NovelToon NovelToon

Putra Mahkota Sanggana

PHT 1: Pangeran Arda Handara

 *Penakluk Hutan Timur (PHT)*

 

Arda Handara berlari sangat kencang, seperti si Landak Sonic. Sama-sama kecil dan sama-sama pendek. Hanya bedanya, Arda Handara adalah anak manusia, sedangkan Sonic karakter sebuah gim masa depan.

Anak berusia sepuluh tahun itu menjadikan lorong-lorong Istana Sanggana Kecil sebagai lintasan larinya yang tanpa garis start dan garis finish. Agar larinya tidak menjemukan, maka dia perlu sejumlah “anjing” pengejar.

“Kau tidak akan berhasil lolos dari kejaran kami, Pangeran Arda!” teriak Gowo Tungga yang berlari kencang sambil membawa kayu bulat setebal genggaman sepanjang satu hasta. Wajah pemuda berusia matang itu berwarna putih semua oleh lapisan tepung.

“Jangan pandang remeh orang gendut, Pangeran!” teriak Gembulayu yang bertubuh gemuk dan berperut gendut. Ia berlari kencang, bersusah payah menyusul Gowo Tungga di depannya. Wajah dan pakaiannya juga bertabur tepung.

“Hahahak …!” tawa pangeran muda itu sambil berlari sekencang-kencangnya.

Para prajurit yang berdiri di posnya masing-masing hanya diam menyaksikan kejar-kejaran ala kucing dan tikus itu. Kejar-kejaran seperti itu sudah menjadi pemandangan rutin bagi mereka. Orang yang dikejar pasti selalu Pangeran Arda Handara. Namun, orang yang mengejar selalu berbeda-beda.

Untuk kali ini, Arda Handara membuat marah dua koki kerajaan, yaitu Gowo Tungga dan Gembulayu. Ia mengacak-acak dapur di saat kedua koki tersebut sedang mengolah adonan dengan banyak tepung.

“Terlalu lambat, terlalu lambat!” teriak Arda Handara sambil terus berlari menuju arah taman.

Set! Cplok!

Tiba-tiba, Arda Handara menengok sambil melempar sesuatu ke belakang.

Benda yang adalah sebutir telur itu tidak bisa dielaki oleh Gowo Tungga. Wajahnya terhantam keras yang membuatnya jatuh terpeleset dengan wajah berlumur pecahan telur.

“Hahahak …!” tawa Gembulayu yang tertawa terbahak-bahak dan memutuskan berhenti mengejar. Ia lebih baik menertawakan sahabatnya itu dari pada terus mengejar Arda Handara.

“Hahahak …!” tawa Arda Handara yang memutuskan berhenti juga, sambil melemparkan sebutir telur terakhirnya.

Cplok!

“Huahahak …!” tawa Arda Handara kian menggila ketika telur lemparannya juga tepat mewarnai wajah gemuk Gembulayu.

Lelaki gemuk itu tidak langsung jatuh seperti rekannya, tetapi oleng terlebih dahulu seperti orang mabuk, kemudian jatuh.

“Aaak!” jerit Gowo Tungga karena kakinya tertimpa badan besar Gembulayu.

Tiba-tiba Gowo Tungga berhenti menjerit lalu berteriak kepada seorang pemuda tampan berpakaian pendekar yang membawa bumbung bambu di punggungnya.

“Suryaaa! Tangkap Pangeran Arda!” teriak Gowo Tungga kepada pendekar yang juga adalah sahabat kentalnya.

Pendekar tampan berkumis tipis itu segera bereaksi. Dia yang bernama lengkap Surya Kasyara, juga punya dendam terhadap pangeran tersebut. Sepekan yang lalu, dia disiram segayung air saat sedang tidur oleh Arda Handara.

Makanya, pemuda berjuluk Pendekar Gila Mabuk itu segera berlari ke koridor istana dan menghadang Arda Handara.

“Kau masih punya utang siraman air dariku, Pangeran!” kata Surya Kasyara sambil merentangkan kedua lengannya seperti mau menangkap anak ayam.

Arda Handara berdiam diri sejenak sambil menatap Surya Kasyara dengan tatapan tajam yang licik. Entah strategi apa yang ada di dalam otak anak pendek itu agar bisa melewati seorang pendekar sakti selevel Pendekar Gila Mabuk.

“Hehehe!” kekeh pelan anak berpakaian warna kunyit itu. “Aku punya ini, Paman.”

Arda Handara mengeluarkan sebuah kantung kain warna merah dari balik bajunya. Sambil tersenyum setan, dia merogoh isi kantung kain itu dan menggenggam sesuatu. Ia berjalan lebih mendekat kepada Surya Kasyara yang justru jadi curiga dan tegang.

“Ini, Paman!” pekik Arda Handara sambil memperlihatkan apa yang ada di dalam genggamannya.

Ternyata beberapa ekor ulat bulu berwarna cantik tapi membuat bokong Surya Kasyara merinding semriwing. Mata Pendekar Gila Mabuk melebar.

“Eh eh eh! Sejak kapan Gusti Pangeran bermain ular bulu?” tanya Surya Kasyara yang berubah siaga tingkat dewa.

“Ulat bulu!” ralat Arda Handara sambil melempar binatang-binatang menggelikan itu kepada Surya Kasyara.

Sigap Surya Kasyara melompat ke samping, membuat ulat-ulat bulu yang dilempar terjun bebas. Pada saat yang bersamaan, Arda Handara berlari kencang melewati ruang jalan yang terbuka.

“Tidak akan aku biarkan kau, Pangeran Nakal!” teriak Surya Kasyara lalu cepat melompat tepat ke belakang Arda Handara.

Tap!

Tangan kanan Surya Kasyara berhasil mencekal bahu kanan Arda Handara dari belakang. Bocah berambut gondrong ikal itu jadi terhenti, tapi tangannya menyentuh tangan Surya Kasyara.

“Lutung Kakus!” maki Surya Kasyara terkejut bukan main karena Arda Handara meletakkan dua ulat bulu di punggung tangannya.

Sontak Surya Kasyara menarik lepas tangannya dari bahu si bocah dang mengibas-ngibaskannya, agar dua ulat bulu itu terpental. Namun, ternyata tidak mudah.

“Haaa!” jerit Surya Kasyara panik. Buru-buru tangan kirinya meraih bumbung tuaknya dan menuangkan tuak ke dalam mulut. “Fruuut!”

Surya Kasyara menyembur dua binatang kecil di punggung tangannya dengan tuak. Dua ulat bulu itupun terhempas lepas dari kulit tangan pendekar itu.

“Hahahak …!” tawa terbahak Arda Handara sambil berlari kencang menjauh.

Namun, tiba-tiba Arda Handara berlari kencang tapi di tempat. Anehnya, kaki Arda Handara berlari melangkah, bukan berlari dengan pijakan hanya di titik berdirinya, tetapi dia tidak maju-maju, seperti berlari di atas treadmill.

Arda Handara terkejut, padahal kedua kakinya berlari sangat kencang.

“Eh apa yang terjadi?” tanya Arda Handara heran kepada dirinya sendiri.

Ternyata, dari balik dinding yang menikung, muncul seorang wanita muda yang cantik jelita berjubah kuning, tetapi berambut pendek seperti lelaki dan kepalanya berhiaskan tiara bermata batu kuning bening berkilau.

Wanita yang terlihat masih gadis itu memiliki bentuk hidung dan bibir yang bisa disebut sempurna. Jika mata lelaki fokus memandang hidung dan bibirnya saja, akan membuat betah dan seolah tidak ingin beralih. Namun, wanita cantik jelita itu memiliki sepasang bola mata yang berwarna hitam kusam tanpa cahaya. Dialah Nara, Permaisuri Mata Hati. Di dunia persilatan ia sangat masyhur dengan julukan Dewi Mata Hati.

Hakikatnya Dewi Mata Hati adalah wanita yang berusia lebih dari seratus sepuluh tahun. Ia merupakan orang tersakti di Kerajaan Sanggana Kecil itu. Ia juga populer disebut dengan nama Permaisuri Guru, karena dia adalah guru dari para permaisuri yang lain.

Permaisuri Nara dikawal oleh sepuluh orang dayang berpakaian warna serba putih di belakangnya.

Kemunculan Permaisuri Nara membuat Arda Handara langsung bisa berkesimpulan bahwa kondisinya saat itu karena perbuatan Permaisuri Guru.

Permaisuri Nara berbelok dan berjalan ke arah Arda Handara.

Karena sadar tidak akan bisa berbuat apa-apa jika berhadapan dengan Permaisuri Guru, Arda Handara pun berhenti berusaha. Dia berhenti berlari di tempat.

“Sembah hormat kami, Gusti Permaisuri!” ucap Surya Kasyara, Gowo Tungga dan Gembulayu sambil turun berlutut menghormat dengan dalam, meski jaraknya masih agak jauh dari sang permaisuri.

“Sembah hormatku, Ibunda Guru,” ucap Arda Handara sambil turun berlutut pula.

“Bangunlah, kalian semua!” perintah Permaisuri Nara setelah berhenti di depan Arda Handara.

Arda Handara dan ketiga lelaki dewasa yang berada agak jauh di belakangnya segera bangun berdiri.

“Sejak kapan kau bermain ulat bulu gatal seperti itu, Pangeran?” tanya Nara kepada Arda Handara, tetapi arah wajahnya lurus ke depan. Permaisuri Nara adalah seorang wanita yang buta. Ia bisa meraba dan merasa semua yang ada di sekitarnya dengan kesaktiannya yang tinggi.

“Sejak tiga hari yang lalu, Ibunda Guru,” jawab Arda Handara seperti anak baik.

“Siapa yang mengajarimu?” tanya Permaisuri Nara lagi.

“Ibunda Asap Racun, Ibunda Guru,” jawab Arda Handara.

“Kau telah mengganggu pekerjaan juru masak istana sehingga pekerjaan mereka jadi tertunda. Jadi, kau aku hukum untuk membantu juru masak menyelesaikan tugasnya,” tandas Permaisuri Nara.

Terkejutlah wajah kotor Gowo Tungga dan Gembulayu mendengar keputusan sang permaisuri. Menurut mereka, itu sama saja memberi bencana kepada mereka.

“Baik, Ibunda Guru!” sahut Arda Handara lantang bersemangat. (RH)

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Catatan: up novel ini berjalan lambat untuk beberapa bulan pertama.

Dianjurkan membaca tiga novel Sanggana sebelumnya: Perampok Raja Gagah, Pendekar Sanggana, dan 8 Dewi Bunga Sanggana.

PHT 2: Penantang Hutan Timur

*Penakluk Hutan Timur (PHT)*

 

Sudah sepuluh tahun lamanya Kerajaan Sanggana Kecil yang dirajai oleh Prabu Dira Pratakarsa Diwana berdampingan dengan Hutan Timur.

Hutan Timur adalah sebuah alas yang sangat lebat dan masih perawan. Hutn itu nyaris tidak tersentuh dan tidak pernah dimasuki oleh manusia. Posisi Hutan Timur ada di sisi timur dari Istana.

Prabu Dira yang juga ternama dengan nama pendekar Joko Tenang, sengaja membiarkan Hutan Timur lestari dengan keasliannya tanpa dikutak-katik oleh rakyat atau Kerajaan Sanggana Kecil.

Menurut istri tersaktinya, yaitu Permaisuri Nara atau Permaisuri Mata Hati, di dalam Hutan Timur ada penghuni yang memiliki kekuatan sangat besar. Namun, tidak jelas makhluk apa yang ada di dalam rimba belantara itu. Apakah manusia, binatang, atau makhluk yang lain?

Prabu Dira memutuskan untuk tidak berkonflik dengan makhluk tersebut dengan dalih dia adalah penghuni awal di kawasan itu, juga tidak pernah mengusik wilayah Kerajaan Sanggana Kecil dan rakyatnya.

Selama sepuluh tahun setelah menaklukkan Kerajaan Siluman pimpinan Ratu Dua Matahari alias Ratu Aninda Serunai, rakyat Kerajaan Sanggana Kecil hidup damai. Jikapun ada gangguan di bidang keamaanan, itu masih tergolong gangguan-gangguan yang kemudian bisa diatasi oleh pasukan keamanan.

Hutan Timur telah menjadi hutan larangan bagi semua pejabat, prajurit, pendekar, dan warga Kerajaan Sanggana Kecil.

Namun untuk hari ini, ada tiga pendekar yang melanggar hutan larangan itu. Mereka masuk ke Hutan Timur hingga cukup dalam. Mereka masuk pagi-pagi agar sore hari sudah bisa kembali ke dalam pasukan.

Ketiga orang pendekar itu adalah tiga orang lelaki.

Pendekar pertama bernama Segar Rempak, seorang pemuda yang bertubuh besar, bersenjata golok besar. Pendekar kedua bernama Jumawa, seorang lelaki kurus berusia empat puluhan bersenjata dua golok kembar. Dan pendekar ketiga bernama Linggo Aji, seorang pemuda berambut keriting bersenjata cambuk.

Ketiga pendekar itu termasuk anggota Pasukan Hantu Sanggana, pasukan yang semua personelnya adalah pendekar.

Latar belakang ketiga pendekar ini nekat memasuki Hutan Timur adalah sekedar perjudian yang mereka lakukan pada hari kemarin.

“Hutan Timur tidak pernah dimasuki oleh seorang pun pendekar, bahkan para Gusti Permaisuri Delapan Dewi Bunga tidak pernah masuk ke sana, seolah-olah siapa pun yang masuk ke sana pasti akan mati,” kata Segar Rempak kepada lebih dari lima belas pendekar anggota Pasukan Hantu Sanggana. Saat itu mereka sedang kongkow sambil minum kopi dan bajigur di barak pangkalan.

“Lalu apa maksudmu berkata seperti itu kepada kami?” tanya Jumawa lalu meneguk bajigurnya.

“Berarti, kita belum bisa disebut sebagai seorang pendekar sejati jika belum pernah masuk ke dalam Hutan Timur, sampai kita bertemu dengan penghuninya, dan keluar dengan membawa nyawa,” tandas Segar Rempak.

“Mana bisa seperti itu!” seru Dengkul Baga, pendekar bertubuh pendek tapi berbadan kekar. Dia bersenjatakan bambu-bambu kecil seperti sumpit yang terselip rapi di pinggangnya. “Jelas-jelas, pendekar dalam pasukan ini lebih rendah tingkatannya dibandingkan pendekar Pasukan Pengawal Bunga.”

“Justru itu. Karena tingkatan kita yang lebih rendah, kita harus punya kebanggaan. Dan menurutku, bisa menaklukkan Hutan Timur adalah satu kebanggaan yang tidak akan di miliki oleh pendekar manapun di Sanggana Kecil ini,” kata Segar Rempak.

“Masuk akal juga,” celetuk Linggo Aji membenarkan alasan Segar Rempak.

“Ayo, aku tantang kalian untuk masuk ke Hutan Timur besok pagi!” seru Segar Rempak kepada semua rekan pendekarnya.

“Aku ikut!” sahut Linggo Aji.

“Kau jangan mencari masalah, Segar!” sahut Dengkul Baga mengingatkan.

“Diam saja kau jika tidak punya nyali!” sergah Segar Rempak.

“Aku ingin lihat, seberuntung apa kalian besok memasuki Hutan Timur, heh!” kata Dengkul Baga dengan senyum mendengus meremehkan.

“Aku ikut masuk ke Hutan Timur!” seru Jumawa pula.

“Aku peringatkan kalian, jangan ada yang melapor kepada Ketua tentang rencana kami besok!” seru Segar Rempak.

Maka, keesokannya Segar Rempak, Jumawa dan Linggo Aji memasuki Hutan Timur. Mereka sepakat untuk masuk cukup jauh agar bisa bertemu dengan penghuni Hutan Timur.

“Jika hanya seekor ular sebesar batang pohon kelapa, itu tidak ada apa-apanya menghadapi Golok Iblis-ku ini,” koar Segar Rempak sambil membabati semak belukar untuk membuka jalan baru.

Memang, mereka sulit menemukan rute jalan yang sudah jadi, karena tidak ada orang yang pernah masuk ke hutan itu. Jadi murni tidak ada trek manusia. Jikapun ada trek jalur yang samar-samar, itu adalah trek jalur yang pernah dilewati binatang hutan berkaki empat.

Segar Rempak dan Jumawa bekerja membuka jalan dengan goloknya. Mereka terus masuk menembus hutan.

Dalam perjalanannya, mereka menemukan sejumlah binatang, tapi tidak begitu berbahaya. Binatang paling berbahaya yang mereka temui baru setingkat ular berbisa.

“Tidak mungkin manusia yang tinggal di dalam hutan ini. Mana ada manusia yang tidak membutuhkan dunia luar?” kata Jumawa.

“Jikapun nanti tidak ada yang kita temui, setidaknya kita bisa keluar dengan dagu yang terangkat. Hahaha!” kata Segar Rempak lalu tertawa.

“Tidak lebih hanya sebuah hutan yang bermedan sulit. Sudah cukup jauh kita masuk, tapi tidak ada hal yang menarik atau menakutkan,” kata Linggo Aji sambil pandangannya memandang ke seantero dalam hutan.

Suara burung hutan terdengar nyaring dari berbagai tempat di atas pepohonan.

“Hanya monyet,” ucap Linggo Aji ketika pandangannya melihat pergerakan dua ekor monyet kecil di atas pepohonan.

“Di dahan sebelah kiri ada ular berbisa!” kata Segar Rempak mengingatkan dua rekannya yang berjalan di belakangnya.

Jumawa dan Linggo Aji pun memerhatikan di sebelah kiri. Di sebatang dahan, ada seekor ular sebesar pergelangan tangan berwarna hitam keperakan, sedang melingkar. Kepalanya yang cenderung berbentuk pola segitiga menunjukkan bahwa dia berbisa.

Ctas!

Terkejut Segar Rempak dan Jumawa mendengar suara lecutan cambuk Linggo Aji. Si ular yang terkena cambukan langsung terjuntai mati di dahan, kemudian jatuh sebagai bangkai.

“Hahaha!” tawa Linggo Aji melihat keterkejutan kedua rekannya.

“Segar, kita mau masuk sampai di mana?” tanya Jumawa.

“Beberapa ratus tombak lagi. Jika memang kita tidak menemukan apa-apa, kita kembali dengan kemenangan,” jawab Segar Rempak.

“Lihat di kanan atas!” seru Linggo Aji tiba-tiba.

Sontak kedua rekannya melemparkan pandangan ke arah kanan atas, berarti ke area atas pepohonan.

Sejenak Segar Rempak dan Jumawa terdiam fokus mencari sesuatu yang dimaksud Linggo Aji.

“Apa yang kau lihat, Linggo? Kami tidak melihat hal yang aneh,” tanya Segar Rempak.

“Aku melihat pergerakan seperti ular, tapi sangat cepat,” jawab Linggo Aji.

“Ah, berarti kau hanya melihat seekor ular!” kata Jumawa kesal.

“Aku bisa membedakan kecepatan rayapan ular,” tandas Linggo Aji.

Segar Rempak dan Jumawa melanjutkan langkahnya, terus maju menerobos semak belukar yang setinggi lutut.

Blet! Bsruk!

Alangkah terkejutnya Linggo Aji, ketika kakinya yang tenggelam di dalam semak belukar ada yang membelit dengan kuat sekali. Kejap berikutnya dia terbanting ke depan karena benda yang melilit kakinya menarik dengan kuat.

“Aaak! Segaaar!” teriak Linggo Aji saat tubuhnya ditarik kencang di dalam semak belukar menjauhi titik tempat dia berdiri semula.

Segar Rempak dan Jumawa yang terkejut mendengar suara jatuh dan teriakan Linggo Aji, cepat menengok ke belakang. Mereka melihat tubuh Linggo Aji yang nyaris tenggelam di dalam semak belukar, bergerak cepat menjauh seperti ditarik oleh sesuatu yang sangat kuat.

“Linggo Aji!” teriak Segar Rempak dan Jumawa bersamaaan.

Keduanya kompak melompat dan berkelebat mengejar kepergian Linggo Aji yang hanya bisa menggapai-gapai kebingungan. (RH)

 

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Catatan: up novel ini berjalan lambat untuk beberapa bulan pertama.

Dianjurkan membaca tiga novel Sanggana sebelumnya: Perampok Raja Gagah, Pendekar Sanggana, dan 8 Dewi Bunga Sanggana.

PHT 3: Pangeran Pemimpin

*Penakluk Hutan Timur (PHT)*

 

Sepuluh tahun sudah Prabu Dira Pratakarsa Diwana menjalani hidup dengan satu ratu dan sepuluh permaisuri. Singgasana keratuan menjadi kursi bergilir bagi para permaisuri bertitel Dewi Bunga Sanggana yang berjumlah delapan wanita.

Seiring perjalanan waktu yang panjang, Istana Kerajaan Sanggana Kecil mengalami perkembangan yang luar biasa dalam pembangunannya. Kini, ada satu istana keratuan dan sepuluh istana permaisuri di Kerajaan Sanggana Kecil. Masing-masing istri Prabu Dira memiliki istananya masing-masing.

Saat ini kedudukan ratu dipegang oleh Tirana, wanita dari Kampung Cahaya Bumi di Hutan Urat Bumi.

Sepuluh tahun waktu berlalu dengan sebelas istri, tentunya Prabu Dira telah dikaruniai sejumlah keturunan karena “Joko Kecil” tidak punya riwayat kemandulan.

Saat ini, Prabu Dira sudah memiliki delapan orang anak dari istri-istrinya dengan anak tertua adalah Arda Handara yang berusia sepuluh tahun.

Berikut data kedelapan putra/putri Prabu Dira Pratakarsa Diwana:

1.      Pangeran Arda Handara (L) usia 10 tahun, anak dari Permaisuri Dewi Ara (Permaisuri Geger Jagad).

2.      Pangeran Getar Jagad (L) usia 9 tahun, anak dari Permaisuri Getara Cinta (Permaisuri Darah Suci).

3.      Putri Hijau Sukma (P) usia 8 tahun, anak dari Permaisuri Kerling Sukma (Permaisuri Mata Hijau).

4.      Pangeran Angling Kusuma (L) usia 8 tahun, anak dari Permaisuri Kusuma Dewi (Permaisuri Pedang).

5.      Putri Ginang Selaksa (P) usia 6 tahun, anak dari Ratu Tirana (Permaisuri Penjaga).

6.      Putri Sisilia (P) usia 6 tahun, anak dari Permaisuri Sandaria (Permaisuri Serigala).

7.      Pangeran Tutsi Chang Kok (L) usia 4 tahun, anak dari Permaisuri Yuo Kai (Permaisuri Pertama/Permaisuri Negeri Jang).

8.      Putri Gina Runggaya (P) usia 2 tahun, anak dari Ratu Lembayung Mekar (Permaisuri Balilitan).

Adapun Permaisuri Nara (Permaisuri Mata Hati), Permaisuri Sri Rahayu (Permaisuri Asap Racun) dan Permaisuri Ginari (Permaisuri Langkah Awan) belum dikaruniai keturunan.

Khusus Pemaisuri Sri Rahayu, ia pernah melahirkan bayinya yang dalam kondisi sudah meninggal di dalam rahim. Sementara Permaisuri Ginari memilih belum mau punya anak karena alasan fokus berlatih. Ia mau mengejar ketertinggalan dalam hal kesaktian. Gurunya adalah Permaisuri Nara. Sedangkan Permaisuri Nara memang belum bisa hamil secara alami.

Kehadiran anak-anak dalam lingkungan kerajaan membuat Prabu Dira berinisiatif membangun taman bermain yang ramah anak, bebas dari polusi, pengemis hingga pengamen. Taman bermain itu dinamai Taman Bintang Kecil, merujuk pada anak-anak manis yang seumpama bintang-bintang kecil di langit malam yang cerah.

Di Taman Bintang Kecil inilah para pangeran dan putri sering bermain, meski tidak setiap waktu atau setiap hari.

Setiap pangeran dan putri masing-masing memiliki dua tukang momong yang terpercaya dari kalangan prajurit terpilih, satu laki-laki dan satu perempuan. Fungsi pemomong wanita jelas untuk menggantikan tugas keibuan dan pemomong lelaki bertugas jaga keamanan. Meski bermain di dalam lingkungan Istana, kewaspadaan tetap harus diterapkan.

Pemomong yang memiliki tugas paling berat adalah dua pemomong Pangeran Arda Handara. Calon putra mahkota Kerajaan Sanggana Kecil itu terlalu licin dan suka menghilang. Dia tidak pernah menyatakan tidak suka dimomong, tetapi dia selalu kabur dari kedua pemomongnya.

“Tiada hari tanpa buat masalah”, itulah slogan yang tercipta di kalangan para pejabat, prajurit, dayang, pelayan, dan pemomong tentang Arda Handara.

Hari ini, Arda Handara bermain di Taman Bintang Kecil. Ia bermain dengan adik-adiknya, yakni Getar Jagad, Hijau Sukma, Ginang Selaksa, Angling Kusuma, dan Sisilia.

Ketika para putra raja sedang bermain dalam komunitasnya sendiri, maka para pemomong hanya memantau. Mereka sudah dibekali SOP ketika para putra raja bermain di antara sesamanya.

Arda Handara saat itu sedang duduk di kursi taman dengan kaki kanan naik ke kursi, persis bak seorang jawara yang sedang minum kopi di warteg.

Tampak Getar Jagad yang tampan sejak bayi berlutut di bawah sambil memijit-mijit paha kiri Arda Handara. Angling Kusuma yang berkepala botak mengipasi Arda Handara di sisi kanan dengan ranting kecil yang masih berdaun.

Sementara di depan kursi, tepatnya di lantai taman, duduk bersimpu Hijau Sukma, Ginang Selaksa dan Sisilia yang bertubuh paling kecil dan kurus. Masing-masing memegang satu benda di tangannya. Hijau Sukma memegang batok kelapa, Ginang Selaksa memegang potongan ranting dan Sisilia memegang batu kerikil. Mereka bertiga senyum-senyum sendiri.

“Wahai rakyatku yang tertinggal!” seru Arda Handara bak seorang raja muda kerana.

“Hihihi!” tawa ketiga putri melihat dan mendengar gaya kakaknya berlakon drama.

“Hei, jangan tertawa! Apakah kalian pikir aku ini jenaka, hah?!” hardik Arda Handara.

“Hihihik!” Ketiga putri terus tertawa, tapi kali ini menahannya.

“Baguuus … baguuus. Jadi rakyat jelata itu tidak boleh banyak tingkah. Jika banyak tingkah, aku akan pukul bokong kalian sampai gatal-gatal!” seru Arda Handara.

“Ampun, Gusti Prabu. Jangan sampai gatal, nanti bokongku banyak kutunya. Hihihi!” kata Ginang Selaksa lalu tertawa.

“Hahaha!” tawa mereka semua, kecuali Arda Handara.

Plak!

Dengan seenaknya, Arda Handara menepak kepala Getar Jagad yang sedang pura-pura memijit pahanya.

“Pijit yang benar! Jangan sampai aku tidak bisa lari kencang!” bentak Arda Handara galak kepada adiknya.

“Iya, Gusti Prabu,” ucap Getar Jagad pura-pura takut, agar lakonnya dapat Piala Citra Bengkuang.

“Wahai rakyatku yang jelata, hari ini sudah waktunya kalian membayar upeti. Aku tidak mau kecewa!” seru Arda Handara lagi. Lalu katanya kepada Hijau Sukma, “Hei, Bubur Hijau! Upeti apa yang ingin kau berikan?”

“Gusti Prabu, hamba membawa hasil panen kelapa tua, agar Gusti Ratu bisa awet cantik seperti Ibunda Guru,” kata Hijau Sukma.

“Hahaha!” tawa Getar Jagad dan Angling Kusuma mendengar kata-kata anak cantik bermata hijau seperti ibunya itu.

“Upetimu aku tolak!” teriak Arda Handara.

“Kenapa, Gusti Prabu?” tanya Hijau Sukma.

“Seharusnya kau membawakan aku kelapa muda, bukan kelapa tua seperti Kakek Rakitanjamu. Kau dihukum!” seru Arda Handara.

“Ampuni hamba, Gusti Prabu. Ampuni hamba!” ucap Hijau Sukma sambil sujud-sujud.

“Tidak ada kata ampun. Botak, jadikan Bubur Hijau sebagai kambingmu!” kata Arda Handara.

“Hahaha! Hijau, kau jadi kambing,” kata Angling Kusuma kegirangan sambil mendatangi Hijau Sukma, menyuruhnya untuk berdiri dengan kedua tangan dan lututnya seumpama hewan berkaki empat.

Karena mereka bermain, Hijau Sukma pun dengan rela hati menjadi kambing. Angling Kusuma segera naik ke punggungnya.

“Ayo bersuara kambing!” perintah Angling Kusuma.

“Mbeeek!” embik Hijau Sukma, tapi tidak jalan.

“Tukang Ompol, kau bawa upeti apa?” tanya Arda Handara kepada Ginang Selaksa.

“Hahaha!” tawa mereka ramai-ramai, termasuk Ginang Selaksa sendiri lantaran disebut Tukang Ompol.

Memang, Ginang Selaksa adalah anak yang sampai usia enam tahun masih kadang-kadang ngompol jika tidur. Julukan Tukang Ompol jadi melekat pada diri anak berbibir merah terang alami itu.

“Hamba membawakan buah anggur yang sangaaat enak, Gusti Prabu,” kata Ginang Selaksa sambil mengulurkan tangannya yang menimang sepotong ranting.

“Dasar rakyat bau pesing! Ranting kayu aku sebut buah anggur. Aku tidak mau ditipu. Kau dihukum jadi sapi!” seru Arda Handara. “Getar, jadikan Tukang Ompol sebagai sapimu!”

“Baik, Gusti Prabu. Hahaha!” ucap Getar Jagad senang hati.

Ia lalu meninggalkan paha Arda Handara dan pergi kepada Ginang Selaksa yang sudah menjadi sapi-sapian dengan sendirinya.

Getar Jagad pun segera menaiki punggung Ginang Selaksa.

“Ayo bersuara!” perintah Getar Jagad.

“Emmooo!” Ginang Selaksa bersuara.

“Ceking, kau bawa upeti apa?” tanya Arda Handara kepada putri dari Permaisuri Sandaria.

“Hihihi! Hamba membawa biji salak, Gusti Prabu,” jawab Sisilia yang didahului tawa centilnya, mirip-mirip model tawa emaknya. Gadis kecil bermata biru, berambut putih dan berhidung mancung itu menunjukkan sebuah kerikil yang dibawanya.

“Kau juga mau menipuku, Ceking. Batu kau sebut itu biji. Kau aku hukum jadi kudaku!” seru Arda Handara.

“Ampuni hamba, Gusti Prabu,” ucap Sisilia sambil tersenyum dan segera menjadi kuda-kudaan.

“Ayo kita balapan sampai ke pohon mawar itu!” seru Arda Handara sambil naik ke punggung Sisilia.

“Ayo kambingku, jalan!” teriak Angling Kusuma sambil mengguncang-guncang kedua bahu Hijau Kusuma.

“Ayo sapiku, lari!” teriak Getar Jagad pula sambil menepuk-nepuk bokong Ginang Selaksa.

“Hea hea! Kudaku, kejaaar!” teriak Arda Handara seperti panglima perang, tapi sambil menepuk-nepuk kepala Sisilia.

Dengan susah paya, ketiga putri itu berlari dengan merangkak, mereka berlomba untuk mencapai pohon mawar yang jaraknya sejauh dua tombak. Terlihat kuda Arda Handara tertinggal.

“Ceking, apakah kau belum makan?” tanya Arda Handara kecewa karena tertinggal. “Aku beri lehermu ulat bulu biar larimu cepat!”

Terkejutlah para pemomong mendengar kata-kata terakhir Pangeran Arda Handara.

“Jangan, Pangeran Arda!” teriak para pemomong serentak.

Namun, Arda Handara sudah lebih dulu meletakkan satu ulat bulu di tengkuk adik kurusnya itu. (RH)

 

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Catatan: up novel ini berjalan lambat untuk beberapa bulan pertama.

Dianjurkan membaca tiga novel Sanggana sebelumnya: Perampok Raja Gagah, Pendekar Sanggana, dan 8 Dewi Bunga Sanggana.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!