Alara berpangku tangan di teras atas, menyaksikan beberapa orang wanita dan pria turun dari tiga buah mobil. Kedua mata abu-abunya memutar malas, mulutnya pun berkomat-kamit persis seperti dukun membaca mantra—hanya saja ini dalam versi kesal.
"Kalian berdua aja? Mana Alara?" Suara khas ibu-ibu sosialita dari arah bawah sampai ke telinga Alara.
"Mati, mabok lem tikus!" sahut Alara sebal dan ketus.
Ketika melihat lagi ke arah orang-orang itu, tatapan sang ibu tepat mengenainya. Ya, ibunya itu memang tahu Alara minggat ke atas sini demi menghindari kedatangan para bibinya.
Wanita berketurunan Turki, berusia hampir setengah abad, yang wajahnya sangat mirip dengan Alara itu menggeleng pelan. Setidakpeka apa pun Alara, dia tahu itu artinya dia harus turun; menemui para tamu yang adalah keluarga besarnya sendiri.
Perjalanan dari teras atas yang sebenarnya tak sampai satu menit, Alara tempuh sepuluh kali lipatnya alias sepuluh menit. Dia tidak sekadar melangkah, tetapi juga menghitung dengan sepatunya, berapa meter jarak dari lantai atas ke halaman.
"Nah, itu dia anak bule Turki yang hidupnya gitu-gitu aja dan nggak kaya-kaya dateng. Sini, sini, salaman dulu sana Aunty, nanti pasti Aunty kasih THR," ucap salah satu bibinya dengan nada mengejek.
Alara mengepalkan kedua tangannya. Kata-kata dari Amira, bibinya yang pertama, yang mulutnya paling lemas seperti habis makan oli sepuluh liter ditambah minyak goreng satu bak truk, membuat Alara ingin sekali mendaratkan kepalan tangannya ke wajah wanita itu.
Namun, tidak. Miray, ibunya akan mengamuk kalau sampai Alara melakukan itu. Jadi, dia salami satu per satu ketiga bibinya, meski mulutnya hampir tak mengatakan 'maaf' atau 'selamat hari raya' saking dongkolnya pada ketiga perempuan itu.
"Kapan nikah, Ra? Umur kamu udah 25, udah seharusnya kamu nikah, daripada berkarier yang itu-itu aja dan nggak ada kemajuan. Mau jadi apa kamu nanti? Orang yang tinggal menengadahkan tangan nunggu suami ngasih uang?" oceh wanita itu sambil melirik ibu Alara sekali.
"Memang sudah kewajiban suami ngasih nafkah ke istri. Kalau bisanya cuma numpang tidur dan makan doang, lebih baik nggak usah sok-sokan ngawinin anak orang," balas Alara dengan suara datar. Pertanyaan yang entah model apa itu tadi berasal dari mulut bibi keduanya, Amrita.
"Eh, eh, eh, ngomong apa kamu?!" Wanita itu melotot tidak terima.
Alara mengedikkan bahu cuek. "Fakta," jawabnya santai.
Wanita berusia lebih muda beberapa tahun dari ibu Alara itu menggeram kesal. Apa yang Alara katakan bagai menyindir suaminya—yang memang tidak bekerja.
"Meski nggak kerja, keluarga kita kan kaya tujuh turunan. Jadi, ya nggak apa-apa," bela bibinya yang satu lagi, Amira.
"Iya kalau untuk satu-dua hari, atau maksimal sebulan, lah. Nah, kalau bertahun-tahun? Ya auto bangkrut! Jangankan tujuh turunan, tahun depan aja jadi gembel," tangkas Alara, tapi dengan nada bicara yang teramat santai.
Terbelalak seketika kedua wanita dengan riasan tebal itu mendengar perkataan Alara. Dua detik selanjutnya, mereka bersungut-sungut pergi dari hadapan Alara; masuk ke rumah besar orang tua mereka yang juga adalah kakek-nenek Alara dari pihak ayah.
Alara bersorak. Wajahnya yang khas gadis Turki langsung cerah karena kesenangan.
"Apa itu semua, Alara?" tegur Miray.
Keceriaan di wajah Alara memudar kurang dari satu detik, berganti ke ekspresi kesal lagi.
"Ini Hari Raya, Nak, kenapa kamu malah bersikap kayak gitu?" Miray bertanya baik-baik.
"Biasanya juga mereka yang bikin aku kesel, Ma. Jadi, wajarlah kalau sesekali dibalas," jawab Alara acuh tak acuh.
"Tapi bagaimanapun juga, mereka itu bibi-bibi kamu, adiknya papa kamu. Nggak seharusnya kamu begitu, Sayang," tutur Miray lembut.
"Mama juga kakak ipar mereka, seharusnya mereka bisa ngerti dan hormatin Mama. Bukannya malah di setiap kesempatan yang ada, nyindir-nyindir Mama. Oke, Mama memang bukan dari keluarga sekaya mereka, tapi itu bukan alasan untuk dibenci terus-terusan," sungut Alara tak terima.
Memang, inilah yang membuatnya malas sekali berkumpul di rumah kakek neneknya saat hari raya tiba. Para penyihir itu memang tidak ada akhlak. Sejak dulu jauh sebelum Alara lahir, mereka tidak pernah suka pada sang ibu. Jangan tanya kenapa Alara bisa berpikir begitu. Alara bukan gadis polos dan bodoh yang mudah dibohongi. Ia tahu, penyebabnya adalah 'derajat' yang katanya tidak setara; karena ibunya berasal dari keluarga sederhana, berbeda dengan sang ayah.
"Itu kan memang sifat mereka. Maklumi saja," tutur Miray. "Ya sudah, sekarang ayo kita masuk."
Alara menurut dan masuk bersama ibunya. Semua keluarga saat ini sudah berkumpul di ruang keluarga.
"Arka, Kaira, Alisha, Zavier, di mana mereka? Kenapa nggak kelihatan?" tanya Nenek Alara.
"Biasalah, Bu. Mereka itu kan sibuk," jawab Amira.
"Sibuk apa? Lebaran-lebaran gini masih sibuk? Nggak bisa nyempetin datang ke rumah kakek neneknya gitu?" protes wanita sepuh itu.
"Alisha dan Kaira masih sibuk sama tugas-tugasnya, Bu. Jadi nggak sempet pulang ke Indonesia. Arka sama Zavier sendiri nggak bisa dapat cuti. Maklumlah, mereka kan kerjanya di perusahaan besar, posisinya juga tinggi," jelas Amrita.
"Sampai segitunya. Tapi nanti ke sini, kan?"
"Iya. Itu pasti, dong, Bu. Mereka bakalan datang sama calon-calon mereka. Ibu sebentar lagi bakalan punya cucu menantu. Ya ... meski masih muda, tapi mereka cepet laku, dong. Pinter, karier bagus, kehidupan terjamin. Nggak kayak si onoh," kata bibi termuda Alara, Amara namanya.
"Ya udah. Masa lebaran cuma satu cucu yang yang dateng. Lainnya malah pada sibuk sendiri-sendiri."
"Ya habis gimana lagi? Semua cucunya pada sibuk, kecuali satu itu kan emang nggak jelas pekerjaannya. Libur sama masuk banyak liburnya." Kali ini Amira lagi yang menyahut sambil tertawa-tawa.
"Iya, tuh. Gitu-gitu masih aja dibiarin sama emaknya. Padahal kerjaan anaknya nggak jelas. Keluyuran, jarang pulang. Hadeh. Atau emang itu ajaran emaknya kali, ya?"
Kedua tangan Alara sudah mengepal kuat-kuat. Kakinya hendak melangkah pada para penyihir—yang hanya berjarak tak kurang dari dua meter itu—ketika pergelangan tangannya ditahan oleh seseorang. Ibunya. Miray menggeleng pelan, mengisyaratkan agar Alara tidak ke sana.
Alara menggeram kesal, sedetik kemudian berlalu pergi. Itu lebih baik, ketimbang dirinya dibuat darah tinggi saat berada di dekat mereka. Masih baik jika dia bisa menahan emosinya, bagaimana kalau tiba-tiba kelepasan dan baku hantam dengan mereka?
Ah, sudahlah, lupakan. Alara mau menemui sesosok manusia bumi yang akan selalu siap sedia kapanpun dia ajak bertemu. Abir, sahabatnya yang punya hobi keliling dunia—dan hampir tidak pernah pulang.
Maka, di sinilah Alara berada sekarang, kafe yang diliburkan hari ini, tapi masih bebas dia datangi. R'sha Caffe, milik sahabatnya yang lain, Rayyasha.
"Kenapa nyuruh gue ke sini?"
Alara mendongak, menatap sosok yang bertanya padanya itu. "Dari mana lo?"
"Bikin sarapan," jawab pria itu sebelum mengambil tempat duduk di depan Alara.
"Rayya nggak ke sini?" tanya Alara.
Abir tergelak. "Lo lupa apa pikun, sih, Lara? Rayya pastinya lagi di rumah, halal bihalal sama keluarga besarnya, nggak kayak kita berdua."
"Gue juga udah habis halal bihalal sama keluarga gue kali," gerutu Alara.
"Iya, deh, iya. Jadi, kenapa sekarang lo ada di sini?" tanya Abir.
Alara mengembuskan napas berat. "Para Mak Lampir itu bikin gue darah tinggi. Daripada gue mati muda, mendingan gue minggat dari sana."
"I knew it," Abir tertawa renyah.
Alara memutar bola mata malas. "Lo sendiri, kenapa nggak pulang?"
"Kayak nggak tau aja. Arshiya terus-terusan neror gue biar cepet-cepet nikah. Sialan emang tuh anak. Dia yang kebelet nikah, tapi gue yang diteror," papar Abir jengkel.
Kali ini Alara yang tergelak. "Kayaknya, menjadi tua adalah kesalahan terbesar di muka bumi ini, ya, Bir."
Abir mengangguk. "Bener banget itu. Padahal mah, baru aja dua puluh enam tahun, berasa tua banget gue."
"Gue juga tadi ditodong pertanyaan kek gitu," aku Alara.
"Baru tadi?" Abir tertawa keras. "Gue, dong, hampir tiap hari."
"Sebenernya tiap tahun, sih. Soalnya ... ya, itu, katanya daripada gue kerja nggak jelas, karier gitu-gitu aja, mendingan nikah. Ditambah lagi, anak-anaknya para penyihir itu udah laku katanya. Udah kek barang dagangan aja pake laku-lakuan segala," gerutu Alara di akhir kalimat.
Abir terdiam selama beberapa detik. Pria yang rambutnya cukup panjang itu mengerutkan kening, seperti tengah berpikir sesuatu. "Eh, Ra, kok gue baru sadar masalah kita sama, ya?"
Alara mengerjap beberapa kali. "Sama? Sama gimana?"
"Ya ... sama. Sama-sama diteror, ditodong, diancem terus-terusan disuruh nikah."
"Lah, iya juga, yak." Alara garuk-garuk tak gatal rambutnya.
"Bibi-bibi lo kan mempermasalahkan semua hal, terutama tentang karier lo, sama lo yang katanya nggak laku-laku. Misal ... lo nikah duluan, pasti mereka bakal kebakaran jenggot, tuh!" celetuk Abir.
Sekali lagi, Alara mengerjap beberapa kali. "Iya, ya. Kenapa gue nggak kepikiran? Tapi ... nikah sama siapa, dong? Pacar gue memang banyak, tapi gue nggak mau nikah sama salah satu dari mereka."
"Sama gue aja," celetuk Abir sambil tertawa.
"Nah! Boleh juga, tuh!"
Sekarang Abir yang mengerjap beberapa kali. "Hah? Gimana-gimana?"
"KITA NIKAH, ABIR!" seru Alara heboh.
"Eh, seriusan?" Lelaki itu berkedip-kedip polos.
"Gini, ya," Alara berdeham, "kalau kita nikah, manfaat yang akan didapat, 1) lo bakal terbebas dari todongan adek lo yang kebelet kawin itu, 2) gue bisa bikin para penyihir itu kesel karena laku duluan dari anak-anak mereka, 3) kita bisa bebas, Bir! Bebas! Kita bisa ke sana, ke sini, tanpa ada yang ngelarang," jelasnya.
"Tapi kita kan sahabatan, Ra."
"Kompromi, Bro! Pernikahan ini sebagai kompromi. Gue masih bebas lakuin apa pun yang gue suka, begitu juga dengan lo. Intinya, 'pernikahan' itu cuma status, biar kita bebas dari tuntutan orang-orang. Kita nggak perlu bertingkah kayak suami-istri. Lo nggak punya hak dan kewajiban ke gue, begitu juga sebaliknya. Gimana?"
"Terus, pacar-pacar gue gimana?" tanya Abir polos.
"Alah, gampang itu mah." Alara mengibaskan tangan. "Lo bebas pacaran sama siapa pun, selingkuh sama siapa pun, gue nggak bakal cemburu, apalagi ngelarang, begitu juga sebaliknya."
Abir manggut-manggut paham. "Jadi ...?"
"Kita nikah?"
Abir berpikir sebentar. "Deal, kita nikah!"
***
"Menikah? Sama ... sama Abir? Abir yang itu?"
Alara mengangguk pelan beberapa kali, sedang Miray menggaruk tak gatal dagunya. Heran. Wanita berusia pertengahan empat puluhan itu benar-benar keheranan. Apa yang membuat putrinya itu secara mendadak minta izin mau menikah? Dengan Abir pula. Miray bukan hanya kenal dengan pemuda sahabat Alara itu, tapi sudah sangat kenal karena lamanya persahabatan antara Alara dan Abir.
Ini bukan soal Abir yang kurang cocok atau apa, tetapi ... menikahi sahabat sendiri? Yang benar saja? Ditambah, Alara dan Abir juga lebih sering ribut saat bersama. Bagaimana jadinya jika mereka menikah? Oh, tunggu, Alara bahkan belum siap menjadi istri yang baik. Lupakan soal mengerjakan pekerjaan rumah, memegang sapu pun tidak pernah. Apalagi memasak, gadis itu bahkan tak tahu air mendidih yang bagaimana.
"Maa, kok diem? Mama nggak setuju, ya? Tapi kenapa? Mama kan udah kenal sama Abir, kenal akrab malah. Apa iya Mama nggak ngerestuin Alara sama Abir?"
Suara Alara membuyarkan lamunan sesaat Miray. Wanita itu tersenyum kaku; tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
"Mama, ihh!" rengek Alara. Sangat tidak biasa, karena biasanya gadis itu teriak-teriak.
"Bukan begitu, Sayang. Mama cuma ... kenapa kamu mendadak mau nikah? Ini kamu nggak lagi dipaksa, kan? Diancem? Atau ... terlibat masalah apa mungkin?
Kayak di novel-novel gitu, enggak, kan?" tanya Miray beruntun.
Alara menatap datar Mamanya itu. "Memang siapa, sih, Ma, yang bisa ngancem Alara? Dan ... masalah kayak novel? Ayolah, Ma, sejak kapan Mama baca novel? Novel itu cuma karangan penulisnya, mana ada kejadiannya di dunia nyata. Mama ngada-ngada aja, deh."
"Jadi ... kenapa kamu mau nikah sama Abir?"
"Karena ... ya, pokoknya mau nikah. Mama nggak usah tanya-tanya, deh. Cukup izinin aja, ya ...?" Alara menyatukan tangannya dengan tatapan memelas di hadapan Miray.
"Kita bicarakan ini dengan papamu dulu, oke?"
Alara mengembuskan napas panjang, bibirnya melengkung ke bawah dengan menyedihkan.
***
Seharusnya tidak seperti ini. Abir tidak pulang ke rumah dalam rangka meminta restu pada orang tuanya untuk menikahi Alara. Akibatnya, satu rumah jadi bingung, kecuali Arshiya—adiknya—yang langsung jingkrak-jingkrak karena akhirnya Abir mau menikah.
"Alara sahabatmu? Yang jadi model itu, kan? Tapi kenapa, Abir? Apa nggak ada perempuan lain selain dia?" Afsana, ibunya, masih tidak percaya dengan yang Abir katakan.
"Udahlah, Mom, biarin Kakak nikah sama siapa pun. Yang penting dia mau nikah, dan nikahnya sama perempuan," sahut Arshiya santai.
"Arshiya ...," desis Abir sambil melirik adiknya itu. Perkataan Arshiya seperti menghinanya yang begini-begini pun playboy juga.
"Apa Kakak se-nggak laku itu sampai nikahin sahabat Kakak sendiri?" Sekarang Arshika, adik Abir yang satunya protes.
"Bukan nggak laku, lebih tepatnya takdir," jawab Abir asal.
"Dari mana kamu tahu itu takdir?" Kini gantian neneknya yang mengutarakan pendapat.
"Emang apa salahnya nikah sama sahabat sendiri? Apa sekarang ada undang-undang yang ngelarang itu? Dan, emang itu ngerugiin satu negara? Menimbulkan perang dunia ketiga? Enggak, kan?" Lama-lama Abir jengah. Tidak seharusnya dia berjuang sampai seperti ini untuk Alara, dalam keadaan dia yang sama sekali tak mencintai gadis itu. Apa perlunya?
"Kami nggak bisa langsung mengiyakan, Abir. Pertama, kami harus bertemu dulu dengan keluarga Alara. Kita semua bicarakan semua ini baik-baik, termasuk apa alasan kuat yang membuatmu menikahi sahabatmu itu," tutur Afsana.
Abir mengacak rambut frustrasi. Sungguh, dia tak pernah menyangka minta restu untuk menikah akan sesulit ini. Seharusnya, ya, diizinkan saja. Bukankah sejak dulu ini yang mereka semua mau?
Tahu akan serumit ini, dia kawin lari saja dengan Alara. Pasti sekarang mereka sudah sah sebagai suami istri, dan tidak ada yang akan protes. Paling-paling, akan ada omelan yang tidak seberapa, sandal terbang—jika mungkin—dan ... ya, sudah, mereka direstui dan selesai.
Jadi, oke. Setelah ini, Abir harus mengatakan niatnya soal menikah lari dengan Alara. Perempuan kejam itu pasti setuju. Lagi pula, Alara juga tidak suka hal-hal yang rumit.
***
"Payah! Bodoh! Gobl*k! Nggak pinter-pinter! Cemen! Pake rok sama lipstik aja sana, gitu aja nggak bisa!"
Teriakan tak berperikemanusiaan itu menyambut Abir, usai ia melaporkan 'hasil' dari minta restu tadi. Jangan tanya lagi itu kelakuan siapa, karena satu-satunya orang yang bisa memakinya seperti itu hanya Alara.
"Ya gue harus gimana, Lara? Gue bingung!"
"Kebodohan yang hakiki! Lo tinggal ngomong kalau kita itu selain sahabatan, juga punya hubungan! Kita saling mencintai! Gitu aja repot bener!" amuk Alara dari seberang sana.
"Gue nggak kepikiran bilang gitu, Alara Aarunaya!"
"Ya makanya mikir! Punya otak itu dipake, jangan dijadiin pajangan aja terus-terusan! Ntar tuh otak karatan, mampus lu! Pokoknya, gue nggak mau tau, lo harus bisa dapetin restu dari keluarga lo! Kita harus nikah secepetnya. Sumpah, ya, gue udah pusing banget ini. Gue pengin semua ini cepet kelar gimanapun caranya! Titik, nggak pake koma!"
Tutt.
Sambungan telepon diputus Alara sebelah pihak. Memang, membicarakan sesuatu dengan perempuan itu tidak akan membuahkan hasil. Bukannya hasil, malah tingkat kepusingan Abir akan meningkat berkali-kali lipat. Sekarang, Abir harus bagaimana? Siapa manusia normal yang bisa Abir ajak bicara?
"Rayya," cetusnya tiba-tiba.
Ya, dia hampir lupa masih memiliki satu sahabat dengan kadar kenormalan lebih banyak daripada Alara, Rayyasha a.k.a Rayya. Perempuan itu harus ia ajak bicara, karena siapa tahu bisa menemukan solusi untuk masalah ini. Masalah memintakan restu untuk dia dan Alara.
Tapi ... tidak. Sudah pukul 1 dini hari. Laki-laki mana yang mengajak perempuan bertemu di jam itu? Meski sahabat sendiri, tetap saja rasanya tidak enak.
Jalan satu-satunya, besok dia harus mengajak Alara bertemu dengan Rayya. Sahabatnya yang satu itu memiliki kadar sifat bijak lebih dari lima puluh persen—lima kali lipat lebih banyak dari Alara. Jadi, bisalah Rayya memberi mereka berdua cara yang tepat, cepat, ampuh, dan pastinya tersertifikasi halal.
***
Rayya masih memulihkan dirinya yang sempat terbatuk-batuk karena kaget. Tidak usah dijelaskan, kau pasti sudah tahu apa yang membuatnya seterkejut itu.
"Kenapa?" Kata pertama yang keluar dari mulut Rayya, mewakili segala ketidakpercayaannya dengan omongan Abir dan Alara.
"Apanya yang kenapa?" Dan Alara masih berpura-pura bodoh. Oh, tidak. Dia itu kan memang bodoh.
"Ya kenapa kalian mendadak mau nikah? Apa penyebabnya?" tanya Rayya lebih jelas.
"Hal yang mendasari terbentuknya ASEAN," jawab Abir.
"Deklarasi Bangkok?" Rayya menjawab sekaligus menebak dengan polos.
Abir dan Alara saling tatap, selanjutnya terbahak bersamaan. Membuat Rayya semakin tidak mengerti apa yang sudah terjadi.
"Kalau salah satu hal yang mendasari terbentuknya ASEAN adalah latar belakang negara-negara Asia Tenggara yang hampir sama, maka di sini, latar belakang gue dan Abir yang sama, Ray," jelas Alara, yang membuat Rayya berdecak gemas.
"Langsung aja ngomong kenapa, nggak usah bawa-bawa ASEAN segala!" seru Rayya.
Sekarang Alara yang berdecak. "Kayak nggak tau aja. Gue punya keluarga besar yang bermasalah sama segalanya, sedang Abir punya adek yang lagi kebelet nikah. Nah, karena kesamaan latar belakang itulah, kami memutuskan untuk menikah," terangnya.
"Jadi ini perjanjian?" Rayya memastikan.
Keduanya mengangguk serempak dengan semangat, ekspresinya sama-sama menyebalkan di mata Rayya.
"Sialan, ya, lo berdua?! Bisa-bisanya kompromi kawin biar bisa bebas," Rayya geleng-geleng tak percaya.
Keduanya menyengir tak berguna.
"Jadi, kenapa malah nemuin gue? Mau sembah sujud minta restu? Tenang, udah gue restuin. Jadi, nikah aja sono, nggak usah ribet mikirin restu," kata Rayya santai.
"Nggak segampang itu, Ray. Keluarga gue sama Alara nggak ngerestuin semudah itu. Suruh inilah, itulah, ribet!" adu Abir.
"Aslinya bukan keluarganya yang ribet, sih, tapi Abirnya aja yang payah! Masa tinggal bilang gue sama dia saling cinta aja nggak bisa? Kalau aja dia bilang gitu, pasti kami berdua udah dinikahin," sahut Alara menyindir Abir, padahal dia juga tidak mengatakan mencintai Abir di depan Miray.
"Oh," Rayya tertawa. "Jadi, kalian ke sini mau nyuruh gue mintain restu sama keluarga kalian?"
"Betul!" seru Alara dan Abir bersamaan.
"Lu pinter banget, sih, Ray? Bisa langsung ngerti niat gue sama Alara. Sebagai sahabat lo, gue bangga," oceh Abir, membujuk sekaligus memuji—biar Rayya mau membantu mereka.
"Nggak usah muji-muji. Gue tau gue pinter. Kenapa gue langsung ngerti sama niat kalian? Jawabannya adalah karena muka-muka kalian itu udah jelasin semuanya," beber Rayya.
Alara dan Abir saling menunjukkan cengiran payah masing-masing.
"Jadi, lo mau, kan? Maulah, masa enggak. Sama sahabat sendiri juga," cerocos Alara.
"Berani bayar berapa kalian, nyuruh gue mintain restu ke ortu kalian?" tanya Rayya sambil meniup kuku-kukunya, sok sombong ceritanya.
Alara dan Abir ternganga dan saling pandang. Apa minta bantuan sahabat sendiri di zaman ini memerlukan biaya berlangganan juga?
*****
Dalam satu jam kedepan, keluarga Abir akan datang ke rumah. Miray sudah menyiapkan semuanya untuk menyambut 'calon besannya' itu. Sekarang, dia akan menggunakan sisa waktu yang ada untuk melamun.
Tanpa perlu dijelaskan, Miray mengerti, pasti ada sesuatu di balik rencana pernikahan Alara. Apalagi bersama Abir. Bisa dipastikan mereka sedang berkompromi untuk sesuatu—yang entah apa itu. Namun, Miray tebak, mereka berkompromi 'mau menikah' karena omongan bibi-bibinya kemarin. Tapi kenapa? Biasanya putrinya itu akan mengabaikan saja, kenapa gadis itu sekarang malah menggubris hal yang selalu membuatnya kesal?
Jika niat awalnya saja sudah tidak benar, lalu bagaimana semua itu akan bisa bertahan? Berpisah karena bosan? Salah satu sifat Alara juga sangat mudah bosan terhadap semua hal. Termasuk di dalamnya pasangan. Miray pernah memergoki Alara chattingan dengan para laki-laki, yang kontaknya diberi nama Pacar no. 1, Pacar no. 2, Pacar no. 3, dan seterusnya.
"Ma, keluarga Abir udah dateng! Mama cepetan keluar!"
Miray menghela napas panjang. Itu suara Alara. Kenapa pula Abir dan keluarganya cepat-cepat datang? Padahal durasi melamunnya baru sebentar.
"Mama ...! Mama denger aku, nggak?"
"Iyaa ...!" Miray bergegas keluar, atau teriakan itu akan semakin keras.
Ternyata, gadis dua puluh lima tahun itu sudah berdiri di depan pintu; senyum-senyum tidak jelas ketika Miray keluar.
"Ada apa?" tanya Miray. Dari gerak-geriknya saja, sudah cukup menimbulkan kecurigaan.
"Enggak ada. Mama keluar, gih. Udah ditungguin soalnya," ucap putri Miray satu-satunya itu dengan ramah. Semakin aneh, bukan? Sejak kapan Alara bisa bersikap ramah?
Ketika keduanya tiba di ruang tamu, tempat itu sudah dipenuhi oleh anggota keluarga Abir: kedua orang tua, kedua adik kembar, dan nenek. Lalu, ada satu makhluk lain yang bukan berasal dari keluarga Abir. Rayya, sahabat Abir dan Alara.
Setelah saling bersalam-salaman mengucapkan selamat hari raya, mereka semua pun duduk. Sedikit ada kecanggungan di antara para orang tua, mengingat mereka memang hanya sempat bertemu di beberapa kesempatan, lain dengan anak-anaknya yang tidak ada sehari pun hilang kontak.
"Abir itu sebelumnya nggak mau nikah, tapi semalam mendadak minta izin untuk menikahi putri Anda berdua," ucap nenek Abir, Ashima.
"Alara juga begitu, Bu Shima. Dan kami pun belum mengiyakan atau menolak. Sebenarnya, kami sedikit heran, Alara salah makan apa atau hantu mana yang merasukinyaa sampai mendadak mau nikah?" sambung Miray, tentu sambil melirik Alara sedikit.
"Iya, Abir juga gitu. Selalunya dipaksa nikah sama adeknya karena nggak mau ngelangkahin kakaknya, tapi Abir selalu nolak. Tapi malam tadi, dia malah mendadak pulang sambil minta izin mau nikah," tambah Afsana, ibu Abir.
"Ekhem," Rayya berdeham. "Sebelumnya, maaf, ya, Semuanya. Bukannya saya mau ikut campur, saya hanya ingin mengatakan sesuatu."
Perhatian langsung tertuju pada Rayya.
"Mengatakan apa, Nak?" tanya Ashima.
"Jadi, gini, Nek. Alara dan Abir itu sebenarnya saling mencintai, tapi karena mereka payah, jadi mereka nggak bisa ngomongnya," ujar Rayya.
"Ya ... kalian tahu sendirilah, mereka berdua—sebenarnya kami bertiga—sudah bersahabat sejak puluhan tahun lalu. Kami sudah hafal sifat masing-masing. Dan, kalian juga pasti pernah dengar, 'kan? 'Tidak ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan'. Nah, itulah yang terjadi sama putra dan putri kalian. Karena sering ketemu, curhat, makan-makan, nonton bareng, jalan, mereka jadi saling cinta. Tapi ... ya, biasanya orang-orang kayak sungkan gitu mau bilang kalau mereka naksir sahabat mereka sendiri. Jadi, pas udah saling terbuka dan menjalin hubungan, izinnya ke keluarga itu yang susah buat mereka," lanjut Rayya menjelaskan panjang lebar.
Semua orang yang berada di ruangan itu terdiam mencerna kata-kata Rayya. Buat mereka, Rayya adalah sosok yang tahu luar-dalam Abir dan Alara, tentu karena persahabatan mereka yang sudah sangat lama. Jadi, ya, perkataan Rayya bisa dipercaya.
"Jadi, kalian berdua ini sebenernya saling mencintai?" tanya Afsana seperti tak percaya.
Alara dan Abir saling pandang, lalu mengangguk kikuk.
"Lah, kenapa nggak bilang dari kemarin? Kalau bilang dari kemarin, hari ini kita pasti sudah menyiapkan semuanya," kata Afsana.
"Tunggu, tunggu," sahut Miray. "Ini beneran, kan? Apa yang Rayya bilang bener? Kalian berdua saling mencintai?"
Alara dan Abir mengangguk sekali lagi.
Miray masih mengerutkan kening, seperti tak percaya pada kedua anak muda itu. "Sejak kapan?"
"Eh? Apanya yang sejak kapan, Ma?" tanya Alara kebingungan sendiri.
"Kalian saling cintanya itu sejak kapan."
"Dua bulan lalu," jawab Alara.
"Enam bulan lalu," jawab Abir setengah detik kemudian. Oke, kedua jawaban itu hampir bersamaan.
Sekarang bukan hanya kening Miray, tapi semua orang mengernyit.
"Dua atau enam bulan?" tanya Arshiya.
Abir melirik Alara; Alara memelototkan matanya pada Abir sebagai isyarat.
"Aku baru sadar suka Abir dua bulan lalu, tapi Abir udah suka sama aku sejak enam bulan lalu, begitu," jelas Alara.
"Apa yang Abir sukai darimu?" tanya Miray tiba-tiba sambil memicingkan mata menatap Alara.
Sontak saja Alara gelagapan. Ayolah, pertanyaan macam apa yang ibunya ajukan itu? Apa yang Abir sukai darimu, seolah-olah dia sangat tidak cocok untuk disukai para lelaki. Dan, hey, apa Miray tidak tahu, berapa jumlah followers instagramnya? Juga, berapa ratus orang yang selalu memberi komentar dengan emoticon love, atau memuji-muji dirinya? Ah, sepertinya setelah ini, Alara harus buatkan akun instagram untuk mamanya itu.
"Abir sayang, kenapa kau diam, Nak?" tanya Miray pada Abir.
"Emm---" Oh, God, apa yang harus Abir katakan pada ibu Alara itu? Sepertinya membuat orang mati kutu adalah bakat yang mendarah daging di keluarga Alara.
"Hatinya," sahut Rayya tiba-tiba. "Meski bertampang preman, kriminal, atau psycho, Alara itu sebenarnya baik," paparnya.
Sekarang Miray memicingkan mata menatap Rayya. Baik dari mananya? Sejak melahirkan Alara hingga detik ini—sudah dua puluh lima tahun lebih dua bulan—dia tidak pernah terlihat kebaikan hati Alara yang Rayya sebut itu.
"Tante, cinta itu kan tanpa alasan. Kalau mencari orang yang sempurna, itu tidak akan ada. Karena, yang ada hanyalah hubungan yang sempurna," ujar Abir sambil tersenyum kikuk. Untungnya dia ingat salah satu quotes dari film yang ditontonnya dulu.
"Abir benar," ucap ayah Abir, Arav. "Cinta itu memang tanpa alasan, datang tiba-tiba tanpa diundang. Juga, tidak membutuhkan sebab spesial, seperti harus menyukai sesuatu dari dalam diri pasangannya."
Abir dan Alara tersenyum lebar. Pepatah itu benar, Tuhan tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan hambanya. Buktinya, mereka berdua akhirnya diberi pahlawan penyelamat berupa Ayah Abir saat hampir menyerah dengan pertanyaan-pertanyaan aneh itu.
"Oke, jadi, kita semua setuju dengan hubungan Abir dan Alara?" ucap Ashima seraya menatap bergantian semua orang.
"Setuju!" sahut Arshiya dengan semangat empat limanya. "Dari awal aku emang setuju dengan hubungan kak Abir dan kak Alara. Kan, yang penting, kak Abir nikahnya sama perempuan asli." Gadis itu menyengir di akhir kalimat.
Beberapa orang tertawa, sisanya geleng-geleng kepala dengan sebaris senyum.
"Om, Tante, sebaiknya kalian setuju aja, ya? Abir dan Alara itu pasangan serasi yang dibuat di surga. Sama-sama payah. Sama-sama kriminal. Bahkan, untuk minta restu aja harus datengin juru bicara, eh!" Rayya menggigit kecil lidahnya karena kecelakaan lidah di akhir kalimat.
"Iya, Rayya. Kami setuju. Terima kasih atas bantuanmu, ya," tutur Miray tersenyum.
"Sama-sama, Tante," balas Rayya semangat.
Di akhir acara, kedua keluarga itu saling berpelukan bahagia. Sementara itu, Abir melirik Alara sambil senyum-senyum. Tahu apa yang dilakukan Alara sebagai balasan? Yup, dia memelotot menggertak Abir.
"Bener-bener serasi, pasangan kriminal," komentar Rayya yang mengetahui adegan itu.
"Dih, najis banget serasi sama di---"
"Ssttt!" Abir langsung membungkam mulut Alara sebelum salah satu anggota keluarga mereka mendengar apa yang Alara katakan.
Alara melepas paksa tangan Abir yang membungkam mulutnya. "Jangan sentuh gue!"
"Diem, Lara, diem," desis Abir. "Lo mau keluarga kita narik lagi restu mereka? Siapa yang kemaren bilang udah nggak sabar mau nikah, ha?"
Alara menggeram kesal. "Iya, iya. Gara-gara Rayya, tuh, nyebut-nyebut gue serasi sama lo segala," gerutunya.
"Eh, eh, eh? Apa lo bilang? Bukannya berterima kasih udah gue bantu mintain restu, malah nuduh-nuduh gitu. Mau gue bilangin ke ortu kalian, kalau kalian nikah cuma biar terlepas dari pertanyaan 'kapan nikah', ha?" sahut Rayya tak terima.
Alara dan Abir langsung mendekat di sisi kanan dan kiri Rayya. "Rayya sayang, sahabat gue yang cantiknya tiada tara, jangan gitu, dong, nggak baik," bujuk Alara. "Maaf. Mulut gue kan emang rada kejam."
"Hei, kalian kok malah kumpul di sini? Ayo sana, sekalian kita tentukan hari pertunangannya," ucap Nenek Ashima yang mendadak saja muncul dari belakang mereka.
"Nenek dari mana?" tanya Abir sedikit takut. Takut neneknya itu dengar pembicaraan mereka bertiga. Jika wanita itu dengar, restu yang akan didapat bisa dipastikan lenyap seketika.
"Dari kamar mandi."
"Oh, syukurlah." Abir menghela napas lega.
Ashima mengernyit. "Udah, ayo sana. Kita tentukan tanggal yang baik untuk pertunangan kalian."
"Kenapa nggak langsung nikah aja?" tanya Alara dan Abir bersamaan.
Nenek Ashima ternganga. "Setidaksabar itukah kalian berdua untuk menikah?"
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!