NovelToon NovelToon

Mengejar Cinta Si Dingin

Cinta Pandangan Pertama

Semasa SMP, Alya tidak pernah berpikir untuk pacaran dengan lelaki manapun. Ia dekat dengan banyak teman laki-laki. Tapi mereka hanya dianggap teman saja bagi Alya, tidak lebih. Kini Alya sudah menjadi siswi SMA, ia berpikir untuk merasakan cinta remaja kali ini.

Di hari pertamanya sekolah, sangat disayangkan ayahnya tidak dapat mengantarkannya karena urusan pekerjaan. Padahal, sesibuk apapun ayahnya tetap selalu mengantar Alya. Entahlah, apa karena Alya sudah SMA sehingga ia tidak ingin memanjakan Alya lagi, siapa yang tahu?

Ia menaiki ojek online menuju ke sekolahnya. Ia sedikit gugup karena masuk di kelas IPA, ayahnya yang seenaknya mendaftarkan. Padahal ia tahu Alya sangat payah di pelajaran eksakta. Terlebih, ia harus masuk di kelas terakhir, kelas 10 IPA 12. Dimana, kelas terakhir itu rumornya berisi orang yang paling bawah urutannya di pelajaran eksakta. Bahkan, kelas dengan ujungnya IPA 12 dijuluki kelas siswa gagal oleh kelas yang lainnya.

"Pak, ngebutan dikit, dong. Saya takut telat di hari pertama sekolah," ucap Alya memburu-burui driver ojol itu.

"Iya, sabar ya, Neng. Buru-buru juga nggak baik, nanti jadi bahaya," jawab driver itu santai.

Alya tidak dapat menuntut banyak dan diam bersabar. Lampu merah terasa sangat lambat di saat-saat seperti ini. Ini membuat Alya bosan memandangi padatnya jalanan. Ia memandang sisi lain jalan. Terlihat seorang laki-laki memarkirkan motornya dan menghampiri seorang nenek.

"Cowok itu ngapain sih? Wih, dilihat-lihat cakep juga motornya." Alya bicara pelan.

"Ma syaa Allah, mau bantu nenek itu nyebrang ternyata. Baik banget, sih. Fix sih, ini, cowok idaman banget. Mana ganteng lagi, tuh cowok," batin Kila mengucap kagum.

Lelaki itu sudah selesai menyebrangi si nenek. Tampak sikap yang begitu sopan dari si lelaki. Ia kembali menyebrang jalan untuk mengambil motornya. Saat ingin menengok ke kiri dan kanan, tatapan matanya bertemu dengan Alya.

"Aa, seragam sekolahnya sama dengan punyaku. Duh, repot nih kalau ada yang tahu kalau aku sesantai ini di hari pertama sekolah," ucapnya pelan.

Alya menjadi salah tingkah karena lelaki itu menatapnya cukup lama. Ia makin salah tingkah lagi karena lelaki itu berjalan menuju dirinya. Semakin dekat dengan Alya, dan Alya yang tidak tahan dengan momen inipun menunduk sebagai perlindungan.

"Hey, kamu satu sekolah denganku. Jangan bilang ke siapa-siapa soal yang kamu lihat tadi, ya." Lelaki itu berucap pada Alya. Merasa diajak bicara, Alya memperhatikan dan seketika mengangguk secara natural.

"Aaa, ternyata satu sekolah. Ya Allah, apa dia jodohku? Terus, tiba-tiba didatangi begitu sama dia. Fix, sih, aku suka sama dia kayaknya," batin Alya.

"Baik banget, Neng, temennya. Rendah hati gitu, biar nggak ada yang tahu kalau dia abis nolongin nenek tadi nyebrang," ujar driver ojol.

"Ee... bukan teman saya, Pak. Baru juga ketemu tadi. Tapi emang sih, Pak. Baik banget dia. Siapa sih dia?" Alyapun bertanya-tanya.

"Duh, aku jadi kepikiran dia terus-terusan, apa ini yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama?" pikir Alya.

Sepanjang perjalanan menuju sekolahnya, Alya tidak berhenti memikirkan lelaki itu. Lelaki tampan, memiliki motor keren, ramah, baik hati, dan rendah hati. Setidaknya, itulah kesan pertama Alya kepada laki-laki itu. Ia mengira-ngira, apakah mereka seangkatan? Apakah mereka sekelas? Apakah ia dapat bertemu lagi dengan lelaki yang membuatnya fall in love at first sight.

"Neng, udah sampai, nih. Katanya buru-buru biar nggak telat. Cepetan, lho, Neng, ntar telat beneran, lho," ucap driver ojol itu mengingatkan. Alya langsung tersadar dan buru-buru masuk ke sekolahnya.

"Makasih banyak, ya, Pak. Untung bapak ingatkan. Nih, Pak, kembaliannya buat bapak aja," ucap Alya.

"Neng, ini kembaliannya banyak banget. Uang merah gini, padahal ongkosnya cuman 15 ribu. Baik bener, dah, serasi banget sama laki-laki yang kita jumpai di jalan tadi. Saya doain Eneng bisa ketemu sama laki-laki tadi dan jadi jodoh, aamiin," ujar driver ojol itu. Ia seperti berbicara sendiri dengan isi bicaranya adalah mendoakan kebaikan untuk Alya. Siapa tahu, kebaikan Alya itu terbalas, dan doa baik dari driver ojol itu didengarkan oleh Tuhan.

...----------------...

Setelah melewati masa orientasi siswa, Alya yang mudah akrab mudah pula mendapatkan beberapa teman. Ia sudah tahu identitas lelaki yang saat itu ia jumpai di jalan raya. Namanya Dimas Amir Akbar, siswa kelas 10 IPA 1 yang satu kelasnya berisi orang-orang pintar dengan berbagai prestasi. Dimas sendiri masuk ke sekolah yang sama dengan Alya juga lewat jalur prestasi, tidak seperti Alya yang masuk lewat jalur reguler menggunakan nilai rapor yang pas-pasan.

Semangatnya sempat ciut karena kelas Alya dan Dimas bukan sekedar berbeda saja tapi kasta kelas juga berbeda. Di kelasnya Dimas banyak manusia-manusia yang memfokuskan diri untuk belajar, orang-orang didalamnya juga pendiam dan membosankan. Sangat berbanding terbalik dengan kelas Alya, kelas yang berisi orang-orang dengan peringkat terakhir pada tes masuk jalur reguler dan orang-orangnya isinya heterogen dan aneh-aneh.

"Aa, akhirnya kita ketemu. Kamu masih ingat aku, kan? Kita ketemu waktu itu di jalan saat hari pertama masuk sekolah." Alya yang sedang jalan-jalan di area kelas berpapasan dengan Dimas yang berjalan seraya membaca buku. Mudah ditebak dari gayanya itu kalau dia anak kelas IPA 1. Dimas yang merasa di ajak bicarapun menutup bukunya.

"Kenalin, aku Alya Zahra Shafira. Kamu bisa panggil aku Alya. Anak kelas 10 IPA 12. Kamu Dimas Amir Akbar, kan? Senang bisa bertemu kamu lagi. Aku panggil Dimas, ya?" Alya mengoceh terus-menerus dan ucapannya itu tidak digubris sama sekali oleh Dimas. Alya juga tidak mengulurkan tangannya untuk bersalaman sebagai bukti perkenalan, ia tidak terbiasa berkontak fisik dengan lelaki.

Dimas memang langsung tahu gadis itu yang ia jumpa saat di jalan waktu itu. Bahkan Dimas dapat mengingat semua wajah orang yang ia sudah pernah lihat dan ajak bicara meski sebentar. Dimas tidak menggubris karena poin yang disampaikan Alya tidak perlu tanggapan.

"Hey, aku masih bicara dengan kamu," ujar Alya lagi. Ia mengira Dimas tidak memperhatikan ucapannya.

"Iya, silahkan panggil sesuka kamu. Tentu aku ingat dengan kamu yang ada di jalan waktu itu. Oiya, sekali lagi aku ingatkan. Jangan bilang ke siapa-siapa soal yang kamu lihat waktu itu. Baiklah, senang bisa berkenalan dengan kamu, Alya. Kalau gitu, aku duluan ke kelas, ya." Akhirnya Dimas menggubris ucapan Alya. Alya sangat senang mendengar ucapan Dimas. Sepertinya mereka akan akrab setelah ini.

...----------------...

Bukan Hangat, tapi Dingin

Waktu berjalan begitu cepat. Alya yang ingin satu kelas dengan Dimas tidak pernah tercapai. Motivasinya untuk sekelas dengan Dimas kalah dengan motivasi belajarnya. Dan dapat sekelas bersama Dimas rasanya hanya sebuah angan belaka karena dirinya sekarang sudah menginjakkan kaki di kelas terakhir, kelas 12 IPA 12, ya di kelas yang sama. Ia masih berada di kelas terakhir yang dijuluki kelas siswa gagal oleh siswa kelas lain.

Hari-hari berbicara dengan Dimas juga tidak dapat terwujud. Kelas IPA 1 berisi manusia kutu buku, jarang keluar kelas dan terbilang cukup anti sosial. Tidak ada kesempatan Alya untuk bertemu apalagi berbicara. Ia hanya sekilas bertemu Dimas di parkiran atau saat Dimas akan memasuki kelasnya. Dan disitulah ia memanfaatkan waktu untuk melihat Dimas diam-diam dan memandangnya dalam-dalam dari kejauhan. Ia hanya mengagumi Dimas diam-diam dan meminta Dimas diam-diam pula dalam sepertiga malamnya.

"Cepat banget di kabulinnya. Bisa ketemu Dimas di musholla. Padahal baru aja doa pas duha."

Selain meminta kelancaran rezeki saat doa shalat duha, rupanya Alya meminta untuk bertemu langsung dengan Dimas. Kebetulan, jam istirahat pertama dimanfaatkan untuk sebagian murid sekolahnya shalat duha. Alya terbilang jarang shalat duha di jam istirahat pertama. Sebab, ia tidak mau membiarkan waktu istirahatnya terganggu. Toh, guru yang masuk ke kelasnya selalu telat masuk, manfaatkan saja celahnya untuk melaksanakan shalat duha.

Jika tahu akan menemui Dimas di musholla seperti ini di jam ini, ia akan mengorbankan waktu istirahatnya.

"Dim, kamu sama aku tadi disuruh sama Bu Lita untuk bantu angkat barang." Terlihat seorang teman menghampiri Dimas. Tatapan Dimas seperti tidak senang dengan kehadirannya. Padahal, teman itu menyampaikan pesan dari seorang guru.

"Nggak bisa, nih. Soalnya udah mau bel, aku nggak mau ketinggalan jam pelajaran. Sampaikan maafku ke Bu Lita, ya." Dimas menolaknya dengan sopan, meski hati sudah sumpek dengan kehadirannya.

"Ooh, gitu, ya? Sayang banget, padahal kamu murid kesayangannya Bu Lita. Ya udah, deh, aku duluan, ya." Anak itu langsung pergi saat ajakannya ditolak oleh Dimas.

Sedari anak itu pergi, Dimas terus membuntutinya dengan menatapnya terus. Terlihat memang, ia berlari ke kantin bersama rombongan anak lain yang menjadi gengnya, bukan malah ke ruangan Bu Lita untuk membantu dan menyampaikan maaf Dimas.

"Aku tahu yang disuruh itu bukan aku. Dasar, mau lari dari tanggungjawab. Seenaknya lempar tanggung jawab ke aku. Aku tahu, pasti dia bermaksud nyuruh aku duluan ke ruangan Bu Lita, terus dia tinggal enak nggak usah ikut bantuin. Dasar! Lagian, Bu Lita tahu kalau aku paling nggak bisa ketinggalan jam pelajaran, apalagi bolos." Dimas menggerutu kesal. Ia tak sadar sedari tadi ada yang terus menatapinya.

"Dimas bisa buat wajah kesal juga ternyata," gumam Alya.

Dimas akhirnya merasakan seperti ada orang yang terus meliriknya diam-diam. Ia cari keberadaannya datang darimana. Menelisik sekitaran mushalla, sampai pandangannya bertemu dengan orang yang menatapnya, Alya.

"Gadis itu menatapku?" tanya Dimas dalam hati seraya mengernyitkan dahi.

Alya yang kepergok langsung menutup wajahnya dan kabur dari sana. Jika sudah begini, tampak betul Alya memang benar-benar menjadi tersangkanya. Untung saja ia cepat menutupi wajahnya saat mata Dimas mulai menatapnya, jika tidak, mau taruh di mana wajahnya? Seandainya Alya bersikap biasa saja saat ketahuan, itu malah lebih bagus. Namun, saking paniknya dilihat oleh orang yang ia kagumi itu, ia mati gaya dan refleks menutupi wajahnya.

...----------------...

Hari-hari berlalu. Tak disangka, semakin Alya menatapi Dimas diam-diam, semakin tak dapat terbendung lagi perasaannya itu. Seperti saat ini misalnya. Saat melihat Dimas sebentar saja, hatinya serasa berbunga-bunga. Senyumannya tak di sangka terlukis begitu saja.

"Alya, kamu suka sama Dimas, ya?" Dena, seorang teman sebangku Alya tiba-tiba bertanya saat melihat Alya sedang menatap keluar kelas. Dilihat disana ada Dimas yang baru saja lewat dengan temannya membawa beberapa buku dari kantor guru.

"Ee..., nggak, kok, Den. Kamu ada-ada aja, deh," sangkal Alya. Ia kelihatan panik saat teman dekatnya itu menebak dengan benar. Sudah sejak kelas 10 mereka duduk bersama, tapi masalah perasaan Alya tak pernah ketahuan sekalipun oleh Dena. Ia terkejut, sekarang malah ketahuan oleh teman dekatnya itu.

"Kelihatan banget, lho, Al. Udah, deh, ngaku aja. Kamu lihatin keluar pas ada Dimas, pake senyum-senyum tipis gitu, lho. Masih mau ngelak?" goda Dena yang membuat pipi Alya merona.

"Aa.., kamu, ih. Sebenarnya bukan suka dan pengen pacaran, Den. Aku cuma kagum aja sama dia."

"Apa yang membuat kamu kagum sama dia? Dia itu terkenal dingin, arogan dan sangat nggak peduli soal cewek. Di otaknya yang ada cuma belajar mulu. Okelah kalau kamu suka sama dia, tapi kamu harus tahu diri dulu kamu berada di kelas mana."

"Ih, Dena..., nggak boleh sembarangan nilai orang, tahu. Kita kan nggak terlalu dekat sama dia. Jangan menilai orang dari tampangnya."

"Lah, kamu sendiri nilai dia dari mana duluan, coba? Dari tampangnya, kan?" Dena tepat sasaran sekaki lagi. Membuat Alya terdiam sejenak untuk berpikir.

"Nggak mungkin aku bilang iya, apalagi aku suka lihat motornya. Tapi, bukan itu poin yang buat aku jatuh cinta pandangan pertama sama Dimas. Kehangatan yang ia tunjukkan saat menolong orang kesusahan membuat aku langsung kagum. Perilaku baik yang ia tunjukkan tidak mau orang lain tahu, benar-benar seorang yang rendah hati dan tak suka pamrih."

"Tuh, kan, kamu diam. Berarti benar tebakan aku."

"Nggak, kok. Aku suka lihat kebaikan hatinya, kerendahan hatinya, kehangatannya saat menolong orang. Itu yang buat aku suka sama dia."

"Kamu bilang dia hangat? Hangat darimana? Dingin yang ada."

"Iih, aku lihat sendiri tahu."

"Okelah kalau kamu lihat langsung. Tapi, itu cuma sebagian kecil dari yang kamu lihat. Awas lho kalau kamu udah tahu sifat aslinya. Siapin mental aja, jangan terlalu terkejut nanti. Soalnya, anak-anak sekolah ini memang banyak yang suka sama Dimas, tapi Dimas terkenal dingin dan susah di dekatin. Pas ngungkapin cinta, eh, malah dijawab, 'udah ngomongnya? Aku mau balik ke kelas' bikin kena mental nggak tuh? Masak langsung digituin? Ditolak mentah-mentah gitu aja."

"Kamu tahu darimana rupanya?"

"Ya ampun, kamu ditulikan sama cinta, Al. Udah jelas-jelas itu gosip hangat di sekolah kita. Aku nguping dari orang-orang, dan dari sumber yang terpercaya soalnya ada yang lihat langsung kejadiannya."

"Kasihan banget, ya. Padahal udah memberanikan diri untuk ngungkapin perasaan."

"Makanya itu, Al. Kamu nih, awas jatuh cinta dan jadi korban dia selanjutnya."

Diperingatkan begitu pun, tidak akan mengurangi kadar cinta Alya untuk Dimas. Malah, ia semakin penasaran dengan pribadi Dimas yang sebenarnya, setelah mendapat pengetahuan baru soal Dimas dari Dena.

...----------------...

Penyelamat

Sepertinya Alya akan pulang sekolah cukup telat hari ini dari jam normalnya. Karena ada kerja kelompok, yang dimana mereka ada yang kerja dan berkelompok, jadi, pulangnya cukup sore, bahkan sudah satu jam lagi menjelang waktu maghrib tiba. Alya memang sering sekali mengalami problem ini jika disuruh untuk kerja kelompok oleh guru. Tidak ada teman yang ingin didatangi rumahnya untuk mengerjakan di sana, jika pun ada, mungkin ada anggota kelompok lain yang tidak bisa datang full team. Solusinya, ya, jadikan sekolah sebagai tempat untuk mereka bekerja kelompok.

"Kebiasaan, nih, kalau udah kayak gini, pasti yang kerja cuma satu orang. Mana belum siap, lagi. Selalu aku yang jadi korban. Sementang aku yang paling pintar di antara anggota kelompok, tapi nggak gini juga, kan?" Alya menggerutu kesal saat tinggal dirinya saja yang tinggal di kelas. Semua teman sekelompoknya sudah pulang duluan. Sebagian ada yang berdalih di jemput, sebagiannya ada yang sudah di suruh pulang, lalu sisanya buru-buru pulang karena takut terkena macet di jalan.

"Sekolah udah mau di kunci. Kamu pulang sekarang." Satpam sekolah yang berkeliling untuk memeriksai keberadaan murid menemukan Alya di kelasnya.

"Udah mau tutup banget, ya, Pak? Saya masih dikit lagi, nih, siapnya," nego Alya pada satpam itu.

"Ini udah peraturan sekolah. Silahkan keluar dari lingkungan sekolah," ucap satpam itu tegas.

"Tapi, Pak, Bentaaaar, aja. Sepuluh menit lagi, deh," Alya tetap berusaha.

"Bisa aja, sih. Tapi apa kamu mau gantiin pekerjaan kami untuk ngunciin dan memeriksa semua kelas? Sekolah ini besar, lho," si satpam tak mau kalah rupanya. Karena Alya tak menyanggupi syaratnya, akhirnya ia mengalah dan memutuskan untuk melanjutkannya di rumah saja.

Saat Alya sudah keluar dari kawasan sekolah, ia memutuskan untuk duduk di dekat tembok gerbang sekolah. Jarak kelasnya menuju ke gerbang cukup jauh. Apalagi adanya barang bawaan untuk kerja kelompok nya yang tidak sedikit, membuat Alya harus mengistirahatkan diri sebentar.

"Ya Rabbii..., jalan segitu doang udah ngos-ngosan. Ya ampun, capek banget," keluh Alya seraya mengibaskan tangannya untuk membuat kipas angin alami.

Setelah cukup ia rasa istirahatnya, ia kembali berdiri untuk memesan ojol. Sepertinya ia salah tempat untuk berdiri. Tempat ia berdiri sekarang adalah tempat tongkrongan geng sekolah yang banyak anak IPS bandelnya. Ia merutuki dirinya karena berdiri di salah tempat. Saat segerombolan geng mereka menghampiri Alya, Alya langsung gemetar ketakutan. Pasalnya, geng ini terkenal suka melecehkan wanita. Segera Alya membaca ayat-ayat Allah untuk melindungi dirinya.

"Neng, sendirian aja? Baru pulang sekolah, ya? Mau abang anterin, nggak?" Segerombolan geng mereka mulai beraksi. Mereka menatapi Alya dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Diantara mereka ada yang berbisik pada sesamanya. "Woi, ini Alya primadona kelas 12 IPA 12. Menang banyak kita hari ini," ucapnya.

Alya hampir di sentuh dagunya. Refleks Alya langsung menghindar dengan memundurkan langkahnya.

"Eh, nggak, deh. Makasih. Nanti cowok aku marah." Alya berbohong, bermaksud untuk menyelamatkan dirinya. Ia membuat kebohongan yang payah, sebab, Alya terkenal tidak pernah dekat dengan laki-laki manapun.

"Wiih, udah ada cowoknya, ya? Aduh..., takut deh. Hahahaha." Mereka ramai-ramai menertawakan Alya, meremehkannya.

Alya melihat sekitar, kiranya ia dapat menemukan pahlawannya untuk menyelamatkannya.

"Eh, itu dia," ujar Alya seraya menunjuk seseorang yang baru keluar dari gerbang sekolah menggunakan motor gede yang sempat Alya puji itu.

"Dimas? Woi, dia ceweknya Dimas ternyata," ucap salah seorang dari mereka terkejut.

Alya memanfaatkan momen datangnya Dimas menuju arahnya. Ia berhenti di pinggir jalan yang akan dilalui Dimas, membuat Dimas harus berhenti saat itu juga.

"Dimas, kamu kok lama banget, sih? Aku udah capek nih, nungguin kamu. Lihat tuh ada anak IPS yang godain aku. Aku kan, udah punya kamu," ucap Alya tiba-tiba manja nadanya. Membuat Dimas mengernyitkan dahi keheranan.

Dimas heran memandangi Alya. Tiba-tiba saja, tangan Alya malah sudah menggandeng tangan Dimas, yang membuat Dimas makin heran lagi. Ia harus bersiap untuk keheranan berikutnya.

"Tolongin aku dari mereka, please," ucap Alya pelan yang hanya bisa di dengar oleh Alya dan Dimas saja.

Alya secara santai naik ke motor Dimas. Memegang pundak Dimas dan berkata, "Ayo jalan, Sayang."

Dimas hanya mengikuti alur saja. Ia membawa Alya bersamanya. Saat motor sudah berjalan, Alya memindahkan tangannya untuk beralih memegang pinggang Dimas. Dan itu sukses membuat segerombolan geng anak bandel itu panas. Habisnya, dua primadona sekolah ternyata berpacaran, meski itu hanya kebohongan yang baru saja di buat hari ini oleh Alya.

Saat mereka sudah tak terlihat lagi keberadaannya, Alya menurunkan tangannya dari pinggang Dimas. Kemudian, menyuruh Dimas untuk menurunkannya di pinggir jalan, tepat di depan toserba.

"Maaf banget, ya, udah ngelibatin kamu. Aku terpaksa banget sampai harus pegang pundak dan pinggang kamu untuk meyakinkan mereka. Sebenarnya aku nggak suka di goda kayak gitu. Kamu benar-benar penyelamat karena datang di saat yang tepat. Makasih banyak udah anterin aku sampaikan sini. Aku bisa lanjut naik ojol, kok. Sekali lagi, makasih banyak ya, Dimas, atas pertolongannya." Alya berucap tidak enakan karena merepotkan Dimas.

"Rumah kamu emangnya di mana?" tanya Dimas.

"Di daerah sini juga, sih. Biasanya cuma sepuluh menit naik ojol. Emang kenapa?" jawab Alya.

"Ya udah, sekalian aja aku anter. Aku nggak mau nolongin orang separuh jalan," tawar Dimas sukarela. Alya seketika langsung berbunga-bunga.

"Beneran?" tanya Alya yang tak dapat menyembunyikan ekspresi bahagianya.

"Iya, ya udah naik lagi. Tapi, pegangannya jangan ke pinggang aku lagi, ya. Ada tuh pegangan yang di belakang, itu aja yang kamu pegang," jawab Dimas terlihat serius.

"Iya, Dimas. Aku juga ngerti, kok. Aku juga kalau nggak terpaksa banget nggak megang pinggang kamu, kok. Maaf ya aku seenaknya aja."

"Udah, nggak usah di bahas. Cepat naik."

"I-iya, Dimas."

"Dim, panggil aja gitu kalau mau disingkat. Jangan panggil mas, walaupun namaku Dimas. Aku nggak suka, walaupun aku juga anak pertama dan orang jawa."

"Oo, oke, Dim. Bakal aku ingat, kok."

"Bagus."

Perjalanan mereka diisi dengan suara klakson yang bising. Tidak enak juga membuka suara di tengah kemacetan seperti ini.

Tak terasa, waktu sepuluh menit pun berlalu. Alya sudah tiba di depan rumahnya. Sekali lagi ia berterimakasih kepada Dimas dan meminta maaf telah merepotkannya.

Dimas segera melesat kembali setelah menanyakan di mana letak masjid dekat rumah Alya. Kalau menunggu sampai rumah, takutnya maghribnya tidak terkejar. Benar-benar imam idaman sekali Dimas ini.

"Ya Allah..., mimpi apa aku semalam sampai bisa di selametin, di anterin juga sama Dimas? Duh..., aku nggak berhenti deg-degan sampai sekarang. Padahal, Dimasnya udah pergi. Ya ampun..., kamu baik banget, sih, Dimas. Aku makin jatuh cinta sama kamu, nih," ucap Alya gembiranya minta ampun. Ia meluapkan segala perasaan yang ia tahan saat Dimas menolongnya. Hari ini adalah hari yang tak akan pernah Alya lupakan seumur hidup.

...----------------...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!