NovelToon NovelToon

THE PRESIDENT'S SEVEN TWINS

AWAL KISAH

Seorang gadis tengah memacu kuda besinya. jalanan becek akibat hujan yang mengguyur semalaman, membuat jalan penuh dengan kubangan dan licin.

Maklum saja. Jalanan masih lah tanah lempung, belum beraspal. Bahkan penerang jalan bisa dihitung dengan jari.

Malam itu sangat sepi, hanya terdengar suara mesin motor trail milik sang gadis dan suara jangkrik yang bersahutan.

Duar! Brak! Terdengar ledakan dari kejauhan. Percikan api terlihat. Manya Aidila, dua puluh enam tahun menggeber gas menuju lokasi ledakan.

"Semoga tak terjadi apa-apa!" gumamnya.penuh kekhawatiran.

Sebuah mobil mewah tampak ringsek dan berada di posisi terbalik. Bau bensin dan asap memenuhi mobil itu.

"To ... long!"

Manya, atau biasa dipanggil Anya mendengar suara rintihan minta tolong.

Gadis berprofesi dokter itu segera mengambil kain dan membasahinya dengan air. Ia membebat hidungnya agar tak menghisap asap. Pintu mobil sudah rusak. Gadis itu sekuat tenaga membukanya.

Bruk! Ia terjatuh ke tanah. Bajunya langsung kotor penuh dengan tanah basah. Ia melihat sekitar. Ada besi dengan panjang satu meter. Gadis itu mengambil besi itu dan mencoba kembali membuka pintu mobil.

Entah kekuatan dari mana. Manya bisa membuka pintu itu, ia segera melepas sabuk pengaman dan menarik tubuh pria dari dalam mobil yang sudah mulai memercik api.

Dengan sekuat tenaga, Manya menarik tubuh besar dengan darah mengucur dari kepala, lengan, juga tubuh pria itu. Manya segera menariknya dan menjauh dari mobil. Dan tak lama mobil itu meledak seketika.

Keduanya terjerembab di tanah yang becek dengan tubuh pria itu menindih tubuhnya.

"Astaga ... berat!"

Setelah berhasil keluar dari tindihan pria yang sudah tak sadarkan diri. Manya mencari dompet pria itu untuk mengetahui identitasnya.

"Loh kok nggak ada sih?" desisnya tak percaya.

Gadis itu menatap kendaraan yang kini sudah menghitam dilalap api. Ia yakin, semua identitas pria itu ada di dalam mobilnya.

Setelah menenangkan diri. Kini, Manya membopong tubuh besar itu ke atas motornya. Di sini sudah gelap dan tak ada siapa-siapa.

"Ck ... nggak mungkin aku minta penunggu pohon itu!" gumamnya sedikit bergidik dan melirik pohon besar yang berdiri kokoh tak jauh dari sana.

Manya menatap bekas ban dari mobil yang terbakar. Tampak, banyak pohon rusak akibat mobil yang jatuh dari atas jalan besar sana. Memang keberadaan kampung tempat ia tinggal berada di lembah yang cukup terjal.

Manya menghela napas panjang. Ia harus membawa pria ini ke kliniknya untuk segera diobati dan bisa kembali pulang ke keluarganya.

"kasihan, pasti anak dan istrinya menunggu," ujarnya iba.

Manya menaikan pria itu seperti membonceng. Gadis itu harus merelakan tubuhnya tegak dan memegangi dengan sebelah tangan.

Tak lama motor itu melesat menuju kliniknya.

Pagi menjelang. Pria itu belum sadarkan diri. Manya memeriksa luka di kepala pria itu.

"Cukup dalam, untung di sini komplit alat operasinya," ujarnya.

Nyaris seluruh tubuh pria itu diperban dan membuatnya menjadi mumi.

"Tekanan darahnya mulai stabil dan detak jantungnya juga mulai normal. Hanya tinggal suhu tubuh," ujar Manya bermonolog.

Tak lama, klinik itu sudah penuh dengan manusia. Banyak pasien datang dengan berbagai keluhan.

Dokter Manya Aidila. Gadis yang berprofesi sebagai dokter, mengabdikan hidupnya tinggal di tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota. Gadis yatim piatu ini, berotak cerdas, hingga bisa kuliah di universitas kedokteran dengan beasiswa penuh. Setelah lulus, ia memenuhi panggilan untuk mengabdi dengan bayaran langsung tiga tahun. Ia sudah menghabiskan dua setengah tahun, tinggal setengah tahun lagi, ia sudah bebas dinas dan diganti dokter lain.

"Dok, bisa nggak tinggal di sini terus. Kami udah nyaman jika dokter yang memeriksa kami," pinta salah satu warga memohon.

" Iya, Dok. Kami sudah dua puluh lima kali ganti dokter, tapi tak ada yang sesabar dokter," sahut satunya lagi membujuk.

"Maunya sih gitu, tapi kan saya ikut pemerintah, jadi jika saya mesti pergi, perlakukan dokter pendatang untuk betah ya," ujar Manya dengan senyum lebar.

Gadis itu bukan tak tahu tabiat para penduduk desa yang masih percaya klenik. Awal ia datang. Gadis itu cukup kaget dengan ritual dukun untuk menyembuhkan orang sakit.

Sekarang dukun itu malah sering berobat karena sakit menahun tak kunjung sembuh. Para masyarakat pun bubar. Manya sudah selesai dengan penyuluhannya, gadis itu pun melaporkan kejadian semalam kepada ketua desa setempat.

“Jadi, Nak Anya tadi malam menolong seorang pria yang kecelakaan?” Manya mengangguk.

Gadis itu membawa beberapa orang ke kliniknya dan memperlihatkan pria yang masih saja setia memejamkan mata. Kepala desa memasang kacamatanya. Ia mengamati wajah yang banyak luka memar, bertanda betapa hebatnya kecelakaan itu.

“Apa dia tidak apa-apa?” tanyanya.

“Semua sudah normal, pak. Hanya saja peralatan di sini kurang memadai untuk mengecek secara menyeluruh,” jelas gadis itu.

“Di mana lokasi kecelakaannya?” tanya kepala desa lagi.

Manya menjelaskan di mana lokasi itu. Beberapa orang mendatangi tempat kejadian, mereka mengamati tebing tempat di mana bangkai mobil terbalik dan telah menjadi kerangka mesin saja. Beberapa di antaranya mencoba memeriksa apa ada barang yang masih selamat.

“Bener, pak! Di selatan desa ada bangkai mobil terbalik dan habus terbakar. Diperkirakan, pria ini terperosok ke lembah kita sejauh sepuluh meter!” lapor salah satu warga.

Kepala desa tercenung, Ia berpikir jika pria itu begitu beruntung terperosok sejauh itu dan masih selamat.

“Kau beruntung anak muda,” gumamnya.

“Sayang, mobil dinas saya sedang diambil oleh dinas kependudukan, jadi tak bisa mengantar pria ini ke kota,” sesalnya.

“Jadi bagaimana pak?” tanya Manya.

“Uugghh!”

Pria itu bergerak, perlahan mengerjapkan mata. Ia merasakan tubuhnya sakit luar biasa. Matanya mengedar, samar ia melihat beberapa orang berdiri.

“Kau sudah sadar, nak?” tanya kepala desa.

“Aku di mana?” tanya pria itu lemah, kepalanya seperti dihantam oleh palu besar.

“Maaf, saya dokter di sini. Sekarang apa yang anda rasakan?” tanya Manya langsung memeriksa keadaan pria itu.

“Kepala saya seperti dihantam palu, tubuh saya remuk dan sakit semua,” jawab pria itu.

Perlahan, matanya sudah bisa beradaptasi, ia melihat sekelilingnya tampak jauh dari kesan elite. Bahkan pakaian semua orang sangat sederhana, bahkan ada yang seperti ditambal saja. Pria itu juga melihat kondisi tubuhnya yang semua diperban.

“Apa yang terjadi?” tanyanya lemah.

Kepala desa menjelaskan kejadiannya. Pria itu tercenung sesaat, ia berusaha mengingat kembali apa yang terjadi.

“Jadi siapa kamu, nak?’ tanya kepala desa.

“Yang kuingat, aku dipanggil Jovan,” jawabnya. “Selebihnya, aku tak tau siapa diriku.”

Semua menatap dokter cantik yang berdiri di tengah mereka. Manya kembali melakukan pemeriksaan. Ia pun menggeleng lemah. Asumsinya cuma satu.

“Tuan ini mengalami amnesia,” jelasnya.

Bersambung.

PRIA BERNAMA JOVAN

"Jadi yang anda tau hanya nama anda saja?" tanya kepala desa.

Pria itu mengangguk lemah. Sesekali ia meringis menahan sakit. Manya langsung meminta semua untuk meninggalkan pria itu agar beristirahat.

"Sebaiknya kita biarkan dia istirahat,"

"Tidak bisa ... lalu siapa yang merawatnya di sini?" tanya kepala desa, "dia tak punya siapa-siapa untuk dihubungi!"

Semua mengangguk setuju. Manya hanya diam. Tadinya di sini ada seorang mantri yang bertugas bersamanya. Tapi, mantri itu diusir keluar desa karena hendak melecehkan salah satu wanita di desa itu.

"Nak, bukan kami tak mengerti keadaannya. Tapi, pria ini tentu hanya anda yang merawat dan mengobatinya bukan?" Manya mengangguk ragu.

"Tentu saja, dia kan dokter!" sahut salah satu pria di sana.

"Kami tak mau desa ini tercemar, karena perbuatan yang tidak diinginkan ...."

"Maksud bapak?" tanya Manya mulai tak enak.

"Aarrghh!" teriak Jovan sambil memegangi kepalanya.

Manya langsung menangani pria itu. Efek dari kecelakaan memang akan ada kesakitan. Manya tak tau pasti apa ada tulang yang retak atau pendarahan di dalam, melihat luka lebam nyaris memenuhi seluruh tubuh pria itu.

"Pak sebaiknya, kita keluar dulu, nanti kita akan bicara lagi ya," pinta Manya.

Akhirnya kepala desa dan beberapa orang lainnya pun keluar dari ruangan itu. Sebisa mungkin Manya memberi obat yang ia ketahui untuk pereda rasa sakit. Gadis itu juga meraba semua kaki dan tangan pria itu. Ia berharap tidak ada yang retak.

"Aku harus membawanya rontgen," gumamnya.

Entah bagaimana ia membawa pria itu. Tapi, pasiennya ini harus mendapat perawatan intensif.

Gadis itu keluar setelah memberikan obat pereda sakit pada pria itu. Di ruang depan kepala desa dan lainnya masih menunggu.

"Pak!" panggil Manya.

"Bagaimana keadaannya?" tanya kepala desa.

"Masih ada shock. Saya akan membawanya besok ke klinik di pinggir kota. Di sana fasilitasnya sedikit lengkap," ujar Manya.

"Manya ... maksud saya dokter ...."

"Panggil saya nama saja pak, tak perlu formal," sahut Anya memotong perkataan kepala desa.

Pria berusia lima puluh tahun lebih itu menghela napas panjang. Ia begitu serius dengan keadaan yang terjadi.

"Nak, kami bukan tidak mau menolongmu. Tapi, yang kau rawat adalah seorang laki-laki, kami tak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan," ujar pria itu lagi.

"Benar nak. Kamu ingat kejadian Mantri Ahwar dengan Martina, anak gadis Pak Sudin kan?" Manya mengangguk kini ia paham maksud pria itu.

"Jangan sepelekan setan, nak. Martina panas tinggi, bahkan usianya masih dua belas tahun. Bagaimana setan bekerja ketika Ahwar nyaris memperkosa gadis tak berdaya itu?" Manya kembali mengangguk.

"Beruntung masih ada orang tua yang menyelamatkan gadis itu. Bagaimana jika tidak?"

"Saya mengerti pak. Tapi, bapak lihat sendiri keadaan pria itu. Saya yakin untuk bergerak saja ia tak mampu," sahut Manya penuh keyakinan.

"Nak ... jangan sepelekan setan!" seru kepala desa itu lagi.

"Semua akan sia-sia jika terlambat!" lanjutnya memperingati.

Manya diam. ia jadi takut sendiri. Memang benar apa yang dikatakan kepala desa jika setan akan bekerja sedemikian rupa untuk manusia agar berbuat dosa.

"Lalu maksud bapak bagaimana?" tanya gadis itu.

"Menikahlah dengannya!'

Sementara di sebuah tempat. Semua orang sibuk setelah mendengar kabar jika salah satu kerabat mereka kecelakaan dan mobilnya jatuh ke jurang.

Seorang wanita paru baya menangis meraung memanggil nama putranya. Sedang seorang pria berusia jauh lebih tua tampak menatap kosong. Hanya orang-orang tertentu yang menenangkan sang ibu.

"Pi ... anak kita pi, putra kita!' teriak wanita itu histeris.

Sang pria hanya diam mematung. Hanya linangan air mata yang mewakili bagaimana perasaannya saat ini.

Tak lama hunian mewah itu penuh dengan manusia. Seorang pria yang selalu bekerja di sisi atasannya tampak terpukul.

"Praj ... kenapa kau tak mendampingi atasanmu!" teriak sang nyonya.

Wanita itu memukuli pria berusia sama dengan putranya itu. Pria bernama Praja hanya diam. Ia menyesal kenapa tak memaksa ikut, walau bossnya itu akan melemparnya dari dalam mobil.

"Mami!"

Seorang gadis berbaju seksi berlari memeluk sang wanita paru baya. Ia menangis tersedu-sedu. Sang nyonya tampak tak kuat lagi, akhirnya ia tak sadarkan diri.

Semua panik. Sang suami yang tertegun baru tersadar jika istrinya tengah shock berat.

"Nyonya!" teriak Praj.

"Mami!" teriak sang gadis.

"Bawa istriku ke dalam. Praj, panggilkan dokter!' titah pria itu.

Beberapa pelayan mengangkat tubuh tambun sang wanita dengan susah payah. Praja menelepon dokter pribadi keluarga Dinata.

"Om ... bagaimana bisa Jovan jatuh ke jurang, dia adalah pengemudi yang handal?" tanya salah satu pria yang adalah keponakan iparnya.

"Aku tidak tau, polisi tadi bilang jika ada kecelakaan dan dari cctv jalan menandakan jika mobil itu adalah milik Jovan!" jawab Abraham Dinata dengan napas menderu.

Sungguh pria berusia lima puluh tahun ini sangat kacau dan tak bisa berpikir. Putra semata wayangnya kecelakaan dan tak tau nasibnya.

"Om aku yakin jika ada orang yang mencelakai Jovan!" terka pria bernama Rendi Irawan—keponakannya.

"Aku tak bisa mengatakan itu," sahut Abraham lemah.

Pria itu terduduk di sofa. Tak lama, dokter datang. Abraham langsung membawa ke kamar pribadinya. Di sana istrinya Maira Sugandi, terbaring lemah.

"Bagaimana keadaan istri saya dok?" tanya pria itu.

"Istri anda tidak apa-apa, hanya shock. Saya telah memberinya obat penenang. Setelah ini jangan buat dia banyak pikiran dan melamun, itu saja," jelas sang dokter.

Pria berjas sneli itu memberi resep yang harus ditebus. Abraham meminta Praja menebusnya. Pria itu langsung menjalankan perintah. Rendi mengamati Praja dengan intens.

"Pi, mami gimana?" tanya seorang gadis yang tadi datang.

Abraham menatap gadis itu lama. Ia berpikir sesuatu, baru saja mulutnya terbuka tiba-tiba Rendi mengalihkan pikiran pamannya.

"Om, aku yakin jika Praja ada sangkutannya dalam kecelakaan Jovan!"

Sedang di tempat lain. Sosok pria yang ditolong Manya, mulai mengerang kesakitan. Gadis itu tak bisa terus-terusan memberi obat pereda rasa sakit. Ia menenangkan pria itu dengan usapan dan memberikan aroma therapy agar pasiennya lebih tenang.

"Sakit!" teriak pria itu.

"Yang mana yang sakit tuan?" tanya Manya panik.

"Seluruh tubuh saya dok. Kenapa semua persendian saya seperti mau terlepas?" rengek pria itu.

"Ini adalah efek dari benturan tuan. Anda dan mobil anda terguling setinggi dua puluh meter!" terang Manya.

Jovan memang merasakan sakit luar biasa. Kepala desa yang berdiri di sisi Manya tak tega melihat pria itu merintih kesakitan.

"Nak, bukankah kau juga bisa akupuntur, kenapa tidak kau terapkan?"

"Tidak bisa pak. Seluruh organ tubuh dan darah dari tuan ini tengah mengaktifkan seluruh imunitas tubuh, jadi kita hanya bisa memberinya sesekali obat pereda rasa nyeri!" jelas Manya.

Akhirnya gadis itu memberinya obat tidur dengan dosis sedang. Tak lama, pria itu tidur dengan desis kesakitan dari mulutnya.

"Setidaknya dengan tidur semua imun akan bekerja maksimal, jika besok lebih baik lagi. Kita harus membawanya ke tengah kota!" ujar Manya..

bersambung.

next?

PERNIKAHAN

Pengobatan Jovan terus diawasi oleh kepala desa. Pria itu selalu menemani Manya sang dokter untuk menjaganya.

"Jadi bagaimana keadaannya?" tanya kepala desa.

"Semuanya baik. Pasien bisa menggerakkan semua anggota tubuhnya. Walau, saya masih ragu dengan bagian dalam," jawab Manya usai memeriksa Jovan.

"Kita harus membawanya ke klinik di kota sana, pak!" ujar Manya.

Pria itu hanya bisa menghela napas panjang. Mobil dinasnya tak kunjung kembali dari kantor bupati. Sepertinya, ia tak dapat membantu. Akses jalan menuju desanya hanya satu dan butuh waktu jika ingin pergi ke kota bisa mencapai delapan jam lamanya.

"Kita hanya bisa menunggu aparat pemerintah daerah pusat turun ke sini, nak," ujar pria itu.

"Waktu panen masih dua minggu lagi baru ada truk pengangkut datang," jelas pria itu.

"Saya yakin berita Jovan sudah ada menyebar di kota," ujar Manya yakin.

Jovan mengerjapkan mata. Pria itu tersadar dari tidur panjang.

"Uugghh!"

"Tuan!"

"Air ... air ...."

Manya langsung mengambil gelas berisi air. Gadis itu membantu pria itu meminum airnya. Ada sedikit rintihan keluar dari mulut pria itu.

"Sekarang apa yang anda rasakan tuan?"

Jovan memindai semua yang ia rasakan. Masih sama, sakit luar biasa dan kepala juga masih pusing.

"Masih sama seperti kemarin, hanya saja sudah berkurang sedikit," jawab pria bermata hazel itu.

Wajah Jovan masih bengkak dan memar sana sini. Bahkan luka lecet yang menghiasi seluruh tubuh dan wajahnya terlihat jelas dan nampak mengerikan.

"Kalau begitu, apa bagian sini masih sakit?" tanya Manya ketika menekan ulu hati pria itu.

Jovan menggeleng. Manya menggerakkan tangan pria itu, ia juga menggeleng. Begitu juga kaki, kepala dan pinggang pria itu. Jovan menggeleng tanda tak sakit.

"Jadi yang sakit hanya memar-memar ini?" tanya Manya sambil menyentuh memar di dada, punggung, tangan dan muka.

"Kau ingin membunuhku!" teriak Jovan lalu ia mengerang kesakitan karena terlalu mengekspose gerakannya.

"Sabar tuan. Dokter ini hanya bertanya!" sahut kepala desa datar.

"Sakit!" rengek pria itu.

"Sekarang waktunya makan obat. Anda makan dulu ya," ujar Manya.

Satu mangkuk bubur tandas di perut pria itu. Kepala desa dari tadi memperhatikan betapa Manya begitu telaten mengurus pasiennya itu. Bahkan ada gerakan-gerakan yang menurut kepala desa tak boleh dilakukan oleh seorang gadis seperti dirinya.

"Saya sarankan agar kalian menikah!" keduanya menoleh pada kepala desa.

"Pak, dia pasien saya, ini hanya sebatas kerja," sahut Manya.

"Saya mau menikah dengannya!" sahut Jovan yang membuat gadis itu terkejut.

Sedang di tempat lain. Praja tampak berdiri dan sedang diintrogasi oleh Abraham Dinata, ayah dari atasannya..

"Katakan dengan jelas kejadiannya Praj!" tekan pria itu.

Sedang di sana Rendi dan Leticia menuduh asisten pribadi Jovan mencelakai atasannya sendiri. Karena dia adalah orang terakhir bersama Jovan.

"Saya memang terakhir bersama Tuan muda Dinata, tuan. Tapi, jika saya mencelakai atasan saya itu, tidak mungkin!" jawab Praja tegas dan tanpa takut.

"Jangan bohong kamu. Kamu memang dari dulu ingin menyingkirkan Jovan agar bisa memegang kendali penuh perusahaan kan!" tuduh Rendi sinis.

"Diam kamu Rendi! Aku tak menyuruhmu untuk bicara di sini!" teriak Abraham murka.

"Tapi om!"

"Keluar kau dari sini!" usir Abraham.

"Om ... aku adalah ...."

"Keluar kataku!" bentak Abraham lalu menatap tajam ponakannya itu.

Rendi mendengkus dan menatap nyalang pada Praja yang setia berdiri tanpa ada rasa gentar.

"Kau juga Leticia!" ujar pria paru baya itu.

"Papi ... aku yakin jika Praj memang membunuh kekasihku!"

"Leticia!" tekan Abraham lagi.

Gadis cantik dengan balutan seksi itu kesal bukan main. Ia menghentakkan kakinya dan berlalu dari sana. Sebelum gadis itu membuka pintu.

"Jangan datangi istriku. Biarkan dia tenang, jadi aku harap kau tau maksudku!" peringat Abraham.

"Tapi aku mau jenguk mami, mami pasti lagi sedih!" rengek gadis itu.

"Andre!" panggil pria itu.

Seorang pria tinggi dan tampan datang.

"Tuan!" sahutnya.

"Antar Nona muda Artha ke mobilnya!" titah pria itu.

"Papi!" rajuk Leticia tak terima.

"Seret dia jika menolak!" titah tegas dan tak dapat dibantah.

Andre langsung menyeret gadis itu ke luar dari mansion mewah empat tingkat itu. Hunian bernama "Dinata Palace" memang layak dikatakan istana.

Bangunan empat lantai dengan fasilitas ekslusif dengan keamanan ketat dan sistem sensor yang memperkuat keamanan. Dibentengi pagar beton setinggi enam meter dengan luar tanah mencapai dua kali lapangan bola, sedang rumahnya sendiri berkisar 2000m².

Lantai satu memiliki beberapa ruang dengan design interior mewah dan perlengkapan rumah dari luar negeri. Sofa-sofa dengan busa lembut dan dibalut beludru. Hiasan pot-pot cantik dari China dan sebagian pot koleksi dari dinasti Ming. ada empat lampu kristal menggantung di setiap ruangnya. Seperti ruang tamu, ruang tengah, ruang keluarga dan juga ruang makan.

Kini baik Abraham dan Praja ada di lantai tiga. Lantai itu diperuntukkan sebagian untuk rapat internal dan ruang kerja bagi Jovan dan Abraham. Sedang lantai atas adalah tempat olah raga seperti gym, lantai dua adalah beberapa kamar pribadi juga kamar tamu dengan balkon masing-masing yang menghadap halaman mansion yang penuh dengan bunga-bunga dan juga kolam renang.

Ruang dapur dan para maid ada di paviliun sendiri di bagian sisi kanan dan kiri mansion mewah itu.

"Praj!" panggil Abraham.

Pria itu memang tak percaya dengan tuduhan keponakan dan kekasih putranya itu. Praja sudah bekerja selama lima tahun bahkan pria itu sudah hidup dan tumbuh bersama Jovan sedari usia pria itu delapan tahun.

Praja Anugrah, pria berusia dua puluh lima tahun adalah anak angkat dari Aldebaran Roughe Dinata, ayah dari Abraham, bisa dibilang Praja adalah adik angkat pria paru baya itu.

Praja diambil anak oleh Aldebaran karena balas budi. Ayah dari pemuda itu mengorbankan nyawanya ketika salah satu lawan bisnis menembakkan peluru ke arah jantung Aldebaran. Daka Anugrah—ayah Praja menjadi tameng bagi tubuh tuannya. Praja sudah piatu dari ia lahir, ibunya meninggal dua jam setelah melahirkannya.

"Apa untungnya saya membunuh saudara saya sendiri Pi?" tanya Praja dengan suara bergetar.

"Bahkan semua surat kuasa dan ahli waris adalah nama Jovan. Apa untungnya saya membunuhnya?" tanyanya lagi.

"Memang terakhir kali bertemu, saya bertikai dengan Jovan perkara ...."

Praja menghentikan ucapannya. Abraham langsung kesal sekaligus penasaran.

"Apa ... kau bertikai dengannya karena apa!?" tanyanya gusar.

"Karena Nona Muda Artha ...," jawabnya lirih.

"Kau memang cemburu padanya kan?"

"Najis saya cemburu gara-gara Leticia Papi!" hardik Praja jijik.

"Jangan kurang ajar kamu!"

"Maaf pi. Tapi, saya tidak menyukai sama sekali Leticia!" sahutnya tegas.

"Lalu kenapa kau sampai bertikai dengan putraku?"

"Malam itu saya mendapat kabar jika tuan dalam keadaan mabuk berat di sebuah klub. Saya ditelepon manager klub jika Jovan tak mampu bangkit dari kursi dan memesan banyak bir," jelas Praja memulai cerita.

"Waktu itu saya langsung datang ke sana. Jovan meracau tentang Leticia yang berkhianat dan sumpah serapah lainnya ...."

Sedang di tempat lain. Jovan baru melafadzkan ijab kabul dan telah sah menjadi suami dari Manya Aidila.

"Saya lega jika meninggalkanmu berduaan dengan Nak Jovan sekarang," ujar kepala desa bernama Anton, lega.

Sedang Jovan yang masih lemah dan Manya yang duduk di sisi ranjang mengamit tangan pria itu dan mencium punggung tangannya.

"Dia istrimu nak. Kau boleh menciumnya," ujar Anton.

"Bibir saya masih sakit pak," ujar Jovan sedikit meringis.

Semua terkekeh mendengarnya, sedang Manya tampak merona malu.

bersambung.

next?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!