NovelToon NovelToon

Pangeran Tanpa Mahkota

Bab Satu

...Perhatian!!!...

Sebelum membaca novel tulisan saya ini, perlu saya tegaskan bahwa Novel karya saya ini tidak ada hubungannya dengan sejarah maupun cerita rakyat yang melegenda.

Jika ada kesamaan nama tempat maupun kejadian, maka itu hanya kebetulan belaka dan tidak ada maksud untuk menyinggung siapa pun.

Kisah yang saya tuangkan di dalam novel karya saya ini hanyalah fiktif belaka dan murni dari pemikiran saya yang liar dan berlebihan tanpa ingin merusak sejarah mau pun warisan yang telah diwariskan oleh leluhur bangsa kita.

Jadi, saya dengan sangat rendah hati mengharapkan kepada pembaca agar memahami maksud saya.

Tujuan saya menulis Novel ini hanya semata-mata untuk hiburan mengisi waktu luang pembaca dengan tulisan saya yang compang-camping ini.

Salam dari saya,

...Edane Sintink....

Sang AUTHOR RECEHAN.

Bab 1.

"Serbuuuu....!!!"

"Seraaang....!!!"

Terdengar pekik teriakan dari segala penjuru.

Suara teriakan di tingkahi dentingan pedang saling bersahutan menenggelamkan kokok ayam jantan di subuh yang seharusnya tenang itu.

Api berkobar di beberapa atap rumah di dalam benteng istana membakar habis beberapa rumah petinggi kerajaan.

Mayat dari kedua belah pihak saling tumpang tindih, teriak pekik kematian laksana nyanyian pengantar perjalanan terakhir para prajurit yang bertempur demi membela keyakinannya masing-masing.

Genderang perang telah dipalu dan hanya ada bentakan dan teriakan pembangkit semangat yang terdengar.

Api pertempuran kini telah menyala dan berkobar sedemikian maraknya.

Ketika suasana terus berkobar seperti ini, maka dapat di pastikan yang menang akan menjadi arang dan yang kalah akan menjadi debu.

Di kerajaan Sri kemuning saat ini tengah menghadapi malapetaka besar sepanjang ratusan tahun kerajaan itu berdiri.

Tidak ada yang akan menyangka Kerajaan yang tadinya aman, damai dan makmur itu bernasib laksana sebutir telur di ujung tanduk.

Apa sebenarnya yang terjadi?

Alkisah bermula disini.

Raja Alam Shah, yaitu generasi ke lima dari pendiri kerajaan Sri kemuning memiliki dua orang Putra benama Pangeran Wardana dan Pangeran Pradana.

Disaat Raja Alam Shah akan menghembuskan nafas terakhirnya, Baginda telah menitahkan sebuah warkah wasiat bahwasanya putra sulung beliau yaitu Wardana yang akan menggantikannya selepas mangkat untuk menjadi Raja ke enam bagi kerajaan Sri kemuning dengan gelar, Raja Perkasa Alam. Sedangkan untuk putra ke dua yaitu Pradana telah diberikan Jabatan sebagai Perdana mentri atau Patih yang akan mendampingi sang Raja dalam menjalankan roda pemerintahan.

Namun wasiat dari Mendiang Raja terdahulu telah di tolak mentah-mentah oleh pangeran Pradana. Ini karena dia tidak ingin tinggal satu atap dengan kakaknya. Dia merasa bahwa dirinya lebih pantas menduduki Tahta kerajaan Sri kemuning dibandingkan dengan kakak nya yang memiliki jasa yang lebih sedikit dibandingkan dirinya.

Sifat serakah, iri, dan dengki membuat dia berfikir siang dan malam mencari cara agar tahta kerajaan itu bisa jatuh ke tangannya.

Sehingga lah pada suatu hari, panglima perang bawahannya kembali ke istana dengan membawa kemenangan yang gilang gemilang atas negara tetangga.

Sebagai pemimpin tertinggi pasukan, Pradana telah terlebih dahulu kembali ke kerajaan Sri kemuning begitu mendengar bahwa ayahandanya telah mangkat.

Sesampainya dia di istana, seluruh proses pemakaman telah pun selesai di kerjakan.

Hal ini lah yang membuat dia merasa tidak puas atas surat wasiat yang ditinggalkan oleh ayahandanya kepada sesepuh istana dan dia bermati-matian membangkang keputusan bahwa kakaknya yang dilantik menjadi Raja selanjutnya sepeninggalan mendiang ayahandanya.

Berita kemenangan yang dibawa oleh panglima perang itu sedikit menimbulkan harapan baru baginya.

Dengan ini, dia dan panglima perang nya datang menemui Raja di istana dan meminta izin untuk menjadi Raja kecil di kerajaan yang telah mereka taklukkan itu.

Raja Wardana yang tidak mengetahui akal busuk adiknya itu dengan senang hati mengabulkan permohonan adiknya itu dan, dengan sangat suka cita ikut mengantar rombongan itu beserta sepuluh ribu pasukan tentara menyertai perjalanan ke kerajaan paku bumi yang telah mereka taklukkan.

Berkat ketabahan, kesabaran dan semangat berkobar-kobar untuk merampas tahta dari kakaknya, Pangeran Pradana dengan gigih mengumpulkan setiap pemuda di seluruh wilayah kerajaan taklukannya dan melatih mereka menjadi prajurit.

Perlahan namun pasti, usaha yang dilakukan dengan gigih oleh Pangeran Pradana mulai membuahkan hasil.

Sebagai pengukur kekuatan, mereka mulai menyerang kerajaan-kerajaan kecil di sekitar kerajaan Paku bumi yang dikuasainya dan mulai melebarkan sayap serta pengaruhnya terhadap Raja-raja lain di sekitar Paku bumi. Mereka yang takut semuanya menyatakan diri tunduk dibawah perintah Pangeran Pradana.

Berita tentang beberapa kerajaan yang telah berhasil di taklukkan oleh pangeran Pradana membuat Hati kakaknya yaitu Raja Wardana merasa gembira. Kegembiraan yang dirasakan oleh Raja Sri kemuning ini bagaimana pun bertentangan dengan para punggawa kerajaan yang lain.

Mereka beranggapan bahwa pengeran Pradana sengaja ingin bersaing dan ingin mendirikan kerajaan sendiri sebagai kerajaan tandingan bagi Sri kemuning.

Hal ini dapat diketahui dengan sangat jelas bahwa Pangeran Pradana menolak untuk mengirimkan upeti ke kerajaan pusat.

Saat ini para peginggi kerajaan sudah memperingatkan sang Raja bahwa pangeran Pradana sebenarnya memiliki niat jahat dibalik tindakan penaklukan yang telah dilakukan tanpa meminta persetujuan dari kerajaan pusat . Namun sang Raja tidak terlalu memperdulikanya, hingga hal yang paling ditakutkan pun terjadi.

Raja Wardana yang tidak menyangka bahwa adiknya akan memberontak dan ingin merebut tahta yang telah dia duduki selama setahun ini mau tak mau harus memberikan perlawanan dengan persiapan yang seadanya.

Ini karena mereka semua tidak menyangka bahwa mereka akan mendapatkan serbuan oleh prajurit Paku bumi.

Suasana yang tadinya ceria dan gembira karena Permaisuri Raja telah melahirkan seorang putra membuat seluruh Rakyat dan seisi istana bersuka cita menyambut kelahiran sang putra mahkota yang kelak akan memimpin mereka mewujudkan cita-cita luhur menyatukan seluruh kerajaan yang ada di sekitar Sri kemuning ini.

Pangeran Pradana yang cerdik memanfaatkan ketidak siapan para prajurit istana yang sedang berpesta untuk melakukan penyerbuan mendadak.

Malam yang seharusnya membahagiakan itu akhirnya menjadi malapetaka dan mimpi buruk bagi seluruh rakyat dan prajurit Kerajaan Sri kemuning.

Disaat semua orang sedang bersenda gurau, tergelak tawa dan menikmati jamuan yang telah dihidangkan oleh pelayan istana, tiba-tiba mereka dihujani oleh anak panah berapi dari luar tembok.

Tak lama setelah itu, pintu gerbang tembok yang mengelilingi istana pun di dobrak.

Setelah pintu tembok hancur, maka terlihat dari luar ribuan prajurit menyerbu masuk laksana air bah yang melanda apa saja yang ada di depannya.

Mendapat serangan yang tiba-tiba ini membuat para punggawa dan prajurit yang tanpa persiapan perang itu hanya bisa memberikan perlawanan seadanya.

Dapat dibayangkan dengan senjata biasa, tanpa zirah, tanpa perisai, maka mereka hanya akan jadi bulan-bulanan para prajurit Paku bumi yang terkenal gemar berperang.

Namun demi mempertahankan istana dari serangan dan demi kesetiaan mereka terhadap Raja mereka, maka mereka hanya punya satu pilihan yaitu, melawan. Walau mereka tau bahwa kesempatan untuk menang sangat sedikit.

Berkat kegigihan dan tekat yang kuat, para prajurit Sri kemuning mampu memberikan perlawanan sampai malam menjelang subuh.

Namun tampak dengan jelas bahwa kekuatan para prajurit ini telah berkurang lebih dari setengahnya.

"Serbu....!!"

"Kepung mereka!!"

"Jangan biarkan mereka lolos!"

Teriakan dan bentakan seperti itu ibarat nyanyian yang syahdu yang hanya bisa didengarkan di medan perang.

Saat ini pihak yang menyerang semakin memperhebat serangan nya dan pihak yang di serang bermati-matian bertahan di depan pintu istana demi mencegah agar mereka tidak dapat masuk kedalam istana dimana Raja mereka dan para wanita istri pembesar kerajaan sedang berkumpul disana.

Akibatnya, semakin banyak korban yang berjatuhan di pihak prajurit Kerajaan Sri kemuning.

Bersambung.

Melarikan Permaisuri

Bab 02.

Seorang lelaki tua memakai baju perang berlumuran darah tergopoh-gopoh memasuki ruangan bagian terdalam di istana.

"Yang mulia... Yang mulia..?!"

Lelaki tua itu tersungkur bermandi darah tepat dihadapan Raja Wardana.

Raja Wardana yang sangat terkejut buru-buru menghampiri lelaki tua itu.

"Paman patih. Bagaimana keadaan di luar sekarang?" Tanya Raja itu dengan cemas.

"Hancur Gusti. Semuanya musnah.

Ampunkan hamba Gusti Prabu."

"Bukan Paman Patih. Ini bukan kesalahanmu. Ini adalah salahku karena tidak mengindahkan peringatan dari kalian."

"Gusti. Segera lah lari melalui lorong rahasia. Sebelum pasukan anak durhaka itu mendobrak masuk ke dalam istana."

"Tidak Paman. Aku adalah seorang Raja. Darah ksatria mengalir dalam tubuhku. Raja boleh di gulingkan, tapi tidak untuk dihina."

"Hamba mohon Gusti! Cepat lah lari sebelum semuanya terlambat."

"Tidak!. Seorang Raja yang sah tidak boleh lari meninggal kan mayat prajurit nya yang telah berjuang demi Raja mereka dan demi tanah air mereka. Jika aku lari, generasi yang akan datang pasti mentertawakan tindakan pengecut ku ini dan akan melempari kuburanku karena dianggap pengecut, lari dari tanggung jawab dan hanya mementingkan nyawa nya sendiri."

"Tuan ku. Jika anda tidak segera pergi meninggalkan istana, bagaimana dengan Permaisuri dan Putra mahkota? Mereka pasti akan membunuhnya karena dianggap sebagai duri bagi tahta yang akan di duduki oleh anak durhaka si Pradana itu."

Raja Wardana memandang ke sekeliling memandangi satu per satu ke arah para prajurit yang berjaga-jaga untuk melindungi keselamatan Raja.

"Dimana Senopati Arya prana?" Tanya sang Raja kepada para prajurit yang berjaga di sekeliling nya.

"Ampun Gusti prabu, Senopati Arya prana berada di luar istana untuk membendung pasukan musuh agar tidak memasuki istana ini."

"Sampaikan titah ku! Katakan kepadanya untuk menarik beberapa prajurit yang masih hidup dan mundur ke lembah bangkai untuk menunggu permaisuri dan Putra mahkota disana. Kemudian kalian harus segera bergerak menuju kerajaan galuh untuk meminta perlindungan kepada Ayah handa prabu, ayah dari Permaisuri." Perintah sang Raja dengan terburu-buru.

"Daulat Tuanku." Kata Prajurit itu dengan sembah ta'zim dan segera berlari menuju keluar istana.

"Yang mulia. Hamba sudah tidak kuat lagi. Hamba mohon diperkenankan untuk melihat Putra mahkota." Kata Patih itu terbata-bata.

"Baiklah Paman patih.

Istri ku, bawalah anak kita kepada paman patih." Perintah sang Raja dengan lembut.

"Hamba kanda Prabu."

Kemudian Permaisuri membawa anaknya yang baru berumur belum genap sehari itu kepada paman patih.

Paman patih dengan susah payah duduk dan bersandar pada salah satu tiang penyangga istana.

Dia menyambut tubuh mungil putra mahkota dari uluran tangan Permaisuri.

Dengan sangat hati-hati sekali, Paman patih memangku tubuh mungil itu.

Tak lama kemudian tampak paman patih menggerak-gerakkan tangannya di udara dengan mulut berkomat-kamit seperti membaca mantra. Kemudian yang terjadi adalah tubuh Paman patih seperti di lapisi sinar kuning ke emasan.

Perlahan namun pasti, sinar kuning keemasan itu kini berpindah ke tangannya membentuk gumpalan menyilaukan mata.

Gumpalan sinar keemasan yang memancar dari kedua tangan paman patih kini di turunkan dan tepat membungkus tubuh mungil putra mahkota. Ini adalah tanda bahwa paman patih telah mengeluarkan seluruh kesaktian dan tenaga dalamnya kedalam tubuh mungil itu.

Kemungkinannya adalah, jika tubuh mungil itu tidak tahan menerima kekuatan besar itu, maka dia akan segera mati. Namun jika berhasil, maka dia akan memiliki pondasi yang kuat dalam menerima ilmu olah kanuragan atau pun ilmu kedigdayaan.

Saat ini sang Raja dan Permaisuri saling pandang dan sama-sama merasa khawatir dalam hati mereka. Namun untuk bertindak mencegah, sudah tentu sangat terlambat. Oleh karena itu, mereka hanya bisa berdoa dalam hati semoga tidak terjadi apa-apa kepada anak mereka.

Paman patih dengan tubuh bermandi keringat bercampur darah masih terus mengeluarkan seluruh kesaktiannya sampai pada akhirnya dia tersenyum puas.

"Anak bagus. Anak bagus. Katanya dengan bibir bergetar.

"Gusti prabu. Aku ingin memberi anak ini dengan Nama Indra Mahesa. Andai dia tidak menjadi Raja, kelak dia pasti akan menjadi seorang pendekar pilih tanding. Dan aku sangat puas sekarang." Katanya dengan bibir tersenyum.

Tidak ada yang menyangka bahwa itu adalah kata-kata terakhir yang bisa dia ucapkan sebelum dia menghembuskan nafas terakhir dengan senyum mengembang di bibirnya yang telah keriput.

Raja Wardana hanya bisa meneteskan air mata melihat pengorbanan paman nya itu.

Namun dia segera sadar bahwa tidak banyak waktu lagi.

Raja Wardana segera memasuki kamarnya. Tak berapa lama kemudian dia keluar dengan memakai pakaian perang lengkap dengan sebilah keris di pinggang dan sebilah lagi di genggaman tangannya.

Seluruh orang yang berada di ruangan itu hanya bisa menatap sayu kearah Raja mereka yang bersiap untuk melakukan perlawanan terakhir.

Meraka tau jika keris di genggaman sang Raja sudah keluar dari kamar pribadi baginda, maka itu adalah pertanda bahwa dia akan bertempur sampai mati. Jika menang, dia akan selamat. Tapi kalau kalah, dia akan binasa.

"Eyang Resi. Aku mohon diri." Kata Raja Wardana sambil membungkuk hormat kepada sesepuh istana itu. Lalu dia berbalik dan mencium kening putranya.

"Istri ku. Jaga anak kita dengan baik. Ini adalah keris Tumbal kemuning.

Keris ini adalah lambang kerajaan. Sah atau tidaknya seorang raja adalah ketika keris ini berada pada nya ketika dia dinobatkan sebagai Raja.

Bawalah keris ini dan jangan pisahkan keris ini dari Indra mahesa. Aku yakin kelak dia akan mampu menuntut haknya sebagai pewaris tahta kerajaan Sri kemuning yang sah." Kata Raja Wardana sembari membungkus keris itu dengan kain sutra kuning dan memasukkan kedalam kain pembedung tubuh mungil Indra mahesa.

"Kanda Prabu, Apakah kita akan bertemu lagi?" Tanya Permaisuri Galuh Cendana sambil menangis.

"Percayakan pada takdir. Jika yang maha kuasa berkehendak, maka kita akan bertemu kembali.

Jangan bersedih istriku. Semua ini sudah garis takdir yang telah di tetapkan oleh yang Maha pencipta." Kata Raja Wardana berusaha menenangkan hari Permaisurinya.

"Panglima Rangga dan Panglima Paksi!

Jaga permaisuri dan junjungan kalian dengan nyawa kalian. Bawa mereka ke kerajaan galuh dan mintalah perlindungan kepada Ayahanda mertuaku disana."

"Daulat Tuanku. Titah Paduka hamba junjung tinggi dan akan hamba laksanakan."

"Segeralah berangkat sebelum pasukan Pradana menyerbu masuk ke dalam istana ini.

Gunakan jalan rahasia di belakang singgasana ku. Ketika kalian menemukan persimpangan, ambil lorong sebelah kanan dan kalian akan sampai di lembah bangkai. Di sana sisa pasukan Senopati Arya prana telah menunggu."

"Sendiko Gusti prabu." Kata mereka lalu dengan sangat hormat mempersilahkan Permaisuri dan para istri pembesar istana memasuki ruang rahasia dibalik kursi tahta kerajaan.

Lebih dari seratus prajurit pengawal mengikuti rombongan pelarian itu dengan tujuan mengawal keselamatan Permaisuri dan juga Putra mahkota junjungan mereka.

Sambil mengusap air mata, Raja Wardana menguatkan diri dan berjalan dengan gagah menuju keluar istana untuk melawan kekuatan pasukan Pangeran Pradana yang telah hampir menguasai seluruh istana setelah pasukan prajurit yang di pimpin oleh Senopati Arya prana mundur ke lembah bangkai.

Bersambung...

Kematian Raja Wardana

Bab 03

Matahari telah meninggi di garis edar nya, embun-embun mulai mengering di ujung dedaunan yang menghijau.

Pagi yang seharusnya indah dan damai itu harus dinodai dengan pertumpahan darah.

Pagi yang seharusnya tenang itu di usik oleh pekik jeritan dan suara denting senjata beradu.

Para penduduk kota raja saat ini tidak ada yang berani keluar seperti hari-hari biasanya.

Kedai-kedai makan dan taman-taman tempat anak-anak kecil bermain kini sunyi sepi.

Begitu juga dengan sungai tempat anak dara mencuci, dan ladang sawah dimana para petani bercocok tanam juga tidak di garap.

Benar-benar satu pemandangan yang aneh bagi mereka yang tidak tau apa yang terjadi saat ini di depan istana kerajaan Sri kemuning.

Tampak saat ini seluruh prajurit yang mencoba mempertahankan istana mulai kocar-kacir di serang dari segara penjuru.

Mereka saat ini hanya mampu bertahan tanpa memiliki kesempatan untuk balik membalas serangan yang datang bertubi-tubi.

Ketika mereka bener-benar terdesak, mendadak dari dalam istana keluar seorang lelaki berpakaian perang lengkap dengan sebatang tombak yang memiliki hujung seperti keris berluk tujuh. Dengan suara yang lantang, dia membentak kearah pasukan yang sedang bertempur itu.

"Hentikan!!!"

Mendengar suara teriakan disertai dengan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi itu, membuat para prajurit dari kedua belah pihak menghentikan serangan. Semua mata saat ini memandang kearah datangnya suara tadi.

"Gusti prabu Wardana."

Kata para Prajurit itu yang segera memisahkan diri mengikut kelompok masing-masing. Tidak ada yang berani bertindak melakukan apa pun saat ini.

Raja Wardana berjalan penuh wibawah dan berdiri tepat di tengah-tengah antara kedua pasukan itu.

"Dinda Pradana. Sudahi peperangan ini. Apakah kau ingin menghancurkan kerajaan yang telah susah payah dibangun oleh nenek moyang kita ini?"

Mendengar teriakan dari Raja Wardana, seorang lelaki yang menunggangi seekor kuda yang sangat besar dan gagah segera melompat dari punggung kuda tunggangannya.

Sekilas orang ini sangat mirip satu sama lain dengan Raja Wardana. Dia adalah Pangeran Pradana adik dari Gusti Prabu Wardana.

"Hahaha. Kanda Prabu. Aku telah terlalu lama menunggu sampai hari ini tiba. Kau lihat di sekeliling mu. Meraka adalah prajurit-prajurit yang gagah perkasa yang selama ini berada di bawah perintah ku. Coba kau tanyakan kepada mereka sudah berapa banyak kerajaan yang telah kami binasakan?! Itu baru bisa di sebut sebagai Raja. Pewaris dari raja-raja sebelumnya yang sangat gagah perkasa. Bukan seperti kau yang hanya bisa memerintah dari kursi kebesaranmu saja."

"Kanda Wardana, Kau tidak layak untuk memegang tampuk kekuasaan di Sri kemuning ini. Serahkan saja padaku! Kau terlalu lemah untuk menjadi raja." Kata pangeran Pradana dengan senyum menghina.

"Dinda Pradana. Beginikah cara mu membalas kepercayaan ku padamu? Kau ku berikan kekuasaan di wilayah paku bumi dan menjadi raja kecil disana. Mengapa kau tidak puas dan ingin memberontak? Ingat Pradana! Aku adalah raja yang sah dan di akui oleh seluruh rakyat."

"Puiiih..."

" Apa itu raja kecil? Aku inginkan tahta dan aku memang lebih layak dibandingkan dirimu.

Serahkan tahta secara baik-baik atau aku tidak akan sungkan lagi untuk merebutnya secara paksa." Ancam Pangeran Pradana dengan pongah.

"Bukan kah kau telah melakukannya Pradana? Kau telah merebut kekuasaan secara paksa. Lalu untuk apa kau berkata seolah-olah kedatangan mu kemari dengan cara baik-baik.

Kau boleh menduduki tahta ini setelah aku mati."

"Kurang ajaaaar..."

"Hiiaaaat..."

Pangeran Pradana tidak dapat lagi mengendalikan kesabarannya. Dia segera menerjang kearah Raja Wardana. Dan seketika itu juga perkelahian dua kakak beradik itu pun pecah.

Pertarungan tingkat tinggi itu berlangsung cukup alot dan belum ada tanda-tanda siapa yang akan terdesak.

Para prajurit saat ini hanya dapat menyaksikan kelebat bayang-bayang mereka berdua saja.

Beberapa lama berselang, Pangeran Pradana keluar dari pertempuran. Dia mengumpat panjang pendek ketika dalam waktu begitu lama tidak juga bisa menumbangkan Raja Wardana.

"Setaaaan... Ilmu apa yang kau pakai heh?"

"Mengapa Pradana? Apakah kau begitu sombong dan memandang lawan mu sebelah mata?"

"Huh.. Kau jangan bangga dulu Wardana. Aku belum mengeluarkan seluruh ilmu simpanan ku. Sekarang kau rasakan dulu keris kelabang hitam ini." Kata Pangeran Pradana sambil mencabut keris dari pinggang nya.

Kini di tangan Pangeran Pradana tergenggam sebilah keris berwarna hitam legam. Dari badan keris ini mengeluarkan uap asap berbau sangat busuk menusuk hidung.

Raja Wardana merasa adanya aura jahat yang terpancar dari keris itu. Lalu dia buru-buru meraba ke pinggangnya dan mencabut keris berwarna kuning. Sontak saja dari keris itu memancarkan sinar kuning ke emasan yang menebarkan bau harum namun mematikan.

"Hahaha... Keris kyai kuning. hahahaha.... Keris itu sudah ketinggalan jaman. Kau masih saja menggunakan nya sebagai senjata pamungkas mu. Ini rasakan keris kelabang hitam milikku ini."

" Hiaaaaaaaat...."

Wuzz...

Wuzz...

Suara angin menderu-deru bercampur bau busuk setiap kali keris itu di babatkan atau di tusukkan.

Raja Wardana juga tidak mau hanya menerima nasib saja. Dia juga membabatkan keris kyai kuning.

Beberapa ledakan pun terdengar beserta percikan bunga api setiap kali kedua senjata sakti itu beradu.

Perlahan namun pasti, aroma busuk yang keluar dari keris kelabang hitam itu mulai mempengaruhi nafas dan aliran darah Raja Wardana.

Dia kini merasa bahwa aliran darahnya seperti berbalik. Kepala terasa pusing dan tenaga dalamnya mulai berbalik menyerang titik-titik rawan dalam pembuluh darahnya.

Jurus-jurus Silat yang dikeluarkan oleh Raja Wardana kini benar-benar tidak beraturan. Pertahanan nya benar-benar kacau saat ini.

"Hahahahaha.... Bagaimana Wardana? Apakah kau mau mengaku kalah dan menyerahkan tahta kepada ku secara suka rela?" Tanya Pangeran Pradana sambil bertolak pinggang dengan angkuh.

"Jangan mimpi kau Pradana. Langkahi dulu mayatku jika kau menginginkan tahta itu."

"Setaaaan! Ternyata kau benar-benar keras kepala. Jangan salahkan aku jika kau harus terbunuh di ujung keris ku ini.

Bersiap lah Wardana!"

"Hiaaaat..."

Pangeran Pradana melompat dan menerjang kearah Raja Wardana.

"Uts... Hiiaaaat...."

Raja Wardana dengan sisa-sisa tenaga dan kesadaran akibat pengaruh keris itu segera berkelit kesamping dan mengirim satu tusukan balasan dari keris yang berada di genggaman tangannya.

Pangeran Pradana hanya mengegoskan sedikit tubuhnya ke samping dan segera merunduk sambil mengirimkan sapuan kaki kanan.

Raja Wardana yang mulai merasa sesak di dadanya akibat terlalu banyak menghirup uap yang keluar dari keris itu tidak menyangka akan mendapat serangan balasan seperti itu membuat dia tidak sempat mengangkat kaki nya. Dan benar saja. Ketika sapuan kaki Pangeran Pradana menghantam kaki kanannya, kontan saja membuat Raja Wardana terjungkal kebelakang.

Begitu dia terjatuh tanpa bisa menguasai keseimbangan, kini dia merasakan ujung Keris yang berada di tangan Pangeran Pradana telah tertancap tepat di dada sebelah kiri nya.

Darah berwarna kehitaman kini tampak mengalir dari bekas luka tikaman keris itu. Ini menandakan bahwa keris yang dimiliki oleh lawan mengandung racun yang sangat jahat.

Raja Wardana kini merasakan pandangannya mendadak gelap. dan dia tidak dapat lagi menggerakkan bagian tubuhnya sebelah kiri.

Kini tubuhnya seperti mati rasa dan hawa panas menyengat mulai menjalari di seluruh aliran darahnya.

"Sebelum kau mati, Katakan dimana Keris tumbal kemuning kau simpan?" Kata pangeran Pradana dengan nada membentak.

"Kau.. Kau.. hahaha. Kau tidak akan dapat menemukan Keris itu.

Kau... Selamanya akan menjadi raja yang tidak sah. Rakyat tidak akan mengakui seorang raja tanpa memegang pusaka lambang kerajaan di tangannya."

"Jahannaaam.... Katakan padaku capaaat!!!...

Dimana kau sembunyikan keris tumbal kemuning itu setaaaan!!!..."

"Pradana adikku tersayang. Adik yang balelo. Adik yang merebut kekuasaan dengan cara menumpahkan darah saudaranya sendiri. Ketahui lah! Hutang ini akan kau bayar kelak di kemudian hari. Kau tidak akan pernah merasa tenang dalam hidupmu. Putra ku pasti akan datang menuntut balas. Hutang air dibalas air.

Hutang darah dibalas darah.

Hutang nyawa dibayar nyawa."

"Setaaaan. Aku tidak butuh khotbah mu. Aku hanya ingin tau dimana kau sembunyikan Keris pusaka tumbal kemuning itu haaaaa?" Bentak pangeran Pradana yang mulai hilang kesabarannya.

Namun, belum lagi gema teriakannya lenyap, Raja Wardana telah mencengkram tangan pangeran Pradana dengan erat dan menghentakkan kebawah dengan keras membuat seluruh bilah keris berluk tujuh itu amblas masuk menusuk dadanya hingga tembus kebelakang.

Pangeran Pradana sungguh terkejut dengan kejadian yang tak terduga itu. Dia membelalakkan matanya tak percaya dengan apa yang terlihat dihadapannya.

Dengan tangan bergetar, Pangeran Pradana melepaskan gagang keris yang tadi berada di dalam genggamannya.

"Kandaaa!!!."

Pengeran Pradana berteriak histeris sambil memangku kepala Raja Wardana. Namun tidak ada jawaban lagi yang keluar dari mulut sang baginda.

Begitu Raja Wardana menghembuskan nafasnya yang terakhir, mendadak di langit berpijar pancaran kilat tiga kali saling susul menyusul. Dan tanpa diduga, di hari yang terik itu kini telah turun hujan rintik-rintik di susul dengan angin yang sangat kencang berhembus membuat kabut debu berterbangan menutupi pemandangan.

Hari ini darah seorang Raja telah tertumpah membasahi tanah.

Darah seorang ksatria yang berjuang sampai titis darah terakhir demi mempertahankan harga diri, kehormatan dan hak nya sebagai Raja yang Sah!

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!