itu dengan genggamannya yang erat.

“Kita kembali ke mobil!” Arga seolah memerintah dan hendak menyeret Niken kembali ke mobil bersamanya.

 

“Tidak!” Niken memberontak. Walaupun tubuhnya lebih kecil, ia masih cukup punya kekuatan untuk menahan diri di tempatnya.

“Kau bisa sakit karena kehujanan,” Arga tampak peduli, walaupun nada bicaranya terdengar dingin dan kasar.

Niken makin kesal, bukannya Arga semakin melunak karena sikapnya yang memilih turun dari mobil dan menembus hujan, kalimat perhatian Arga tadi terdengar dingin, dan itu tandanya kemarahan Arga akibat cemburu belum juga reda meski hujan deras masih setia mengguyur mereka.

Dengan sekuat tenaga Niken melepaskan tangannya yang terasa sakit akibat genggaman Arga yang kuat. Niken segera mengambil langkah cepat, ia berlari meninggalkan Arga di belakang, kemudian menyebrang jalan.

“Niken, aku minta maaf! Kumohon kembalilah ke mobil!” Arga memilih mengalah melihat Niken yang bersikap keras kepala.

Arga menyusul gadis itu, tanpa melihat jalan, ia melintas begitu saja di tengah jalan menyusul Niken yang akan naik ke bahu jalan.

Tiba-tiba terdengar suara klakson berkali-kali. Arga menoleh ke arah jalan dan melihat sorot lampu mobil yang menyakitkan matanya.

“Arga!!” teriak Niken dengan histeris yang sedang berdiri di bahu jalan.

^^^

Selamat membaca! Semoga terhibur!

Aku harap kalian menikmati ceritanya.

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian dengan like dan komentar ya.

Jangan lupa vote aku juga, biar up-nya lebih semangat.

Terima kasih.

Salam hangat, Ratihyera.

^^^

UGD

Nadira menghirup pelan kepulan asap dan aroma yang menguar dari kopi caramel dalam genggamannya. Menghirupnya tenang bagai seseorang yang kecanduan heroin.

Nadira menyeruput pelan kopinya yang masih agak panas sambil melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Waktu semakin cepat merambat ke pukul 24.00 malam. Suasana ruang Unit Gawat Darurat (UGD) masih tampak lengang, sore tadi mereka kedatangan pasien kecelakaan yang jatuh dari atap rumah karena memperbaiki genteng dan mengalami patah tulang di tangan. Dan kini pasien itu telah di pindah ke ruang rawat inap di bangsal.

Nadira yang seorang dokter umum, mendapat giliran bertugas di UGD malam ini. Ia bertugas di UGD dari maghrib sampai besok pagi. Kopi adalah salah satu cara baginya untuk terus menghidupkan matanya agar betah dan kuat begadang, terlebih jika ada pasien gawat darurat yang datang di tengah malam buta.

 

Nadira berdoa semoga tidak ada pasien yang masuk di UGD malam ini, agar ia bisa mendapat jatah tidur malam yang cukup. Baru saja ia memikirkan hal itu, suara sirene ambulans spontan membuyarkan lamunannya yang membuatnya bangkit dari tempat duduk. Itu tandanya ada pasien gawat darurat yang masuk UGD.

Nadira meraih stetoskopnya di atas meja dekat gelas kopinya, membetulkan sejenak letak hijabnya di depan cermin lalu bergegas menuju ke ambulans bersama beberapa perawat yang mendapat jatah tugas malam ini dengannya.

Nadira dan beberapa perawat sudah bersiap di depan pintu ambulans. Begitu pintunya di buka, Nadira kaget melihat seorang perempuan muda duduk dalam mobil itu penuh linangan air mata dan sorot ketakutan. Pasien yang parah adalah seorang laki-laki mengenakan kemeja abu-abu tampak tidak sadarkan diri dengan kepala yang berlumuran banyak darah.

“Niken!” seru Nadira panik. Perempuan bernama Niken itu adalah sepupunya.

Perawat dengan sigap membawa si pasien laki-laki yang terbaring tidak sadarkan diri di atas tandu, lalu dipindahkan ke atas brankar dan masuk ke dalam ruang UGD.

“Niken, apa yang terjadi sama kamu?”

“Nad, tolong selamatkan Arga! Selamatkan dia!” isak Niken sambil mencengkram baju khusus rumah sakit yang dikenakannya. Tangan Niken yang dipenuhi darah Arga, jadi mengotori baju Nadira.

“Kita bicarakan ini nanti,” Nadira bergegas masuk ke ruang UGD, menemui pasien yang baru saja dibawa masuk oleh perawat. Niken mengekornya di belakang.

 

Perawat sudah mengambil beberapa tindakan dengan membersihkan luka dan juga darah yang menempel di kepala dan sekitar mata Arga. Niken sedang memberi keterangan kepada perawat tentang identitas Arga.

Setelah memberi tindakan medis kepada Arga, Nadira beranjak menemui Niken yang berdiri was-was tidak jauh. Nadira mendapati pemandangan khawatir dan ketakutan dari raut wajah cantik Niken.

“Bagaimana keadaan Arga?” Niken hendak menghambur ke tempat Arga berbaring, masih belum sadarkan diri.

“Tenang, kami sudah menanganinya,” Nadira menahan tubuh Niken. Ia merasakan bajunya agak basah. “Apa kau kehujanan? Ayo kita ke ruanganku, aku punya beberapa baju untuk mengganti bajumu yang basah,”

“Aku harus melihat Arga,”

“Tenanglah, kami sudah menanganinya. Sebentar lagi dokter spesialis mata akan datang memeriksa kondisinya,”

“Dokter spesialis mata? Kenapa? Ada apa dengan Argaku?” Niken jadi panik.

“Aku memeriksa, sepertinya kedua matanya tidak merespon cahaya waktu aku menggunakan medical pen light untuk mengecek kondisinya. Karena aku hanya dokter umum, jadi untuk memastikan dokter spesialis mata yang akan datang memeriksa kondisinya. Berdoalah semoga kondisinya baik-baik saja,”

Niken kembali terisak, “Nad, tolong selamatkan Arga, aku tidak mau dia kenapa-napa,”

Nadira hanya mengangguk. Ia tahu Niken begitu shock dan khawatir dengan kondisi kekasihnya, calon suaminya, beberapa minggu lagi pernikahan mereka akan segera dilangsungkan.

“Apa kau sudah menghubungi keluarganya?” tanya Nadira.

Niken menggeleng pelan. “Aku tidak berani. Aku takut,”

“Niken, keluarganya berhak tahu kondisi Arga, terutama kedua orang tuanya,” Nadira tampak kecewa melihat Niken tidak bertindak cepat untuk menghubungi keluarga Arga.

Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel, Niken mengangkat tangannya yang memegang dua buah ponsel. Satunya ponsel milik Arga, yang sedang berdering, terbaca di layar ponselnya Mommy memanggil.

“Mati aku, Mommy menelepon. Aku harus bilang apa,” tampak putus asa dan masih mengabaikan panggilan telpon itu.

“Beritahu yang sebenarnya, Niken,”

“Kau saja, aku mohon,” Niken melempar ponsel Arga ke tangan Nadira.

“Kenapa malah aku,”

“Aku mohon Nad, aku masih begitu shock, aku jadi tidak tahu hendak berkata apa pada mommy. Dia pasti menelpon karena sudah larut malam, Arga belum pulang ke rumah. Aku tidak bisa mengatasi kalau dia kaget, tahu anaknya ternyata habis kecelakaan dan sedang di UGD,”

“Hmm, baiklah,” Nadira menjawab telpon dari ibunya Arga.

“Halo, Arga kamu di mana sayang?” terdengar suara penuh kekhawatiran.

“Mohon maaf, saya dokter Nadira bu,”

“Dokter? Kenapa ponsel anak saya ada sama kamu? Mana Arga?”

“Begini bu, anak ibu baru saja kecelakaan dan sekarang sedang di UGD Rumah Sakit Harapan. Kebetulan saya dokter yang bertugas di UGD,”

“Apa?!” ibu Arga memekik kaget, “bagaimana keadaan anak saya?” ibu Arga mulai terisak.

“Kami sudah menanganinya di UGD bu, silahkan ibu datang langsung melihat kondisinya,”

“Apa ada yang menemani anak saya di sana?”

“Ada bu, tunangannya,”

Ibu Arga bernafas lega, kemudian pamit menutup telpon, ingin segera bergegas ke rumah sakit.

.

.

.

Nadira terus terbayang dalam benaknya ketika ia memeriksa kondisi Arga tadi di UGD. Wajah tampannya terus terbayang. Nadira tersadar ketika Niken keluar dari kamar mandi ruangannya sudah dalam keadaan mengganti pakaiannya yang basah dengan pakaian miliknya.

Niken masih tampak shock dan sedih.

“Niken, semua pasti akan baik-baik saja,” Nadira merangkul Niken, berusaha menguatkan. “Ingatlah, beberapa minggu lagi kalian akan menikah.”

“Nad, aku masih kepikiran tentang dokter spesialis mata. Apa, Arga akan buta?” Niken mengutarakan kekhawatirannya.

Nadira diam. Sejujurnya dia tahu apa yang akan terjadi kepada Arga.

“Berdoa saja yang terbaik, kalaupun Arga akan buta, pasti masih bisa disembuhkan,”

Niken bersandar lesu di tembok, “kalau sampai Arga kenapa-napa, hancurlah aku. Arga pasti akan membenciku, bukan hanya dia, keluarganya juga pasti akan membenciku,”

“Sebenarnya apa yang terjadi antara kalian? Kenapa Arga sampai bisa kecelakaan?” tanya Nadira penuh rasa kekhawatiran.

Niken pun mulai menceritakan semuanya.

“Jadi kau masih berhubungan dengan Desta?” Nadira tampak terkejut setelah Niken bercerita.

“Nad, dia yang mencariku dan menemuiku di cafe tempat aku biasa bermain piano. Terus terang, kehadiran Desta sangat menggangguku,”

Desta sebenarnya adalah cinta pertama Niken sejak SMA. Namun mereka putus ketika Desta lulus beasiswa ke Jerman. Saat kuliah dan menjadi mahasiswa, Niken dan Arga berkenalan, lalu saling jatuh cinta. Mereka sempat putus nyambung, dan beberapa bulan yang lalu Arga resmi melamar Niken, dan dalam hitungan minggu, pernikahan mereka akan segera digelar. Segalanya telah dipersiapkan dengan matang oleh keluarga masing-masing.

Niken sejujurnya tak bisa melupakan Desta. Dulu ia menerima Arga karena lelaki itu selalu memberinya hadiah barang-barang yang mewah. Apalagi Arga begitu perhatian, membuat hati Niken semakin luluh.

Kini kehadiran Desta kembali dalam hidupnya, membuat hati Niken jadi bimbang, antara Arga ataukah Desta?

NIKEN MENGHILANG

“Apa yang terjadi dengan Arga? Kenapa bisa dia ditabrak mobil, sementara kamu baik-baik saja, padahal kalian bersama malam itu,” Rachel, ibu Arga yang biasa dipanggil Mommy, langsung menyerang Niken begitu ia sampai di rumah sakit. Setelah menjenguk Arga yang masih belum sadarkan diri di ruang perawatan VIP, ia segera memanggil Niken untuk bicara berdua di luar.

“Mommy, malam itu aku sama Arga lagi bertengkar. Kemudian, aku minta turun dari mobil. Arga membuatku takut karena dia mengemudi dengan kecepatan yang tinggi dan tidak peduli padaku yang begitu ketakutan setelah mobilnya nyaris saja menabrak truk. Aku berpikir meninggalkan Arga sampai emosinya kembali reda, tapi dia mengejarku tanpa melihat situasi di jalan, hingga akhirnya sebuah mobil menabraknya,” Niken terisak penuh penyesalan.

“Kalau sampai terjadi sesuatu kepada Arga, aku tidak akan pernah memaafkanmu karena telah menjadi penyebab putraku kecelakaan,” Rachel mengancam dengan sorot antagonis. Niken langsung merasa ciut. Ia sudah menduga jika sesuatu terjadi kepada Arga, maka orang yang pertama murka kepadanya adalah Rachel.

Rachel meninggalkan Niken sendirian di luar dan masuk kembali ke kamar perawatan Arga. Di dalam sudah ada keluarga dan juga beberapa rekan bisnisnya yang sedang menjenguk Arga.

.

.

.

Keesokannya,  Arga pun siuman. Ia agak shock mendapati kedua matanya diperban dan dunianya seketika gelap gulita. Semua berusaha menenangkan, bahwa beberapa hari lagi dokter akan membuka perban di kedua matanya.

Kepada keluarganya, Arga meminta agar diberi waktu berdua dengan Niken di kamar perawatannya.

“Maafkan aku, Arga. Gara-gara aku kamu sampai kecelakaan,” Niken masih diliputi perasaan bersalah.

Tangan Arga meraba ke udara, hendak menggapai Niken. Niken meraih duluan tangan Arga, mengingat calon suaminya itu tidak bisa melihat.

“Aku yang salah, Niken. Aku membuatmu takut malam itu, kalau tidak begitu, mana mungkin kamu nekad turun dari mobilku meski di luar sedang hujan deras. Maafkan aku sudah menuduhmu yang bukan-bukan. Aku hanya sebatas melihatmu dengannya. Karena dia adalah mantan pacarmu, bagaimana aku tidak cemburu dan menuduhmu yang bukan-bukan,”

"Maafkan aku sayang, kami benar-benar tidak sengaja bertemu di cafe," lirih Niken.

Arga menarik tubuh Niken ke dadanya. Mendekapnya. Arga berpikir mungkin ia sudah salah menilai Niken yang tanpa sengaja bertemu Desta, mantan kekasihnya. Lebih baik Arga tidak terlalu memikirkannya karena sebentar lagi mereka akan segera menikah.

.

.

.

Nadira tersenyum ramah ketika beberapa perawat maupun rekan sesama dokter menyapanya. Nadira masuk ke ruangannya di UGD. Ia meletakkan tasnya di atas meja lalu mengambil jas putih miliknya dan mengenakannya. Matanya terpaku menatap sebuah paper bag kecil yang tergeletak di samping tasnya. Ada sebuah kertas memo yang tertempel di atas paper bag itu.

Nad, tolong antarkan ini kepada Arga. Aku tidak bisa menemuinya hari ini.

Nadira mengecek isi paper bag itu, terdapat sebuah kotak kecil berwarna krem dan sebuah amplop putih bertuliskan Untuk Arga.

Nadira segera keluar dari ruangannya dan menuju ke kamar perawatan Arga sambil menenteng paper bag titipan Niken untuk Arga.

Nadira mengetuk pintu begitu sampai di depan kamar perawatan Arga. Seorang gadis muda membukakan pintu.

“Apa anda dokter yang menangani kakak saya?” tanya Rasty, adik perempuan Arga setelah mengamati penampilan Nadira dalam balutan jas putih.

“Saya dokter yang menangani Arga waktu di UGD. Kenalkan, saya sepupunya Niken,” jawab Nadira tampak ramah.

Raut muka Rasty langsung berubah, “Kak Niken mana? Kenapa hari ini dia tidak datang menjenguk kakakku setelah tahu kak Arga divonis buta sama dokter?”

Nadira terdiam. Dia juga tidak tahu Niken ada di mana. Dia belum coba menghubungi sepupunya itu.

“Aku, aku juga tidak tahu Niken ada di mana,” jawabnya jujur dan polos.

Ibu Arga datang menghampiri keduanya.

“Jadi kamu yang waktu itu menjawab telponnya Arga. Apa aku tidak salah dengar, kamu sepupunya Niken?” Rachel berkata kepada Nadira.

“Iya, betul,” Nadira mendapati gelagat tidak suka dari kedua wanita di hadapannya.

“Ke mana Niken?” tanya Rachel sama seperti Rasty.

“Saya juga kurang tahu bu, saya belum berkomunikasi dengan Niken sejak pagi tadi,” jawab Nadira jujur.

“Lalu ada keperluan apa kamu kemari?” tanya Rachel lagi.

“Niken menitipkan ini kepada saya untuk diberikan kepada Arga,” Nadira menyodorkan paper bag dalam genggamannya.

Rachel dan Rasty segera mengeluarkan isi paper bag itu.

Rasty mengeluarkan kotak kecil berwarna krem dari paper bag itu dan segera membukanya. Matanya melotot tajam menatap sebuah cincin berlian.

“Mom, bukankah ini cincin pertunangan kak Niken,” Rasty berkata pada Rachel.

“Apa maksud Niken mengembalikan cincin pertunangannya dengan Arga,” Rachel tampak marah dan tidak terima dengan kenyataan yang terjadi.

Nadira sama terkejutnya dengan kedua wanita di hadapannya. Ia tak menyangka, kepolosannya datang membawa titipan Niken membuat keluarga Arga merasa tersinggung.

“Apa yang terjadi?” teriak Arga yang duduk di ranjangnya, ekpresinya datar dan sorot matanya kosong menatap lurus ke depan.

Rachel dan Rasty saling pandang dalam kebingungan. Mereka harus menjelaskan apa. Arga sejujurnya mendengar jelas pembicaraan ketiga wanita di ruang perawatannya. Ia hanya ingin memastikan apa yang sedang terjadi. Apa yang telah diperbuat oleh Niken.

“KENAPA TIDAK ADA YANG MENJAWAB!” Arga tampak emosi, ia segera turun dari ranjang dan hendak berjalan menuju ke arah ibu dan adiknya, walaupun ia sendiri tidak tahu pasti posisi mereka di sebelah mana.

Rachel dan Rasty bergegas menemui Arga, sebelum lelaki itu berjalan ke sembarang arah dan menabrak benda-benda di sekitarnya.

“Sayang, kenapa kamu turun dari tempat tidur. Mommy baru mau menghampiri kamu,” ucap Rachel sambil memegang tangan Arga, agar putranya itu berhenti melangkah.

“Apa yang di bawah sama sepupunya Niken?” tanya Arga yang tampak menahan emosi.

“Sayang, kamu tenangkan diri dulu ya,” Rachel membujuk Arga. Sejujurnya ia sangat tidak tega kepada Arga jika tahu kenyataan apa yang sedang terjadi.

“Rasty, berikan padaku!” tegas Arga sambil mengulurkan sebelah tangannya.

Saat Rachel mengangguk pelan kepada putri bungsunya, Rasty pun memberikan kotak berisi cincin itu ke dalam telapak tangan Arga yang terjulur.

 

Arga membuka kotak itu dan meraba isinya. Ia tak bisa lagi melihat cincin yang telah ia sematkan beberapa bulan yang lalu di acara pertunangannya dengan Niken, tapi dengan meraba ia bisa memastikan itu benar cincin pertunangan yang dikembalikan oleh Niken.

“Apa mommy sama Rasty bodoh? Kalau cincin ini dikembalikan, itu tandanya dia sudah membatalkan pertunangan dan juga pernikahan kami,” ucap Arga getir. Seketika ia melempar kotak berisi cincin itu ke sembarang arah.

 

Rachel dan Rasty menatap tak tega kepada Arga yang tampak berusaha menutupi kepedihannya.

“Di mana dia? Sepupunya Niken,” Arga melayangkan tangannya ke udara. Nadira yang di belakang, datang mendekat.

“Iya, saya,” jawab Nadira tak enak hati, namun juga sedikit takut.

Arga mengarahkan kepalanya ke arah di mana ia mendengar suara Nadira menyahut. Kedua tangannya bergerak, ia berhasil meletakkan kedua tangannya di pundak Nadira. Nadira merasa deg-degan saat Arga melakukan itu, seketika kedua tangan lelaki itu turun dan mencengkram ujung kerah jas putih yang dikenakan Nadira.

Arga menarik kerah jas itu sambil bertanya, “di mana Niken?” kasarnya.

Ketiga kalinya Nadira mendapat pertanyaan yang sama.

Nadira memberanikan diri menatap sejenak pada kedua mata coklat Arga yang indah, namun sayang mata coklat itu hanya menyorot kosong dan dihiasi amarah.

“Saya tidak tahu,” jawab Nadira pasrah sambil menundukkan pandangan. Sadar bahwa ibu dan adik Arga sedang menatapnya dengan sorot tak suka.

“Kenapa bukan dia sendiri yang mengembalikan cincin itu padaku?” Arga lagi-lagi bertanya seolah tak percaya dengan sikap Niken yang memutuskan hubungan mereka secara sepihak.

“Maaf, saya juga tidak tahu. Saya, hanya menemukan paper bag itu di meja saya dan ada memo yang tertulis agar saya mengantarkannya untuk kamu. Saya benar-benar tidak tahu kalau isinya adalah cincin tunangan milik Niken,” jawab Nadira dengan jujur.

Pelan-pelan Arga melepaskan cengkraman kedua tangannya dari kerah jas putih Nadira. Raut mukanya berubah datar.

“Kak, ada surat dalam paper bag-nya,” Rasty mengambil paper bag itu ketika melihat ada amplop yang menyembul keluar dan bertuliskan nama kakaknya.

“Bacakan apa isinya!” Arga seolah memberi perintah.

Rasty dan Rachel saling berpandangan sejenak. Rachel seolah memberi tahu lewat tatapannya pada Rasty, agar jangan memberi tahu yang sebenarnya apa yang tertulis di surat.

“Di sini kak Niken menulis, dia meminta maaf karena karena harus membatalkan pernikahan,” jawab Rasty.

“Apalagi yang ditulisnya?” Tanya Arga, dingin.

“Hanya itu kak,” jawab Rasty.

 

“Hanya karena aku buta, bukan berarti aku tidak tahu kalau kau sedang berbohong,” Arga kembali menunjukkan amarahnya.

“Kak, aku tidak berbohong,” sahut Rasty sedikit takut, pertama kalinya ia melihat sang kakak dalam emosi dan amarah yang begitu menakutkan.

“Arga, yang dibacakan Rasty sudah benar,” Rachel membela Rasty.

“Bacakan surat sialan itu tanpa harus dikurangi ataupun ditambahkan!” kalimat Arga terdengar seperti titah yang tak bisa dibantah.

Rasty akhirnya membaca isi surat itu secara jujur, “Arga maafkan aku yang sebesarnya. Aku memang pengecut, karena tidak datang langsung menemuimu. Aku tidak bisa melanjutkan rencana pernikahan kita, aku terlalu shock dengan kondisimu yang sekarang buta. Aku takut kalau aku melawan perasaanku yang sebenarnya aku malah akan menyakitimu jika aku telah menjadi istrimu. Percayalah Arga, ini yang terbaik buat kita.”

Rasty mengakhiri membaca surat itu dengan perasaan campur aduk.

Arga hanya berdiri diam di tempatnya seolah sedang mencerna isi surat dari Niken yang barusan dibacakan oleh Rasty.

“Apa dia sedang mengejekku yang buta, menuliskan alasan dia membatalkan pernikahan di selembar surat,” Arga tertawa getir.

Rachel tampak menahan amarahnya.

Arga membalik badan, dan melangkah tanpa mengangkat kedua tangannya di udara. Kakinya terantuk kaki tempat tidur, ia jatuh tersungkur di lantai.

“Sayang, mommy bisa menuntunmu ke tempat tidur,” Rachel ingin membantu Arga berdiri.

“Tinggalkan aku sendiri, mom!”

“Arga sayang...,”

“Mom, aku bilang keluar! Semuanya keluar! Tinggalkan aku sendiri!”

Ketiga wanita itu memilih mengalah dengan keluar dari kamar perawatan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!