Di dunia ini, ada empat perusahaan besar yang berdiri berdampingan dengan kekuatan yang sangat mendominasi dan mengiritasi. Perusahaan itu dilambangkan sebagai empat kartu--Spades, Diamond, Heart dan Clubs. Masing-masing kepala dari perusahaan itu menjalin hubungan pertemanan yang dari luar, terlihat sangat asri dan membuat orang-orang di luar garis lingkar sosial mereka iri.
Yang tidak orang-orang ketahui, dibalik keakraban yang dipertontonkan di muka umum, mereka saling menodong senjata di balik kepala masing-masing. Menunggu siapa yang lebih cepat menarik pelatuknya. Siapa yang akan menjadi lawan, teman dan korban.
Pertemanan empat keluarga itu terus berjalan damai sampai sekarang, sampai seseorang berusaha lepas dari lingkaran kemunafikan itu.
"Pernikahan ini adalah keharusan, Indira." Anggara Rashid--kepala perusahaan Spades--berbicara pada Indira Rashid, adiknya.
"Jika kau tidak menikahi Evan, keluarga kita akan ditelan oleh keluarga Hunter. Kau tau sejak kepemimpinan Ace di Diamond, mereka menjadi sangat tidak terkendali, bukan?"
Indira menghela napas. Ia tau cepat atau lambat, pernikahannya dengan Evan akan terjadi. Tapi, ia tidak menyangka hatinya akan terasa berat luar biasa.
"Apa tidak ada jalan lain?" Evan adalah sahabat Indira, begitu pula Ace. Indira tidak mau pernikahan ini akan membuat pertemanannya dengan kedua pria itu merenggang. Ace mungkin akan membencinya.
"Kecuali kau mau keluarga kita jatuh bangkrut, Indira. Sebaiknya kau berhenti mencemaskan persahabatanmu dengan Ace."
Anggara bangkit dari sofa beludru merah itu dan melempar tatapannya pada Fawn--asisten pribadi adiknya yang berdiri bungkam di balik sofa.
"Fawn, ikut aku." Anggara membalikkan punggungnya tanpa perlu menoleh ke arah Fawn sama sekali. Dia tau--tanpa mengulang kata, Fawn akan menurutinya.
"Ada apa, Tuan?" Fawn bertanya setelah ia menapak keluar dari kamar Indira. Matanya menyorot punggung Anggara, menantikan jawaban dari tuannya yang sekarang berdiri tenang di depan jendela kaca.
"Pernikahan ini harus terjadi, Fawn." Ucapan Anggara membuat Fawn agak kebingungan.
Ia tau pernikahan kerja sama ini adalah hal yang sangat berarti untuk keberlangsungan keluarga Rashid dan keluarga Caspian. Tapi, yang tidak Fawn mengerti, kenapa Anggara mendiskusikan topik ini padanya?
"Katakan padaku, Fawn, jika aku meminta nyawamu hari ini, apakah kau akan memberikannya padaku?" pertanyaan Anggara membuat Fawn melebarkan mata.
Fawnia Alder--gadis dalam balutan jas hitam dan kemeja putih itu menapakkan satu langkah maju ke hadapan Anggara. Matanya berbinar terang--menunjukkan keseriusan.
"Aku akan memberikan nyawaku untuk keluarga Rashid, itu adalah sumpahku dalam pekerjaan ini."
Fawn menatap Anggara lekat-lekat di mata. Ia tidak akan goyah bahkan ketika sebuah pistol teracung di dahinya. Siap meledakkan kepalanya. Ia tidak akan berkedip, tidak bergetar di kakinya, tidak akan menarik sumpahnya.
Ketika keluarga Rashid menjaga ibunya yang sakit-sakitan, mendanai pendidikannya, dan menjamin ia menjalani kehidupan yang nyaman, Fawn bersumpah, setelah menamatkan pendidikannya ia akan mengabdikan hidupnya untuk keluarga ini. Fawn rela menyerahkan nyawanya untuk mereka yang sudah melindunginya tetap hangat ketika ia dan ibunya tidak memiliki atap di atas kepalanya.
Fawn tidak memiliki penyesalan sama sekali.
"Kau sangat loyal, Fawn." Anggara menurunkan pistolnya. Senyum merekah tipis di wajah tampannya. "Aku senang mengetahui Indira memiliki sosok sepertimu di sampingnya."
"Loyalitasku belum sebanding atas kebajikan yang sudah keluarga Rashid berikan," tutur Fawn.
"Kalau begitu, dapatkah aku mengharapkan satu hal padamu?" Anggara mendekati Indira, mata memindai setiap lekuk tubuhnya. "Kau dan Indira tidak jauh berbeda, huh?"
"Y-ya?"
"Aku punya satu misi untukmu, Fawn." sudut bibir Anggara tertarik membentuk seringai tipis.
Misi itu adalah misi bunuh diri.
Ketika Anggara mempertanyakan loyalitasnya, Fawn tau ia akan dimanfaatkan seperti bidak di papan catur Anggara. Ia akan menjadi korban, ia akan menemui kematian.
Fawn sangat memahami bahwa pernikahan Indira dan Evan Cassian harus terjadi. Bahkan bila itu berarti dia harus mati. Fawn mengerti misi bunuh diri ini, dan ia rela mengorbankan nyawanya agar keluarga Rashid terselamatkan.
Ia rela mati.
Tapi, kenapa...,
"Keparat!"
Dua minggu kemudian.
Dalam keadaan tangan terikat kuat, Fawn duduk bersimpuh di hadapan seorang pria yang dia kenali jelas parasnya. Pria yang membuat keluarga Rashid tersudutkan. Pria yang merupakan musuh besar keluarga Rashid.
Arcelio Hunter.
Ace.
Pria ini adalah pemimpin perusahaan raksasa terbesar di Utara--Diamond Corporation. Perusahaan yang membuat tiga perusahaan raksasa lainnya nampak seperti kurcaci di kakinya. Dia adalah penerus utama Diamond Corp, pria yang terkenal akan kegilaannya. Keluarga Hunter menjadi liar semenjak Ace menapak menggantikan posisi ayahnya yang meninggal secara misterius.
Di mata Fawn, pria itu adalah pria paling berbahaya di antara empat pemimpin perusahaan lainnya. Ace sering bertemu dengan Indira sebelumnya di rumah utama, dan setiap kali mereka bertemu, Fawn yang menjaga Indira selalu merasa tidak nyaman di dekat pria itu.
Sekarang, dihadapkan kembali dengan pria yang selalu ia ingat sebagai musuh tuannya, Fawn merasa ngeri di tulangnya.
"BAJINGAN, AKU MEMINTA KALIAN MEMBAWA INDIRA KEHADAPANKU! INDIRA, BUKAN KACUNGNYA!!!" Ace memekik keras di depan ke lima bodyguard-nya. Mereka semua menunduk takut.
Ace sangat tidak habis pikir, lima orang yang paling ia percayai kemampuannya--mengecewakannya. Bagaimana bisa mereka salah menangkap orang?
Gadis ini--gadis yang sekarang meringkuk di depannya dengan mata rusa yang waspada, adalah asisten Indira. Ace mengenalinya, mengetahuinya. Dia adalah Fawn. Ace sering melihat gadis itu di samping Indira.
"Maafkan kami, Boss. Sepertinya pergerakan kami telah diprediksi. Mereka membuat jebakan dan memanfaatkan gadis ini sebagai jebakan." Carsel Jordi--bodyguard terpercaya Ace mengangkat kepalanya takut-takut.
"Huh? Jadi maksudmu, mereka sudah menduga aku akan menculik nona muda mereka jadi mereka menggunakan gadis ini sebagai jebakan?" Ace melenggang mendekati Fawn. Ujung sepatunya terangkat dan berlabuh di dagu Fawn, memaksakan wajah gadis itu agar mendongak menatapnya.
"Katakan, Fawn. Apa kau benar-benar rela menjadi umpan untuk keluarga Rashid mengetahui ini adalah misi bunuh diri? Kau akan mati, tau?" Ace berjongkok di depan Fawn. Menatap kepada mata gadis itu yang mengingatkannya pada seekor rusa yang terluka.
"Kematian adalah bentuk pengabdianku pada keluarga Rashid," jawab Fawn. Dalam hatinya, Fawn merasa lega misi ini berhasil. Artinya, jauh di luar sana, pernikahan Indira telah terlaksana. Keluarga Rashid terselamatkan berkat pengorbanannya.
"Kau membuatku terharu, mari lihat sejauh mana loyalitasmu itu akan bertahan di depan kematian." Ace berdiri, mengambil pistol dari tangan Carcel, dan tanpa pertimbangan mengacungkannya ke hadapan Fawn.
Lagi, keluh Fawn. Lagi-lagi ditodong pistol.
Dia benar-benar akan mati, ya? Huh. Andai saja ia sempat menyantap kepiting pedas favorite-nya.
Mata gadis itu melebar kelam. Tapi, kendati senjata sudah berada di depan hidungnya, bibir merah muda itu masih terkatup rapat. Tidak ada permohonan keluar dari bibirnya, tidak ada penyesalan. Sungguh menakjubkan. Ace terpesona atas loyalitas buta yang ditunjukkan oleh pengawal pribadi Indira.
"Apa kau punya kata-kata terakhirmu?"
Ace mengulur waktu sementara matanya menatap kepada sepasang iris cokelat Fawn yang tenang. Tidak ada riak ketakutan atau kegugupan di matanya. Hanya seorang prajurit yang rela mati demi tuannya.
"Jangan buang waktumu, bunuh aku!"
Sedetik setelah Fawn mengucapkan kata-kata terakhirnya, sebuah peluru berdesing keluar dari ujung pistol yang dipicu oleh pria bajingan di depannya.
Bang!
Bunyi letusannya memekikkan telinga.
Jantung Fawn berhenti berdetak seketika. Ia pikir ia telah mati saat itu juga. Tapi...
"Membosankan," peluru itu melintasi telinganya, jatuh di tanah beton belakangnya. Ace--si penembak--menyibak poni panjang Fawn dengan senjatanya.
"Aku berubah pikiran." tutur Ace.
Ucapannya membingungkan seisi ruangan.
"Boss, apa maksudmu?"
Ace menyerahkan pistol Carsel kembali pada Carsel. Matanya melirik rendah kepada Fawn yang masih termenung dan terpana pada kematian yang baru saja melewatinya. Fawn tidak mengira ia masih menarik napas setelah bunyi desingan peluru itu melintasi telinganya.
Dalam gaun pernikahan murah yang dibelikan Anggara untuknya sebagai penyamaran, Fawn menatap kepada Ace yang sekarang menyeringai layaknya setan.
"Kau seharusnya membunuhku," teriak Fawn. Ia datang ke sini dalam keadaan siap mati. Ia sudah sangat siap menyapa kematiannya. Ia tidak menginginkan hal lain, ia tidak menginginkan keselamatan atau sedikit saja belas kasihan. Tidak.
Pria seperti Ace tidak mungkin bersimpati padanya.
Apa mau pria itu?
"Di mana kesenangannya kalau aku membunuhmu?" Ace menyahut ucapan Fawn dengan nada ringan.
"Kau psikopat!"
"Aku tau."
Apa Ace berencana menyiksanya sebelum membunuhnya? menjual organnya? Fawn merinding dalam ketakutan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia takut akan ketidaktahuannya. Keasingan dan kemisteriusan Ace merupakan sesuatu yang membuat pria itu terasa berbahaya.
"Jangan takut," tutur Ace sekali lagi. "Kau akan menjadi hiburanku untuk sementara waktu."
"Hiburan--hi--apa? Apa maksudmu hiburan? Hei!" Fawn berteriak sambil meronta-ronta ketika bodyguard Ace kembali menariknya berdiri. "Lepaskan aku, apa maumu!"
Ace tidak menanggapi teriakan Fawn. Ia hanya melemparkan tatapan kepada Carcel dan menyerukan satu perintah yang membuat si bodyguard meneguk ludah.
"Bawa dia ke kamarku!"
...-----...
...[TRIGGER WARNING : RAPE]...
...Fawn POV...
Mengenakan gaun pengantin, menyamar sebagai Indira dan naik ke limosin yang akan digunakan untuk mengantar Indira menuju katedral tempat upacara pernikahannya akan berlangsung. Sementara aku menyamar menjadi si pengantin wanita, nona Indira sudah pergi menaiki mobil tuan Anggara satu jam lalu. Tidak ada yang tau kalau upacaranya akan diadakan lebih awal dan ditempat yang berbeda.
Tidak ada yang tau kalau aku bukanlah Indira.
Tugasku semudah itu. Aku hanya perlu duduk manis sementara tiga mobil van memberhentikan limosin yang berjalan. Bunyi tembakan bersahutan--tapi aku tau tidak ada yang benar-benar berusaha melindungiku. Tugasku adalah menipu para pria bertubuh besar yang sekarang menghampiriku dan membungkus kepalaku dalam karung.
Saat itu, kupikir aku sudah tamat. Aku akan berakhir membusuk di suatu tempat. Ibuku akan mendapat tunjangan besar atas pengorbananku hari ini.
Aku pikir seperti itu sampai akhirnya aku dilempar ke atas tempat tidur besar yang beraromakan seperti parfume mahal.
"Apa yang kau lakukan, hei..., hei..., lepaskan aku! Tidak, ini, kau bercanda, kan! Hei...." Aku meronta-ronta. Kepanikan luar biasa merayap di sekujur tubuhku. Aku semakin panik saat para bodyguard si bajingan Ace Hunter itu meninggalkanku sendirian dengan tuan mereka.
Apa yang dia mau?!
Tuhan, tolong aku!
"Kau tidak takut mati tapi kau sangat takut kubiarkan hidup," Ace berujar dengan seringaian.
Tentu saja aku takut, keparat! Bernapas di ruang yang sama denganmu sudah membuatku merinding. Aku tidak tau apa yang ada di kepalanya. Mengapa dia menyeringai, mengapa dia mendekat!?
"Aku lebih baik mati daripada berada di dekatmu! Kau menjijikkan!" Aku meludahkan kata-kata itu di mukanya. Berharap dengan provokasi ia akan mengakhiri hidupku saat itu juga.
"How cute." Ace melabuhkan lututnya di tempat tidur sementara matanya jatuh di mataku. Menyorotku seperti singa menatap mangsanya. Aku bergetar di bawah intimidasinya.
Seseorang, siapa pun, tuan Anggara..., selamatkan aku dari sini!
"Kau bajingan, kau--berhenti di sana. Jangan mendekat! Kau--apa kau gila!" Aku semakin panik saat tangan Ace menangkap pergelangan kakiku. Ia menarikku dalam kekuatan yang tak terbayangkan, memaksa tubuhku jatuh telentang di bawahnya dengan dia memenjaraku di antara dua lengannya.
"Aku hanya asisten nona Indira, kau tau. Melakukan ini padaku tidak akan memberikan efek apa pun kepada keluarga Rashid. Kau, apa kau memakan apa saja yang ada di hadapanmu!?" Aku berteriak seiring napas panas Ace menyentuh kulitku. Oh, tuan Anggara, mengapa misiku menjadi seperti ini?
Aku tidak menginginkan ini!
"Lepaskan aku," tanpa kusadari, air mata meleleh di pelipisku.
"Kau seharusnya sadar dari awal setiap risiko yang akan datang sebelum kau menyerahkan dirimu untuk menjadi korbanku." ucapan Ace membuatku semakin terisak.
Ini--situasi ini tidak pernah kuperhitungkan sama sekali. Aku berpikir aku hanya akan mati, yah, mungkin akan disiksa sebelum dibunuh. Aku tidak pernah membayangkan diriku yang rendahan ini--akan berada di atas tempat tidur Ace Hunter.
Pria itu--bukankah alasannya ingin menculik nona Indira adalah karena dia mencintai nona Indira?
Kenapa dia melakukan ini kepada gadis yang tidak setara dengannya sama sekali?
"Tolong, aku mohon..." Aku memberontak kuat saat tangan Ace menyentuh pangkal pahaku. Menyibak rok gaun yang menutupi tubuh bawahku dan memposisikan dirinya di antara kakiku yang terbuka.
"Bunuh saja aku, kumohon..." Keringat menyusup keluar dari tubuhku, panas dan takut membaur satu.
"Teruslah memohon seperti itu," Ace berbisik di telingaku. Panas napasnya dan lembab bibirnya menggesek kulitku. Meninggalkan jejak panas yang menjijikkan di sana. "Kau membuatku semakin bergairah."
"Bajingan..., terbakarlah di neraka. Aku akan membunuhmu!" Aku semakin memberontak.
Saat itu, kupikir aku akan melakukan apa saja agar bisa lepas dari cengkramannya. Aku ingin melarikan diri, membunuhnya, menginjaknya sampai mati. Aku terus menggeliat di bawah tekanannya hingga...
Plak!
Satu tamparan menyapa pipiku. Sangat kuat hingga telingaku berdengung. Aku seperti sadar tidak sadar ketika rasa sakit itu menyerangku. Pria keparat itu, dia menamparku. Hahaha. Bajingan sialan!
"Jika kau tidak mau pengalaman pertamamu menyakitkan, aku sarankan kau berhenti memberontak sejenak, Fawn."
Pengalaman pertama? Huh?
Aku seketika menatap Ace di mata. Bagaimana pria itu mengetahui ini pengalaman pertamaku?
"Jangan terkejut begitu," kekeh Ace. Jemari besarnya menyapu sudut bibirku yang berdarah. "Aku tau perawan saat aku melihatnya."
"Bajingan!!!"
...---...
Sakit adalah hal pertama yang kurasakan saat membuka mata. Sengatan rasa ngeri yang kuat bersarang di pinggulku. Bersamaan dengan rasa ngilu yang datang, memori menyeramkan tentang apa yang baru saja menimpaku menyeruak kepermukaan ingatanku. Mengingatkan aku tentang kebiadaban seorang Ace Hunter.
Aku...,
Aku sudah kehilangan kehormatanku di tangan pria bajingan itu!
"Hiks..." isakan merayap keluar dari bibirku. Suaraku serak. Aku haus tapi aku ingin mati. Mengapa ini terjadi padaku? Apa yang salah sampai semuanya menjadi seperti ini?
"Sudah bangun?"
Suara Ace menyapa telingaku seperti alarm kebakaran. Aku seketika menarik diriku ke sudut ranjang--sangat ketakutan. Aku tidak berani menatap matanya, tidak mau melihatnya. Tidak setelah apa yang dia lakukan padaku. Pria itu adalah iblis.
Gaun pengantin yang sebelumnya kukenakan sudah terkoyak kusam di lantai. Aku melirik gaun itu dengan kesedihan. Aku ingin pergi dari sini. Ibu, selamatkan aku.
"Kau menjadi pendiam? Apa yang terjadi pada semangatmu saat mengutukku?" Ace kembali mendekatiku. Seiring langkah kakinya mendekat, semakin jantungku berdegup cepat. Aku menggigil ketakutan. Jejak sentuhannya di kulitku masih terasa panas dan asing. Aku ingin menembak kepalaku sendiri hanya dengan mengingat setiap sentuhannya.
"Minumlah," satu botol air mineral menyapa pipiku.
"Biarkan aku mati."
Mati dehidrasi lebih baik daripada hidup dengan segala kenangan hitam itu berputar di kepalaku. Mengingat apa yang sudah terjadi padaku, bagaimana kasar ia menyentuhku dan betapa menjijikkannya semua itu..., aku ingin terjun dari tebing tertinggi dan meremukkan seluruh tulangku.
"Kalau kau tidak minum, aku akan membuatmu meminum sesuatu yang lain?" Ancaman kotor itu keluar dari mulut Ace dengan nada jenaka. Aku dengan kecepatan kilat menyambar botol minuman itu dari tangannya.
"Pria bajingan, kau akan mendapat karmamu!" Aku menatapnya sengit sebelum meneguk air dingin yang menyegarkan kerongkonganku. Oh, rasanya sangat nikmat dan di satu waktu sangat menyedihkan. Kenapa hidupku jadi seperti ini?
"Tuan Anggara akan mengalahkanmu."
"Pfffttt...," Ace menahan tawa. Matanya bergulir ke arahku dengan jenaka. "Maaf mengecewakanmu, Fawn. Tapi alasan kau berada di sini adalah karena aku sudah mengalahkan tuanmu. Dia sangat putus asa ingin pernikahan ini terjadi karena hanya dengan kesempatan itu dia bisa mempertahankan bisnisnya. Aku percaya kau pasti sudah tau informasi itu, bukan?"
"Seseorang akan datang dan menghancurkanmu," sumpahku. "Dan ketika itu terjadi, aku akan menjadi orang yang tertawa paling keras di atas keruntuhanmu."
"Kau punya ambisi, itu bagus." Ace menepuk pipiku dengan ringan. "Pikirkan apa pun yang kau mau bila itu berarti membuatmu mempunyai motivasi untuk hidup."
"Keparat, apa lagi maumu dariku!" Aku kembali berteriak. "Kau sudah merenggut semuanya dariku! Apa lagi yang kau tunggu, bunuh aku, sialan, bunuh aku!"
Memohon-mohon untuk mati seperti ini tidak pernah kubayangkan akan terjadi dalam hidupku. Aku tidak ingin bernapas lagi, tidak setelah apa yang terjadi. Aku tidak bisa hidup dengan realita bahwa aku sudah dinodai oleh keparat biadab psikopat itu. Aku bisa bertahan bila itu adalah pukulan dan tamparan, tapi apa yang terjadi padaku jauh lebih hina daripada siksaan.
Bahkan bila semua kukuku dicabut lepas, aku tidak akan merasakan sakit yang lebih besar seperti yang kurasakan sekarang.
Aku merasa seperti binatang.
"Jangan terburu-buru, Fawn." Ace menyapu air mata yang tumpah di pipiku. "Ini baru permulaan."
Sementara aku kembali menelan ketakutan oleh ucapannya, Ace melangkah menuju pintu. Seorang pria yang tidak kuketahui namanya menapak masuk.
"Apa yang harus kulakukan, Tuan?"
"Berikan rusa itu makan dan bersihkan dia." Ace berbicara sambil melirik sekilas ke arahku. "Juga, bersihkan seluruh ruangan ini dari barang-barang yang mampu ia gunakan untuk melukai dirinya dan melukaiku."
Senyuman iblis Ace kembali merekah di parasnya. Membuat ia terlihat sangat berbahaya dan menjijikkan. "Mulai hari ini, dia akan tinggal bersamaku."
ARRRRRGGGGHHH!!!
Seseorang, tolong katakan ini hanya mimpi!
...---...
...Ace POV...
Sangat mengecewakan adalah rangkuman untuk situasi yang terjadi hari ini. Sangat mengecewakan dan sangat kacau. Aku benar-benar stres ketika tau orang yang diculik oleh bodyguard-ku adalah orang yang salah. Indira pasti sudah menikah dengan Evan di suatu tempat dan aku tidak bisa menghentikannya.
Stres menumpuk di kepalaku dan keberadaan seorang Fawnia Alder yang menantangku dengan mata berani matinya membuatku semakin iritasi. Gadis itu membuat emosi yang menumpuk di dadaku siap meledak. Aku sangat marah dan adalah kewajaran bagiku untuk melampiaskannya ke orang-orangku. Tapi saat itu, alih-alih melampiaskan amukanku kepada Carcel yang sangat idiot, aku melihat Fawn sebagai objek yang akan mampu menggantikan karung pasirku.
Dia di sana, dengan tubuh bersih tanpa noda. Menyentuhnya membuat seluruh emosiku meluap dan tergantikan oleh gairah buta. Aku tidak ingat berapa kali aku melakukannya, membuat ia menjerit dalam kesakitan dan ketakutan. Aku sangat menikmati ketakutan yang mata itu tunjukkan. Benar, hanya seperti itu seseorang harus menatapku. Takut.
Fawn adalah perawan, aku merasakannya saat aku memasukinya.
Dalam hatiku, aku merasa kasihan kepadanya. Tapi, setelah mengingat apa yang sudah terjadi hari ini, emosiku kembali lagi. Dia pantas mendapatkan ini. Salahnya sendiri sudah mengantar dirinya ke hadapanku. Dia harus membayar kegagalan yang kuterima.
Ini masih tidak seberapa.
"Biarkan aku mati."
Ucapannya saat itu membuatku lagi-lagi memutar mata. Mengapa gadis ini begitu terobsesi pada kematian? Apa dia diprogram hanya untuk mati dalam misi? Dia sangat berani ketika memintaku membunuhnya, dan jujur saja, itu cukup seksi. Aku tidak tau apa yang salah padaku, mungkin ada benarnya kalau aku adalah psikopat. Aku menyukai pemandangannya yang ketakutan.
Untuk sementara waktu, aku akan menyimpannya sebagai hiburanku.
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam ketika aku meninggalkan Fawn kepada Felix. Kepala pelayan di rumahku tersebut bergegas masuk ke kamarku dan membawa beberapa orang untuk merombak ulang isi ruangan kamarku. Aku tidak akan membiarkan Fawn mendapat akses untuk melukaiku ataupun melukai dirinya sendiri. Aku akan menjinakkannya.
Sementara aku melangkah santai menuju ruang tengah, ponsel yang berada di dalam rompi tidurku bergetar. Nama Margareth--Margot--saudara perempuanku tertera di layar. Margot pasti sudah mendengar berita tentang keberhasilan kerja sama antara keluarga Caspian dan Rashid. Dua bajingan itu sangat haus untuk meruntuhkan singgasanaku.
"Halo?" Aku menjawab panggilan dengan enggan.
"Kenapa ini bisa terjadi? Apa yang kau lakukan sampai situasinya bisa seperti ini?" Suara Margot menyambar kupingku keras.
"Bukankah sudah jelas?" Aku menyahut sambil melihat pelayan keluar masuk mengeluarkan guci-guci antik koleksiku keluar dari kamar. "Seseorang membocorkan rencanaku kepada Anggara."
"Hah, apa maksudmu Anggara punya mata-mata di keluarga kita?" suara Margot meninggi gelisah.
Saudaraku yang malang, dia pasti sangat marah. Sebagai orang yang bertanggung jawab dalam merekrut setiap pekerja di rumah ini, Margot pasti merasa bertanggung jawab bila memang ada penyusup di antara kami semua.
"Dia tau rencanaku sebelum aku mengeksekusinya. Kau paham maksudku, bukan?"
"Bajingan, bajingan, bajingan!" suara Margot yang lepas kendali terdengar di telingaku. Aku bisa membayangkan wanita itu meledak lagi dan menghamburkan barang-barang di sekitarnya.
"Maafkan aku, Ace." Suara amukan Margot mereda. "Aku sepertinya lalai dalam mengawasi pekerja kita."
"Kau tidak perlu meminta maaf," sahutku. Walau agak kesal, aku tidak akan menyalahkan Margot bila karyawan kami menyimpang. Lagipula, loyalitas bukan sesuatu yang mudah didapatkan.
Oh, bicara soal loyalitas, sepertinya Fawn sudah ditangani oleh Felix. Kepala pelayan yang mengenakan monocle itu keluar dari kamarku dan mengangguk. Mengisyaratkan padaku kalau situasi di dalam sudah aman.
Fawn, gadis itu memiliki loyalitas yang mengesankan. Aku penasaran, apa yang keluarga Rashid lakukan sampai-sampai Fawn menjadi rela mati di garda depan.
"Bagaimanapun, aku akan menangani masalah ini secepatnya." Margot kembali menarik perhatianku. "Tenang saja, siapa pun yang sudah mengkhianati keluarga kita tidak akan pernah selamat."
"Aku percayakan tugas itu padamu," jawabku tenang. Jika itu Margot, pencarian adalah spesialisnya. Dia bisa menemukan aib yang nenek moyangmu timbun sejak ratusan tahun silam kalau dia mau.
"Oh," tiba-tiba aku teringat sesuatu.
"Ada apa?" tanya Margot siaga.
"Bisa kau mencarikan latar belakang satu orang lagi untukku?"
"Siapa?"
Aku berdiri dari sofa ruang tengah dan melenggang menuju kamarku. "Fawnia Alder."
Menuju wanita yang sekarang mengenakan pakaian training hitam, berbaring dengan sebelah tangan terborgol di kepala ranjang. Sepasang manik cokelatnya menatapku penuh kebencian. Sepasang manik cokelat itulah yang akan menjadi hiburanku sekarang.
"Jangan menatapku seperti itu, kau membuatku ingin menyentuhmu."
"Lepaskan aku!" Dia masih belum menyerah. Yah, kupikir dia tidak akan diam secepat itu. Mari abaikan rengekannya sekarang dan fokus kepada pekerjaan. Aku menyalakan komputer di sudut ruangan dan mulai bekerja.
...---...
Waktu menunjukkan pukul tiga pagi ketika aku beranjak dari bangku kerjaku. Punggungku terasa ngilu dan kaku akibat terlalu lama duduk. Mataku pun, mungkin karena terlalu lama menatap layar komputer, menjadi kering. Aku ingin tidur, tapi ketika aku melihat Fawn berada di tempat tidurku, langkahku seketika melamban.
Rasanya cukup asing memiliki orang lain tidur di ruang yang sama denganku. Tapi mengetahui dia terborgol aman di sana, kewaspadaanku menurun. Fawn tidak akan melukaiku, setidaknya tidak sekarang. Tidak ketika tubuhnya mungkin sedang dalam rasa sakit yang mencekam.
Yah, pengalaman pertama memang selalu menyakitkan. Terutama ketika aku melakukannya dengan paksaan. Aku memahami kondisi tubuh Fawn akan sangat buruk sekarang, mentalnya pun sama saja. Tapi entah mengapa aku tidak merasakan simpati sama sekali.
Gadis ini adalah pion buangan Anggara, cepat atau lambat, aku akan membuangnya juga.
Dia tidak berarti sama sekali bagiku.
Aku berbaring di atas tempat tidur dan mulai tertidur. Besok akan menjadi hari yang lebih berat lagi. Benar-benar memuakkan sekali. Aku harap aku tidak terbangun lagi. Oh, andai realita seindah itu.
...----...
Sebuah tendangan membangunkanku.
Keparat!
Secepat kilat, aku membuka mata, menarik pistolku dari bawah ranjang dan mengarahkannya ke kepala gadis yang sekarang menatapku dengan mata melebar terpana.
"Good morning," sapanya, mata menyiratkan ketidak-ramahan sama sekali. Gadis gila ini! Aku lupa dia ada di sampingku.
"Apa kau mencari mati?" Berani-beraninya dia menendangku. Apa dia lupa siapa aku?
"Kalau menendangmu bisa membawaku bertemu dengan kematian, maka aku dengan senang hati akan menendangmu lagi." Fawn--gadis itu berusaha melayangkan tendangannya lagi di pinggangku. Aku menangkap pergelangan kakinya kuat dan menatapnya dalam-dalam penuh peringatan.
Bagaimana bisa aku lupa kalau gadis ini tidak takut pada kematian.
"Lupakan soal kematian, aku akan memberimu kenikmatan yang membuatmu tidak bisa berjalan sampai tiga hari ke depan, bagaimana?"
"Kenikmatan nenekku!" Fawn menarik paksa kakinya dari cengkramanku.
"Kalau kau tidak mau membunuhku, lepaskan borgol ini sekarang. Aku mau ke toilet, keparat!" Dia kembali berteriak.
"Huh, benar juga." Aku menyeringai tipis ketika melihat pergelangan tangannya yang memerah akibat lecet dan jejak darah. Gadis itu, apa dia berusaha melepaskan tangannya secara paksa dari sana? Benar-benar keras kepala.
"Sepertinya kau butuh rantai yang lebih nyaman daripada itu." Aku bergumam sambil menyisir rambutku ke belakang. Lonceng di atas meja kuambil dan kudentingkan. Tak berselang lama setelah itu, seorang pelayan memasuki kamarku.
"Buka borgolnya dan awasi dia," perintahku.
Aku berdiri dan melenggang mengambil sebuah jubah tidur. Aku memakainya di tubuhku sebelum berlalu meninggalkan Fawn yang kendati tidak seagresif kemarin, masih memiliki kata-kata kotor keluar dari mulutnya.
"Keparat! Jangan menyentuhku! Aku bisa jalan sendiri! Kalian semua di rumah ini, aku harap kalian semua terbakar mati!"
Sepertinya stamina gadis itu sudah kembali. Dia menjadi sangat hyperaktif dengan segala cacian dan kutukannya. Siapa yang akan menyangka kalau dia adalah gadis yang sama yang biasa berdiri di samping Indira dengan seulas senyum sopan dan baik hatinya?
Selepas keluar dari kamar, aku melenggang santai menuju satu kamar kosong yang terletak tidak jauh di kamarku. Aku membuat perintah untuk pelayanku mempersiapkan kebutuhanku, dan ketika aku selesai mempersiapkan diri untuk bekerja. Seorang pelayan datang dan menyampaikan kehadiran seseorang yang ingin bertemu denganku.
Orang itu adalah Jack Hunter. Aku keluar dari kamar dan segera menuju ruang diskusi yang terletak di balkon lantai dua. Menghadap kepada pemandangan kota yang terbentang luas di bawah kaki bukit, pamanku berdiri sambil menyesap rokok di tangan kirinya.
"Paman," sapaku tenang, tidak ingin mengejutkannya dengan kemunculanku yang tiba-tiba.
Pria paruh baya dengan jaket kulit hitam itu menoleh ke arahku. Sepasang matanya menukik dalam. Ia seperti menahan kekesalan. Aku tidak akan heran akan apa alasan di balik kekesalan itu.
Tanpa memberikan tanggapan atas sapaanku, seperti yang sudah kuperkirakan, tangan paman Jack terangkat dan meninju wajahku. Pukulannya yang sangat keras seperti membangunkan seluruh sarafku yang sebelumnya setenang air di pegunungan. Aku memanas menahan amukan.
"Apa yang aku bilang tentang menyelesaikan tugasmu dengan baik, Ace?!"
"Maafkan aku," hanya kata itu yang bisa kukatakan. Pada realitanya, tidak peduli alasan apa yang kupunya, aku memang sudah gagal.
"Apa kau pikir meminta maaf akan menggampangkan situasinya? Apa kau tidak tau, karena kegagalanmu kemarin, dua keluarga terbesar di selatan menjalin aliansi resmi. Kekuatan mereka berdua sama besarnya dengan kekuatanmu sekarang."
"..." Aku tidak memberikan tanggapan apa pun selain diam dan menerima segala amukan pamanku.
Ini adalah kesalahan yang membuat posisiku dalam kerugian. Aku membuat lawanku menjadi mempunyai peluang untuk menjatuhkanku, dan itu adalah langkah yang tolol.
"Jika kau sangat ingin membalas dendam kematian Ibu dan Ayahmu, sebaiknya kau memperbaiki situasi ini sebaik mungkin, Ace. Berhenti bermain-main!" Paman Jack mendorongku sekali lagi sebelum berbalik menuju balkon. Kedua tangannya bertopang di pagar sementara dia membenamkan wajahnya penuh tekanan.
"Kau tau alasan aku masih membiarkanmu hidup saat ini semuanya demi saudaraku, bukan? Jika bukan karena aku ingin Harkin mendapatkan keadilannya, aku akan membunuhmu saat ini juga."
"Aku akan menemukan orang yang membunuh ayahku, Paman. Tenang saja."
Aku meyakinkan paman Jack bukan karena aku percaya diri kepada kemampuanku. Aku hanya tau cepat atau lambat, sosok yang melenyapkan orang tuaku akan muncul kepermukaan. Mereka tidak akan bisa diam setelah melihat perusahaanku menjadi semakin brilian. Orang-orang bajingan itu, di mana pun dia bersembunyi, di Spades ataupun di Clubs, aku akan menemukannya.
"Aku dengar kau menahan seseorang yang salah kemarin."
"Begitulah."
"Aku juga mendengar kau tidak melenyapkannya." Wajah pamanku sangat penuh kecemasan. Dia sepertinya tidak menyukaiku yang bermain-main dengan korbanku. Dia selalu serius dan ingin aku fokus. Terkadang, mendapat tekanan darinya membuatku jengah luar biasa.
"Aku akan menyimpannya sebagai mainanku," kataku. Merespon ucapan paman dengan nada ringan. "Dia cukup lucu."
Aku akan menyimpannya, bermain-main dengannya lalu setelah itu, barulah aku membunuhnya.
...-----...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!