Di sebuah bandara, yang terpusat di tengah-tengah kota. Seorang gadis keluar dengan topi yang menutupi wajahnya. Rambutnya yang panjang ia gerai hingga terbang diterpa angin. Gadis itu berjalan dengan langkah panjang, tas besar yang ia gendong di punggung tidak mempersulitnya sama sekali.
''Cari ke seluruh bandara gadis itu! Jika sampai kalian tidak menemukannya maka nyawa kalian yang akan di pertaruhkan. Cepat berpencar!!" Perintah seseorang dengan pakaian setelah jas serba hitam.
Mendengar ada yang mencarinya dengan segera ia berbelok arah menuju ke jalan lain. Sayangnya, Ia terlambat karena seseorang telah memegangi tangannya. "Ketemu!!" Teriak pria itu dengan semangat.
"Sial!" Umpat gadis itu. "Cepat seret dan kembalikan dia ke asalnya!" Sarkas pemimpin tadi, gadis itu tersenyum. "Kau pikir, kau berhasil?" Gadis itu menyeringai, lalu dengan cepat tangannya menyemprotkan sesuatu hingga pria tadi melepaskan genggamannya.
"Akhh! Perih! Tangkap dia!!" Pekik pria itu karena matanya terasa perih dan tidak bisa melihat apapun. "Kemana dia? Itu dia tangkap!" Teriak yang lain, semua penjaga mengejar gadis yang sedang berlari tersebut.
Tanpa mereka sadari kalau mereka sebenarnya mengejar orang yang salah. Di depan bandara, gadis tadi sudah masuk ke sebuah taksi dengan pakaian yang berbeda. Rambut yang di ikat lalu menggunakan topi dan kemeja yang berbeda.Senyum devil terukir di wajahnya.
"Mau diantar kemana mbak?'' Tanya pak sopir dengan sopan. ''Mension Richards.'' Jawabnya, senyum yang sempat terukir tadi kini menghilang.
''Mbak kerabatnya pak rikad ya? Gak perlu bilang mension rikad mbak, saya juga tau kalau pak rikad cuma penjual siomay. Sering jualan dia di depan rumah saya, jujur ya mbak siomaynya gak enak.'' Ucap bapak itu tanpa jeda.
''Bukan bapak itu, tapi mension keluarga Richards. RC group.'' Sarkas gadis itu yang sepertinya memiliki tempramen yang buruk.
Citttt
Mobil berhenti tiba-tiba membuat gadis cantik itu hampir terjungkal ke depan. ''Maaf mbak, saya kira pak rikad itu.'' Kata sopir itu meminta maaf, raut tidak senang terlihat jelas di wajah gadis ini.
''Mbak pasti kerabatnya tuan Brian ya?'' Tanya bapak itu dengan wajah yang mulai segan, tanpa bicara gadis yang di tanya hanya mengangguk. Brian adalah suami dari tantenya, Chalondra.
''Wah, ternyata kerabatnya tuan Brian. Tuan Brian sangat baik nona. Saya dengar tuan Brian sedang membangun mall untuk mengembangkan RC group. Entah kenapa tapi tak ada satupun informasi tentang keluarga Richards.'' Heran bapak itu dengan menatap jalanan yang terlihat lenggang.
''Kenapa brian? Kemana papa dan mama?''
Tadinya ingin menghiraukan ucapan sopir itu tapi, ucapannya selalu menumbuhkan rasa mengganjal di hatinya. ''Kenapa harus Brian yang mengembangkan RC group? Kemana tuan Christian dan nyonya Olivia?'' Tanya Gadis itu dengan rasa ragu, tidak ingin mendengar bahwa mereka bahagia dan melupakannya.
Hatinya telah siap untuk menerima bahwa papa dan mamanya telah bahagia dengan keluarga barunya. ''Tuan Christian? Oh tuan yang membuat seluruh negeri hampir kehilangan nyawa?'' Ujar Pak sopir yang terlihat geram.
''Saya berharap, dia tidak bisa mendapatkan surga disana nanti. Banyak nyawa yang telah tiada karena ulahnya. Syukurlah kalau dia sudah tiada.'' Ucapan pak sopir itu membuat hati gadis ini hancur, rasa amarah menyelimuti hatinya.Tidak terima akan ucapan pak sopir.
Meski membenci papa dan mamanya, ia sungguh tak sanggup mendengar ada yang menyumpahinya. ''Antarkan aku ke pemakaman tuan Christian.'' Ujar gadis itu menahan emosi dan menutup matanya, berharap amarahnya tidak meledak dan membuka semua tentang identitas dirinya.
***
Pak sopir tadi tidak mau mengantar hingga ujung jalan, karena menurutnya itu akan membawa sial. Entah apa yang Christian perbuat hingga membuat sopir itu membencinya.
Dengan langkah yang berat, gadis ini berjalan sembari menahan air mata yang tak ia harapkan. Sungguh papanya tiada? Kenapa tiada di saat orang membencinya? Kenapa ia pergi dengan rasa benci orang-orang? Banyak sekali pertanyaan dalam benaknya.
Tepat di sebuah batu besar yang berisikan foto Christian dan Olivia. Gadis ini tak bisa menahan berat tubuhnya sendiri. Kakinya lemas tak berdaya, hatinya bergemuruh dengan rasa sedih yang mendominasi.
''Kenapa kalian pergi setelah membuang putri kalian? Kenapa tidak mati setelah menjawab semua pertanyaan ku?! Apa kalian disana bahagia melihat ku seperti ini?! Bangun!! Aku bilang bangun!!'' Ucap gadis itu bersimpuh, Air matanya tak kunjung berhenti.
Rasa sakit yang teramat sangat, ia rasakan. Pikiran dan hatinya sungguh bertolak belakang. Dalam pikirannya, ia sangat membenci kedua orang itu tapi dalam hatinya merasakan sakit.
Mengapa? Mengapa harus sekarang? Di saat rasa benciku pada kalian semakin dalam, kenapa aku harus mendapati kenyataan ini? Kenapa!! Batin Gadis itu.
Di saat ia menangis, seseorang wanita paruh baya menghampiri dirinya. ''Nona Nadine? Sungguh ini nona Nadine?'' Ucap wanita itu dengan sumringah. Bahkan ia duduk di sebelah gadis yang masih berusaha mengusap air matanya.
''Tuan, nyonya, nona Nadine sudah kembali....Lihat nyonya, firasat anda benar. Nona kembali, nona kembali!!'' Gadis yang di panggil Nadine ini hanya bisa menatap bingung. Siapa wanita gila ini? Pikirannya.
''Siapa kau? Aku bukan Nadine.'' Elak gadis itu, raut wajah wanita tadi berubah mengintimidasi. ''Anda bohong nona, anda adalah putri satu-satunya dari tuan Christian dan nyonya Olivia. Nona Nadine Xavier Richards.'' Ucap wanita itu lantang, Nadine terkejut.
Bagaimana seseorang yang baru ia lihat ini bisa tau kalau ia adalah putri Christian dan Olivia? Apa jangan-jangan, wanita ini di kirim oleh keluarganya.
Nadine sudah memundurkan tubuhnya hendak meraih semprotan cabai yang ia gunakan tadi. Wanita itu seperti tau bahwa nona mudanya takut, dengan tersenyum ia berucap.
''Nona jangan takut, saya adalah kepala pelayan di mension Richards. Saya adalah pembantu dari mendiang nyonya Olivia dulu. Beliau sangat baik, hingga saya tak bisa membiarkan makam beliau terbengkalai seperti ini.'' Ucap wanita itu sendu, Nadine terdiam.
Ia melihat ketulusan dalam ucapan wanita ini, gadis itu menelisik menebak siapa wanita yang sedang duduk di hadapannya. Satu yang membuat Nadine terkejut. Bekas luka di bagian pipi kiri yang mengingatkan dirinya akan masa lalu.
''Bibi nani...'' Lirih Nadine, wanita yang ia panggil Nani terlihat tersenyum. ''Nona mengingat bibi? Pasti karena goresan yang nona buat sendiri bukan?'' Tebak BI Nani. Mata gadis itu terlihat berkaca-kaca.
Pembantu yang selalu menemaninya, bahkan akan menyembunyikan kesalahan yang ia buat dan membantunya di saat ia berusia 12 tahun.
BI Nani terlihat menatap foto Christian dan Olivia secara bergantian. Ia seperti bicara dalam hati yang hanya akan di ketahui oleh mereka berdua.
''Bi, sama seperti 12 tahun yang lalu saat aku di seret keluar dari mension. Sama halnya saat aku berteriak padamu dan menanyakan hal apa yang aku perbuat, hingga aku di seret secara tidak hormat.'' Ucap Nadine yang terlihat mengambil nafas dalam.
''Sekarang, aku kembali bertanya. Apa yang aku lakukan hingga membuat kedua orangtuaku menyeret ku dan melempar diriku ke negara lain.'' Mata Nadine penuh dengan tatapan menuntut, bi Nani tersenyum getir.
''Hanya nona yang bisa menjawab itu sendiri, tugas bibi disini hanya untuk menyampaikan pesan yang nyonya Olivia katakan.'' Ucap Bi Nani sendu, ada guratan kesedihan yang mendalam dalam wajahnya. Tapi apa?
''Apa pesan wanita itu?'' Tanya Nadine sarkas, bi nani menatap dalam. ''Beliau sangat menyayangi anda begitu juga dengan tuan Christian. Nona harus mencari tahu sesuatu yang belum selesai.'' Bi nani merogoh sesuatu dari dalam tasnya.
Wanita itu memberikan sebuah pulpen kecil. Lalu tangannya memencet sesuatu.
klik.
''Putriku Nadine, mama dan papa tau kau sangat membenci kami. Maaf, hanya itu yang mungkin akan kamu dengar sekarang. Suatu saat nanti kamu akan menemukan jawabannya sendiri. Mama yakin padamu , ingatlah satu hal. Sesuatu yang terlihat sempurna belum tentu sempurna, dari awal ini semua belumlah selesai. Kami menyayangimu....Nadine......Akh...''
Bersambung.........
Nadine menajamkan pendengarannya, suara Olivia terdengar seperti menahan sakit. Merasa pendengarannya salah, Nadine kembali mendengarkan suara itu hingga berulang-ulang.
''Apa yang terjadi? Kenapa suaranya seperti tercekat?'' Tanya Nadine, bi Nani tersenyum penuh maksud. ''Ini adalah suara nyonya Olivia sebelum menjelang kematiannya.'' Kata bi Nani memberitahu, gadis itu terdiam. Matanya mengisyaratkan sesuatu yang aneh.Tampak ragu namun pasti.
''Apa wanita itu sengaja berpura-pura sebelum dia meninggal? Aku heran, kenapa ada wanita sepertinya. Yang rela berbohong demi kepentingannya sendiri.'' Ucap Nadine dengan mengusap air mata yang masih tersisa di ujung matanya.
''Terserah padamu saja nona, apa anda sudah mau pergi? Memangnya anda sudah punya tempat tinggal?'' Tanya bi Nani setelah melihat Nadine yang sudah berdiri.
''Entahlah, aku kemari tanpa persiapan dan uang sedikitpun. Mungkin aku akan mencari pinjaman.'' Sahut Nadine santai, menurutnya mudah meminta pinjaman seperti di negaranya dulu.
''Nona, bibi tau anda tidak akan mudah meminjam uang dengan kepribadian nona yang seperti itu. Ini, bibi berikan kunci rumah bibi. Nona bisa tinggal disana, bibi juga sepertinya tidak bisa pulang karena harus melayani tuan Brian dan keluarganya.'' Ujar Bi Nani memaksa Nadine agar mau menerimanya.
Meski dengan terpaksa, Nadine menerima dan pergi dari sana. BI Nani tersenyum, ia sangat mengenal nona mudanya. Meski terlihat tidak peduli namun, dalam pikirannya sudah bisa di pastikan bahwa Nadine memikirkannya.
''Nyonya, tuan, nona muda sudah sangat dewasa bukan? Keputusan nyonya memohon pada pria itu agar menyeret nona muda adalah benar.'' Bi Nani meneteskan air matanya kala mengingat teriakan Nadine saat ia di seret secara tidak hormat.
''Entah apa yang tersirat, tapi bisa bibi pastikan bahwa nona Nadine di seret agar lebih kuat dan mampu mencari jalannya sendiri. Nyonya dan tuan akan segera mendapatkan kembali kehormatan kalian yang sempat di rebut paksa.'' Bi Nani terdiam sesaat lalu kembali melanjutkan ucapannya.
''Wajah nona mudah sangat mirip dengan mu nyonya, sifat keras kepalanya sangat mirip dengan tuan dan rasa keingintahuannya mirip dengan nyonya.'' Cerita bi nani dengan sedikit menyunggingkan senyuman. Sembari, bi Nani mencabuti rumput liar yang tumbuh di pemakaman kedua orang yang sangat berjasa di kehidupannya.
''Apa yang akan menjadi milik nona muda, akan kembali padanya. Yang maha kuasa tau cara mengembalikannya.'' Ujar bi nani lalu melanjutkan ceritanya yang entah sudah kemana.
***
Di depan sebuah gedung besar, Nadine menatap gedung itu dengan berkacak pinggang. Ia bingung, apa ini semua milik bi nani? Pikirnya.
Banyak orang yang lalu lalang keluar masuk ke dalam gedung itu. Ia ingin bertanya namun, gengsinya terlalu besar hingga membuatnya menutup mulut dengan rapat.
''Hah...'' Beberapa kali Nadine terlihat menarik nafas panjang. Kakinya bahkan sudah mulai mati rasa karena berdiri selama 30 menit. Banyak mata yang tertuju padanya karena ia hanya berdiri menatap gedung.
Tak lama. Dari dalam gedung, seorang gadis cantik dengan rambut yang di gerai berlari datang menuju ke arahnya. Senyumnya terus mengembang hingga sampai di depan Nadine.
''Apa kau adalah keponakan bi nani?'' Tanya gadis itu menyunggingkan senyumnya. Wajah ceria yang sangat terlihat jelas membuat Nadine mengerutkan keningnya.
''Hmm...'' Hanya itu sahutan yang Nadine berikan. Tidak ada niatan untuk menjelaskan dirinya. Namun, anehnya ia merasa dekat. Entah mengapa Nadine merasa pernah melihat gadis ini di masa lalunya.
Gadis itu mengangguk lalu mengulurkan tangannya. ''Perkenalkan, aku Zahra. BI Nani sudah memberitahuku kalau kamu adalah keponakan bi nani. Tapi aku tidak tau keponakannya yang mana. Hehehe......Tidak apa, aku akan berteman baik denganmu.'' Ujar gadis itu yang masih mengulurkan tangannya.
Ingin sekali tangannya di sambut hangat oleh Nadine. Namun Nadine hanya diam tanpa merubah ekspresi datarnya. Merasa tangannya mulai sakit, Zahra memaksa tangan Nadine agar mau bersalaman dengannya.
Hingga mau tidak mau Nadine menyalami tangan Zahra.
Zahra, putri Tante Charlotte dan asisten Gilbert. Sudah besar ternyata, gadis yang cantik seperti Tante dulu. Kenapa dia tinggal disini? Bukankah asisten Gilbert tidak akan kekurangan uang untuk membiayai anaknya?
Masih dalam pikirannya sendiri, Nadine sudah di rangkul oleh Zahra menuju ke dalam gedung. Tidak ada lift dan hanya menggunakan tangga. Gedung ini hanya bertingkat tiga, jadi sangat mudah untuk menaikinya.
Selama menaiki tangga, Zahra memberitahu siapa pemilik gedung ini. ''Gedung ini milik dari bi Yuri. Bi Yuri sangat baik, tetapi dia tidak akan tinggal disini setiap hari karena ia harus pergi bekerja. Oh iya, aku belum tau siapa namamu...Hmm, sepertinya kita seumuran.'' Tebak asal Zahra, kini mereka sudah di depan pintu rumah milik bi nani.
''Xavier...'' Ucap Nadine lalu masuk dan menutup pintu dengan kasar. Zahra yang masih di luar pun hanya bisa melongo.
''Sepertinya, aku harus memperbanyak sabar.'' Celetuk gadis itu sembari menggaruk pelipisnya yang gatal.
''Xavier? Nama yang bagus. Semoga kita berteman baik ya kak!" Teriak Zahra dengan nada senang. Gadis itu tersenyum lalu pergi dari sana.
***
Di sebuah ruangan yang sangat besar, seorang pria sedang memijit pelipisnya. Kepalanya sakit karena mendapati gadis yang ia lempar jauh kini kembali lagi.
Tak hanya sendiri, seorang wanita modis juga duduk di sofa ruangan itu.
''Sudah ku sarankan untuk membunuh gadis itu, namun kau masih saja tidak peduli. Lihat sekarang, gadis itu kembali ke sini untuk menghancurkan kejayaan mu.'' Ujar Wanita itu tersenyum sinis.
''Kau bilang dia tidak akan menjadi penghalang jalanmu? Jangan bodoh, dia adalah darah Richards. Tidak akan mudah menghentikannya selain kematian.'' Mulut wanita itu terus mengeluarkan bisanya.
''Diam! Kau hanya menambah pikiran!" Bentak pria itu, menatap tajam wanita yang santai duduk di sofanya.
"Aku sudah berkata jujur, semakin dia penasaran akan keluarganya. Maka semakin dekat akan kehancuran mu." Kata wanita itu tanpa rasa takut meski sudah di bentak dengan kasar.
"Kau pikir hanya aku yang akan hancur, kalian juga akan hancur!'' Teriak pria itu.
''Maka dari itu, aku bilang bunuh saja! Singkirkan dia dari jalan kita!'' Teriak wanita ini tak kalah tinggi. Bahkan ia sampai berdiri dan menghentakkan kakinya kesal.
''Belen! Jaga bicaramu!'' Teriak Brian dengan lantang.
''Chalondra! Namaku Chalondra!!'' Teriak wanita itu histeris. ''Jangan pernah lupakan itu, aku tidak peduli apa keputusanmu. Tapi aku tidak mau kita sampai jatuh hanya kerena gadis sialan itu!'' Ujar wanita lalu pergi dengan amarah.
Di saat ia membuka pintu, terlihat gadis cantik dengan mata elangnya sudah berdiri di depan pintu. ''Masuk!'' Sarkas gadis itu dengan tangan yang di lipat di dadanya. Entah mengapa tapi wanita tadi menurut dan masuk kembali.
Gadis tadi menutup rapat pintu ruangan dan menyusul wanita tadi dengan langkah tegas. ''Pa, biarkan saja dia kembali ke negara ini. Tidak akan ada yang mengenalinya, tidak akan ada yang mau bersamanya jika dia mengungkapkan identitas.'' Ucap tegas gadis itu dengan keyakinan.
Brian terlihat menatap putrinya lekat. Gadis itu sama sepertinya, tenang dan cerdik. Dia adalah kunci keberhasilan Brian selama ini. Bahkan tidak ada yang bisa menebak rencana gadis ini.
''Tapi Aurora.....'' Ucap wanita itu terjeda kerena tatapan dari putrinya.
''Jika kau hanya akan menambah runyam suasana maka aku tidak akan segan-segan untuk menyeretmu ke dalam ruangan itu.'' Ujar Aurora tajam, bahkan wanita itu langsung menutup mulutnya rapat.
Tidak ada yang berani untuk bermain-main dengan Aurora, gadis itu bagaikan iblis yang tidak akan segan menghukum orang meski itu adalah ibunya sendiri.
''Sudah, biarkan saja mamamu. Di hanya panik, kau bisa pergi untuk mencari tahu dimana gadis sialan itu sekarang.'' Ucap Brian menyeringai.
''Baik, aku permisi pa...'' Sopan Aurora lalu pergi dari ruangan itu.
''Apa dia sungguh putriku? Aku bahkan tidak pernah membayangkan bahwa putriku akan sekejam ini.'' Lirih wanita itu dengan wajah takut. Brian kini tersenyum senang dan tidak peduli akan istrinya yang terus bergumam.
Bersambung......
Di dalam rumah, Nadine sedang berkeliling melihat setiap sudut rumah itu. Ada dua kamar, tak ada foto apapun yang seharunya tergantung dan menandakan pemiliknya.
Nadine masuk kedalam kamar itu, kamar dengan nuansa serba pink. Sungguh bertolak belakang sekali dengan kepribadiannya. Nadine berjalan mengelilingi kamar itu dan meraih buku-buku yang tertata rapi dengan judulnya.
Sebuah buku yang membuatnya menyunggingkan sedikit senyumannya. Buku novel yang berjudul, ''The devil is my soul." Buku yang sungguh membuatnya tertarik daripada buku romansa lainnya yang bahkan lebih banyak.
Tangannya sibuk membuka buku itu dengan senyum yang tak mampu mengartikan apapun. Hanya dirinya yang tau maksud senyumnya. Dengan perlahan, Nadine duduk di tepi ranjang yang sepertinya milik dari putri bibi Nani.
Merasa sudah cukup lama dirinya membaca buku. Gadis itu kembali ke luar kamar dan mengambil tas besar yang ia bawa. Nadine membuka tas itu dan mengambil pakaiannya. Kalau di pikir-pikir kembali, dia adalah seorang putri yang kaya raya. Namun Nadine, Nadine sekarang hanya bisa tinggal di rumah pembantunya dulu dan tanpa uang sedikit pun.
Merepotkan wanita paruh baya yang selalu bersama dengannya saat dia masih kecil hingga berusia 12 tahun. Kini Ia sudah dewasa dan menginjak 24 tahun, namun Nadine merasa bahwa dirinya malam kembali merepotkan wanita itu.
Setelah membersihkan diri, perutnya terasa lapar, semenjak pagi dia belum makan apapun. Uang yang ia kumpulkan selama di pedalaman itu hanya cukup untuk transportasi dan sekarang sudah habis tak tersisa.
Nadine menyandarkan dirinya pada sofa di ruang tengah, setidaknya walau tidak bisa makan ia bisa istirahat. Tidur adalah jawaban dari rasa lelah sekaligus laparnya. Nadine tidak bisa meminta BI Nani untuk memberinya uang.
Atau dirinya menyusahkan wanita itu lagi. Mendapat kebaikan dari Bi Nani saja sudah syukur. Sangat beruntung dirinya tiba di makam mama dan papanya. Kalau tidak, maka sudah pasti dirinya sekarang sedang Luntang-lantung di jalan.
Keinginan untuk tidur sungguh hanya sebuah keinginan. Matanya terpejam namun hati dan pikirannya terus berkecamuk. Hatinya masih merasa pedih dengan alasan yang sungguh tidak ia ketahui.
Ada rasa mengganjal yang tidak ia ketahui alasannya. Pikirannya sibuk dengan berbagai pertanyaan. Kenapa? Bagaimana? Siapa? dan apa? Hanya itu yang terus terlintas di dalam pikirannya. Merasa terganggu, Nadine kini menatap ke luar jendela yang terlihat jelas di hadapannya.
Matahari sudah mulai meredup, angin malam mulai masuk menyapa tubuhnya. Nadine kembali menghela nafas panjang yang sudah ke sekian kalinya. Ia juga sebenarnya takut akan kembali ke dunia mimpi yang begitu menyeramkan setiap malamnya.
Nadine meraih buku yang sebelumnya ia baca beberapa bab. Membaca buku kini pilihan Nadine untuk merasa mengantuk. Benar saja, beberapa menit membaca tangannya mulai melemas dan buku itu jatuh di dekapannya.
Nadine baru memulai ingin memasuki gerbang mimpi. Badannya seakan melayang bagai angin.
Tok,tok,tok
Ketukan pintu yang terus menerus membuat Nadine kembali terjatuh dan mendelik kesal. Dirinya sungguh ingin istirahat sebentar, apakah itu sulit? Di saat tubuhnya sudah mau melayang kini suara itu membuatnya tersadar.
Nadine bangun karena suara ketukan pintu tidak berhenti-henti. Samar-samar suara dari luar rumah membuat Nadine sangat kesal. Jika sudah tidak di bukakan pintu, itu artinya pemilik rumah sedang istirahat. Apa orang yang ada di luar tidak mengerti? Itulah pikiran Nadine.
Ceklek
Saat pintu terbuka, senyum manis seorang gadis terlihat. Tangannya turun kala akan mengetuk kembali pintu kayu itu. ''Selamat sore kakak, ayo kita makan malam.'' Ajak Zahra dengan senyum yang terus tersungging.
''Aku tidak lapar!'' Ketus Nadine dengan segera hendak menutup pintu dengan keras. Zahra yang berada di luar hanya bisa terdiam lalu turun ke lantai bawah. Gadis itu masih tidak merasa bahwa kehadirannya menganggu Nadine.
Dengan kasar, Nadine kembali merebahkan diri di sofa. Matanya coba ia pejamkan lagi, sangat lama. Tetapi matanya tidak mau tertutup karena kantuk yang telah hilang entah pergi kemana.
''Arghh...'' Kesal Nadine menendang meja kecil di hadapannya. Sungguh menyebalkan, kini ia tidak bisa tertidur karena pengganggu kecil itu. Nadine berdiri menuju kulkas dan mengambil air yang entah sudah sejak kapan ada disana.
Nadine meneguk air itu dengan kasar saking kesalnya. Suara ketukan pintu kembali terdengar, semakin lama semakin berirama cepat. Dengan langkah panjang, Nadine membuka pintu yang kembali terlihat Zahra yang tersenyum.
''Apa lagi!'' Sentak Nadine yang tidak ingin di ganggu, dirinya sama sekali tidak memikirkan orang yang ia sentak.
''Kakak, ayo makan malam. Tadi makanannya belum selesai dan sekarang sudah selesai. Ayo...'' Ajak Zahra tanpa memikirkan ucapan Nadine tadi.
''Aku bilang tidak lap_''
Krukkk
Suara perut Nadine terdengar jelas membuat gadis itu menelan kata yang ingin terucap. Zahra melipat bibirnya tidak ingin melukai Nadine dengan tawanya.
''Ayo kak, kak Xavier harus turun karena memang itu peraturan disini. Peraturan penting yang harus kakak ingat adalah, belum kenal maka kenalan.'' Ucap lucu Zahra yang membuat Nadine tadi yang malu kini ingin tersenyum. Namun egonya tidak membiarkan hal itu.
''Memang sudah tradisi di gedung ini untuk melakukan jamuan makan malam karena ada orang yang pindah, jadi kakak harus keluar atau semua orang yang akan naik kesini dan mengganggumu.'' Jelas Zahra panjang lebar lalu menyeret Nadine tanpa persetujuannya.
Nadine terdiam dengan terus di gandeng dan di seret oleh Zahra yang entah mengoceh apa. Nadine tidak habis pikir, kenapa putri Charlotte sangat menyebalkan seperti ini.
Di lantai bawah, Zahra kembali menarik Nadine menuju sebuah rumah makan yang ada di ujung kanan setelah masuk kedalam gedung. Di sana semua mata menatapnya dengan berbagai arti.
''Ini, aku bawa bintang tamu kita hari ini.'' Ujar Zahra dengan antusias.
''Perkenalan dirimu nak..'' Tanya seorang wanita yang kiranya sudah memiliki anak. Dengan celemek yang menggantung di lehernya. Nadine yang sibuk mengamati setiap orang membuat Zahra sedikit sebal.
Zahra menyenggol pinggang Nadine dengan keras hingga membuat gadis itu mendelik kesal. Zahra tidak kalah kesal menatapnya.
''Xavier,'' Sahut Nadine pendek dengan mata malas. Zahra menepuk dahinya karena sifat kaku Nadine.
''Ini kak Xavier, keponakan dari Bi Nani yang tinggal di lantai dua.'' Jelas Zahra seperti memperkenalkan dirinya sendiri. ''Perkenalkan, ibu Ida pemilik restoran ini.'' Ujar Zahra menunjuk ibu yang bertanya tadi, senyum menyapa darinya terukir jelas namun Nadine hanya menjawab dengan ekspresi datar.
''Lalu ini putranya Aldi.'' Tunjuk Zahra pada anak yang kiranya masih mengemban sekolah SMA kelas 2. Anak itu sungguh tidak punya sopan santun karena sibuk dengan game ponselnya. Pikir Nadine.
''Ini pak Kotim, ini kak Laurinda putri pemilik gedung ini. Kedua ini adalah pasangan suami istri, ibu Lila dan pak Murti.'' Ujar Zahra yang sepertinya lelah bicara, dengan perlahan menarik nafas pelan hendak melanjutkan penjelasannya.
''Zahra....!''
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!