NovelToon NovelToon

Ijinkan Aku Bahagia

bab 1

Adinda Eka Lestari melangkah memasuki sebuah cafe. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh meja cafe. Seketika netranya menangkap sosok laki-laki yang melambai ke arahnya. Devin Putra Wijaya, sahabatnya sejak mereka masih usia balita.

Devin tersenyum manis melihat Adinda yang berjalan ke arahnya. Senyum yang dapat menggetarkan hati para kaum hawa. Ia lantas berdiri dan menarik sebuah kursi untuk Adinda.

"Silakan duduk tuan putri." Devin mempersilahkan Adinda untuk duduk dengan senyum yang tak pernah pudar menghiasi wajah tampannya.

"Makasih Dev." Adinda mendudukkan dirinya di sebuah kursi yang telah disiapkan oleh sang sahabat.

Mereka memesan menu yang sama dan makan dalam diam. Hanya suara dentingan sendok yang beradu dengan piring yang terdengar. Sesekali Adinda mencuri pandang ke arah Devin. Entah apa tujuannya Devin mengajaknya bertemu kali ini. Sebab, selama mereka sama-sama lulus kuliah dan memulai karirnya masing-masing, mereka jarang menghabiskan waktu bersama. Sesekali mereka terlibat dalam urusan kerja sama bisnis. Di mana butik yang saat ini dirintis oleh Adinda bekerja sama dengan perusahaan Wijaya sebagai pemasok kain untuk produksi pakaiannya.

Selesai makan Devin mengeluarkan kotak beludru berbentuk hati dan memberikannya pada Adinda. Adinda mengerutkan kening dan menatapnya bingung.

"Apa ini?" Adinda membolak-balik kotak di tangannya.

"Coba tebak itu apa?" Devin tersenyum penuh arti.

"Padahal hari ini bukan ulang tahunku, ngapain kamu ngasih aku hadiah Dev? Namun, aku penasaran apa isinya." Adinda tampak berpikir sambil mengamati kotak pemberian sang sahabat tersebut.

"Kelamaan, biar aku aja yang bukain." Devin meraih kotak yang sedari tadi digenggam oleh Adinda. Devin bersimpuh di hadapan Adinda sambil membuka kotak tersebut.

"Aku tahu bahwa aku bukanlah laki-laki yang sempurna. Aku pun tahu, aku tak cukup mampu untuk mengatakan sesuatu yang telah lama terpendam. Aku bukanlah sosok lelaki yang pandai merangkai kata untuk membuat wanitanya merona. Maka dari itu, ijinkan aku tuk memintamu menyempurnakan hidupku. Memintamu tuk mengisi kekosongan di sudut hatiku. Memintamu tuk melangkah di sampingku hingga waktu yang tiada berbatas. Will you marry me?" Devin tersenyum memandangi Adinda yang tersipu.

Sebenarnya sudah lama Adinda menyukai Devin. Namun, ia tak ingin hubungan persahabatan yang terjalin sejak kecil menjadi hancur. Tanpa ragu Adinda mengangguk berkali-kali dengan senyum manis yang tersungging sejak untaian kata itu dilafalkan.

"Yes, i will," ucap Adinda tanpa ragu.

Devin berdiri dan menutup kembali kotak tersebut dengan senyum yang tak pernah pudar untuk sang sahabat. Adinda mengerutkan kening dengan tingkah laku Devin.

"Loh, kenapa di tutup lagi sih? Bukannya setelah pernyataan cinta terjawab, cincin itu seharusnya sudah melingkar cantik di jari manisku ini," batin Adinda.

"Din, menurut kamu si Liona bakalan terima pernyataan cintaku gak?" Devin menghela napas dengan pandangan lurus ke depan. Ia tak menyadari raut wajah Adinda yang berubah masam.

"Dev, aku pikir kamu serius dengan ucapanmu, namun nyatanya aku salah. Aku bagimu hanyalah seorang sahabat yang tak pernah bisa menjadi pendamping yang menyempurnakan hidupmu," batin Adinda terisak pilu.

"Jadi, barusan kamu menjadikan aku kelinci percobaan, gitu?" tanya Adinda.

"Peace." Devin mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V. Ia tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang berjajar rapi.

Sekuat tenaga Adinda menghalau bulir bening yang siap meluncur tanpa aba-aba. Seandainya saja ungkapan cinta yang mengalun merdu itu nyata untuknya, mungkin saat ini ia tengah berbahagia. Namun, harapannya terhempas begitu saja ketika sang pujaan hati hanya menjadikannya objek percobaan belaka.

Liona Bianca Kusuma, salah satu mahakarya sang pencipta yang begitu sempurna. Paras yang cantik. Berasal dari keluarga yang kaya raya. Seorang wanita karir yang sukses. Serta masih banyak kelebihan gadis itu, sehingga membuat nyali Adinda semakin ciut.

"Aku pamit pulang dulu Dev." Adinda tak kuasa berlama-lama berada di samping Devin. Ia ingin secepatnya pergi sebelum perasaan kecewa itu semakin dalam.

Devin melongo melihat Adinda yang pergi tergesa. Karena biasanya mereka akan betah berlama-lama untuk membahas segala hal. Entah itu tentang keseharian mereka, nostalgia masa kecil, sampai gosip artis pun mereka bahas. Namun, kali ini Adinda terlihat menyembunyikan sesuatu darinya. Devin tidak sadar bahwa perbuatan dirinya lah yang mempengaruhi perubahan mood Adinda.

 ---

Adinda sungguh tak kuasa menahan bulir bening yang merebak begitu saja. Ia merutuki pikiran dan hatinya yang terlalu berharap pada seseorang yang tak pernah bisa menganggapnya lebih.

Adinda mengernyit bingung kala di depan rumahnya kini banyak para tetangga yang sedang berkerumun. Adinda berjalan membelah kerumunan dengan diiringi tatapan iba. Segala praduga yang terlintas di benaknya membuat dadanya sesak.

"Bu Lastri, ada apa ini Bu?" Adinda bertanya pada tetangga sebelah rumahnya yang juga berada disana.

"Tadi, ibu Mila jatuh pingsan di jalan depan Nak. Beliau baru sadar dan kondisinya sangat lemah, yang sabar ya Nak. Semua pasti baik-baik saja." Bu Lastri menjelaskan keadaan ibu Mila dengan tangis tertahan.

Seketika Adinda berlari masuk ke dalam kamar yang ditempati sang bunda. Lututnya terasa lemas hingga tak dapat lagi menopang berat badannya. Adinda merosot terduduk di lantai dengan airmata yang membasahi pipinya. Bagaimana bisa ia akan berpikir semuanya akan baik-baik saja, sementara sang ibunda mempunyai riwayat penyakit jantung. Melihat beliau tergolek lemah tak berdaya di pembaringan seperti ini, membuat dadanya kembali berdenyut nyeri.

"Sa-yang, a-nak Bun-da." Panggil ibu Mila dengan suara terbata-bata sembari merentangkan kedua tangannya. "Si-ni Sa-yang!"

Adinda berhambur ke pelukan sang bunda. Dalam jarak sedekat ini Adinda bisa merasakan kondisi bundanya yang semakin melemah, namun tak lama kemudian Adinda histeris mendapati sang bunda yang hanya diam saja.

"Bundaaaaa!" Adinda menjerit pilu.

"Innalillahi wainna ilaihi rojiun." Semua warga turut berduka cita atas wafatnya ibu Mila. Mereka sama-sama kehilangan. Ibu Mila adalah sosok wanita yang baik, ramah, lemah lembut dan penyayang.

"Bunda bangun Bun. Bunda gak boleh ninggalin Adin Bun. Adin udah gak punya siapa-siapa lagi. Sejak ayah pergi ninggalin kita untuk selama-lamanya, hanya Bunda yang Adin punya. Adin mohon bangun Bun. Adin takut sendirian Bun. Bunda pernah janji sama Adin buat selalu menemani Adin, tapi kenapa Bunda tega ninggalin Adin Bun. Bundaaaaa!" jerit tangis kehilangan Adinda membuat mereka tak kuasa menyusut air mata.

Selama ini Adinda hidup berdua dengan sang bunda sejak ayahnya Fathan Angkasa meninggal karena kecelakaan waktu ia masih di dalam kandungan. Bundanya di usir karena di anggap benalu dan pembawa sial. Sejak awal keluarga sang ayah tak merestui hubungan kedua orangtuanya sebab sang bunda yang hanya seorang anak panti asuhan.

Kini, akankah ia sanggup menjalani kerasnya hidup tanpa seorang pun di sisinya? Tanpa sosok ayah yang tak pernah ia tahu dimana pusaranya. Tanpa seseorang yang tak sengaja membuatnya kecewa. Bahkan kini, sosok bunda yang selama ini setia menemani turut pergi dan tak mungkin kembali.

bab 2

Air mata Adinda tak berhenti mengalir. Gundukan tanah merah yang masih basah di hadapannya seakan menjadi saksi betapa hatinya kini dirundung nestapa. Para pelayat satu persatu melangkah pergi. Kini, hanya tinggal Adinda, Devin dan kedua orang tuanya, Intan Wijaya dan Bima Wijaya.

"Bunda, mengapa kita harus berpisah seperti ini? Adin belum sempat membahagiakan Bunda seperti janji Adin. Adin gak tahu, apa Adin sanggup menjalani hidup Adin hanya seorang diri," lirih Adinda berkata di sela isak tangisnya.

Intan berjongkok di samping Adinda. Membawa Adinda ke dalam dekapannya. Ia pun merasa sangat kehilangan. Intan dan Mila tumbuh bersama di panti asuhan. Namun, nasib Mila tak seberuntung dirinya. Fathan memang sangat mencintai Mila. Namun, cinta mereka terhalang restu, sehingga peristiwa kecelakaan tragis yang menimpa Fathan menambah poin kebencian mereka terhadap Mila.

"Sabar ya Sayang. Adinda gak sendiri. Ada Tante, Om, dan juga Devin. Kami akan selalu ada buat kamu Sayang." Intan mengelus punggung ringkih itu dengan mata berkaca-kaca. Intan melepas pelukannya dan mengusap puncak kepala Adinda. "Ikhlaskan, agar bundamu tenang di alam sana Sayang." Intan mengusap air mata yang tak berhenti mengalir di pipi Adinda.

"Insyaallah Adinda ikhlas Tante." Adinda menyunggingkan senyum tipis walau bibirnya masih terasa kaku hanya untuk sekedar tersenyum.

"Kalau begitu sebaiknya kita segera pulang. Sepertinya akan turun hujan." Bima berkata sambil mendongak memandang langit yang tampak gelap.

Mereka beranjak meninggalkan pemakaman. Intan dan Bima berjalan bersisian di depan dengan tangan yang bertaut mesra, sedangkan Adinda dan Devin di belakang dengan perasaan canggung. Sesekali Devin mencuri pandang ke arah Adinda. Hatinya turut hancur melihat sahabatnya bersedih seperti ini.

Devin menggapai tangan Adinda dan membawanya dalam genggamannya. Adinda seketika menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah Devin dan tangannya secara bergantian. Adinda melepaskan tangannya dalam genggaman Devin, membuat Devin salah tingkah.

"Maaf," lirih Devin sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Hmm." Adinda kembali melanjutkan langkahnya menyusul orang tua Devin yang telah sampai di luar pemakaman.

 ---

Sebulan telah berlalu. Hidup harus terus berjalan walau rasanya tak lagi sama. Bukan untuk melupakan, melainkan menyimpannya di sudut hati sebagai kenangan. Kini, Adinda sedikit demi sedikit bisa bangkit. Menjalani kesibukan mengurus butik bersama dua orang temannya sewaktu kuliah dulu, Sinta dan Alia. Sejenak kesibukannya mengalihkan dirinya dari perasaan hampa tanpa seorang ibu dan yang terpenting kini dia tidak lagi merasa sendiri.

Tok tok tok.

"Masuk!" Adinda mempersilahkan seseorang yang mengetuk ruangannya untuk masuk.

"Din, sudah waktunya makan siang. Kamu bawa bekal, apa mau aku pesankan?" tanya Sinta sambil melangkah masuk dan duduk di kursi di depan meja kerja Adinda.

"Nanti aku pesan sendiri. Aku masih mau menyelesaikan ini dulu, tanggung soalnya." Adinda menjawab dengan tersenyum.

Sinta memindai kertas-kertas yang berserakan di atas meja kerja Adinda. Dia menghembuskan napas pelan. Sahabatnya ini kalau sudah kerja memang terlalu fokus. Sampai-sampai sering melewatkan jam makan siang.

"Istirahat dulu lah Din. Aku dan Alia nungguin kamu loh," bujuk Sinta

"Kalian berdua istirahat aja dulu."

"Tapi Din--"

"Assalamualaikum." Kalimat Sinta terpotong oleh seruan salam dari arah pintu yang terbuka.

"Waalaikumsalam." Serempak mereka menjawab dan menoleh ke asal suara.

Intan melempar senyum tulus ke arah mereka. Intan melangkah masuk dengan menenteng paperbag di tangannya. Dia duduk di sofa sambil mengeluarkan isi dari paperbag yang dia bawa, yang ternyata isinya adalah makanan.

"Kalian pasti belum makan siang kan? Kebetulan hari ini Tante masak banyak. Jadi, kita makan sama-sama ya. Sinta, tolong panggilkan Alia di depan suruh ke sini," perintah Intan sambil menata makanan di atas meja.

Sinta mengangguk dan langsung melangkah keluar untuk memanggil Alia, sedangkan Adinda melangkah menuju sofa di mana Intan menunggunya. Tak lama kemudian, mereka pun berkumpul untuk makan bersama.

 ---

"Adinda, ada yang ingin Tante bicarakan sama kamu." Intan mengajak Adinda bicara setelah mereka hanya tinggal berdua di ruang kerja tersebut.

"Mau bicara apa Tante?" tanya Adinda.

"Dulu, waktu Tante dan bundamu masih tinggal di panti asuhan, kami adalah 2 orang sahabat yang tak terpisahkan, hingga kami memiliki kehidupan masing-masing. Dulu, kami pernah berjanji untuk selalu bersama dalam suka dan duka. Namun, kami sadar bahwa ada saatnya kami menjalin kehidupan berumah tangga ketika jodoh kami di pertemukan. Maka dari itu, kami merubah janji yang pernah kami ucapkan." Intan menjeda kalimatnya lalu tersenyum menatap Adinda yang masih setia mendengarkan.

"Kamu mau tahu apa janji Tante dan bundamu dulu?" Intan bertanya pada Adinda. Tangannya mengelus surai indah milik anak gadis sang sahabat yang telah tenang di alam sana.

Adinda mengangguk sembari menerka-nerka. Janji apa yang telah terjalin antara sang bunda dan tante Intan, sehingga beliau merasa sangat perlu membicarakan ini padanya.

Intan mengambil napas dan menghembuskannya perlahan sebelum kembali membicarakan janji yang harus segera ia tunaikan.

"Tante dan bundamu berjanji akan menjodohkan anak-anak kami jika mereka terlahir dengan jenis k*****n yang berbeda dan tujuan Tante datang kesini untuk melamar kamu menjadi menantu Tante," ucap Intan menjelaskan panjang lebar isi perjanjian tak tertulis yang pernah dia sepakati dengan Mila.

Adinda syok mencerna kata demi kata yang di ucapkan Intan barusan. Adinda bahagia jika harus dijodohkan dengan laki-laki yang telah mencuri hatinya selama ini. Namun, di sisi lain Adinda tak yakin bahwa Devin akan menerima perjodohan ini mengingat kejadian di cafe tempo hari.

"Bagaimana, apa kamu mau jadi menantu Tante? Jadi istri Devin?" Intan bertanya sekali lagi melihat Adinda yang masih diam membisu.

"Hmm, tapi Tante, Adinda dan Devin itu sahabatan sejak kecil Tan. Jadi, bagaimana mungkin kami tiba-tiba menikah Tante?" tanya Adinda

"Justru karena kalian sudah bersahabat sejak kecil. Jadi, akan lebih mudah bagi kalian untuk menyesuaikan diri menjalani kehidupan setelah menikah nanti. Bisa karena terbiasa. Jadi, apa lagi yang kau cemaskan, Sayang?" Intan masih bersikukuh membujuk Adinda untuk menerima perjodohan ini.

Adinda menghembuskan napas pelan kemudian menganggukkan kepalanya walau hatinya masih ragu.

"Alhamdulillah, makasih Sayang." Intan membawa Adinda dalam pelukannya.

"Iya, tapi Tante ..." Ragu Adinda mengatakan apa yang sekarang ada di benaknya.

"Tapi apa Sayang?" tanya Intan seraya melerai pelukannya.

"Hmmm itu ... bagaimana dengan Devin sendiri Tante?" Adinda menundukkan kepalanya.

"Devin itu sayang sama kamu Din. Devin juga anak yang penurut. Urusan Devin biar Tante yang urus. Kamu tenang aja ya Sayang." Senyum tak pernah pudar menghiasi wajah wanita paruh baya tersebut. Intan bahagia impiannya dan sang sahabat akan segera terwujud walau kini sahabatnya berada dalam dimensi yang berbeda.

Akankah Devin menerima perjodohan tersebut? Atau justru menolak dengan dalil persahabatan?

bab 3

"Apaaa? Dijodohin?" Devin terkejut dan tak percaya dengan pernyataan mamanya.

"Gak usah lebay gitu Sayang!" Intan hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah laku sang anak.

"Ma, aku sama Adinda itu hanya sebatas sahabatan saja Ma. Aku bahkan sudah menganggap dia adik Ma. Mama kenapa sih bikin keputusan gak berunding dulu sama aku?" geram Devin tak terima dengan keputusan mamanya yang dianggap tergesa-gesa.

"Devin, Devin. Gimana Mama mau ngerundingin perjodohan ini sama kamu, sedangkan waktu itu Mama menikah saja belum. Ada-ada saja kamu ini." Intan tertawa menanggapi pertanyaan konyol putranya.

"Kan Mama bisa tanya dulu sama aku. Mau apa tidak aku dijodohkan." Devin menghembuskan napas kasar.

"Bukannya kamu memang sayang sama Adinda? Kalau kalian sudah ketemu, pasti selalu lengket kayak prangko. Pasti gak akan sulit menumbuhkan rasa cinta di antara kalian." Intan tak habis pikir mengapa anaknya menolak perjodohannya dengan Adinda.

"Tapi Ma--" Devin masih mencoba bernegoisasi dengan Intan.

"Sudah gak ada tapi-tapi. Mama gak mau dengar penolakan." Intan memotong perkataan Devin. Lalu ia menyambar tas di sampingnya dan bersiap beranjak pergi.

"Aku sudah punya kekasih Ma. Aku juga berniat melamarnya dalam waktu dekat ini," jelas Devin.

Intan menghentikan langkahnya. Ia kembali mendudukkan dirinya di sofa. Matanya memicing menatap sang putra yang menunduk tak berdaya.

"Siapa? Sejak kapan?" Intan mengintrogasi putranya seperti seorang terdakwa.

"Liona Ma. Sejak dua minggu yang lalu," lirih Devin menjawab. Dia masih menunduk. Tak berani beradu pandang dengan mamanya. Jari jemarinya saling bertaut menandakan betapa gugupnya dia saat ini.

"Devin, kalau ngomong itu lihat lawan bicaranya. Memangnya lantai itu lebih menarik dari pada Mama yang cantiknya pari purna membahana."

Devin seketika mengangkat kepalanya. Dia memutar bola mata malas. Dia jengah menghadapi kenarsisan sang mama yang sudah level akut.

"Siapa tadi kamu bilang? Liona? Anaknya Danu sama Mirna?" tanya Intan.

"Iya Ma." Devin menganggukkan kepala.

"Mama tidak setuju kamu punya hubungan dengan mereka," tegas Intan

"Kenapa Ma?" Devin mengerutkan kening bingung.

"Jangan tanya apa alasannya. Suatu saat kamu pasti tahu sendiri. Nanti malam pulanglah. Mama juga mengajak Adinda makan malam di rumah untuk membahas pernikahan kalian." Intan berdiri dan beranjak meninggalkan apartemen putranya.

"Aakkkhhh!"

Devin meremas rambutnya frustrasi. Aura sang mama sungguh sangat mengintimidasinya. Setiap tutur kata yang terucap adalah perintah yang tak dapat dibantah. Devin lebih suka berhadapan dengan para klien dari pada berdebat dengan mamanya. Segala argumentasi yang dia sampaikan hanya dianggap angin lalu oleh Intan.

 ---

"Halo **S**ayang!"

"..............."

"Aku lagi meeting sama klien di luar."

"............."

"Nanti kalau aku sudah selesai meeting aku hubungin kamu."

"............."

"Bye Sayang, i miss you too!"

Wanita itu tersenyum sinis ke arah handphone yang digenggamnya. Hembusan napas hangat seseorang menyapu tengkuknya. Lengan kokoh itu melingkar posesif di pinggangnya.

"Apakah kamu mencintainya?" tanya si lelaki.

"Apa kamu cemburu?"

"Kau selalu membuatku gemas Liona. Once more?"

 ---

"Sayang, panggilkan Devin di kamarnya. Sudah waktunya makan malam," suruh Intan pada Adinda.

"Baik Tante." Adinda menganggukkan kepalanya dan melempar senyum termanis ke arah Intan.

Adinda melangkah menuju kamar Devin. Jantungnya berdegup tak menentu seiring langkah kakinya yang menaiki anak tangga menuju lantai dua.

Semenjak Adinda tahu bahwa dia di jodohkan dengan Devin, sejak saat itu komunikasi antara dirinya dan Devin mulai renggang. Langkah Adinda terhenti di depan kamar Devin. Adinda menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Dia harus menetralkan degup jantungnya.

Tok tok tok.

Adinda mengetuk pintu namun tak ada jawaban.

Tok tok tok.

"Dev, sudah waktunya makan malam. Tante sama om nungguin kita di bawah!" Sekali lagi Adinda mengetuk pintu kamar Devin dan memanggilnya. Namun nihil, tetap saja tak ada jawaban.

Adinda mendorong perlahan pintu kamar Devin yang tak menutup sempurna. Kepalanya melongok ke dalam. Memindai seluruh isi di dalam kamar. Namun, apa yang dia harapkan tak ia temukan.

Perlahan kakinya melangkah ke dalam. Terdengar bunyi gemericik air di balik pintu kamar mandi. Adinda mengangkat tangan hendak mengetuk pintu, tepat ketika pintu kamar mandi terbuka sempurna. Sesaat Adinda di buat mematung dengan penampakan makhluk tuhan yang paling aduhai di hadapannya. Begitu juga dengan Devin yang terkejut melihat keberadaan Adinda di dalam kamarnya.

"Aaaahhhhh!" Adinda menjerit dan lari terbirit-birit ketika kesadarannya mulai terkumpul.

Devin sendiri masih terdiam di pintu kamar mandi. Lalu ia pun melangkah menuju lemari untuk mengambil pakaiannya.

"Oh God, aku lupa menyampaikan tujuanku datang ke kamarnya." Adinda menepuk jidatnya dan memutar langkahnya kembali ke arah kamar Devin.

Tok tok tok.

"Dev, waktunya makan malam. Om dan tante sudah nunggu di meja makan!" panggil Adinda.

"Iya tunggu sebentar. Aku masih berpakaian!" sahut Devin dari dalam kamarnya.

Adinda tersipu mengingat kejadian barusan. Roti sobek yang terpahat sempurna membuatnya meneguk saliva. Pipinya merona seperti buah tomat. Adinda berusaha menghalau pikiran yang tidak-tidak yang kini mulai meracuni benaknya. Tak sepantasnya dia memikirkan hal itu. Ia pun turun dengan tergesa.

 ---

Selesai makan malam Adinda membantu bi Inah membereskan meja makan. Intan sudah melarangnya tapi Adinda memaksa. Berada di dekat Devin membuatnya semakin salah tingkah.

Kini mereka berkumpul di ruang keluarga untuk membahas perjodohan Adinda dan Devin. Tentulah yang paling antusias disini adalah Intan. Dia sangat bersemangat untuk segera menunaikan janji yang telah ia sepakati dengan almarhumah sahabatnya.

"Alangkah baiknya niat baik itu segera dilaksanakan. Bagaimana kalau acara pernikahannya kita laksanakan bulan depan saja. Cukup waktu untuk kita mempersiapkan semuanya." Bima memberi saran yang membuat Adinda dan Devin melongo.

"Mama setuju Pa. Lebih cepat lebih baik. Mama sudah gak sabar pengen gendong cucu." Tanpa Intan sadari ucapannya membuat Adinda dan Devin tersedak.

"Uhuk uhuk uhuk." Adinda dan Devin terbatuk bersamaan.

"Kalian ini memang ditakdirkan untuk berjodoh. Batuk saja sampai barengan." Intan terkikik geli sambil menyodorkan dua gelas air ke arah mereka.

"Ya ampun Ma. Tolong kata-katanya di filter. Kasian anak-anak sampai batuk-batuk kayak gini!" Bima memperingati istrinya yang dibalas cengiran oleh sang istri.

Setelah kondisi mereka mulai membaik, topik pembahasan pun dilanjutkan kembali. Keputusan akhir pun di ambil bahwa pernikahan mereka akan dilaksanakan bulan depan.

Devin berusaha menolak dengan mengatakan bahwa dia punya kekasih pada papanya. Dia berharap papanya dapat membatalkan perjodohan ini. Namun, reaksi Bima sama seperti Intan. Tetap tak ada penolakan. Mau tidak mau pernikahan tersebut harus tetap dilaksanakan.

Adinda sendiri diam saja. Dia pasrah menjalani perjodohan ini. Dia hanya berharap Devin tak akan pernah membencinya dan belajar menerima semuanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!