Hari masih pagi. Sisa- sisa embun malam masih tampak di daun- daun tanjung di halaman. Sinar matahari mengusap wajah gadis yang sedang joging itu. Keringatnya tampak menetes sepanjang dia berlari.
" Sudah selesai Mbak, jogingnya? , " seorang gadis di halaman rumah menyapa Sasya yang telah menyelesaikan jogingnya.
" Hmmm.... " balas Sasya sambil mengelap sisa keringat. " Kamu harusnya ikut mbak tadi biar nggak gampang sakit."
"Biasanya Mel juga ikut joging," bantah sangat adik nyengir. "Tapi ni kan Mel masih sakit. "
Melisya Ananda Setyawan adalah adik satu- satunya yang dimiliki Sasya. Sasya sangat menyayanginya. Kendati pun mereka sering adu mulut, tapi sebenarnya mereka saling mengasihi.
Hari minggu begini adalah acara untuk bermalas-malasan. Dua sejoli kakak beradik itu kini sedang membaca novel masing-masing.
" Mbak, mau baca yang ini nggak? Ceritanya keren lho, " tawar Mel tetap dalam posisi tengkurap. Sasya tidur terlentang sambil membaca novelnya yang bersampul merah bata itu.
" Bagusan yang ini, " respon Sasya datar.
" Tapi Mel yakin mbak pasti suka, " Melisya seperti memaksa. Memangnya sebagus apa sih cerita novel yang kini tergenggam ditangannya. Mel mengubah posisinya. Kini dia duduk menghadap kakaknya yang dari tadi seakan tak menghiraukannya.
" Maksa banget sih! " lagi- lagi Sasya tak memperhatikan keinginan adiknya.
" Ceritanya tuh bagus mbak. Judulnya STRAWBERRY CREAM KISS, karangan Felice Cahyadi, " Melisya seakan tak mau menyerah. Apa yang sebenarnya dia inginkan. Mengapa sepertinya dia begitu ingin kakaknya membaca novel yang dia maksud.
" STRAWBERRY CREAM KISS... Lucunya... " akhirnya Sasya mulai tertarik. Seketika senyum di wajah Mel mengembang.
" Kalau Mel kasih cerita, ntar Mbak nggak ngrasain gregetnya," Melisya semakin yakin usahanya akan berhasil.
" Ntar ah, ni punya Mbak belum selesai, " balasan Sasya membuat senyuman di wajah Mel menyurut.
" Tok...tok...tok..." tiba-tiba terdengar suara pintu kamar Sasya di ketuk. " Sya... Boleh aku masuk? " terdengar suara yang tak asing di telinga Sasya. Seketika Sasya melompat dari ranjang dan membuka pintu kamarnya.
Ceklek! Senyum di wajah Sasya kian merekah. " Chika! " teriaknya girang. Sasya langsung menghambur ke pelukan Chika. Ini benar-benar kejutan yang sangat membahagiakan. Rasa rindu pada sepupunya yang tinggal di kota B itu memang serasa sudah menggunung.
Mel pun ikut menyambut Chika dengan pelukan kerinduan. Mereka berbincang-bincang melepas segala kerinduan. Dan ini jg merupakan keberuntungan bagi Mel. Dengan kehadiran Chika, Mel bisa memastikan Sasya akan meninggalkan bacaannya. Dan inilah giliran Mel untuk menikmati alur menggemaskan dari novel yang sedari kemarin ingin dipinjamnya dari Sasya itu.
" Kamu ke sini sama Om dan Tante atau sendiri? " tanya Sasya memulai pembicaraan.
" Sama mama papa lah, Sya. Mana ada aku boleh main ke sini sendiri, " jawab Chika datar. " Tapi tadi setelah nurunin aku di depan rumah kamu, mama papa langsung nyusul ke kantor Om Setyawan."
" Mumpung di sini kita jalan- jalan yuk!" ajak Sasya.
"Ok! Siapa takut, "Chika mengiyakan mantap.
" Mel dirumah aja Mbak, mau pinjem novel Mbak.He... " sahut Mel meringis.
" Yakin?" Sasya tahu adiknya memang dari kemarin tertarik novel FRIST KISS itu. Dan itulah alasan Mel rela melewatkan kesempatan kebersamaan yang jarang ada ini.
Mel mengangguk mantap. Akhirnya Sasya dan Chika hanya berangkat berdua. Dan tempat pertama tujuan mereka adalah taman kota. Chika yang antusias memilih tempat itu.
Bersambung...
Chika mengajak Sasya duduk di kursi panjang di sudut taman. Mereka asyik melihat pemandangan taman kota yang asri. Orang- orang asyik berlalu lalang. "Sya... " tiba-tiba Chika menunjuk ke salah satu tempat. " Coba kamu lihat deh." Chika tersenyum. "Lucunya... Ihh,Gemes... "
Sasya tersenyum. Dipandangi nya apa yang ditunjuk oleh sepupunya. Dua gadis kecil memakai gaun biru muda. Masing-masing berkuncir dua pad tatanan rambut kriwil nya. Wajah mereka berdua nyaris sama. Hanya tahi lalat di atas bibir pada yang lebih aktif dari yang lain, yang membedakannya.
Tiba-tiba Sasya merengkuh Chika dengan lembut. Tak terasa air matanya menitik tanpa dia sadari.
" Sya... " Chika tersentak kaget dengan sikap sepupunya yang tiba-tiba. Sama sekali dia tak bisa meraba maksud pelukan tersebut dan lagi dia menangis. Tapi kenapa? Padahal jelas- jelas dia hanya menunjukkan dua gadis kecil kembar nan cantik dan lucu. Dimana letak kesedihannya coba. Chika hanya bisa berkecamuk dalam hatinya.
Sasya tak membalas ucapan sepupunya. Dia malah mempererat pelukannya. Setelah beberapa waktu barulah Sasya melepas pelukannya. Seperti seseorang yang menemukan kesadarannya kembali.
Chika hanya bisa bertanya-tanya dalam hatinya. Karena dia tahu dengan bertanya pun dia yakin Sasya tak akan menjawabnya. Dia mengenal Sasya sangat dekat. Terkadang dia merasa seperti lebih mengenal Sasya ketimbang dirinya sendiri.
Sasya yang sudah merasa menemukan kesadarannya kembali segera merapikan poninya yang menutupi matanya akibat tiupan angin yang cukup kencang saat itu. Dia menjadi terlihat sedikit salah tingkah.
" Oh ya Chik, gimana skul kamu?" Sasya tampak mengalihkan arah pembicaraan mereka. Itu pertanda bahwa Sasya menghindari pertanyaan sepupunya karena tingkah anehnya barusan. Dan Chika sangat paham akan hal itu. Meskipun ada sejuta tanya dalam hatinya, tapi dia tahu sepupu sekaligus sahabatnya itu tak bisa di ganggu gugat.
Chika tersenyum samar. " Semua baik- baik saja Sya." Chika memandang lurus ke arah gadis bermata sipit itu. " Kalau kamu? "
" Sama, "balas Sasya datar. " Tak ada hal yang istimewa. Semua berjalan sesuai alurnya. " Sasya terlihat begitu tidak bersemangat.
" Aku sudah bilang sama mama papa kalau aku minta pindah ke sekolah kamu, Sya. "
Perkataan Chika membuat Sasya membelalakkan matanya. Ada kebahagiaan tersirat di wajahnya. " Benarkah?"
Chika menganggukkan kepalanya. " Tapi mereka tidak menyetujuinya, " wajah Chika tampak muram.
" Sayang sekali ya Chik, "tampak gurat kekecewaan terlihat di wajahmu Sasya. " Its okay. mungkin suatu saat mereka berubah fikiran. Don't worry girl.., " Sasya mencoba menghibur sepupu sekaligus dirinya sendiri.
Akhirnya mereka melanjutkan obrolan. Banyak sekali yang mereka bicarakan. Bersenda gurau bersama dalam ceria. Saat matahari mulai tenggelam, mereka memutuskan untuk pulang.
Chika dan orang tuanya berpamitan pulang. Sasya berpikir mereka akan menginap tapi ternyata salah. Kekecewaan kembali menyelimuti hati dua sejoli itu.
Malam yang dingin membuat tubuh Sasya menggigil. Badannya panas. Kepalanya dirasa berputar- putar. Sasya seakan merasa kepalanya kian berat.
" Tok... tok... tok... " Sasya merasa beruntung ada orang datang ke kamarnya. Karena memang sepertinya dia membutuhkan pertolongan.
Bunda Nayla, mamanya Sasya masuk ke kamar Sasya. Beliau kaget melihat keadaan Sasya yang jauh dari kata baik. " Kamu kenapa sayang? "tanya Bunda Nayla sambil menempelkan punggung tangan ke dahi anak gadisnya itu. " Demam kamu tinggi sayang. Bunda telpon Dokter Yeni dulu ya sayang. "
Tanpa menunggu respon persetujuan dari Sasya, Bunda Nayla segera mengambil handphone nya dan segera menghubungi dokter Yeni, dokter andalan keluarga Setyawan yang telah setia melayani keluarga Setyawan dari turun temurun.
Bunda Nayla kembali ke kamar Sasya membawa air hangat dalam waskom beserta handuk kecil. Bunda segera mengompres dahi Sasya berharap bisa mengurangi demamnya walau sedikit.
Sedangkan di seberang sana Chika merasakan kepalanya pusing, badannya demam. Chika merasa aneh dengan tubuhnya. Karena beberapa waktu lalu dia masih bisa merasakan kondisi tubuhnya fit tapi kenapa mendadak dia terserang demam.
Chika segera mengambil tablet paracetamol persediaan nya di laci. Membukanya satu lalu meminumnya dibantu dengan segelas air yang memang selalu tersedia di atas nakas sebelah ranjangnya.Kemudian diambilnya lagi satu tablet obat tidur. Berharap dia bisa cepat terlelap dan saat bangun rasa sakitnya sirna.Setelahnya dia kembali merebahkan tubuhnya di pembaringan.
Chika tak kunjung terlelap dengan kondisi tubuhnya seperti itu. Kini demamnya disertai menggigil. Chika meraih handphone di atas nakas berniat menghubungi mama Maya, mama tercintanya untuk meminta pertolongan. Namun dia mengurungkan niatnya. Seketika dia teringat dengan sepupunya. Jika tebakannya benar, pasti terjadi sesuatu pada Sasya.
Chika segera mengklik beberapa kali dan tak lama dia tersambung dengan orang di seberang sana.
" Halo," jawab seseorang di seberang sana tapi jelas itu bukan suara Sasya. Chika mengenalnya. Chika yakin itu suara bunda Nayla.
" Halo Tante Nayla, " balas Chika. " Kog Tante yang pegang handphone Sasya? Emangnya Sasya kemana Tante? " lanjut Chika penasaran. Tidak biasanya Sasya membiarkan handphone nya dipegang orang lain meskipun bundanya sekalipun. Chika jadi tambah yakin pasti memang terjadi sesuatu pada sepupu tersayang nya.
" Sasya nya lagi demam tinggi sayang, jadi tante yang angkat telponnya. " Bunda Nayla menjelaskan. "Apa Chika ada perlu sama Sasya? "
Deg! Tubuh Chika melemas.Namun dia berusaha sekuat tenaga memaksakan suaranya keluar untuk membalas pertanyaan tantenya. " Ttti.. tidak kog Tant," Chika sedikit tergagap. "Chika cuma mau ngobrol sama Sasya tadinya. Kalau begitu lain kali Chika telpon lagi saat Sasya sudah baikan. Salam buat Sasya ya Tant. Semoga Sasya cepet sembuh, amin... "
" Amin... makasih ya sayang." setelah terdengar balasan dari tante Nayla, Chika langsung memutuskan sambungan.
Untuk kesekian kalinya ini terjadi lagi. Benar kan dugaanku. Tapi bagaimana ini bisa terjadi. Apa mungkin kejadian yang tak hanya sekali dua kali ini hanya merupakan kebetulan. Atau memang sebenarnya rasa sakitmu adalah rasa sakitku? Tapi bagaimana mungkin?
Batin Chika berkecamuk mencoba mencari kebenaran yang terjadi. Namun, tak kunjung di dapatkannya. Semua terasa tak masuk akal. Hingga akhirnya dia terlelap juga akibat dari pengaruh obat tidur yang tadi di minumnya.
Bersambung...
Hidangan makan malam yang mewah dan lezat itu seakan terlantar. Tak ada yang tersentuh sedikitpun. Entah mengapa rasanya nafsu makan Sasya yak kunjung mencuat. Padahal tadi dia merasa perutnya sangat lapar. Hingga dia memesan beberapa menu makanan lengkap beserta dessertnya.
Sasya mengedarkan pandangan keluar. Kebetulan Sasya duduk persis di sebelah jendela sehingga dia bisa leluasa melihat pemandangan di luar cafe tempatnya memesan makanan. Pandangan Sasya terhenti saat mendapati seorang anak kecil terlihat menangis sesenggukan di sudut taman cafe.
Seketika hati gadis berambut hitam lurus sebahu itu tergetak tanpa komando. Kedua kaki jenjang nya melangkah menuju pintu keluar cafe.
" Maaf Nona, silahkan Anda membayar bill terlebih dahulu, " seorang waitress tampak mencegat langkah kaki gadis berkulit putih seputih susu tersebut.
Sasya tersenyum lembut. Tak ada sedikitpun perasaan marah karena dianggap berniat kabur tanpa membayar. "Saya akan kembali lagi Mbak, saya hanya ingin menjemput adik saya diluar. "
Nampaknya waitress berambut ikal itu tak sepenuhnya mempercayai ucapan Sasya. "Mbak lihat saja makanan saya belum sama sekali saya makan. Itu karena saya menunggu adik saya, " tambah Sasya beralasan. Tapi nampaknya Sasya tahu pelayan cantik itu belum bisa sepenuhnya percaya padanya. "Baiklah jika memang Anda meragukan saya, Anda boleh ikut saya keluar. "
Sasya tak lagi mempedulikan respon dari pelayan cafe tersebut. Entah mengapa dia ingin segera menjumpai gadis kecil yang dilihatnya tadi dari jendela.
" Sayang... " sapa Sasya sambil berjongkok tepat di sebelah gadis kecil yang menunduk dalam sesenggukan tangisnya itu. Dibelainya rambut poni yang menjuntai menutupi sebagian area wajah mungilnya yang menggemaskan.
Gadis kecil itu mendongakkan kepala. Menatap Sasya dengan mata sembabnya. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir mungil nan merah semerah delima.
" Kamu sendirian sayang?" lanjut Sasya. Dia tahu pelayan cantik itu sedang menunggu dan mengawasinya. " Kenapa menangis? " Sasya tambah mengelus kepala gadis yang masih tak mau membuka mulutnya.
" Ikut kakak ke dalam yuk. Kakak udah pesen banyak makanan tapi kakak sedih karena tidak ada yang menemani makan, " rayu Sasya dengan wajah terlihat sedih.
Lagi-lagi tak ada tanggapan dari yang dirayu. Sasya jadi frustasi sendiri. Apalagi pelayan yang tengah berdiri beberapa langkah darinya terlihat sudah tak ramah lagi.
" Mau ya sayang, please..." Sasya mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya. Betapa senang hatinya saat mendapatkan anggukan beberapa saat setelahnya. Sasya meraih tangan dengan jari- jari mungil nan halus itu.Digandengnya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang
memasuki cafe diikuti pelayan cantik yang sudah seperti bodyguard saja.
Sasya membantu gadis kecil itu duduk di kursi. Segera dia menawarkan makanan yang mungkin diminati gadis yang menurut Sasya seperti seorang peri kecil dengan kecantikan naturalnya.
Mereka makan bersama dengan lahapnya. Keceriaan mulai tersulut di wajah peri kecil Sasya lewat senda gurauan yang Sasya ciptakan. Ya begitulah Sasya memanggil gadis kecil itu. Sasya bahkan tak ingin menanyakan nama gadis kecil yang tengah makan bersamanya.
" Boleh kakak memanggilmu peri kecil, sayang?" tanya Sasya saat peri kecilnya melahap sendok terakhirnya.
Peri kecilnya mengangguk dan tersenyum. "Dan aku akan memanggil kakak dengan.... " peri kecil terdiam agak lama. Dia mencoba mencari panggilan yang paling tepat untuk malaikat cantik yang begitu baik dan lembut padanya. Bahkan mampu menghapus kesedihan yang sedari tadi membelenggunya. "Kakak cantik. "
Senyum peri kecil merekah. Sasya mengacungkan kedua jempolnya.
"Silvy! " teriak seorang yang tanpa Sasya sadari sudah ada di depan peri kecilya. Mata hitamnya melotot. Wajahnya tampak merah padam. Sasya bisa merasakan kemarahan tengah menguasai pria tampan bertubuh kekar di hadapannya.
Peri kecil yang ternyata bernama asli Silvy itu menatap dengan penuh ketakutan. Seketika bulir-bulir bening menerobos mata indahnya.
Sasya terperanjat. " Maaf! Bisakah Anda bersikap lebih lembut padanya. " Sasya menatap wajah tampan di hadapannya dengan tatapan tajam. "Apa Anda tidak sadar sikap Anda membuat dia begitu ketakutan."
Tentu saja tatapan tajam Sasya justru membuat api kemarahan pria tampan di depannya semakin berkobar. " Kau! "Pria tampan bergaya rambut Mandarin itu mengacungkan ibu jari persis di depan mata Sasya. " Tidak perlu mengguruiku! "tambah nya dengan suara lantang hingga membuat beberapa pelanggan cafe yang mendengar mengarahkan pandangan ke arah Sasya.
Seketika Sasya merasa kikuk karena merasa semua mata tertuju padanya. Terlihat pria tampan itu menarik tangan Silvy dengan kasar. Dengan cepat Sasya menyambar tangan mungil Silvy dan membuat tangan mungil itu terlepas dari genggaman tangan pria itu.
Pria itu menyadari Silvy sudah tidak lagi dalam genggaman nya. Amarahnya sudah benar-benar naik ke ubun- ubun. Tangganya mengepal dan bergetar. " Silvy! " teriaknya lebih meninggi.
Wajah Silvy terlihat semakin ketakutan. " Ii...iii... ya Kak Raymond. " Silvy segera berlari menghampiri kakaknya yang entah beberapa hari ini menurutnya berubah 180 derajat. Kakak yang biasanya penyayang dan selalu lembut tiba- tiba berubah menjadi kasar dan pemarah.
Sasya hanya melongo melihat Silvy menghampiri pria kasar itu dan pergi meninggalkan nya begitu saja. Sasya menghela nafas panjang. Dia kembali duduk di kursinya. Semoga kamu baik- baik saja peri kecil. Gumamnya lirih.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!