...🍀🍀🍀...
"Lepaskan aku Bar! Apa yang kamu lakukan?!" Ujar Maura pada seorang pria yang menarik tangannya dengan kasar itu.
Mereka berdua masuk ke dalam salah satu kamar hotel yang mewah. Kemudian Bara mendorong Maura ke ranjang dengan kasar. Hingga gadis itu terbaring diatasnya.
"Bara!" Pekik wanita itu yang berusaha bangkit dari ranjang. Namun, kedua tangan pria bernama Bara itu sudah menguncinya hingga Maura tidak bisa kemana-mana.
Tangan Bara menaikkan dagu Maura, dia menatap wanita itu penuh kebencian dan murka. "Beraninya kau bermain dengan pria lain didepanku! Kamu sudah bosan hidup? Hah!" Bentak pria itu pada Maura dengan marah. "Jangan lupa, kita masih suami istri!" Teriak Bara menegaskan status pernikahan diantara mereka berdua.
Maura menatap Bara dengan mata yang berkaca-kaca. Dia selalu mencintai Bara dan segalanya telah dia berikan kepada Bara. Namun apa yang diberikan Bara padanya? Hanya cinta palsu dan penderitaan, apalagi setelah mereka menikah. Di malam pertama pernikahan mereka, suaminya itu berubah dan Maura tidak tau apa penyebabnya.
"Kenapa? Kamu tidak suka aku bermain dengan pria lain? Apa kamu cemburu?" Maura mendesis sinis, air matanya terlihat menggenang di bawah mata. Akan tetapi, gadis itu masih berusaha terlihat tegar di luar.
Bara tersenyum sinis, dia menaikkan bahu dan alisnya setelah mendengar perkataan Maura, "Hah! Apa kamu bilang? Cemburu? Aku? Apa kamu bercanda? Rasa cemburu hanya dimiliki oleh orang yang memiliki perasaan cinta, kau tau aku tidak memilikinya untukmu!" Bara memegang kedua pipi Maura dengan keras, kedua kakinya mengunci tubuh mungil Maura yang berontak.
Kekejaman Bara tidak hanya disitu saja, tidak hanya menyiksa tubuhnya. Tapi juga mental dan hatinya, itu yang lebih terluka.
"Kalau kamu tidak mencintaiku, kenapa tidak lepaskan saja aku? Apa susahnya?" Tanya Maura memberanikan dirinya. Terlihat dirinya sangat lelah dengan sifat Bara.
Pria yang aku cintai telah berubah, apalagi yang harus dipertahankan? Semua kehangatan itu. Semua cinta yang dia tunjukkan padaku sebelumnya, adalah cinta palsu. Aku lelah.. aku ingin mengakhiri semuanya. Maura membatin perih dalam hatinya.
Sekuat tenaga gadis itu menahan tangis, dia terisak dengan perlakuan suaminya.
"Beraninya kamu meminta aku melepaskanmu! Sepertinya belakangan ini aku terlalu lembut padamu. Baiklah, akan aku tunjukan betapa dalam aku cinta padamu, kalau kamu ingin tau!" Pria itu tersenyum sinis.
Bara melepaskan dasi dari kemejanya, dia mengikat kedua tangan Maura dengan dasi itu. Mata Maura melebar menatap suaminya, lagi-lagi dia diperlakukan kasar oleh Bara.
"Lepaskan...aku! Bara!" Pinta gadis itu sambil meronta-ronta. Kedua tangannya sudah terikat dengan tali mati.
Bara melepaskan ikat pinggang yang sebelumnya melilit di celananya. Maura mulai ketakutan melihat raut wajah suaminya yang tampak menyeramkan, dia berusaha bangkit dari ranjang itu, namun Bara memukulnya dengan ikat pinggang.
"AHHHh!!" Pekik wanita itu kesakitan. Hingga tanda merah tertinggal di tangannya yang mulus dan sebelumnya berwarna putih itu. "Bara! Kamu sudah gila? Gak waras kamu!" Teriak Maura sembari menahan sakit ditubuhnya akibat ulah Bara yang selalu menyiksa dirinya. Perih rasanya pukulan dari ikat pinggang itu serasa cambuk.
*Ya Allah.. aku tidak tahan lagi dengan semua ini*
"Mau kemana kamu? Masih berani pergi dari sini? Cari mati kamu! Apa kamu masih mau menemui pria itu?!" Bara menarik tangan istrinya yang terikat erat itu dengan kasar. Dia mendorong Maura ke atas ranjang.
"Ya benar, aku memang mau pergi menemui pria itu, lalu aku akan bersenang-senang dengannya. Kenapa? Tak boleh? Kenapa kamu bisa bersenang-senang dengan wanita lain setiap malam sedangkan aku tidak bisa?!" Teriak Maura murka, dia tak tahan lagi dengan semua amarah menumpuk di benaknya.
Plakk
Bara menampar istrinya dengan keras. Hingga gadis itu tak tahan lagi lalu menangis. "Sepertinya kau seperti ini karena aku tidak pernah memuaskanmu, baiklah.. malam ini aku akan puaskan hasratmu itu agar kamu tidak bisa pergi pada selingkuhanmu itu!" Bara melepaskan bajunya. Kini pria itu sudah bertelanjang dada di depannya.
Tubuh Bara menindih tubuh Maura dengan kuat. Hingga Maura tak bisa berkutik melawan tubuh kekar itu.
"Bara.. apa yang mau kamu lakukan? Ja-jangan.." pinta gadis itu sambil menangis.
Bara melorotkan baju yang dipakai istrinya, "Ssttt…kamu diam saja, malam ini aku akan buat kamu bertekuk lutut di hadapanku selamanya." Bibir Bara menelusuri leher sang istri bahkan menggigitnya dengan kasar.
"Ah tidak! Aku tidak mau, Bara. Lepaskan aku….d-dan mari kita bercerai saja." Maura ketakutan melihat perangai suaminya saat ini. Apalagi ketika Bara mulai melorotkan segitiga pengaman yang menutupi bagian terlarang dari tubuhnya. Bagian yang tak pernah terlihat bahan terjamah oleh siapapun.
"Bercerai? Jangan mimpi, setelah malam ini kamu tidak akan bisa dan tidak akan pernah bercerai dariku! Kamu harus mengandung anakku, hidup dengan air maniku selamanya." Bara memeluk Maura, dia melepaskan celananya. Kemudian dia menusuk tubuh Maura dengan kasar.
"AHHHh!! Sakit…Bara! Lepaskan aku, keluarkan…ini sakit..sakit…ughhh.." Maura menangis, seraya memohon pada pria yang menindih tubuhnya itu agar berhenti. "Hiks…hiks.."
*Sakit, ini sangat menyakitkan*
Bara tersenyum menyeringai, dia puas melihat Maura kesakitan dan menangis dibawah tubuhnya. "Bagus, merintihlah lebih banyak agar aku puas. Ayo Maura.. katakan! Bukankah suamimu ini sangat memuaskan?" Ucap Bara sambil menjilat air mata Maura yang menetes jatuh membasahi pipinya.
"AHHHh!!!" Teriak Maura dengan tangan yang kesulitan untuk bergerak. "Baraa!! Hentikan! Kamu menyakitiku…!!"
Sesuatu masuk ke tubuh gadis itu dan membuat Maura kesakitan, dia merintih dengan bulir air mata terus jatuh membasahi pipinya.
Lalu bagaimana dengan pria yang sudah memaksanya itu? Dia malah tersenyum penuh kepuasan disaat Maura kesakitan.
"Kamu harus mengandung anakku Maura, kamu tidak boleh lepas dariku! Selamanya.. kamu tidak akan aku lepaskan. Kamu… akan selalu berada di bawah kakiku, di bawah tubuhku seperti ini!"
"Kamu benar-benar gila…tidak waras kamu, Bara! Sakit jiwa!" Pekik wanita itu menatap pada suaminya dengan penuh amarah.
"Diam!" Bara menutup mulut Maura dengan bibirnya, dia menyesap bibir itu dengan dalam. Dia tak mengizinkan Maura untuk mengambil nafas, dia terus melahap istrinya tanpa jeda.
Tak lama kemudian, Bara melepaskan pagutan bibirnya. Memberikan kesempatan pada Maura untuk menghirup sedikit udara. "Haaahhhh…huaahhhh…"
Bara mengangkat dagu sang istri dengan kasar, "Maura.. ingat ini! Pernikahan kita maupun perceraian, hanya aku yang bisa memutuskannya! Kau tidak punya hak untuk itu. Kalau kau berani lagi bicara soal perpisahan, aku akan membuat semua keluargamu menderita… terutama ayahmu yang tersayang itu. Apa kau paham?"
Ayah? Tidak! Tidak boleh terjadi sesuatu pada ayah.
Mata Maura melebar mendengar ancaman Bara tentang ayahnya. Maura tak berdaya, dia tak bisa bergerak dengan tubuh kekar yang menindih tubuhnya dan membatasi pergerakannya itu. Maura memukul-mukul dada suaminya. Akhirnya malam itu terjadilah pergulatan di atas ranjang antara suami dan istri.
Brengsek kamu Bara! Bajingan, kamu! Aku membencimu Bara, aku menyesal pernah mencintaimu.
Malam itu adalah malam menyakitkan untuk Maura. Semuanya berawal dari dua bulan yang lalu, ketika Maura menikah dengan Bara.
Dan inilah awal dari perubahan Bara, pria yang sangat dicintai oleh Maura selama 4 tahun itu.
Dua bulan sebelumnya….
...🍀🍀🍀...
Seorang pria berseragam putih abu terlihat sedang berlari menuju ke atas gedung sekolah. Dengan napas terengah-engah dia terus berlari menaiki anak tangga yang jumlahnya tidak terhitung itu.
Beberapa menit kemudian dia sampai ke atas gedung dengan wajah penuh keringat. "Jangan lakukan itu Al! Please...!" ucap pria tampan berseragam putih abu itu. Dia menatap wanita berambut panjang memakai seragam putih abu yang sedang berdiri di ujung gedung.
Dia terlihat panik melihat wanita itu berdiri disana. Si wanita menatap pria itu, terlihat senyuman pahit di bibir pucatnya.
"Tidak, semuanya sudah hancur! Semuanya sudah hancur!" ucap wanita itu dengan berurai air mata, dia menatap pria yang berdiri di belakangnya.
"Tidak Al, aku masih ada disini untuk kamu…semuanya akan baik-baik saja," ucap si pria sambil melangkah maju mendekati wanita itu.
"Aku sudah kotor! Wanita kotor seperti ku tidak bisa bahagia.. Bar... maafkan aku Bara, maafkan aku.. selamat tinggal!"
Wanita itu melompat dari atas gedung. "TIDAK!! Alina!!" teriak pria itu panik sambil berlari mendekat ke ujung gedung.
******
🎶🎶🎶
Kring....Kring....Kring...
Bara membuka matanya ketika bunyi alarm pada jam wekernya berbunyi cukup keras sampai beberapa kali. Tubuhnya berkeringat, wajahnya yang tampan itu pucat pasi. "Haahhh.. haahhh…" Bara menghela nafas dan terengah-engah.
"Lagi-lagi mimpi itu," gumam Bara sambil merapikan rambutnya ke kebelakang.
Bagaimana bisa aku memimpikan itu lagi? Ini pasti pertanda dari Tuhan bahwa aku harus melakukannya. Ya, aku yakin...aku memang harus melakukan ini.
Bara beranjak dari tempat tidurnya. Dia pergi membersihkan dirinya ke kamar mandi. Beberapa menit setelah berada didalam kamar mandi, Bara melihat setelan jas putih yang tergantung di lemari kamarnya yang sederhana itu. Bara menyunggingkan senyuman di bibirnya.
Di dinding kamar itu juga terpajang fotonya dan seorang gadis cantik berambut panjang. Foto-fotonya tampak mesra, layaknya sepasang kekasih yang saling mencintai.
"Hari ini akan menjadi hari yang panjang untukmu, Maura." Kata Bara sambil tersenyum dan memandangi foto itu.
Kemudian Bara mengganti bajunya dengan setelan jas putih, layaknya seorang pengantin. Dia menyisir rambutnya dan bercermin.
Alasan hari itu Bara berdandan sangat rapi adalah karena dia akan menghadiri hari yang penting. Hari pernikahannya dan sang kekasih yang sudah hampir 4 tahun berpacaran dengannya akan segera dilangsungkan.
****
Di tempat lain, lebih tepatnya di sebuah hotel mewah berbintang 5. Seorang gadis cantik sedang duduk menunggu seseorang, dia memakai gaun berwarna putih, terpasang mahkota indah di kepalanya. Rambutnya digelung sedemikian rupa, dia memakai anting dan kalung berlian. Semua yang dikenakannya adalah barang-barang kualitas tinggi dan mahal.
"Ya Allah.. aku deg degan nih.." gumam Maura sambil memainkan dua kuku jarinya. Satu kakinya dia hentakan ke bawah lantai. Hingga suara sepatu heelsnya terdengar.
"Hei, Maura.." lirih seorang pria tampan bertubuh tegap yang tengah berdiri di ambang pintu ruangan itu.
"Kak Evan? Kakak ada disini?" sambut Maura dengan senyuman ramahnya.
Evan berjalan menghampiri adik sepupunya itu, dia terlihat tidak senang. Dari tadi Evan hanya menghela napas saja, padahal ini adalah pernikahan adik sepupunya.
"Kak Evan? Kenapa kakak cemberut terus sih? Ayo dong senyum kak," pinta Maura dengan mata polosnya. Dia berharap Evan akan tersenyum di hari bahagianya, tapi Evan tidak terlihat begitu. Wajahnya lebih memperlihatkan kecemasan dibandingkan dengan kebahagiaan.
"Gimana aku bisa senyum, adik sepupuku yang manis dan polos ini mau nikah sama pria yang tidak aku suka," ucap Evan tidak ikhlas jika Maura akan menikah dengan kekasihnya, Bara Rahadian seorang sekretaris di sebuah perusahaan besar, dimana Presdirnya adalah ayah Maura.
"Kok kak Evan gitu sih, Bara kan pria yang baik. Dia juga sayang sama aku, peduli sama papa dan semua orang, kenapa kakak selalu saja berpikiran buruk tentangnya?" tanya Maura pada kakak sepupunya itu. Itu karena Evan selalu terlihat memusuhi Bara.
Tanpa ragu Evan mengatakan pendapatnya tentang Bara. Dia merasa bahwa Bara baik pada keluarga Maura bukan tanpa alasan. Sebagai calon istri Bara, tentu saja Maura membela kekasihnya itu.
Pria paling lembut dan perhatian yang dia kenal selain ayahnya dia temukan pada sosok Bara. Pria yang pernah menyelamatkannya dari maut dan sejak itulah Maura jatuh cinta padanya. Meski saat itu Bara hanya berprofesi sebagai karyawan kecil di perusahaan ayahnya.
"Haahhhh..ya sudahlah. Yang penting aku sudah memperingatkan kamu kalau dia tuh gak beres! Pokoknya kamu harus bahagia, kalau dia ngapa-ngapain kamu...kamu harus bilang sama aku ya?" kata Evan sambil menghela napas. Dia tak bisa membuat pikiran Maura berubah. Ya, itu karena Maura sudah memberikan semua hatinya pada Bara.
"Makasih ya kak, kakak tenang saja. Aku dan Bara...kami akan hidup bahagia setelah ini." Kata Maura dengan penuh keyakinan. Dia tersenyum lebar dan terlihat sangat bahagia.
"Ya, aku harap begitu." Evan tersenyum sambil memegang tangan adik sepupunya dan menatapnya penuh kasih sayang.
Bara, aku harap firasat ku padamu ini tidak benar.
"Makasih ya kak," ucap Maura dengan tangan yang memeluk Evan, kakak sepupunya.
Setelah menunggu hampir setengah jam di ruangan itu. Tibalah saat dimana Maura dan Bara akan melangsungkan akad nikah.
Semua teman Maura terlihat menghadiri acara sakral itu, tapi hanya sedikit teman Bara yang datang kesana. Bara tidak punya banyak teman karena dia hidup merantau dan dia juga anak yatim piatu tanpa sanak saudara.
Didalam salah satu ruangan gedung hotel yang mewah, Maura bergandengan tangan dengan ayahnya, pria paruh baya yang tampan dan masih terlihat awet muda itu.
Dia adalah Samuel Argadana, pemilik hotel dan restoran ternama di negara itu. Konglomerat yang berhasil dalam bisnis makanan dan perhotelan.
Dia menggandeng tangan putri kesayangannya untuk menikah, mengantarkannya pada suami pilihan Maura. Yaitu Bara Rahadian.
"Bara, kamu harus bahagiakan putri saya. Kalau kamu membuat putri kesayangan saya menangis, saya tidak akan tinggal diam!" Ancam Samuel pada calon menantunya itu.
"Saya tidak akan pernah membiarkan Maura menangis dan akan selalu membahagiakannya." Bara tersenyum ramah, namun matanya menatap tajam ke arah Samuel.
Ya, kau tenang saja. Aku pasti akan membuat putrimu sangat bahagia setelah pernikahan ini.
Didepan penghulu, saksi, Samuel dan juga para tamu undangan yang hadir. Bara mengucapkan ijab kabul dengan fasih dan lancar.
Semua orang memberikan selamat atas pernikahan mereka. Setelah resepsi pernikahan selesai, pasangan pengantin baru itu langsung pergi ke kamar hotel yang mewah khusus pengantin baru.
Kamar itu dihiasi dengan banyak bunga-bunga dan dekorasinya sangat menawan. Bahkan di luar balkon kamar itu ada kolam renang kecil.
"Wow, sayang.. kamu bisa lihat ini? Kamar ini benar-benar seperti apa yang aku mau." Maura takjub melihat kamar pengantin mereka.
Bara tersenyum."Aku senang kalau kamu suka, sayang."
"Makasih ya…Bara-ku sayang," Maura memeluk suaminya dengan penuh cinta.
Bara dan Maura yang masih memakai baju pengantin itu. Memutuskan untuk membersihkan dulu diri mereka sebelum melakukan malam pertama. Maura sangat menantikan malam itu, dia bahkan sudah menyiapkan semuanya.
Setelah selesai membersihkan tubuh mereka yang penuh keringat dan berganti baju. Maura menyambut suaminya dengan mesra, dia memakai baju yang bisa membuat siapapun tergoda saat melihatnya.
"Sayang, aku sudah siap.." ucap Maura sambil mengecup pipi suaminya dengan manja.
"Aku juga sayang," jawab Bara dengan senyuman sinis di bibirnya. Kemudian Bara langsung mendorong Maura ke atas ranjang dengan keras.
"AHHHhhh!" pekik Maura terkejut karena dorongan keras dari suaminya itu. "Sa-sayang..." Maura melihat tatapan asing Bara kepadanya.
Bara yang selalu menatapnya dengan lembut, kini menatap Maura dengan tajam.
Rasanya aku ingin membunuhmu sekarang juga, Maura.
...-----*****-----...
Jantung Maura berpacu dengan cepat, hatinya berdebar-debar. Bukan karena dia bahagia, tapi melainkan karena dia merasa tegang merasakan ada yang berbeda dari suaminya.
Tatapan Bara yang biasanya lembut, kini terlihat tajam dan menyala, seolah memendam rasa benci padanya. Apakah dia salah lihat?
"Sayang, kamu kenapa? Apa ada yang salah?" Tanya Maura pada pria yang berada diatas tubuhnya itu.
Sabar Bara, ini belum waktunya.
Bara menatap Maura dengan tatapan tajam, jari-jarinya memainkan rambut Maura yang panjang. Kemudian matanya melihat ke arah pakaian yang dikenakan istrinya itu, pakaian yang tipis cocok di pakai pada malam pertama.
"Tidak apa-apa sayang, hanya saja aku lapar. Aku ingin makan," ucapnya sambil beranjak bangun dan duduk di ranjang, membiarkan sang istri berbaring sendirian.
"Kamu mau makan? Bukankah tadi sebelum kemari kita sudah makan malam ya?" Tanya Maura sambil duduk disamping suaminya. Suara wanita itu mengalun lembut apalagi saat berhadapan dengan Bara, pria yang sudah berpacaran dengannya selama kurang lebih empat tahun dan kini pria itu sudah menjadi suaminya.
"Oh.. jadi aku tidak boleh makan lagi? Sayang, aku lapar!" Ucap Bara sambil melirik ke arah istrinya dengan tajam.
"A-aku gak bilang begitu. Ya udah, aku akan pesankan makanan untuk kamu ya sayang?" Mendadak Maura menjadi gugup didepan Bara yang bersikap ketus padanya.
Kenapa Bara bersikap sinis padaku? Ah.. ini pasti karena dia lelah dan lapar. Pikirnya dalam hati.
"Gak, aku gak mau makanan hotel. Kamu tau kan aku lebih suka masakan rumahan, lebih baik kamu pergi ke dapur hotel dan memasak untukku. Aku mau masakan kamu!" Seru Bara dengan ketus dan suara yang mulai meninggi.
"Ba-baiklah sayang kalau itu mau kamu, aku akan turun ke bawah dan melakukan apa yang kamu mau. Kamu jangan marah-marah ya, kamu istirahat saja disini." Maura menatap suaminya dengan tatapan polos seperti biasa.
Bara menyeringai melihat istrinya yang polos itu. Maura selalu melakukan segalanya untuknya. Dan Bara sangat menantikan hari dimana Maura menderita di bawah kakinya dengan status sebagai istrinya.
"Makasih ya sayang, kamu memang yang terbaik." Bara mengecup kening Maura sebelum gadis itu akan pergi ke dapur hotel.
"Iya sayang, kamu tunggu aku ya." Maura tersenyum manis.
Dia mengambil jaketnya, kemudian keluar dari kamar pengantinnya untuk melaksanakan perintah dari Bara, suaminya. Sementara itu Bara merebahkan dirinya di ranjang penuh dengan kelopak bunga mawar dan wewangian yang mengisyaratkan bahwa itu adalah malam pertama untuk mereka.
"Ckckck, dasar wanita polos dan bodoh. Salahmu sendiri kenapa kau menjadi anak dari pria bajingan itu," Bara tersenyum menyeringai kemudian dia mengambil ponselnya yang berada di atas meja.
Bara menelpon seseorang, "Halo, cepat kamu kemari! Kamarnya nomor 1023! Jangan lupa gunakan jubah perangmu," ucap Bara pada seseorang yang sedang bicara dengannya di telepon itu. Entah apa yang direncanakannya kali ini.
Tut..
Bara langsung menutup teleponnya setelah itu.
"Kamu tunggu saja Samuel Argadana, aku akan membuat putrimu bahagia.. sangat bahagia," ucap Bara sambil mengepalkan tangannya dengan penuh amarah.
Dengan senang hati, Maura melakukan perintah sang suami dan memasak sendiri makanan untuk suaminya di dapur hotel. Beberapa menit kemudian setelah selesai memasak, kini dia dalam perjalanan membawa makanan itu ke kamarnya sambil tersenyum bahagia.
"Pasti Bara lelah, makanya sikapnya agak sedikit berbeda. Tadi saja sebelum aku pergi, dia mengecup keningku dulu." Pikir Maura selalu positif pada suaminya.
Ting!
Pintu lift terbuka, dia sampai di lantai tempat dirinya dan Bara menginap. Maura berjalan menuju ke kamarnya yang letaknya berada di paling ujung. Di tangannya dia membawa kresek makanan dengan dua kotak di dalamnya. Satu untuknya dan satu untuk suaminya.
Ceklet!
Maura membuka pintu kamarnya, bibirnya yang tadi tersenyum berubah menjadi kekecewaan dan kebingungan. Matanya melebar melihat seorang wanita asing tengah berada di atas ranjang pengantinnya bersama sang suami yang baru saja dia nikahi.
"Pelan-pelan sayang, geli.. AHHHhhh.." rintih si wanita asing yang berada dibawah tubuh Bara itu.
"Kamu ini, katanya mau gerakan pelan? Dikasih pelan malah geli.." ucap Bara sambil mencium pipi wanita itu sambil terkekeh-kekeh.
"Ba..ra.." lirih Maura dengan matanya melebar melihat apa yang ada di depannya.
"Oh Maura? Kamu sudah datang?" Bara menyambut kedatangan istrinya sambil tersenyum pada Maura. Dia beranjak dari tubuh si wanita asing itu dengan tubuh telanjang dada. "Simpan saja makanannya di atas meja," titahnya pada Maura dengan wajah datar.
"Bara? Kamu apa-apaan sih? Siapa wanita ini? Kenapa kamu dan dia..." Maura naik pitam melihat suaminya dengan kondisi telanjang dada dan wanita asing itu yang hanya memakai pakaian tipis sama seperti pakaian miliknya.
"Maura apa kamu tidak bisa melihatnya?" Tanya Bara sambil mengambil rokok dan menyalakan rokok itu dengan pemantik api. Kemudian dia menghisap rokoknya.
Bara kan tidak merokok? Kenapa dia merokok? Sejak kapan dia merokok?
"Bara, sejak kapan kamu merokok?" gumam wanita itu terperangah.
Maura masih berdiri di depan pintu kamarnya. Dia menatap suaminya dengan keheranan. Anak baik dan lemah lembut itu, kini seperti asing didepan matanya.
"Mas, dia istri kamu ya?" Tanya si wanita itu sambil membelai dada bidang milik Bara dengan senyuman genit di bibirnya.
"Iya, dia istriku." Jawab Bara sambil menatap Maura dengan tajam. Hingga membuat gadis itu tercekat.
"Sudah punya istri cantik, masih saja kamu bermain denganku..haha.." wanita itu memeluk Bara dengan mesra.
Tangan Maura mengepal dengan gemas dan menahan marah ketika suaminya dipeluk oleh wanita lain.
"Sepertinya kalau urusan ranjang dan kecantikan.. lebih menarik kamu dibanding dia. Kamu tetap lebih menarik bagiku, sayang..." ucap Bara pada wanita itu dengan mesra dan lembut.
Hati Maura seperti tertusuk benda tajam dan tercabik-cabik, saat mata tidak bisa menipunya lagi. Bahwa sang suami sudah berubah menjadi orang asing di malam pernikahan mereka.
Maura memberanikan diri untuk melangkah dan mengusir wanita itu dari ranjang pengantinnya. "Pergi kamu dari sini! Kamu pasti yang menggoda suami ku kan? Keterlaluan kamu, ini ranjang pengantinku!" Maura mendorong wanita berpakaian tipis itu ke lantai dengan kasar.
Wanita itu jatuh ke lantai, dia merintih kesakitan. Kemudian Bara beranjak dari ranjangnya untuk menolong wanita itu.
"Mas.. sakit.." rintih wanita itu dengan manja sambil menarik tangan Bara.
"Maura, kamu apa-apaan sih?!" Bara membentak istrinya dengan keras.
"Kamu yang apa-apaan? Kenapa kamu menolong dia dan malah membentakku? Kenapa kamu bersama dia di kamar ini,bahkan di ranjang ini!" Maura menahan tangisnya, hatinya yang sakit tambah sakit lagi melihat Bara membela wanita asing itu.
"Maura, katanya kamu sayang dan cinta sama aku sampai bisa melakukan apapun. Lalu kenapa aku tidak boleh melakukan ini? Apa jangan-jangan cintamu itu bohong?" Bara menatap sang istri yang sedang marah, matanya merah dan berkaca-kaca.
"Bara.. kamu bicara apa sih? Tentu saja aku mencintaimu!" Ujar Maura tegas.
"Ya sudah, kalau begitu biarkan wanita ini tinggal di kamar kita. Dia akan tidur denganku malam ini, karena dia kekasihku!" Seru Bara tegas.
"Apa?" Maura terperangah.
Hati Maura lagi-lagi terkena serangan panik, kenapa semuanya bisa jadi seperti ini? Kemana Bara yang selalu memperlakukannya dengan lembut? Kenapa dia berubah di malam pertama mereka?
Tanpa peduli bagaimana perasaan Maura, Bara membawa wanita itu kembali berbaring di ranjang pengantinnya. Maura menangis melihat suaminya bersama wanita itu. Dan Bara malah tersenyum puas melihat Maura yang menangis berdiri di ujung kamar dengan tatapan sakit hatinya.
Samuel Argadana, ini baru permulaan dari penderitaanmu.
...----****----...
Berhubung ini hari Senin, boleh gak author minta vote, gift dan komennya🥺🥺
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!