NovelToon NovelToon

Satu Arah

BAB 1 - My Dream

Agatha, gadis SMA yang sedang jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Elvano.

Gadis itu selalu berusaha mendekati Elvano. Tidak peduli semua orang menganggapnya gadis murahan, ia tetap setia berjuang demi cintanya. Menurutnya, cinta memang harus diperjuangkan. Meskipun ia seorang perempuan, tidak ada salahnya untuk berjuang terlebih dahulu.

Terkadang, cinta memang membuat seseorang menjadi bodoh. Bukan logika lagi yang berbicara, melainkan hati yang mendominasi tindakan.

Salah satu cara Agatha untuk menarik perhatian Elvano yaitu dengan mengirimkan pesan-pesan singkat pada pemuda itu. Walaupun terkadang tidak ada balasan yang Agatha terima, tetapi itu sudah cukup. Karena Elvano selalu membacanya. Setidaknya pemuda itu tidak memblokir nomornya. Itu pertanda bahwa Agatha belum di-blacklist dari hidup Elvano. Tentu saja Agatha tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Malam Minggu kali ini sama seperti biasa, Agatha hanya termenung di dalam kamarnya. Menghabiskan waktu dengan berbaring sampai kantuk melanda. Menatap jam bundar yang tergantung pada dinding, ternyata masih pukul 19.48. Belum terlalu larut untuk menghubungi Elvano.

Agatha hanya bisa berharap, kali ini Elvano mau membalas pesannya. Meskipun harapan itu hanya akan berujung pada kekecewaan, tetapi Agatha tidak akan menyerah. Ia sudah bertekad untuk membuat Elvano mencintainya.

^^^Hai, Elvan.^^^

^^^Lagi apa?^^^

^^^Aku tebak, kamu pasti lagi mikirin aku.^^^

Agatha mengigit bibirnya menahan senyum ketika tanda centang biru terpampang jelas pada layar ponselnya. Elvano sudah membaca pesannya. Secepat itu? Agatha berharap, pemuda itu memang sedang menunggu pesannya. Ah, tapi sepertinya itu hanyalah hayalan Agatha. Mustahil seorang Elvano membalas pesannya yang terasa begitu menggelikan. Bahkan terkadang Agatha juga merasa bingung dengan dirinya sendiri. Cinta membuatnya terasa seperti seseorang yang berbeda. Mungkin sebentar lagi ia akan menjadi gila.

Karena tidak kunjung mendapat balasan, Agatha kembali mencoba mengirim pesan pada Elvano.

^^^Kok cuma diread?^^^

^^^Tangan kamu masih berfungsi, kan?^^^

^^^Kok gak bales chatnya?^^^

Lagi-lagi hanya dibaca. Agatha tidak menyerah. Ia mencoba mengirim satu pesan lagi.

^^^Oh, kamu gak punya keyboard ya?^^^

Gak jelas lo.

Agatha membelalakkan matanya. Berulang-kali matanya menatap layar ponsel. Apa dia sedang bermimpi? Elvano membalas pesan untuk pertama kalinya. Ini adalah kejadian langka yang tidak akan pernah Agatha lupakan.

^^^Demi apa? Akhirnya dibales.^^^

^^^Lagi apa, El? Udah makan?^^^

Sesaat kemudian, Agatha berdecak kesal karena pesannya hanya dibaca.

^^^Di read aja nih?^^^

^^^Ternyata seperti ini rasanya berbicara pada patung, hahaha.^^^

^^^Kacang, ish.^^^

^^^Elvan.^^^

^^^I Love you :3^^^

Agatha terkekeh membaca pesannya sendiri. Benar, cinta membuatnya menjadi gila. Ia bergidik setelah membaca ulang pesan yang baru saja ia kirim.

"Alay banget ya gua? Tapi bodo amat, sih."

Satu notifikasi muncul di layar ponsel Agatha. Cepat-cepat ia membukanya ketika melihat nama Elvano.

Berisik!

Ini kemajuan. Biasanya Elvano tidak akan mau repot-repot membalas pesan tidak jelas yang dia kirim. Agatha tersenyum lebar, apakah kali ini dia akan berhasil?

^^^Kok gitu? Sama pacar gak boleh kasar.^^^

Siapa?

^^^Aku. Lupa ya kita pacaran?^^^

In your dream.

^^^It's okay. Suatu saat mimpi ini pasti bisa jadi nyata.^^^

Karena Elvano tidak lagi membalas, Agatha memutuskan untuk mengirim pesan terakhir. Sepertinya sudah cukup untuk malam ini. Tidak perlu terburu-buru. Dia masih punya banyak waktu. Lain kali Agatha akan kembali merecoki Elvano. Sampai pemuda itu sendiri yang menyatakan cinta padanya.

^^^Istirahat, ya. Jangan begadang.^^^

^^^Good night.^^^

...***...

"Woy, bangun!"

Suara dari seberang telepon tidak membuat Agatha membuka matanya. Gadis itu masih setia bergelung dengan selimut tebalnya. Udara di pagi hari begitu dingin, membuat Agatha malas beranjak dari kasur kesayangannya.

"Dasar kebo! Cepetan bangun, woy!"

Agatha menguap, kembali merapatkan selimut untuk menutupi tubuhnya. Tangannya menggenggam ponsel yang terhubung dengan sahabatnya. Matanya bahkan masih terpejam dengan rapat.

"Hm, apa sih, Cha? Gue masih ngantuk. Ganggu orang lagi tidur aja, deh!"

"Dasar pikun. Katanya mau joging?"

Minggu pagi ini mereka berdua memang berencana untuk lari pagi sekaligus modus agar bisa bertemu Elvano. Biasanya, setiap hari Minggu, pemuda itu selalu menghabiskan waktunya untuk berolahraga. Agatha tentu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.

Gadis di seberang telepon yang bernama Chacha itu terus menggerutu karena Agatha sangat sulit dibangunkan.

Chacha adalah sahabat terbaik yang dimiliki oleh Agatha. Satu-satunya orang yang selalu setia menemaninya bagaimana pun keadaan Agatha.

"Gue males, masih ngantuk. Kapan-kapan aja deh."

"Loh, gak mau ketemu Elvano? Kemarin siapa yang mohon-mohon ke gue minta ditemenin joging? Gimana sih? Kalau gak jadi mending gue tidur lagi."

Agatha membuka matanya perlahan. Telinganya sakit mendengar suara Chacha. Meskipun merasa malas, pada akhirnya Agatha memilih untuk beranjak dari kasur.

"Iya iya, bawel. Ini gue udah bangun."

Agatha menatap jam, masih pukul enam pagi. Kalau bukan karena Elvano, gadis itu pasti akan bangun lebih siang dari ini. Ini semua ia lakukan demi cintanya.

"Cepet!"

"Iyaaa, setengah jam lagi gue berangkat."

...***...

To be continued

BAB 2 - Galak

Agatha dan Chacha telah sampai di taman kota sejak beberapa menit yang lalu. Tetapi mereka belum melihat tanda-tanda keberadaan Elvano. Agatha terus mengawasi sekeliling, berharap menemukan seseorang yang sejak tadi dia cari.

"Elvano mana, sih?" Agatha mulai resah.

"Gak tau. Ayo lari lagi, nanti juga ketemu," ujar Chacha sembari menyeret Agatha untuk kembali berlari.

Setelah berlari selama dua puluh menit, Agatha mulai kelelahan. Tujuannya ke sini adalah untuk bertemu dengan Elvano. Tetapi sepertinya Tuhan tidak mengizinkan mereka untuk bertemu. Atau mungkin belum?

Agatha membungkuk, menopang tubuhnya dengan kedua tangan yang bertumpu pada lutut. Napasnya terputus-putus. Dia butuh minum.

"Capek, Cha." Agatha mengeluh, tangannya mengusap keringat yang membasahi keningnya.

"Ayo duduk di sana."

Chacha menunjuk sebuah kursi panjang yang terletak di tepi taman. Kedua gadis itu mengistirahatkan tubuh sejenak setelah mengelilingi taman sampai beberapa kali putaran. Namun, seseorang yang sejak tadi Agatha cari, belum juga terlihat.

"Elvan beneran joging di sini gak, sih?" Agatha merasa kesal. Setelah mengorbankan waktu tidur dan tenaganya, tetap saja dia tidak bisa bertemu Elvano.

"Kata abang gue sih, iya." Chacha menghela napas pelan. Beginilah jika seseorang jatuh cinta. Berharap terlalu banyak, sampai mendapatkan sakit yang teramat sangat.

Elvano berada satu tingkat di atas Agatha dan Chacha. Kedua gadis itu masih duduk di kelas XI sedangkan Elvano dan kakak dari Chacha adalah kakak kelas mereka. Kebetulan kedua pemuda itu bersahabat. Karena itu, Chacha mudah mendapatkan informasi dari kakaknya.

"Kok dari tadi kita gak ketemu?"

"Bukan jodoh," ujar Chacha dengan santainya.

"Harus jodoh!" kekeh Agatha.

"Dih, ngebet banget sih berjodoh sama Elvano," cibir Chacha.

"Elvan itu separuh nafas ku." Agatha terkekeh mendengar perkataannya sendiri.

"Terserah, Tha. Terserah." Chacha lelah menanggapi Agatha yang mulai sedikit lebay.

Hening beberapa saat. Tiba-tiba Elvano berjalan beberapa meter di depan mereka. Mata Agatha berbinar, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Tanpa menyia-nyiakan waktu, gadis itu berteriak memanggil Elvano.

"ELVAN!"

Elvano menoleh, menatap datar pada Agatha yang sedang berlari menghampirinya. Pemuda itu mendengus kesal. Apa gadis itu tidak memiliki pekerjaan lain selain menggangunya? Tidak di sekolah, di hari libur pun Elvano harus menghadapi kelakuan Agatha yang menyebalkan.

"Haiii, ganteng banget sih. Lagi joging, ya?" sapa Agatha setelah berada di depan Elvano. Kepalanya mendongak karena perbedaan tinggi mereka.

Elvano berdecak malas, "Menurut, lo? Udah tau masih aja nanya." Selain dingin dan tidak pandai berekspresi, mulut Elvano juga sedikit tajam.

"Galak," cibir Agatha.

"Mau lo apa?" tanya Elvano dingin.

"Jangan galak-galak, kenapa? Nanti aku tambah sayang," goda Agatha.

"Jijik tau, gak!" ketus Elvano.

"Kok gitu?" Agatha cemberut. Merasa sakit hati atas perkataan Elvano yang mungkin benar.

Elvano memutar bola matanya malas.

"Gak penting banget, buang-buang waktu aja." Elvano melangkah meninggalkan Agatha.

"Mau kemana?"

"Pulang, gak berguna ngomong sama lo." Setelah itu, Elvano benar-benar pergi meninggalkan Agatha yang termenung menatap punggungnya.

Chacha melangkah menghampiri Agatha dan langsung memeluknya. Sedari tadi, gadis itu hanya menyimak percakapan Agatha dan Elvano. Dia ingin marah, terutama pada sahabatnya yang masih keras kepala mengejar Elvano yang tidak tahu diri.

"Udah, gakpapa. Lain kali kita coba lagi," ujar Chacha sembari mengusap punggung Agatha.

"Dia cuek banget, ya? Judes lagi."

"Gak usah dipikirin, ayo kita pulang." Chacha mengurai pelukannya beralih menggandeng tangan Agatha untuk meninggalkan tempat ini.

"Hm, ayo pulang."

...***...

Part-nya emang pendek-pendek ya guys. See you next part.

BAB 3 - Brother

Malam ini langit terlihat sangat indah. Bintang bertaburan di atas langit. Bulan pun tak kalah menunjukkan sinarnya. Sangat bertolak belakang dengan perasaan Agatha yang mendung.

Agatha termenung menatap langit. Saat ini, gadis itu sedang duduk di halaman belakang rumahnya. Duduk pada ayunan yang ayahnya buatkan sejak dirinya masih kecil.

Mengingat kejadian kemarin selalu berhasil membuatnya murung. Sejujurnya Agatha sangat lelah, hatinya terlalu sakit. Tetapi lagi-lagi otak dan hatinya tidak sejalan. Gadis itu masih ingin berjuang sekali lagi, tapi disisi lain otaknya menyuruhnya berhenti.

Ketika sedang sibuk melamun, seseorang datang dan langsung duduk di sampingnya. Seseorang itu menyampirkan jaket miliknya ke tubuh Agatha.

"Eh, Abang udah pulang?" Agatha menoleh dengan kaget.

Agatha mempunyai seorang kakak laki-laki. Namanya Keenan. Satu-satunya saudara yang Agatha miliki. Kakak beradik itu hanya tinggal berdua di rumah peninggalan orang tua mereka.

Keenan tersenyum sembari menyodorkan bungkusan plastik pada Agatha.

"Udah, ini Abang bawain martabak."

Agatha tersenyum lebar, martabak adalah salah satu makanan kesukaannya.

"Makasih, Bang. Tumben pulangnya malem banget?"

Keenan bekerja di salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Menjabat sebagai General Manager membuatnya sibuk. Meski begitu, dia selalu berusaha menyempatkan waktu untuk adiknya.

"Abang lembur, kerjaan lumayan banyak hari ini." Keenan mengusap kepala Agatha yang sedang sibuk memakan martabaknya. Pemuda itu merasa ada yang berbeda dari adiknya. Agatha terlihat tidak bersemangat seperti biasanya.

"Kamu kenapa? Tumben jadi pendiem?"

Agatha itu ceria. Di saat gadis itu hanya diam, itu artinya dia sedang tidak baik-baik saja. Pasti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Keenan tau pasti apa penyebab keterdiaman Agatha. Adiknya itu akan menjadi pemurung ketika memikirkan lelaki.

"Biasa aja, kok." Agatha masih sibuk memakan martabaknya tanpa menatap Keenan.

"Kenapa? Cerita sama Abang. Pasti masalah cowok, kan?"

Agatha tersedak, apakah begitu terlihat jelas?

"Eng-enggak, kok."

"Jangan bohong sama Abang. Pasti gara-gara dia, kan?"

Agatha menghela napas. Dia memang tidak pernah bisa membohongi kakaknya. Hidup hanya berdua dengan Keenan, membuat Agatha selalu bercerita banyak hal padanya. Termasuk rasa cintanya pada Elvano pun Keenan mengetahuinya.

"Iya," lirih Agatha. Kepalanya menunduk. Selera makannya menghilang. Rasanya dia ingin menangis sekarang.

"Kenapa, lagi?" tanya Keenan lembut. Tangannya tidak berhenti mengusap kepala Agatha.

"Capek." Mata Agatha berkaca-kaca, dadanya kembali terasa sesak.

"Capek kenapa, hm?"

Agatha terisak, teringat sikap Elvano yang begitu dingin padanya. Tentang segala penolakan pemuda itu padanya.

"Aku nggak mau kayak gini terus. Aku capek berjuang sendirian." Agatha menumpahkan segala keluh kesahnya pada Keenan. Selain Chacha, Keenan adalah tempatnya mengadu.

Keenan menghela napas, ikut merasa sakit saat melihat Agatha menangis tersedu.

"Kalau kamu capek lebih baik berhenti. Jangan maksain kehendak, atau nanti kamu makin sakit hati."

Agatha menatap Keenan dengan tatapan terluka, "Tapi, Bang, aku gak bisa lupain dia. Aku sayang banget sama dia."

"Abang tau."

Keenan menarik Agatha ke dalam pelukannya. Mengusap rambut adiknya dengan sayang. Memberikan dadanya sebagai sandaran.

"Melupakan itu memang sulit. Tapi bukan berarti gak mungkin, kan?"

"Percaya sama waktu, waktu yang akan menyembuhkan luka."

Agatha mendongak, menatap Keenan dengan mata bengkaknya.

"Kalau aku berjuang sekali lagi, boleh?"

Keenan tersenyum, adiknya memang keras kepala. Jika dia menginginkan sesuatu, maka dia harus mendapatkannya. Tidak mudah menyerah pada tujuannya.

"Perjuangin dia. Tapi kalau sampai dia nyakitin kamu sekali lagi, Abang gak akan tinggal diam."

Agatha mengangguk, mengeratkan pelukannya. Gadis itu merasa lega setelah menumpahkan isi hatinya.

Agatha bersyukur memiliki Keenan. Dia sangat menyayangi Keenan lebih dari apapun.

...***...

Pengen punya abang kayak Keenan :(

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!