Prang...!
Suara itu terdengar tepat ketika kaki Kayna berhenti di depan pintu. Bukan hanya suara pecahan dari sebuah benda atau barang saja, namun ada suara jeritan Ibunya dari dalam rumah yang membuat kakinya tiba-tiba terasa kaku, Ia tidak bergeming masih berdiri di tempat itu tanpa berniat untuk kembali melangkah setelah apa yang baru saja didengar olehnya.
"Aku tidak mau tahu...! Kamu harus gantikan aku bekerja di sana!"
"Kalau tidak, terpaksa rumah ini aku jual Mita."
Deg
Setelah mendengar kata-kata terakhir dari dalam rumahnya cukup keras seketika membuat jantung Kayna berdetak dengan cepat. Segera ia masuk ke dalam dengan keberanian yang ia dapat tiba-tiba.
Dilihatnya, Ibu Mita atau mama Kayna yang sedang duduk di sofa dengan tangis tanpa suara. Melihat keadaan mamanya yang sudah beberapa kali ini ditekan terus menerus oleh pamannya membuat Kayna merasa ngilu, ia juga tidak terima.
"Apa lagi yang paman inginkan dari kita? Tidak cukup uang tabungan mama paman habiskan untuk bermain judi? untuk foya-foya keluarga kalian? hah?" Kayna mendorong tubuh Pamannya yang tadi berdiri tidak jauh dari mamanya duduk.
Rasanya ia ingin meluapkan kemarahan atas perbuatan Pamannya akhir-akhir ini.
"Kay, kamu tidak tahu saja. Paman begini demi kalian," ujar Pamannya yang langsung mendapat decihan dari Kayna.
Apa kata Pamannya tadi? Berjudi demi ia dan mamanya? Menjual kendaraan mereka satu-satunya untuk kepentingan keluarga Pamannya sendiri masih dibilang demi mereka? Yang benar saja. Pamannya memang harus segera di bawa ke rumah sakit untuk diperiksa kejiawaannya.
"Tindakan paman akan membunuh aku dan mama secara perlahan," matanya cukup tajam menatap Pamannya yang tiba-tiba terdiam tanpa berani lagi untuk menekan mama Mita.
Dengan perasaan yang dongkol Paman Kayna pergi begitu saja setelah Kayna mengatakan hal itu. Entah kejadian seperti ini sudah berlangsung berapa kali, setiap Kayna pulang sekolah selalu mendapati Pamannya yang sedang membujuk atau mengancam mama Mita untuk menjual rumah peninggalan kakek dan nenek mereka.
Tinggal itu satu-satunya harta yang mereka punya. Semua habis karena keserakahan Paman dan juga keluarganya.
"Ma, sekali-kali mama harus berani sama paman," keluh Kayna menatap iba mama Mita.
"Iya sayang, maafin mama," balas mama Mita memeluk anaknya. Tentu saja dengan pikiran jauh ke sana. Ada sesuatu hal yang tidak Kayna ketahui sampai saat ini.
Sementara di lain tempat. Laki-laki dengan perawakan tinggi, wajah tampan yang tidak bisa diragukan lagi juga kekayaan yang ia miliki karena digadang-gadang menjadi ahli waris dari keluarga FCT group itu kini sedang mengalami sedikit kendala dari kedua orang tuanya. Natta berusaha mengabaikan perkataan serius dari kedua orang tuanya. Seakan menganggap sepele, ia pergi begitu saja.
"****," umpatnya saat pintu mobil tidak bisa dibuka olehnya.
Detik berikutnya ia memejamkan matanya saat menyadari sesuatu hal telah terjadi dan itu pasti karena Ayahnya.
"Yah, come on, ini sama sekali nggak lucu," keluh Natta menyadari Ayahnya sudah berada di belakangnya.
Sudut bibir Pak Rian tertarik ke atas. Ia tersenyum culas melihat wajah anaknya saat ini.
"Tapi bagi ayah ini sangat lucu Natta, katakan pilihanmu," ujar beliau dengan angkuhnya.
Angkuh hanya dengam anak semata wayangnya yang sedang mencoba untuk berontak dengan apa yang sudah ditetapkan bahkan sudah menjadi kewajibannya.
"Fine," finalnya membuat Ayahnya tersenyum licik.
Mobil mewah milik Natta terparkir di depan gedung yang menjulang tinggi. Ia terpaksa pergi ke kantor karena paksaan dari Ayahnya.
Melihat kedatangannya, beberapa orang yang berada di kantor langsung memberi salam dengan sopan. Ia juga membalasnya sopan dan ala kadarnya saja.
Sebelum pergi ke ruangan yang sudah dimintai oleh Ayahnya tadi. Natta sempatkan untuk melirik penampilannya lewat kaca yang terdapat di sana. Sudut bibirnya tertarik ke atas melihat penampakan dirinya. Namun ada tanggung jawab besar saat seragam sekolahnya digantikan dengan kemeja yang saat ini dikenakan olehnya.
"Setelah ini, ayah yang harus bermain-main denganku," lirihnya mengukir senyum.
Kedua kaki jenjangnya berayun-ayun lembut di udara. Jemarinya sedikit meremas sedotan yang kini berada digenggamannya. Untuk yang kesekian kalinya. Kayna kembali harus memikirkan nasib dirinya dan mamanya. Tinggal di rumah itu membuatnya tidak nyaman karena perlakuan Pamannya akhir-akhir ini. Meski tidak bermain dengan kasar, namun Kayna yakin Pamannya akan terus mendesak mamanya untuk bekerja atau menjual rumah peninggalan kakek dan neneknya.
"Kay," suara itu membuat kepala Kayna menoleh.
Ia tersenyum tipis lalu kembali menunduk.
"Keputusan aku udah bulat Nes, aku nggak mungkin diem aja liat mama disakiti paman," adunya membuat kapala Nesa mengangguk ngerti.
"Janji ya? sering kasih kabar," ujar Nesa-sahabat Kayna.
Kepalanya mengangguk bersamaan dengan tangannya yang menarik Nesa untuk segera ia peluk. Kedua gadis yang sudah bersahabat sejak kecil itu saling menumpah sayang.
Rencananya. Kayna akan berpindah sekolah juga mencari kontrakan untuk dirinya dan mama Mita. Dengan surat rumah atau apa saja yang menurut mereka penting akan dibawa serta.
Kayna juga berniat untuk mencari pekerjaan sesuai dengan waktu yang ia bisa. Berhubung Kayna sendiri masih sekolah. Ia akan mencari pekerjaan untuk paruh waktu.
"Tapi Kay, kamu beneran nggak mau pamit dulu sama Altha?" tanya Nesa ragu.
Dengan sedikit helaan napas. Kayna menggeleng yakin. Ia tidak akan memberitahu siapapun termasuk Altha sahabat keduanya demi kebaikan dirinya. Karena Altha cukup dekat dengan anak Pamannya. Bisa saja hal yang tidak diinginkan terjadi jika Kayna tidak berhati-hati.
Malam harinya. Kayna juga mama Mita sudah bersiap mengemasi barang-barang yang akan mereka bawa pergi. Keputusan yang sangat berat sebenarnya harus meninggalkan rumah itu. Namun untuk saat ini hanya itu yang mereka bisa lakukan. Bertahan dengan tekanan dari pamannya akan semakin membuat mereka tidak nyaman.
"Ma, ayo!" ajak Kayna melihat mamanya yang masih berdiam diri di depan kamarnya.
"Iya sayang," jawabnya menghampiri Kayna.
Pukul 3 pagi. Kayna dan mamanya sampai di sebuah rumah kontrakan sederhana yang akan mereka tempati mulai saat ini. Rumah yang Kayna sendiri cari lewat sosial media itu ternyata letaknya tidak jauh dengan pusat kota. Keduanya memang memutuskan untuk pindah keluar kota agar tidak mudah ditemukan oleh Pamannya.
"Makasih ya pak," ujar Kayna membayar taksi tumpangan mereka.
"Ayo ma," ajaknya lagi berjalan menuju ke rumah tersebut.
"Kay, maaf ya mama selalu repotin kamu," ujar mama Mita merasa bersalah dengan anaknya.
"Enggak ma, ini emang harus kita lakuin, banyak mimpi yang ingin Kay gapai, dan Kay nggak akan mungkin dapat wujudin itu selama masih berada di sana. Ini sementara kok sampai paman nggak ganggu kita lagi," jelas Kayna mengukir senyumnya.
Sementara Natta. Pemuda tampan yang hidup dengan bergelimang harta itu kini sedang berdiri dengan ceramah dari kedua orang tuanya.
Pulang menjelang pagi selalu Natta lakukan. Semenjak ia diharuskan belajar untuk menjadi penerus Ayahnya justru semakin membuat laki-laki itu bertindak semaunya. Ia masih belum siap harus pergi ke kantor setelah pulang dari sekolah.
"Natta. Ayah akan bertindak tegas kalau kamu masih terus seperti ini!" ujar Ayahnya dengan tegas.
"Ayah juga nggak segan-segan untuk mengusir kamu dari sini!" lanjut beliau tidak membuat hati Natta bergerak sama sekali.
"Ayah cukup. Natta itu anak kita, nakalnya Natta masih wajar Yah," ujar ibunda Natta-Sofi.
"Tidak Nda. Anak ini semakin hari semakin ngelunjak. Harusnya dia tahu tanggung jawabnya sebagai pewaris FCT group!"
Tawa Natta seketika terdengar saat mendengar kalimat akhir dari Ayahnya. Ia semakin menatap Ayahnya tanpa minta sedikitpun. Muak rasanya terus dituntut untuk menjadi seorang yang Ayahnya inginkan.
Meski Natta bisa, bukan berati ia mau, setidaknya tunggu sampai Natta lulus sekolah atau selesai kuliah terlebih dahulu.
"S*ck," ujar Natta melenggang pergi.
"Natta!" teriak bundanya tidak mendapatkan jawaban dari Natta.
"Biarkan nda, anak ini memang harus dikasih pelajaran," tungkas beliau yakin.
Pagi menjelang Kayna sudah siap dengan seragam barunya. Minggu lalu ia memang sudah mendaftar di salah satu sekolah ternama di kota yang ia tempati sekarang ini. Dan kini gadis itu tersenyum tipis menatap pantulan dirinya. Meski ia harus mulai bekerja untuk membantu mama Mita membiayai kehidupan mereka atau membayar sewa rumah yang mereka tempati sekarang. Namun semangat Kayna tetap menggebu. Ada banyak keinginan dari gadis itu.
"Kay, makan nak!" teriak mama Mita dari arah dapur.
"Iya!" balas Kayna mengambil tas yang akan dia bawa.
"Ih anak mama udah cantik aja." Mama Mita memuji penampilan Kayna yang tampak lebih cantik dari biasanya.
"Anak mama kan emang cantik," balasnya tersenyum manis.
Keduanya sarapan bersama dengan waktu yang cukup singkat. Setelahnya Kayna bersiap untuk berangkat sekolah. Dengan harapan kehidupan barunya ini bisa lebih baik dan jauh dari gangguan paman atau pun keluarga lainnya.
"Kay, nanti mama rencananya mau cari kerja, doain mama ya?" ujar mama Mita membuat kepala Kayna menoleh.
Gadis itu mengangguk dengan senyum. "Pasti ma, Kay berangkat ya?" pamitnya.
Hari dimana Kay akan menempuh pendidikan di sekolah baru membuat gadis itu menjadi pusat perhtian beberapa murid lainnya. Wajah yang masih asing juga menarik membuat Kayna menjadi daya tarik sendiri.
Dengan langkah sedang. Gadis itu terus menyusuri setiap lorong untuk menuju ke tempat tujuan sekarang. Ruangan guru ialah tempat tujuannya sebelum tahu dimana letak kelasnya.
Dan di sinilah Kayna sekarang. Di depan kelas bersama dengan seorang guru yang sedang memberitahu adanya dirinya sekarang.
"Silahkan perkenalkan diri," titah guru tersebut diangguki oleh Kayna.
Beberapa langkah maju ke depan. Kayna mulai memperkenalkan dirinya. Ia juga kini duduk di bangku paling ujung bersama seorang gadis dengan badan agak berisi.
"Kayna, aku Olin," sapanya ramah.
Membalas dengan senyum manisnya, Kayna mengangguk sembari mengulurkan tangannya. "Semoga kita bisa berteman ya?" balasnya diangguki oleh Olin.
Selama pelajaran tidak ada kendala sama sekali. Hari ini Kayna juga bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Duduk di halte. Kayna sedang menunggu bis untuk sampai ke tempat tujuan bersama dengan Olin.
Rupanya gadis itu juga bekerja di salah satu kafe tidak begitu jauh dari sekolah. Setelah tahu jika Kayna juga membutuhkan pekerjaan. Olin langsung mengajaknya untuk ikut ke kafe dimana tempatnya bekerja.
"Kay, beneran mau kerja?" tanya Olin memastikan.
"Kenapa memangnya? muka aku kurang meyakinkan?" tanya Kayna mendapat kekehan dari Olin.
"Kayna cantik, tapi sama-sama nelangsa kayak aku," balas Olin membuat Kayna ikut tertawa.
Sampai di kafe. Kini giliran mereka yang jaga kafe. Beberapa pegawai yang sudah berjaga sejak pagi sudah mulai bersiap untuk pulang.
"Siapa Lin?" tanya salah satu pegawai kafe melihat kedatangan Olin bersama dengan Kayna.
"Temen aku kak, dia juga mau ngelamar kerja di sini," beritahu Olin yang hanya mendapat lirikan dari pegawai tersebut.
"Kay, kamu tunggu di sini ya? tunggu bos datang," ujar Olin menyuruh Kayna duduk di pojokan kafe.
"Oh iya Lin," balas Kayna patuh.
Sembari menunggu bos yang dimaksud Olin datang. Kayna melihat-lihat sekeliling kafe. Ternyata cukup ramai juga meski kafe itu tidak terlalu besar. Namun setiap meja di kafe tersebut hampir sepenuhnya di isi oleh pengunjung.
Sampai dimana ia melihat dua pemuda datang yang Kayna yakini salah satu dari mereka pasti bos atau pemilik dari kafe tersebut. Terbukti dari Olin yang tiba-tiba menghampiri Kayna untuk segera berdiri dan mengikutinya.
"Kay, ayo sini!" titah Olin dituruti oleh Kayna.
"Kak Dio!" panggil Olin menarik tangan Kayna.
Benar saja. Salah satu dari mereka langsung menoleh.
"Iya, ada apa?" tanya pemuda yang masih mengenakan seragam SMA, namun sudah menjadi bos di tempat usahanya.
"Ini Kayna kak, teman sekolah saya. Dia juga butuh pekerjaan," ujar Olin yang langsung membuat Dio melirik ke arah Kayna. Beberapa detik ia terdiam sampai akhirnya ia maksud apa yang dikatakan oleh pegawainya tersebut.
"Oh, langsung ke ruangan saya aja ya?" ujar Dio diangguki oleh keduanya.
Selang beberapa lama. Kayna mengetuk pintu ruangan Dio. Ia sudah diberitahu oleh Olin tadi. Namun beberapa ketukan pintu tidak mendapat jawaban dari dalam sana. Tidak sabar menunggu Kayna memutuskan untuk langsung membukanya saja. Dan...
Ceklek
Betapa terkejutnya Kayna melihat salah satu pemuda yang tadi datang bersama dengan Dio sedang bertelanjang dada di ruangan Dio.
Keduanya sama-sama saling menatap dengan rasa terkejut. Baru setelah sadar Kayna langsung berbalik badan dan memejamkan matanya. Namun jantungnya masih berdetak tidak normal, ini untuk yang pertama kalinya dalam hidup Kayna melihat tubuh seorang laki-laki tanpa penutup secara langsung. Yang sialnya, tubuh yang baru saja dilihat olehnya juga sangat sayang dilewatkan, terlalu indah untuk ukuran tubuhnya yang tinggi dan putih bersih.
"Kalau mau masuk ketuk pintu dulu," ujar laki-laki tersebut membuat Kayna menghela napas dalam-dalam.
"Kamu yang ****t," lirihnya.
"Sudah," ujar laki-laki tersebut selesai mengenakan pakaiannya.
"Ada apa?" suara Dio datang menghampiri laki-laki tersebut.
"Kamu yang tadi bukan? masuk saja," perintah Dio melihat adanya Kayna berada di ambang pintu ruangannya.
Dengan sedikit ragu Kayna kembali membalikkan tubuhnya. Tanpa diminta matanya melihat ke arah laki-laki yang tanpa sengaja tadi tubuhnya sudah dilihat olehnya.
Oh.. pegawai juga? Batinnya melihat laki-laki tersebut yang sudah menggunakan seragam kafe.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!