NovelToon NovelToon

Lucifer My Little Son

S1 Lucifer: [Awal dari segalanya]

Ersya Melviano Ravindra

"Membunuh? Itu bukan lagi sekadar pilihan, itu jalanku! Memanipulasi? Sudah jadi darah dagingku! Pengkhianat? Mereka adalah borok busuk yang harus disingkirkan! Dan pemberontak... ah, mereka adalah jenis makhluk paling menjijikkan yang ingin kubinasakan hingga ke akar-akarnya. Aku tidak pernah memberi ampun pada yang membelot, karena aku membenci mereka lebih dari apapun!"

"Dendam? Itu nafasku. Itu denyut nadiku. Itu adalah bahan bakar ku untuk tetap hidup! Aku akan memburu satu per satu musuhku, dan ku pastikan mereka menjerit dalam penderitaan yang mereka ciptakan sendiri! You hate me? Then prepare to DIE, because I’ll burn this world down if that’s what it takes!"

"Aku... tidak pernah meminta untuk dilahirkan! Tidak pernah merengek minta hidup di dunia keparat ini, apalagi jika akhirnya hanya dianggap sampah yang tak bernilai! Kalau sejak awal kalian tak menginginkan aku... kenapa tidak membunuhku saja saat aku masih dalam kandungan? Kenapa tidak mencabut nyawaku sebelum aku bisa membuka mata melihat dunia yang keji ini?!"

"Tapi kalian memilih untuk membuang ku. Meninggalkanku. Menginjak harga diriku seolah aku bukan apa-apa! Dan sekarang, kalian pikir kalian bisa tenang? Kalian pikir semuanya akan baik-baik saja? SALAH BESAR! Kalian yang menciptakan monster ini. Kalianlah alasan aku menjadi seperti ini. Maka bersiaplah... karena AKU AKAN MEMBALAS! Dengan segala luka, dengan setiap tetes air mata yang kalian buat, AKU AKAN MENGHANCURKAN SEMUANYA!"

...*****...

...Perhatian: Novel ini mengandung kata kasar dan sadis disetiap kata yang ada di dalamnya! Bila tidak menyukainya, kalian bisa langsung keluar dan tidak perlu membacanya. Karena disini tidak ada unsur pemaksaan! Harap memaklumi bila ada kata yang salah dan kurang tepat....

...*****...

Suara rintihan lirih namun memilukan terdengar di antara keramaian jalan yang tak pernah berhenti. Rintihan itu datang dari seorang anak laki-laki, tak lebih dari dua tahun usianya, tergeletak di tanah yang dingin dan kotor. Tubuh mungilnya gemetar hebat, darah membasahi bagian perutnya, merembes melalui pakaiannya yang telah robek tak beraturan.

Tangisannya lirih, tidak meraung, tapi menyayat, menikam setiap hati yang masih memiliki rasa kemanusiaan. Tapi anehnya… orang-orang hanya lewat. Pandangan mereka kosong. Beberapa menoleh sebentar, tapi tak satu pun yang mendekat. Tidak satu pun yang berhenti untuk bertanya, apalagi menolong. Seakan penderitaannya hanya hiasan dari realita yang mereka abaikan.

Luka itu bukan luka biasa, sobekan panjang dan sayatan dalam menganga di perut kecilnya. Darah masih mengalir... itu adalah hasil dari tindakan biadab sekelompok manusia pedagang organ, yang tak segan merobek tubuh mungilnya demi ambisi dan uang haram.

Mereka mencabut sebagian dari kehidupan anak itu, lalu membuangnya seakan ia hanyalah boneka rusak.

"Aku pasti... akan balas." Suara anak itu lemah, bergetar, namun mengandung bara kecil yang menyala di dalam tatapan matanya. "Aku akan membalas rasa sakit ini... pada manusia-manusia gila itu." Tangannya yang mungil berusaha menekan luka di perutnya, menahan darah agar tak terus keluar.

Matanya menatap ke langit seolah bertanya pada Tuhan,

"Kenapa aku? Kenapa aku yang harus mengalami ini..."

"Siapapun... tolong aku." Suaranya kian tenggelam, hampir tak terdengar, tertelan oleh deru langkah kaki orang-orang yang terlalu sibuk untuk peduli. Dunia terlalu bising untuk mendengarnya. Tapi dendam telah tertanam. Dalam tubuh mungil yang hampir kehilangan segalanya, tumbuh sebuah tekad. Kelak... ia akan membuat mereka merasakan luka yang sama. Bahkan lebih dari pada apa yang ia rasakan.

Bruuukkk

Anak laki-laki itu tak kuasa menahan rasa sakit yang begitu luar biasa diperutnya lagi, pada akhirnya membuat ia jatuh pingsan hingga tidak sadarkan diri dijalan, dengan tangan mungil yang terus meremas kuat perutnya seolah mencegah darahnya yang terus keluar deras bagaikan air mengalir. Ia berusaha untuk tetap hidup, dan percaya bahwa kebahagiaan akan menantinya setelah ini.

"Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya seorang wanita cantik pada seorang Dokter, yang habis menangani anak kecil yang ia bawa dalam keadaan menyedihkan.

"Salah satu ginjalnya telah hilang, kemungkinan besar ginjalnya telah diambil secara paksa. Oleh sebab itu kondisinya saat ini sangatlah memprihatinkan, jika anak kecil itu tidak segera di tindak lanjuti, mungkin saja anak laki-laki itu akan--" jawab Dokter tersebut, terpotong cepat oleh perkataan wanita yang ada didepannya saat ini.

"Dokter, tolong lakukan yang terbaik untuknya! Berapapun biayanya... saya yang akan menanggungnya. Asalkan ia sembuh itu tidak masalah bagi saya untuk membayar masa perawatannya." kata wanita tersebut yang memotong cepat ucapan Dokter.

"Secepatnya kami akan mengoperasi anak laki-laki itu, kami pasti akan bekerja sebaik mungkin untuk menyembuhkannya."

Mendengar hal itu, membuat hati wanita cantik itu sedikit tenang. Ia tak perduli dengan uang yang akan ia keluarkan untuk pengobatan yang tak murah itu, asalkan sebuah nyawa selamat. Ia rela menggunakan semua uang nya untuk menyelamatkan sebuah nyawa, karena kehilangan adalah akhir yang menyedihkan.

Dokter itu... ia segera pergi untuk melanjutkan kembali tugasnya sebagai penyembuh, ia bergegas memindahkan anak laki-laki yang tak berdaya itu ke ruangan yang berbeda. Sedangkan sosok wanita yang baik hati itu, ia segera menyelesaikan segala sesuatu yang menyangkut pembayaran. Mungkin, jika anak laki-laki tersebut mampu membuka kedua matanya saat ini, ia pasti akan merasa bahagia dan bangga karena ada seseorang yang masih mau menolongnya di dunia yang menyedihkan ini. Apalagi orang yang menolongnya itu adalah seorang wanita cantik berhati mulia.

Ia pasti akan sangat bersyukur bisa diberikan kesempatan untuk hidup jauh lebih baik lagi.

"Bagaimana mungkin di usianya yang masih begitu kecil, ia sudah merasakan hal mengerikan seperti ini. Mengapa semua orang tega padanya... bukannya pada menolong anak itu, mereka justru hanya mempertontonkan anak laki-laki itu seakan percaya bahwa nyawa kecil itu takkan pernah selamat jika mereka bantu pun. Mereka semua menjijikan... dan itu menyebalkan." gumam wanita itu dengan pelan, seperti samar.

"Siapa sebenarnya orang tuamu? Mengapa ia sangat kejam terhadapmu, menelantarkan mu begitu saja dijalan seperti itu tanpa bantuan siapapun. Apakah mereka tidak punya hati? Hingga tega membuang mu yang masih kecil begitu saja, dalam kondisi dimana anak itu masih membutuhkan figur orang dewasa... dunia ini kejam untuk nya yang kecil, dan kelak jika ia sudah sehat dan sembuh sepenuhnya. Aku harap ia akan bersikap jauh lebih kejam dari pada orang lain." lirihnya dengan kesal.

Tiga setengah jam kemudian...

Setelah tiga setengah jam yang menegangkan, pintu ruang operasi akhirnya terbuka perlahan. Seorang anak laki-laki dibawa keluar di atas brankar, tubuhnya masih lemah. Tanpa ragu, wanita cantik yang sedari tadi menunggu langsung mengikuti mereka dari belakang, langkahnya cepat namun penuh kekhawatiran. Ia baru berhenti saat brankar itu memasuki ruang rawat yang telah disiapkan untuk anak itu.

"Bagaimana kondisinya?"

"Selamat nona, operasinya berjalan dengan sangat lancar dan anak laki-laki itu sudah tidak perlu di khawatirkan kembali. Kini anak laki-laki tersebut hanya perlu berisitirahat sebanyak-banyaknya dan perlu rutin untuk meminum obatnya, setelah operasi selesai kondisi fisiknya justru menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada yang perlu di cemaskan lagi untuk kedepannya, hanya dengan menjalankan pengecekan rutin dan meminum obat secara teratur, ia pasti akan kembali sehat seperti sedia kala." jelas Dokter tersebut tersenyum manis, saat menyampaikan berita kebahagiaan itu.

"Terimakasih, Dokter. Anda telah bekerja keras untuk menyelamatkan nyawa kecil itu, sekali lagi terimakasih Dokter."

"Sama-sama Nona, ini sudah jadi tugas dan kewajiban kami untuk menolong nyawa seseorang."

"Apakah saya sudah bisa menjenguknya Dokter? Atau, kira-kira kapan saya bisa melihatnya."

"Untuk saat ini masih belum bisa, kemungkinan besok baru bisa. Agar kenyamanan pasien tidak terganggu, untuk sesaat tidak ada yang boleh menjenguknya dulu."

"Baiklah dokter, jika seperti itu."

*****

"Akan ku bunuh kalian semua jika kalian bermain-main denganku. Apalagi dengan cara mempermainkan bundaku! Takkan aku pedulikan siapa kalian, mau kalian itu orang tua atau bukan. Jika memang kalian ingin bermain-main denganku, maka aku akan membunuh kalian dengan cara yang kejam, sadis, dan tanpa ampun, siapapun itu... Lawan kalian adalah aku."

Ersya Melviano Ravindra

*****

"Aku tak pernah menyangka... bahwa putra kecil yang aku didik dengan baik, tanpa terduga justru memiliki sifat yang begitu buruk. Mungkinkah ini semua berawal dari pengajaranku? Atau mungkin ini semua berawal dari kenyataan pahit dalam hidupnya yang lalu? Aku tidak tahu pastinya. Aku tidak tahu..."

Zenitha Merlina Revandra

*****

Awal dari segalanya.

S1 Lucifer: [Kisah yang sebenarnya]

Zenitha Merlina Revandra

"Putraku adalah segalanya bagiku. Ia adalah permata paling langka yang pernah ada di dunia ini. Tak satu pun permata yang bisa menandingi kilau kehadirannya. Dan jika pun ada, mungkin itu hanya ada dalam mimpi, bukan dalam kenyataan."

"Tak ada kisah yang benar-benar berakhir bahagia. Dunia hanya memilih untuk menampilkan bagian-bagian yang manis, menyembunyikan episode yang menyakitkan, menyedihkan, dan penuh kekecewaan. Aku tegaskan sekali lagi... yang disebut happy ending hanyalah ilusi yang dijual oleh dongeng."

*****

Keesokan harinya...

Ruang Rawat

Hentakan langkah kaki seseorang terdengar menggema, cukup nyaring untuk mengusik pendengaran seorang anak laki-laki yang tengah berbaring dengan mata tertutup. Perlahan, ia membuka kelopak matanya. Namun, pandangannya masih kabur, sementara cahaya lampu yang terang menyilaukan langsung menyorot ke arah wajahnya. Kilau yang menyakitkan itu memaksanya kembali memejamkan mata dengan cepat.

Beberapa menit kemudian, ia kembali mencoba membuka matanya secara perlahan. Kali ini, ia membiarkan kedua matanya terbuka sepenuhnya, meskipun masih terasa berat. Ketika penglihatannya mulai menyesuaikan, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati setiap benda yang berada di dekatnya, mencoba memahami di mana ia berada dan apa yang tengah terjadi.

Ruang itu tampak tenang, meskipun dipenuhi nuansa dingin dan sunyi. Dindingnya berwarna putih pucat, nyaris tanpa hiasan, hanya dihiasi dengan jam dinding dan papan informasi medis. Aroma khas antiseptik begitu menyengat, menguar dari tiap sudut ruangan. Sebuah mesin pemantau detak jantung berdiri di samping tempat tidurnya, mengeluarkan suara bip halus yang stabil. Di sisi lain, selang infus tergantung rapi pada tiang logam, mengalirkan cairan bening ke dalam tubuhnya melalui pergelangan tangan. Tirai putih menggantung longgar di sisi tempat tidur, memberikan sedikit privasi dalam ruangan yang tampaknya dibagi bersama pasien lain.

Udara terasa sejuk, dipengaruhi oleh hembusan pendingin ruangan yang terus menyala. Lampu-lampu di langit-langit menyinari ruangan dengan cahaya putih yang menusuk, memberikan kesan bersih sekaligus asing. Tak ada suara lain selain detak jam dan desis lembut dari alat-alat medis.

"Dimana ini...?" tanya anak laki-laki tersebut dengan nada serak meneliti sekitarnya.

"Akhirnya kau sudah sadar, bagaimana perasaan mu nak? Apa kau merasa sakit di bagian perutmu atau kepalamu. Katakan padaku agar aku bisa membantumu." celetuk wanita tersebut dengan tersenyum manis, sambil menatap wajah anak laki-laki dengan dalam.

"Kau yang menolongku?" tanya anak laki-laki itu lirih, untungnya masih bisa di dengar oleh wanita tersebut.

"Benar, aku yang membawamu kemari dan mengobati lukamu. Bagiamana perasaanmu sekarang... katakanlah, aku benar-benar ingin memastikan bahwa kau tidak merasakan sakit lagi."

"Terasa sedikit sakit, namun ini tidak sebanding dengan sebelumnya. Jadi, aku baik-baik saja... terimakasih."

"Sama-sama, hmmm... bisakah kau mengatakan padaku siapa namamu? Agar kedepannya aku bisa memanggilmu dengan lebih akrab menggunakan namamu."

"Nama? Aku tidak mempunyai nama," jawabnya sambil menggeleng pelan. "Siapa namamu?" tanyanya balik.

"Namaku Zenitha Merlina Revandra, panggil saja aku Nitha." balas Zenitha.

"Bunda..."

"Ya?" Zenitha terdiam sesaat saat mendengar panggilan Bunda dari anak kecil itu, tapi dengan cepat ia tersenyum manis.

"Terimakasih, Bunda. Bisakah Bunda memberikan ku sebuah nama...?" pintanya dengan tersenyum lirih.

"Mengapa kau memanggilku Bunda?"

"Apa itu tidak boleh?"

"Kau ingin menjadi anak ku?"

"Jika diizinkan, bila tidak... tidak masalah, tapi tolong kembalikan aku ketempat dimana kau menemukanku. Hanya tempat itu yang aku tahu..." tutur anak itu dengan jujur berkata bahwa tempatnya terluka adalah tempat yang biasa ia tinggali.

Mendengar perkataan anak laki-laki tersebut Zenitha terdiam dan tak membalas kembali ucapan anak kecil yang ditolongnya itu, namun sedetik kemudian iapun tersadar kembali dari lamunannya.

"Ersya," ujarnya lembut. "Ersya Melviano Ravindra, itu namamu..." Zenitha tak tahu apakah nama yang mendadak terlintas dibenak nya akan disukai atau tidak oleh anak kecil itu, namun ia berharap bahwa anak itu akan menyukainya.

"Itu... untukku?"

"Benar... apa kau menyukainya?"

"Aku suka! Terimakasih..." Ersya merasa terharu, matanya sampai berkaca-kaca. Tak pernah terbayang olehnya bahwa ia akan mempunyai nama sebagus itu.

"Mulai sekarang dan seterusnya kau adalah putraku! Kemana pun Bunda pergi kau harus mengikuti Bunda. Kau mengerti kan...?"

"Izinkan aku menangis..."

"Tentu, peluklah aku dan menangislah sesuka hatimu untuk sekarang. Namun kedepannya, aku takkan mengizinkan mu kembali menangis. Putraku... Ersya."

Tangis haru dan bahagia akhirnya mengalir begitu saja dari bibir mungil Ersya. Ia tak mampu lagi menahan luapan perasaan yang menggelora di dalam dadanya. Hari ini menjadi hari yang luar biasa, sebuah titik balik yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Seorang wanita cantik, berhati mulia, telah mengulurkan tangan dan mengangkatnya dari jurang penderitaan, menyelamatkannya dari maut yang nyaris merenggut hidupnya.

Air mata bahagia pun tak terbendung. Mengalir deras di pipinya, mencerminkan betapa dalam rasa syukur dan haru yang ia rasakan. Tangis itu bukanlah karena luka atau ketakutan, melainkan karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar dicintai, diselamatkan, dan dipilih.

Inilah pertama kalinya Ersya menangis dalam kebahagiaan. Sebuah tangis yang tak menyakitkan, melainkan menyembuhkan.

"Jangan menangis lagi" lirih Zenitha.

*****

Tiga tahun kemudian...

“Bunda…” panggil Ersya, dengan suara lembut khas anak berusia lima tahun.

Sudah tiga tahun berlalu sejak kehidupan Ersya berubah secara drastis. Sejak saat itu, segala aspek dalam hidupnya perlahan membaik. Kini, di usianya yang masih belia, Ersya telah menjadi sosok yang menarik perhatian banyak orang di sekitarnya. Di sekolah, ia mulai dikenal dan disukai, bukan hanya karena kepribadiannya yang tenang, tapi juga karena parasnya yang menawan. Wajah tampannya dihiasi bulu mata lentik dan sepasang mata hitam pekat yang dalam dan memesona, seolah mampu menawan hati siapa pun yang menatapnya, anak-anak seusianya, remaja, bahkan orang dewasa.

Namun, ketampanan itu dibalut oleh aura yang datar dan dingin. Ekspresi wajahnya sering kali tampak tenang, nyaris tanpa emosi saat berhadapan dengan orang lain. Hanya satu orang yang mampu meruntuhkan dinding dingin itu: Zenitha. Di hadapan wanita yang telah menyelamatkannya dan kini ia panggil "Bunda", Ersya berubah sepenuhnya. Ia akan menunjukkan sisi imut dan manisnya, tersenyum, tertawa riang, dan memperlihatkan ekspresi polos yang hanya ia simpan untuk Zenitha.

Di luar, Ersya tetap menjadi sosok yang sulit ditebak, tenang, dewasa sebelum waktunya, namun di rumah… ia hanyalah seorang anak kecil yang begitu menyayangi bundanya.

"Kau sudah pulang Er? Apa kau ingin makan sesuatu..." Zenitha menyambut sang putra yang baru pulang sekolah, ia berjongkok. Menyeimbangi tinggi badan putranya itu, dengan tatapan penuh kasih sayang.

"Tidak Bunda, aku ingin membersihkan tubuhku terlebih dahulu. Setelah itu baru makan bersamamu. Apapun yang kau masak, aku akan menyukainya..."

"Hahahaha, baiklah-baiklah Bunda menunggumu. Cepat sana bersihkan tubuhmu yang sudah bau busuk ini. Sana..." ujarnya berpura-pura merasa terganggu dengan bau keringat sang putra, padahal ia tidak mencium bau sama sekali. Melainkan wangi kas bayi yang ia cium, tapi ia beraksi bahwa itu mengganggu penciumannya agar sang putra segera mandi.

Ersya memang bukan pura kandungnya, tapi Zenitha... ia sangat menyayanginya bak putra kandung. Zenitha selama ini bahkan sangat mencintai dan menyayangi Ersya, karena ia berkata bahwa Ersya adalah putra kandungnya. Ia tidak pernah menganggap bahwa Ersya adalah putra angkat yang ia temui. Ia lebih menyukai fakta palsu bahwa Ersya adalah putra kandungnya.

"Terimakasih Tuhan, karena kau sudah mempertemukan aku dengan anak setampan Ersya. Aku tidak akan pernah menyia-nyiakan pemberianmu, karena pemberianmu yang satu ini sangatlah berharga bagiku."

"Dia mungkin bukan putra kandungku, dan bukan aku yang melahirkannya. Tapi setelah aku bertemu dengannya... ia sudah menjadi putraku. Putra kandungku yang aku lahirkan tepat ketika aku bertemu dengannya." gumamnya kecil.

"Dia adalah putra kandungku. Hari ini, esok, atau nanti... kedepannya, atau ke belakangnya ia tetaplah putraku."

"Bunda." panggil Ersya, baru kembali setelah selesai membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya dengan lebih santai.

"Tampannya anak Bunda, kemari sayang... Bunda ingin mencium mu." pinta Zenitha dengan gemas menyambut kedatangan sang putra kedalam pelukannya, kemudian memberikan kecupan hangat tepat di kedua pipi Ersya.

"Terimakasih Bunda."

*****

"Bila ada seseorang yang memperlakukanmu layaknya boneka! Maka patuhi dia tapi jadilah boneka Annabelle untuknya."

Ersya Melviano Ravindra

*****

"Rasa sakit yang abadi adalah pertanda bahwa kau memiliki keberanian yang besar. Tersenyumlah dan tipu dunia bahwa kau baik-baik saja..."

Zenitha Merlina Revandra

*****

Kisah yang sebenarnya

S1 Lucifer: [Awal kehancuran]

Virendra Haitham Victor

"Jangan pernah menguji sosok iblis yang ada di dalam diriku, atau kalian akan tahu akibatnya! Dan kelak, aku tidak akan pernah mau membantu kalian, ketika sosok iblis itu keluar dari tubuhku begitu saja tanpa kendali."

"Pengkhianat? Pemberontak? I hate that kind of filth! Aku tak peduli tua, muda, bahkan balita sekalipun... kalau kalian berani menentang keputusanku, maka satu hal yang pasti. KEMATIAN! Kalian hanya akan punya dua pilihan, apakah kalian ingin pergi sendiri ke neraka dan memilih tempat terburuk kalian di sana... atau menunggu aku yang mengirim kalian langsung ke lubang Jahanam paling dalam?"

"Kalau aku yang kirim… maka neraka kalian hanya satu. JAHANAM! Tempat paling busuk, tempat paling menyakitkan, itu hadiah yang terbaik untuk para pengkhianat. Dan jangan pernah memohon ampun... karena bagiku, pengkhianat tidak pantas mendapatkan pengampunan. Mereka pantas dihancurkan. Perlahan... sampai tak bersisa."

*****

"Er, kau ingin pergi dengan Bunda tidak?" tanya Zenitha pada putra kecilnya yang menggemaskan itu.

"Kemana Bunda?"

"Karena hari-hari biasa, Bunda selalu sibuk bekerja, maka sekarang Bunda bisa mendapat jatah libur. Bagaimana jika kita pergi berjalan-jalan? Kemana saja asal kau suka." balas Zenitha begitu antusias menyampaikan informasi jatah liburnya.

"Baiklah, aku setuju Bunda. Bawa aku kemana pun kau mau, Bunda. Asalkan bersamamu, aku akan senang." balas anak laki-laki itu dengan tak kala manis.

"Anak pintar," puji Zenitha gemas. "Yasudah cepat selesaikan makananmu, Bunda juga akan menyelesaikan makanan Bunda." Zenitha mengusap pelan kepala putranya, Ersya. Walaupun bukan ia yang melahirkan, namun rasa sayang dan cinta yang ia berikan sangat besar bagai sosok ibu yang melahirkan anak itu.

"Baiklah, Bunda."

*****

"Dimana orang itu?"

"Sepertinya dia sudah kabur, Bos! Bagaimana sekarang? Apa kita harus mencarinya? Atau kita kembali ke saja ke markas?" tanya seseorang pada orang yang jelas adalah ketua dari suatu komplotan itu.

"Arghhhh, sialan! Cari sampai dapat. Entah itu hidup atau mati, cari dia sampai dapat." Marah orang tersebut memerintahkan kepada anak buahnya untuk mencari seseorang yang sangat menyusahkan baginya.

"Baik Bos!"

Panggilan singkat itu berakhir, kemudian segera mengatur posisi-posisi lainnya untuk berpencar mencari seseorang yang sangat sulit mereka temukan saat ini. "Mari kita cari." katanya, langsung berlari ke segala arah.

Bertepatan dengan para komplotan yang berlari itu, seseorang yang ternyata menjadi incaran manusia berbaju hitam itu ternyata mulai keluar dari persembunyiannya. Menatap satu-satu semua manusia berbaju hitam yang sedang mencarinya itu.

"Sudah pergi? Hhhhh... akhirnya." gumam seorang pria mengangkat salah satu alisnya, dengan mata yang terus menatap lekat orang-orang yang mengincarnya itu.

"Tidak ada yang akan bisa menangkap ku dengan begitu mudah. Karena kalian tidak akan pernah bisa... bermimpi saja." katanya dengan tersenyum smrik.

Getaran handphone terdengar dari saku celananya, segera mungkin ia mengangkat panggilan masuk tersebut. Tanpa memulai percakapan lebih dahulu, karena ia tak berniat untuk berucap sebelum orang yang menghubunginya itu membuka suaranya lebih dahulu.

"Apa Anda baik-baik saja, King?"

"Jemput aku segera, lokasi sudah ku kirimkan padamu. Aku tunggu kau dalam kurun waktu 15 menit." katanya dengan memerintah penuh penegasan, lalu setelahnya mematikan sambungan itu secara sepihak.

"Ck, peluru kecil ini. Beraninya menempel di kulitku! Menjijikan..." Kesal pria tersebut dengan mengeluarkan sebuah pisau lipat kecil di dalam saku celananya yang.

Pisau lipat kecil tersebut dikeluarkan untuk membantu dirinya mengeluarkan dua peluru kecil yang bersarang ditangannya. Dengan cekatan dan penuh kehati-hatian, pria tersebut mulai menggores kulit tangannya, lalu mencongkelnya, dengan sangat tidak sabar. Seperti tak perduli akan darah segar yang terus mengalir ditangannya, bahkan ia tak merintih sakit saat mengeluarkan peluru yang bersarang itu.

Setelah berhasil mengeluarkan satu peluru, iapun berhenti sejenak untuk mengamati setiap inci peluru tersebut, setelah selesai mengamati pria tersebut kembali mengambil satu peluru yang masih melekat ditangannya. Saat keduanya sudah terlepas dari tangannya, kemudian ia menyimpan peluru tersebut kedalam saku celananya bersama dengan pisau lipat kecil miliknya yang tadi ia gunakan.

"Pelurunya tidak beracun, bodoh sekali! Dasar para idiot itu... bagaimana mungkin senjata api yang ditembakkan kepadaku ini tidak diberi racun? Bila ingin menangkap ku harusnya memakai otak terlebih dahulu, dan jangan bertindak gegabah seperti pengecut."

"King" panggil seseorang lainnya, kepada pria yang tengah terduduk itu.

"Ambil ini." ujar pria tersebut, melemparkan pisau lipat miliknya dan dua peluru sekalian yang tadi ia ambil dari tangannya, kepada seseorang yang baru saja datang.

"King, bagaimana dengan luka Anda?"

"Jangan pedulikan."

"Virendra Haitham Victor, itulah namaku... tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini yang tidak bisa aku dapatkan! Apapun yang aku inginkan, aku akan mendapatkannya. Karena siapapun yang menghalangi jalanku, maka aku akan langsung menebas kepalanya dengan sebuah Katana kesayanganku! Darah kotor mereka adalah makanan sekaligus minuman untuk Katana kesayanganku."

*****

Sebuah pantai, tempat di mana langit mencium lautan, dan angin berbisik pelan pada pasir putih yang membentang luas. Ombaknya datang silih berganti, seolah membawa rahasia dunia yang tak terucap. Cahaya matahari memantul di permukaan air, menciptakan kilau emas yang menari-nari di ujung cakrawala. Di kejauhan, camar terbang rendah, melintasi garis biru yang tak pernah benar-benar diam.

Di tempat inilah, waktu seolah melambat. Dan dalam setiap hembusan angin laut, ada cerita yang menunggu untuk ditulis. Dan pantai adalah tempat tujuan Zenitha untuk menghabiskan hari libur kerjanya bersama sang putra.

"Bunda, bisakah kau tunggu sebentar disini?" pinta Ersya menatap lekat wajah cantik Zenitha sang Bunda, sambil melepaskan genggaman tangannya. Berniat untuk pergi ke suatu tempat tanpa ingin mengajak sang Bunda.

"Kau ingin pergi kemana Er?" tanya Zenitha, mengerutkan keningnya kecil tak lupa satu alis yang mengangkat keatas. Menatap bingung wajah mungil yang ada dihadapannya saat ini.

"Aku ingin mencari toilet, karena aku ingin membuang air kecil, Bunda! Aku tidak akan lama. Kau tunggulah aku disini sebentar saja ya... aku akan segera kembali."

"Yaa, baiklah. Pergilah Er... berhati-hatilah tapi."

"Baik, terimakasih Bunda." Setelah mendapat izin dari sang Bunda, Ersya langsung saja pergi dengan terburu-buru mencari seseorang. Yaa, Ersya mengatakan pada Zenitha bahwa ia ingin membuang air kecil, tapi kenyataan sebenarnya adalah, ia ingin menemui seseorang yang sudah membuat janji, entah siapa.

"Lucifer." panggil seseorang pelan, berdiri didekat sebuah pohon kelapa. Tak jauh dari tempat Ersya berdiri.

"Hmm..." Ersya berdeham, menghampiri dan mendekati sosok pria dewasa yang ada dihadapannya saat ini.

"Ini flashdisk yang kau minta, sisanya sudah aku kirimkan lewat email. Bacalah baik-baik..." kata orang tersebut, berusia sekitar dua puluh satu tahun, Yaa. Orang itu lebih tua dari Ersya. Orang itu berumur dua puluh satu tahun sedangkan Ersya masih berumur lima tahun perbedaan umur yang begitu besar diantara keduanya.

Entah hubungan khusus apa yang dimiliki Ersya kepada orang tersebut berjenis pria, Tapi bila di lihat-lihat hubungan antara Ersya dan pria tersebut sangatlah akrab bak antar saudara. Bahkan jika di teliti baik-baik, wajah mereka berdua hampir sama, bedanya pada usia saja.

"Lucifer dengarkan aku, untuk saat ini. Berhati-hatilah kemanapun kau pergi."

"Kenapa?"

"Saat ini, King dari Cold Blooded Devils tengah mencari identitas dirimu. Dan kemungkinan, ia akan merencanakan sesuatu agar bisa mendapatkan jawaban seperti yang ia mau. Melalui segala cara, jadi berhati-hatilah disetiap tempat yang kau kunjungi." jelas pria tersebut penuh perhatian.

"Untuk apa mencari tahu tentang identitasku?" tanya Ersya, mengerutkan keningnya karena merasa bingung dengan pemimpin dari mafia nomor 1 dalam dunia gelap. Padahal ia tak pernah sekalipun menyinggung pemimpin mafia bernama Cold Blooded Devils.

"Tidak tahu, tapi yang pasti ia tengah berusaha untuk mencari tahu tentang identitasmu. Mungkin saja ia ingin tahu tentang identitasmu karena kehebatanmu yang luar bia---" jelas pria tersebut tapi sebelum menyelesaikan ia sudah lebih dahulu dibungkam oleh Ersya.

"Diam! Jangan membahas ini sekarang. Sebaiknya kau pergi saja. Urusan kita sudah selesai kan, kau masih punya tugas yang harus kau jalankan." titah Ersya dengan nada dingin berucap.

"Baiklah, jaga dirimu baik-baik Lucifer! Bila kau terjadi apa-apa atau sesuatu. Cepat-cepatlah hubungi diriku agar aku bisa membantumu."

"Tidak butuh niat baikmu! Aku bisa melindungi diriku sendiri. Lebih baik kau lindungi saja dirimu sendiri, dasar payah... kau yang seharusnya melindungi dirimu itu." balas Ersya lirih, terdengar samar. Lalu setelahnya pergi begitu saja, segera menemui Zenitha yang tengah menunggunya.

"Aku masih bisa mendengarnya, kau memang pantas menjadi seorang pemimpin! Little king, Lucifer." lirih pria tersebut menggelengkan kepalanya pelan, dengan garis bibir yang sedikit naik keatas.

Saat kaki kecil itu melangkah, berlari. Menuju kearah sang Bunda berada, tanpa sengaja telinga kecilnya itu menangkap suara sesuatu, iapun berhenti sejenak untuk mendengar lebih jelas lagi. Dan sesuai dugaannya, saat ini bahaya akan menanti sekitar.

"Suara pelatuk pistol." gumam Ersya.

Ersya memperhatikan sekelilingnya, ia mencari-cari asa suara pelatuk tersebut. Sampai kemudian mata elangnya menangkap sosok pria misterius, berdiri dengan senjata yang mengarah pada seseorang. Ketika mata elangnya itu mengikuti arah pandang target si pria misterius, ia terkejut mendapati bahwa sang Bunda adalah targetnya.

"Bunda," lirihnya pelan. "BUNDA!" teriak Ersya, berlari. Mempercepat langkah kakinya segera mungkin menuju sang Bunda yang menatap dirinya dengan arah pandang bingung, bercampur senang melihatnya datang dengan berlari menuju kearahnya.

DOR!

Bruuukkk

Semua orang bersorak takut, berlari segera mungkin tanpa tujuan dan arah. Untuk menghindari sosok misterius yang berhasil menggemparkan seisi pantai, masing-masing menyelamatkan diri mereka sendiri sampai tak sengaja beberapa dari mereka saling menabrak saru sama lain.

Tepat ketika suara pelatuk pistol terakhir, Ersya lebih dahulu sampai tepat dihadapan Zenitha. Dan ketika pria misterius itu melepaskan pelatuk pistol dan menembakan peluru pistolnya ada Zenitha. Ersya langsung saja menarik tubuh Zenitha hingga terjatuh dan berguling dengan cepat sebelum peluru itu menembus bagian tubuhnya. Zenitha terkejut, tapi ia cepat berganti perasaannya dengan yang tadinya terkejut menjadi cemas pada sang putra.

"Ersya kau tidak apa-apa sayang?" tanya Zenitha, penuh kekhawatiran menatap wajah putranya.

"Aku tidak apa-apa, Bunda. Tapi kita harus pergi dari sini secepatnya sekarang..." Ajak Ersya menarik pergelangan tangan Zenitha segera mungkin, untuk berlari meninggalkan pesisir pantai.

Zenitha yang tangannya ditarik hanya bisa pasrah dan menurut saja, sebab yang dikatakan oleh Ersya itu ada benarnya. Bahwa mereka harus pergi secepat mungkin dari pesisir pantai saat ini.

*****

"Semua akan baik-baik saja, tenanglah... selagi kau tidak membuat masalah terhadapku, maka aku tidak akan pernah membuat kalian menderita."

Ersya Melviano Ravindra

*****

Awal kehancuran.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!