...Welcome Readers...
...⚠️Warning 21++ ⚠️...
...Harap bijak dalam memilih bacaan .......
...Selamat datang di karya baru saya 'Dicintai Brondong'. Karya ini fiksi (karangan) yang sepenuhnya adalah hasil khayalan author. Adegan yang di buat sedemikian rupa untuk memperkuat alur yang ada. Termasuk dengan adegan dewasa yang akan di tulis sehalus mungkin. Sehingga pembaca di bawa untuk berimajinasi sendiri. Semata-mata hanya untuk menghibur pembaca di waktu senggang....
...Happy Reading...
...***...
Suasana malam diselimuti oleh awan tebal dan hitam. Tak tampak satu pun kilauan malam yang biasanya menghiasi langit. Sang rembulan pun telah bersembunyi di kumpulan uap air yang telah menjadi satu. Yang secara perlahan bertemu dan menjadi gumpalan kapas. Sekarang sudah saatnya untuk mereka turun ke bumi.
Malam yang suram sepertinya mendukung suasana hati seseorang saat ini. Sesosok wanita dengan tubuh yang tengah terpaku mematung. Ia duduk di sebuah bangku di depan rumahnya. Tangannya yang masih menggenggam ponsel pun gemetar seiring dengan tatapannya yang tak berkedip saat menatap layar benda pipih tersebut. Wajahnya memucat, bendungan air di matanya mulai menggenang. Pantulan cahaya dari ponsel itu menyala terang mengenai paras ayunya.
"Astaghfirullah!" serunya dengan suara lemah seakan tak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat.
Sedetik kemudian ia terkulai lemas di sandaran kursi yang berbahan rotan itu. Bahkan mengangkat ponsel itu pun ia sudah tak sanggup, kini sudah ikut terhempas ke dalam pangkuannya.
"Tidak mungkin," ucapnya lirih. "Ma–Mas Hilman?"
Untuk sejenak dia terdiam. Berpikir, apa yang harus dilakukan sekarang. Ia tak akan percaya begitu saja, mungkin hanya sebuah kesalahpahaman. Cairan bening yang hampir jatuh pun ia usap segera. Menahan diri untuk tidak menangis sebelum tau kebenarannya.
Tombol panggil ia tekan pada layar ponsel. Tak butuh waktu lama, nada tunggu yang terdengar berganti dengan suara seorang wanita. Menandakan panggilan telepon yang dia lakukan telah diterima.
Terdengar satu tarikan napas pelan, mencoba menenangkan dirinya. "Halo! Santi."
"Kamu sudah baca pesanku? Maaf, aku harus kirim foto itu padamu. Kamu harus tau, walau itu menyakitkan, Yasmin." Suara di seberang talian sana terdengar menggema, sepertinya Santi sedang berada di toilet.
Matanya terpejam sesaat. “Terima kasih. Tapi, apakah kamu yakin dengan yang kamu lihat? Itu bukan salah paham, kan?" tanyanya lirih.
"Yasmin, kita sudah lama berteman. Aku tidak akan bohongin kamu untuk urusan seperti ini. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Suami kamu terlihat mesra dengan wanita itu."
Suara Santi terdengar bersungguh-sungguh. Dia tidak sedang bercanda.
"Makasih, San. Aku akan kesana sekarang."
Wanita yang bernama Yasmin itu mematikan telepon dengan cepat. Dia tak ingin menunggu lagi. Sebaiknya langsung pergi untuk membuktikan kata-kata sahabatnya itu.
Yasmin bergegas masuk ke dalam rumah. Mengambil jaket serta dompetnya. Dia buru-buru mengunci pintu dan segera menuju motor matik yang terparkir di halaman rumah. Helm dia kenakan, lalu menyalakan mesin.
Tiba-tiba kilatan cahaya dari langit menerangi bumi sesaat, suara petir menggelegar. Yasmin mendongak ke atas. Tetesan air dari langit mulai berjatuhan dengan perlahan. Mengenai wajahnya yang hanya di polesi bedak tipis, memancarkan kecantikan alami yang dia miliki. Yasmin tak peduli, dia tetap berangkat, menempuh udara malam yang disertai gerimis kecil.
Yasmin Mahesa, wanita cantik yang berusia 35 tahun. Dia memiliki paras ayu dan tubuh ramping, bisa dibilang sempurna di usia yang tidak muda lagi. Seorang guru matematika tingkat SMA. Menikah dengan pria yang berprofesi sebagai dokter, sepuluh tahun yang lalu. Kehidupan rumah tangganya biasa saja. Tinggal di komplek perumahan sederhana bersama sang suami, Hilman Kertahadi. Tuhan belum mengizinkannya untuk memiliki keturunan. Dia bersyukur suaminya tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Tapi bagaimanapun juga sebagai seorang wanita yang belum bisa melahirkan anak, dia merasa belum sempurna.
Selama sepuluh tahun pernikahannya, sang suami sangatlah setia. Selalu memberikan perhatian yang cukup untuknya. Rasa sayang dan cinta dari sang suami, membuatnya merasakan kebahagian yang amat besar sebagai seorang istri. Namun, hari ini kepercayaan dari dirinya telah diuji. Santi, Sahabat baiknya sejak bangku SMA tiba-tiba mengirimkan sebuah foto. Yang diduga adalah sang suami dengan seorang wanita memasuki lift hotel tempat Santi bekerja.
Tanpa dia sadari, tetesan air dari langit yang telah berganti dengan rintikan hujan membasahi wajahnya. Namun, setitik air itu terasa hangat mengenai pipi kanannya. Ternyata itu adalah air matanya yang jatuh tanpa dia inginkan. Seiring dengan pikirannya yang terus membayangkan bahwa apa yang Santi lihat adalah benar sang suami. Yasmin terus fokus pada jalanan, tak mempedulikan seberapa banyak air hujan membasahi tubuhnya. Air langit yang bercampur dengan air matanya terus menerpa wajahnya.
...***...
...Like dan Komen...
...Karya ini jika kalian suka....
...Jangan lupa tambahkan di Favorit...
...❤️❤️❤️...
...Terima kasih ☺️...
...***...
Dengan setengah berlari Yasmin meninggalkan parkiran hotel bintang tiga itu. Helm di kepalanya dibiarkan melekat, serta tubuhnya yang basah akibat guyuran hujan yang tak terlalu lebat. Ia segera masuk menuju lobby dan menemui Santi. Satu usapan lembut pada wajah menghapus sisa percikan air hujan dan air matanya. Mencoba untuk tenang, itulah yang harus ia lakukan.
"Selamat datang …," sapa seorang pria penyambut tamu di depan pintu masuk.
Yasmin hanya tersenyum tipis disertakan anggukan pelan membalas pria itu. Pandangannya tertuju kepada Santi yang melambaikan tangan dari dalam sana. Ia pun bergegas masuk.
"Yasmin!" Teriakan Santi mempercepat langkahnya.
"San, a–aku …."
"Ikut aku, mereka ada di kamar lantai tujuh," ucap Santi memotong kata-kata Yasmin.
Santi langsung menggandeng tangan Yasmin. Sedetik dia merasakan rasa dingin berpindah ke tangannya. Ia menoleh ke belakang sesaat, tubuh Yasmin tampak basah, wajahnya pucat. Perlahan tangan Yasmin terasa lebih hangat, berkat sentuhan dari Santi. Langkah mereka terhenti begitu sampai di depan lift. Beberapa saat kemudian, pintu lift terbuka dan mereka pun masuk. Santi menekan tombol lift ke lantai tujuh.
"Kamu nggak apa-apa? Tanganmu dingin banget." Santi melihat wajah Yasmin yang pucat, dia pun merasa sedikit khawatir.
"Aku gak apa-apa, cuma kehujanan dikit." Yasmin menjeda kata-katanya. "San, kamu yakin itu Mas Hilman?"
Santi mengangguk. "Aku yakin, Yas … tadi sudah aku cek ke bagian resepsionis."
Yasmin pun tertunduk diam. Wajahnya pias, dia mulai takut. Tak pernah terbayang sebelumnya, jika sang suami akan berduaan dengan wanita lain. Sekarang kilasan adegan sinetron perselingkuhan tergambar di otaknya. Seorang istri yang melabrak perselingkuhan suaminya. Memikirkan Hilman selingkuh seperti adegan di TV.
Apa yang harus aku lakukan jika itu memang benar Mas Hilman dengan wanita lain? Yasmin telah larut dalam lamunannya.
"Yasmin." Santi menepuk pundak sahabatnya itu, Yasmin tersentak. "Kamu kenapa?"
"A–aku takut, San." Suaranya wanita itu terdengar parau.
Santi membenarkan posisi mereka hingga berhadapan. "Dengar, aku bantuin kamu. Aku juga udah minta satpam untuk berjaga di depan kamar mereka. Kita harus punya saksi, paling nggak dua orang untuk menghindari penyangkalan. Siapkan juga ponsel kamu buat rekaman. Tapi ingat, jangan sampai terekspos ke luar, gunakan untuk pribadi kamu aja. Kalau sampai orang luar tau, nama baik hotel ini akan rusak, aku bisa kehilangan pekerjaan."
Yasmin mengangguk. Santi membantunya melepaskan helm di kepala. Serta menyapu air pada wajah dan merapikan rambutnya dengan jari.
"Oya, Surat nikah kamu bawa, kan?"
"Ada, aku selalu simpan di dompet." Itu karena dompet Yasmin berukuran cukup besar, dan ia selalu menggantungnya di pundak seperti tas kecil.
"Bagus."
Yasmin kembali tertunduk. Kali ini disertai dengan buliran hangat jatuh ke pipinya. "Aku takut dengan kelangsungan rumah tanggaku jika Mas Hilman benar-benar selingkuh."
Santi mengernyitkan dahinya. "Maksudnya, kamu takut kehilangan laki-laki itu? Jangan bilang kamu gak mau menuntut keadilan?"
Perkataan Santi membuat Yasmin semakin beruraian air mata. Santi pun mendekat dan memeluk tubuh sahabatnya itu. Mencoba menenangkan dan memberi sedikit kekuatan.
"Apa aku harus melakukannya?"
Dorongan kecil melepas pelukan mereka. "Tentu saja, Yasmin. Kamu mau dibohongi seperti ini terus. Kamu mau merasakan tekanan batin tiap hari?" tanya Santi meminta keyakinan.
Yasmin menggeleng dengan cepat. Wanita mana yang ingin disakiti. Dia hanya tidak yakin, apakah dia sanggup untuk menghadapi semua itu.
"Sudah, jangan khawatir, aku akan bersama kamu," ucap Santi mengeratkan genggaman tangannya pada lengan Yasmin.
Paling tidak kata-kata Santi bisa membuat Yasmin sedikit lebih tenang. Saat pintu lift terbuka ….
...***...
...Like dan Komen...
...Karya ini jika kalian suka....
...Jangan lupa tambahkan di Favorit...
...❤️❤️❤️...
...Terima kasih ☺️...
...***...
Satu persatu langkah kaki diayunkan, seiring dengan detak jantung Yasmin yang berdegup kencang. Semua terasa campur aduk, rasa takut, rasa cemas, rasa was-was, serta rasa sakit mengikuti hatinya saat ini. Genggaman tangan Santi sedikit membuatnya semakin tak karuan. Menguatkan tapi juga mendebarkan. Apakah yang akan terjadi jika Santi berlebihan dalam menangani hal ini?
Yasmin tahu benar, bagaimana watak Santi bila tak suka dengan sesuatu. Sahabatnya itu penuh emosi, sangat menggebu-gebu jika sudah marah. Santi satu-satunya teman yang selalu menemaninya dalam susah maupun senang. Berbagi segala suka dan dukanya kehidupan masing-masing.
Langkah Santi terhenti di depan seseorang, yang membuat kaki Yasmin juga berhenti tepat di belakangnya. Kamar 706, kamar paling ujung dari sebelah kiri setelah keluar dari lift. Hotel bintang tiga yang letaknya bersebelahan dari pusat perbelanjaan. Memiliki tujuh lantai dan lebih dari 30 kamar untuk keseluruhannya.
Saat ini mereka berada di lantai tujuh, kamar suite. Di dalam kamar terdapat fasilitas TV, telepon, AC, wifi, serta kamar mandi dan toilet yang terpisah. Tarif kamar cukup mahal, tapi tidak untuk Hilman yang seorang direktur sebuah perusahaan. Tidak jauh dari kamar itu, seorang satpam pria yang Santi maksud tadi, melihat ke arah mereka.
"Bagaimana, Pak Jun?" tanya Santi berbisik saat berhadapan dengan sang satpam.
"Aman, Mbak. Saya sudah pantau keadaan di sekitar." Kemudian Pak Jun mengalihkan pandangan ke Yasmin. "Mbak istrinya?"
"I–iya, Pak … saya Yasmin." jawab Yasmin tertunduk malu.
"Tidak usah malu, Mbak Yasmin. Hal seperti ini sering terjadi. Secara pribadi, saya juga sangat tidak suka dengan perselingkuhan. Sama seperti moto hotel ini, menjaga nama baik dengan tidak merugikan semua pihak. Sebab itu, pihak hotel tidak menolak jika ada penggerebekan seperti ini. Asalkan tidak ada penyebarluasan berita setelahnya." Jelas Pak Jun Kemudian, dia ikut berbisik setelah Santi tadi berbisik padanya.
"Iya, Yas. Kamu jangan khawatir. Dengan adanya Pak Jun disini, gak akan ada masalah." Sambung Santi.
Yasmin hanya mengangguk. Dia tak tahu harus menjawab bagaimana. Ikut dalam penggerebekan ini juga bukan kemauannya. Ia pun ingin segera cepat pergi dari tempat ini. Andai saja Santi tidak mengetahui permasalahan ini, Yasmin pasti masih menjadi korban kebohongan Hilman.
Pak Jun mengetuk pintu kamar itu, sedangkan Santi dan Yasmin berdiri di belakangnya. "Room service!"
Tiga puluh detik, tak ada respon dari dalam, lalu ia mengulangi hingga tiga kali, tapi pintu tak kunjung dibuka. Debaran jantung Yasmin semakin tak karuan. Pak Jun lantas menoleh kebelakang melihat pada Santi.
"Kita buka saja, Pak?" tanya Santi dan Pak Jun mengangguk.
Santi mengeluarkan key card cadangan dari kantong blazer-nya. Lalu menyerahkan pada Pak Jun.
Ketika pintu itu berbunyi saat ditempelkan kartu akses masuk. Yasmin menggenggam jaket kain yang dikenakan tepat di bagian dada. Ia menekan dadanya untuk mengurangi debaran yang terasa semakin menyesakkan.
"Kamu nggak apa-apa, Yas?" tanya Santi yang menyadari tindakan Yasmin.
"Aku nggak apa-apa," jawabnya lemah.
Santi khawatir dengan sikap Yasmin. Semoga sahabatnya itu bisa menerima apapun yang terjadi di dalam sana.
Pak Jun membuka pintu secara perlahan. Sayup terdengar suara aneh dari dalam sana. Suara yang bila didengar oleh siapapun bisa langsung mengartikan, kegiatan apa yang sedang berlangsung.
Yasmin berjalan di belakang Santi dan Pak Jun. Mereka mencari arah suara tersebut dengan ekor mata masing-masing. Pak Jun menghentikan langkah, jelas ia tak ingin melihat adegan yang sudah tergambar di otaknya. Satpam itu menunggu di dekat pintu. Menunggu situasi yang pas.
Mata kedua wanita itu melotot ketika melihat pemandangan yang tak enak dilihat secara langsung. Dua orang berbeda gender sedang bercinta dengan penuh napsu di depan sana.
"Mas Hilman!"
...***...
...Like dan Komen...
...Karya ini jika kalian suka....
...Jangan lupa tambahkan di Favorit...
...❤️❤️❤️...
...Terima kasih ☺️...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!