Hamparan ladang hijau yang ditumbuhi bebagai macam sayur-mayur terpampang dihadapanku, hembusan angin yang memudarkan lamunanku. Setelah sekian lama aku pergi ke kota untuk menyembuhkan trauma dalam diriku mengenai desa ini dan kerinduanku akan bapak membuatku kembali lagi menginjakkan kaki di desa kelahiranku, desa Rogojati.
Perkenalkan namaku Candramaya, nama pemberian mendiang kakekku. Aku tinggal disebuah desa kecil yang masih jauh dari kata pembangunan. Desaku dikelilingi hutan yang sangat rimbun meskipun desa kecil namun desaku terbilang cukup makmur karena profesi warga desa ditempatku tinggal adalah petani jadi kami tidak pernah kekurangan bahan pangan. Uang??? Didesa ini uang merupakan barang langka, warga desa masih banyak yang menggunakan system barter untuk mendapatkan suatu barang.
Rogojati adalah nama desaku, desa yang menjadi tanah kelahiranku dan menjadi tempatku hidup hingga sekarang. Aku anak tunggal, yang dimiliki bapak dan ibukku. Dibalik desaku yang subur dan makmur ada seorang pemimpin yang terkenal akan kekejaman dan kebengisannya. Dia adalah Rogopati.
“Pak, makan dulu pak ini Maya bawain sayur lodeh sama tempe goreng” Teiakku pada lelaki paruh baya yang sedang sibuk diladang. Dia adalah bapakku pak Mahdi. Ladang yang digarap ayahku masih milik keluargaku, bapakku tidak pernah mau menjual ladang peninggalan kakekku kepada Tuan Rogo meski ia berkali-kali memaksa bapak untuk menjualnya.
“Sebentar lagi bapak selesai, kamu siapkan dulu jangan lupa berikan sebagian bekalnya kepada Toha dan bu Rumini”
“Iya pak” Bapak memang selalu memintaku memberikan bekal yang aku kirimkan kepada bu Rumini dan anaknya yang bernama Toha. Bapak bilang meskipun kita tak memiliki banyak setidaknya kita masih bisa berbagi dengan tonggo teparo (tetangga sekitar). Setelah selesai menyiapkan makanan untuk bapak, aku pamit untuk pergi ke lading tempat bu Rumini bekerja.
“Bapak, makanannya sudah Maya siapin segera dimakan ya pak mumpung sayurnya masih hangat. Maya pamit ngantar nasi buat bu Rumini dan Toha dulu” Pamitku pada bapak yang masih sibuk membersihkan ladang
“jalanannya hati-hati, jangan lari” Teriak bapak yang sekedar memperingatkanku.
Ladang tempat bu Rumini hanya berjarak 200 meter dari ladang milik bapak.
“Assalammualaikum”
“Waalaikumsallam, eh Maya ada apa?”
“Ini bu, Maya mau ngantar makan siang buat ibu dan Toha tadi kebetulan ibu masak banyak”
“Ya allah, jadi merepotkan nak Maya. Terimakasih banyak nak”
“Gak repot kok bu, lagipula mubadzir kalua tidak dimakan nanti nasinya menangis”
“Kamu ini bisa saja”
“Ngomong-ngomong dari tadi Maya tidak melihat Toha bu?”
“Ohhh Toha lagi diminta kerja di rumah Tuan Rogo”
“Oh begitu bu, syukurlah” Aku sedikit lega mendengar Toha yang mendapatkan pekerjaan sehingga bisa menambah penghasilan keluarganya. Namun berbeda dengan bu Rumi raut wajahnya terlihat sedih dan hampir menitihkan air mata. Aku jadi menyesal atas pertanyaanku tadi, tak ingin membuat bu Rumi semakin sedih akupun ijin pamit untuk kembali ke ladang bapak.
“Maya, kenapa lama sekali?”
“Loh sayur lodeh sama tempe gorenya kemana pak?” Tanyaku yang keheranan melihat piring-piring yang tadinya penuh sudah bersih tak tersisa.
“Bapak habiskan ya!!!!” Bapak tertawa melihat wajahku yang cemburut karena ulahnya.
“Pak, apa bapak tau kalua Toha bekerja dirumah Tuan Rogo?”
“Oh ya,bapak malah baru tahu. Baguslah kalua begitu jadi ada penghasilan tambahan untuk Toha dan bu Rumi”
“Tapi pak, tadi waktu Maya tanya soal Toha tiba-tiba saja wajah bu Rumi terlihat sedih”
“Mungkin saja bu Rumi belum tega jika anaknya sudah harus bekerja” Benar ucapan bapak mungkin saja bu Rumi merasa jika Toha belum waktunya untuk bekerja.
Aku membereskan peralatan bekas bapak makan dan membawanya kembali kerumah untuk di cuci. Disepanjang perjalanan pulang, aku sempat menyapa beberapa warga yang sedang bekerja di ladang milik Tuan Rogo. Warga di desaku memang ramah-ramah, itulah yang membuatku enggan meninggalkan desa ini meskipun bapak beberapa kali menawarkanku untuk bekerja ikut temannya yang ada dikota. Selain aku sudah nyaman dengan kehidupanku di desa, aku juga tidak tega jika harus meninggalkan bapak dan ibu.
“Toha…Toha” Teriakku memanggil bocah laki-laki seusiaku yang berjalan tertatih seperti sedang menahan sakit.
“Toha kamu kenapa?” Aku kaget saat melihat luka lebam di sekujur tubuh Toha.
“Aku tidak apa-apa Maya, aku tidak sengaja terjatuh saat sedang bekerja dirumah Tuan Rogo” Aku tau jika Toha sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Aku pun tak ingin bertanya lebih kepada Toha soal luka ditubuhnya.
“Toha, apa kamu sudah makan?” Aku mengambil nasi yang tadi kubungkus dan satu buah tempe goreng.
Toha menggeleng,
Aku memberikan bungkusan nasi itu kepada Toha dan mengajaknya duduk di pos kamling.
“Terimakasih ya Maya”
“Kenapa tidak dimakan nasinya? Maaf cuma sisa satu tempe goreng saja , sayur lodehnya sudah dihabisin sama bapak” ucapku yang merasa tidak enak
“Enggak Maya nasi ini sudah lebih dari cukup, tapi aku akan memberikannya pada ibu” Aku terharu mendengar ucapan Toha, aku tak menyangka jika Toha seperhatian itu kepada ibunya. Memang sudah sepatutnya jika Toha bersikap seperti itu karena hanya bu Rumi yang ia punya. Kabar yang ku dengar ayah Toha meninggal ditangan pak Rogo.
“Makan saja Toha, tadi aku sudah mengantar nasi lengkap dengan sayur lodeh dan tempe goreng pada bu Rumi”
“Benarkah Maya?” Mendengar ucapanku mata Toha berkaca-kaca, dan segera membuka bungkus nasi pemberianku.
“Toha, mampir sebentar kerumahku” Ajakku pada Toha yang masih mengunyah makanannya
“Ada apa?”
“Memangnya kamu akan pulang dengan luka seperti ini? Nanti bu Rumi sedih lho”
Aku dan Toha berjalan menuju rumahku, namun baru sampai di persimpangan jalan kerumahku anak buah pak Rogo menghadang kami.
“Ada apa ini?” Tangan berotot anak buah Tuan Rogo mencengkeram baju belakang Toha dan menyeret tubuhnya. Aku mencoba menarik lengan Toha namun anak buah Tuan Rogo yang satunya menahanku dan mendorong tubuhku hingga tersungkur ke tanah. Sungguh bengis dan kejam mereka memperlakukan anak sekecil Toha dengan sekasar itu.
“Maya, sampaikan ke ibuku aku pulang larut malam” Teriak Toha yang mulai menjauh dari pandanganku.
Aku memutar arah jalanku menuju rumah Toha dan menyampaikan apa yang Toha katakana padaku. Seolah sudah tahu, bu Rumi tak merespon apapun yang aku katakana hanya wajahnya yang terlihat muram dan khawatir.
“Assalammualaikum”
“Waalaikumsalam, Maya kok baru pulang? Itu kenapa kakinya memar begitu”
“Hehe Maya tadi jatuh bu” jawabku pada ibu yang mencoba menutupi apa yang sebenarnya terjadi padaku dan Toha.
“Kamu ini kebiasaan pasti lari-larian kan? Yasudah sana mandi nanti ibu obati lukanya”
Selesai mandi aku merebahkan tubuhku diatas kasur kapuk yang setiap hari menjadi alas tidurku. Tak kusangka luka dilututku sedikit terasa senut-senut, melihat luka dilututku aku jadi teringat dengan luka disekujur tubuh Toha bagaimana anak sekecil Toha bisa menahan sakit sebanyak itu.
“Candramaya, apa kau sudah tidur?”
“Belum bu” Ibu membawakanku perlengkapan P3K
“Bagaimana lukamu?”
“Terasa nyeri bu” Ibu mencoba memeriksa luka yang ada dilututku yang mulai membiru, rupanya luka itu cukup parah sehingga menimbulkan lebam dan ranya nyeri. Ibu meneteskan obat merah dilukaku dan memberikan bobokan diarea yang lebam. Namanya orang jawa kami masih menggunakan rempah-rempah yang ada untuk jamu, obat turun panas atau obat yang ibu gunakan untuk meredakan lebam dikakiku.
“Bu, boleh kan kotak obatnya ditinggal disini saja?”
“Memangnya untuk apa?”
“Untuk berjaga-jaga saja bu, nanti kalua sudah sembuh Maya kembalikan lagi sama ibu”
“Yasudah ibu letakkan dimejamu”
“Terimakasih bu”
Keesokan harinya aku menunggu Toha di pos kamling tempat kemarin kami bertemu, namun sampai menjelang sore Toha tak juga terlihat. Rasa khawatirku membuatku berinisiatif untuk mendatangi rumahnya.
“Assalammualaikum, bu.. Bu Rumi” Aku mengetuk pintu rumah bu Rumi berkali-kali namun taka da seseorangpun yang membukakan pintu.
“Maya, kamu ngapain dirumah bu Rumi?” Tanya bu Arum yang baru pulang dari ladang, kebetulan rumah bu Arum hanya berjarak dua rumah dari rumah bu Rumini.
“Ini bu, Maya nyariin Toha dan bu Rumi tapi dari tadi gak ada yang bukain pintu? Bu Arum tau mereka kemana?”
Raut wajah bu Arum berubah gelisah dan beliau segera menghampiriku, dan menceritakan apa yang menimpa Toha dan Bu Rumini. Rupanya kemarin setelah aku pulang dari rumah bu Rumini, anak buah Tuan Rogo datang dan menyeret paksa bu Rumini. Mendengar cerita bu Arum, rasa khawatirku semakin menjadi. Aku kembali kerumah dan menceritakan semua yang menimpa bu Rumini dan Toha kepada bapak dan ibu.
“Maya, sebaiknya kita tidak usah terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. Kita ini hanya orang kecil Maya”
“Tapi pak kalau terjadi sesuatu dengan bu Rumini dan Toha bagaimana?”
“Maya, ibu tau nak kamu mengkhawatirkan mereka tapi ibu gak mau sampai kamu kenapa-kenapa”
Sepertinya bapak dan ibu tidak ingin keluarga kami terlibat dengan Tuan Rogo. Tuan Rogo tidak mengusik keluargaku karena dulu kakek adalah salah satu orang yang berjasa dikeluarga Tuan Rogo, itu sebabnya ia masih menghargai keluargaku karena jasa-jasa kakekku terhadap keluarganya.
Tapi aku tidak akan tinggal diam dan membiarkan Toha dan bu Rumi menderita. Pasti sekarang Tuan Rogo sedang menyiksa bu Rumi dan Toha. Apa yang harus aku lakukan untuk menyelamatkan Toha dan bu Rumi.
“Ampun Tuan, tolong jangan pukul ibu saya Tuan, lepaskan ibu saya Tuan saya mohon” Toha berlutut dikaki Tuan Rogo
“Cetarrrr.. cetar.. ini adalah hukuman yang pantas untuk orang miskin seperti kalian” Suara cambuk yang di pukulkan di tubuh bu Rumi, dengan keji dan tanpa ampun Tuan Rogo memukulkan cambuknya ke tubuh bu Rumi yang sudah penuh dengan luka memar, serta darah yang terus mengalir dari mulut dan hidung bu Rumi.
“Tolong Tuan hentikan, jangan bunuh ibu saya Tuan saya mohon Tuan lepaskan ibu saya”
“Duk..Singkirkan tangan kotormu dari kakiku” Tendangan kaki Tuan Rogo menghempaskan tubuh Toha tersungkur ke tanah. Bu Rumi dengan sisa tenaganya merangkah mehampiri tubuh anaknya.
“Toha, Toha bangun nak jangan tinggalkan ibu nak” Tangisan bu Rumi pecah saat melihat Toha tak sadarkan diri, darah mengalir dari pelipis kananya.
“Dasar manusia tak berguna..cuih”
Bu Rumi mencoba menahan darah yang mengalir dari pelipis Toha dengan merobek jariknya dan melilitkan di kepala Toha. Tepat tengah malam Toha baru sadarkan diri.
“Bu, ibu..”
“Nak, akhirnya kamu sadar juga”
“Ibu gak apa-apa?”
“Ibu gak apa-apa nak, Toha dengarkan ibu, kamu harus pergi dari sini nak”
“Tidak bu , Toha tidak akan meninggalkan ibu sendiri disini”
“Dengarkan ibu nak, kamu harus tetap hidup Toha untuk membalaskan dendam bapak dan ibu kepada keparat itu”
“Tapi bu..”
“Balaskan dendam ibu dan bapakmu nak”
Bu Rumi mengalihkan perhatian para anak buah Tuan Rogo, saat ada kesempatan Toha mengendap-endap keluar dari tempat itu.
“Mau mati kau”
“Bunuh saja aku, aku tidak takut suatu saat nanti kalian akan merasakan apa yang telah kalian lakukan pada keluargaku”
“Cuihhhh, bisa apa kau” Anak buah Tuan Rogo menjabak rambut bu Rumi dan menamparnya berkali-kali.
“Ada apa ini, berisik sekali”
“Ini tuan, sudah berani ngelawan katanya mau balas dendam kepada Tuan”
“Berani sekali kamu,hahhhh harusnya kuhabisi nyawamu dari kemarin”
Tuan Rogo mengambil parang, menjambak kepala bu Rumi dan menebaskan parangnya hingga kepala bu Rumi terpisah dari tubuhnya.
“Hahahahahahahaha” Tawa puas terdengar dari Tuan Rogo dan anak buahnya
Toha yang melihatnya dari celah kayu rumah Tuan Rogo, mengepalkan tangannya air mata yang sedari tadi tak henti-hentinya mengalir diusapnya, ia berjanji akan menepati permintaan ibunya yang terakhir, membalaskan dendam kedua orangtuanya.
“Tunggu, dimana bocah tengik itu? Dasar bodoh kalian menjaga dua bandot saja tidak becus cepat cari atau kepala kalian sebagai gantinya”
“Baik Tuan” Melihat Tuan Rogo menyadari bahwa dirinya tidak ada Toha dengan sekuat tenaga berlari hinga kedalam hutan.
“Itu dia” Teriak salah satu anak buah Tuan Rogo, Toha yang panic tidak sempat melihat kearah jalan yang ia lalui dan tubuhnya terperosok kedalam jurang.
“Hahaha, mampus kau menyusahkan saja”
Masih pagi sekali bunyi kentongan dipukul, yang menandakan ada orang meninggal. Aku, ibu dan bapak yang tengah menikmati sarapan bertanya-tanya siapa yang meninggal. Degg …Tiba-tiba saja perasaanku tidak enak aku teringat akan bu Rumini dan Toha.
“Pak, siapa yang meninggal?”
“Bapak juga tidak tahu bu, setahu bapak tidak ada warga yang sakit”
“Namanya juga takdir pak”
“Ya sudah kalua begitu bapak keluar dulu ya bu untuk memastikan dan sekaligus membantu pemakaman”
“Maya ikut pak”
“Kamu dirumah saja, tuh bantu ibumu cuci piring”
“Tapi maya pengen ikut pak” Rengekku pada bapak, yang setelahnya disusul bunyi ketukan pintu
“Tok..tok..tok assalammualaikum pak Mahdi”
“Waalaikumsallam, ada apa pak Bahar?”
“Apa pak Mahdi sudah tau jika ada warga yang meninggal?”
“Iya pak, tadi saya mendengar suara kentongannya ini saya kesana”
“Memangnya siapa pak yang meninggal?” Tanyaku penasaran
“Kalau dari desas-desus warga sih katanya bu Rumini yang meninggal, sekarang jenazahnya ada di balai desa”
Jantungku seperti berhenti berdetak, apa yang kutakutkan terjadi. Tanpa pikir panjang aku segera berlari kebalai desa, tak ku hiraukan kakiku yang masih terasa nyeri.
“Maya” Teriak bapak memanggilku, tapi tak sedikitpun aku menoleh dan berniat kembali ke rumah.
Aku menerobos kerumunan warga yang mengelilingi jenazah bu Rumi yang tertutup kain putih. Dengan tangan gemetar aku memberanikan diriku untuk membuka penutup kain itu. Mengerikan, apa yang aku lihat sangat-sangat mengerikan kepala bu Rumi putus dan disekujur tubuhnya penuh dengan luka memar. Pandanganku kabur dan kesadaranku mulai menghilang, mengapa ada manusia yang disebut Tuan Rogo yang sejatinya apa yang ia perbuat buakan lagi perbuatan manusia tapi lebih tepatnya iblis.
“Maya, kamu gak apa-apa?”
“Ibuk, kenapa Maya ada dirumah?”
“Kamu tadi pingsan, bapak yang bawa kamu pulang. Lagian kamu ngapain melihat jenazah bu Rumi? Ini tehnya diminum mumpung masih hangat”
Mendengar jenazah bu Rumi membuat ingatanku akan jenazah bu Rumi teringat kembali.
“Sudah jangan diingat-ingat doakan bu Rumi semoga tenang di sisi-Nya” Aku teringat Toha, tadi dibalai desa aku tidak menemukan keberadaan Toha. Bagaimana dengan Toha? Apa yang terjadi dengan Toha? Apa Toha baik-baik saja atau Toha juga bernasib sama dengan bu Rumi?.
“Kamu memikirkan apa Maya?”
“Toha bu, bagaimana dengan Toha?”
“Kalau kata bapak tadi keberadaan Toha belum ada yang tau, bisa saja Toha masih dirumah Tuan Rogo tapi gak ada yang tau pastinya”
“Maya harus cari Toha , buk”
“Maya, kamu tidak usah terlalu bertindak terlalu jauh nak. Karena kapanpun Tuan Rogo bisa melukai keluarga kita. Lebih baik kita tidak usah ikut campur urusannya kalua kita tidak ingin bernasib sama dengan bu Rumi dan Toha” Benar juga kata ibu, aku tidak berani mengambil resiko yang nantinya akan merugikan aku dan keluargaku, Toha semoga kau baik-baik saja”.
Berbulan-bulan setelah kematian bu Rumi yang menggemparkan desaku, keberadaan mengenai Toha juga belum ada satu warga pun yang tahu. Ada yang bilang bahwa Toha sudah mati dan jasadnya dibuang dan ada juga yang bilang bahwa Toha dikurung dirumah Tuan Rogo.
Tahun berlalu kini usiaku sudah dua puluh tahun, seperti biasa aku pergi keladang untuk mengirim bekal makan siang bapak.
“Bapak, makan dulu ini Maya bawakan sayur lodeh dan gereh petek” Teriakku pada bapak yang masih sibuk di ladang.
“Siapin dulu sebentar lagi bapak selesai” Aku segera menyiapkan nasi keatas piring lengkap dengan sayur lodeh dan gereh petek kesukaan bapak dan menuangkan segelas air untuk minum bapak.
“Pak itu kok yang disebelah sayurannya pada mati?”
“Iya Maya, sepertinya desa kita sedang disambangi paceklik.Banyak ladang yang gagal panen, beruntung tumbuhan diladang kita masih dapat bertahan ya walaupun tidak sebagus tahun lalu setidaknya masih bisa dipanen”
“Alhamdullah ya pak” Saat aku dan bapak sedang menikmati makan siang yang aku bawa di gubug yang bapak buat untuk berteduh tiba-tiba saja Tuan Rogo dan anak buahnya datang menghampiri kami.
“Pak Mahdi”
“Iya Tuan, ada apa?”
“Rupanya ladang pak Mahditidak gagal panen seperti ladang-ladang milikku”
“Alhamdullah Tuan”
“Begung, keluarkan” Tuan Rogo memberikan tiga gepok uang kepada bapak
“Ini maksudnya apa, Tuan?”
“Kurang? Tambah lagi Begung”
“Cukup, cukup Tuan. Tapi mohon maaf saya tidak berniat untuk menjual ladang milik saya, ini ladang satu-satunya yang saya punya Tuan”
“Mahdi..Mahdi kamu bisa bekerja dengan saya, saya akan kasih upah kamu lebih dari buruh yang lain”
“Maaf Tuan, tapi saya tidak akan pernah menjual ladang ini kepada siapapun”
“Berani sekali kamu menolakku, selama ini aku masih menghargaimu karena jasa kakek tua itu tapi kali ini kesabaranku sudah habis, Begung, Jajang habisi dia”
“Siap Tuan”
Kedua anak buah Tuan Rogo menyeret bapak dan memukuli bapak .
“Bapak..” Aku berlari mencoba menolong bapak namun Tuang Rogo mencengkeram tanganku dengan kuat.
“Lepaskan aku, Bapak.. jangan sakiti bapak, lepaskan” Semua orang yang ada diladang hanya bisa menonton kami tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku terus berteriak dan meronta, namun cengkeraman Tuan Rogo semakin erat mencengkeram tanganku.
“Lepaskan mereka” Suara berat dari seorang laki-laki yang kepalanya terikat kain jarik yang sudah lusuh membuat anak buah Tuan Rogo menghentikan aktivitas mereka. Dengan kesempatan itu aku menggigit tangan Tuan Rogo dan berlari kearah bapak.
“Akhhhhh, gadis sialan” Teriak Tuan Rogo kesakitan karena gigitanku
“Hehhh bocah,siapa kau beraninya kamu melawan Rogo ”
“Tak penting siapa diriku yang jelas ini akhir dari kekuasaanmu Rogo”
“Lancang sekali kau, menyebut namaku. Begung Jajang habisi nyawanya dan berikan kepalanya padaku”
“Baik Tuan” Kedua anak buah Tuan Rogo berlari kearah pemuda itu, namun belum sampai mereka menyentuh tubuh pemuda itu kedua anak buah Tuan Rogo terhempas ke tanah.
“Hahaha..haha, Rupanya kau bukan orang sembarangan. Akhirnya aku mendapatkan lawan yang tidak lemah seperti bandot-bandot itu”
Tuan Rogo mengeluarkan keris yang selalu ia bawa, keris itu membuat kilatan petir disiang bolong.
“Hadapi keris Rogotnyowoku jika kau mampu menghadapinya”
Tiba-tiba langit berubah menjadi gelap, dan ribuan demit berbagai rupa muncul dibelakang pemuda itu seoalah siap menerima perintah.
“Demit alas tuo, bocah edan” Melihat hal itu Tuan Rogo terlihat gentar dan wajahnya berubah menjadi pucat pasi.
“Kali ini aku tidak akan melawanmu, tapi kupastikan kau akan mati ditanganku” Ucap Tuan Rogo yang mundur dari medan pertempuran.
Seketika langit cerah kembali dan sosok demit-demit itu satu persatu menghilang diikuti perginya pemuda itu. Aku menatap punggung pemuda itu yang mulai menjauh dari pandanganku, seperti aku mengenal punggung itu.
“Bangun, pak” Aku membantu bapak untuk kembali kerumah.
“Ibu..bu”
“Astagfirullah, apa yang terjadi sama bapak Maya kenapa bapak bisa babak belur begini?” Tanya ibu yang panic melihat kondisi bapak
“Nanti Maya ceritain bu, bantu Maya bawa bapak masuk dulu”
Setelah selesai mengobati bapak aku menceritakan semua yang terjadi denganku dan bapak diladang tadi juga soal pemuda misterius yang membantu kami.
“Apa kamu sama sekali tidak mengenal wajah pemuda itu?”
“Tidak bu, tapi saat melihat punggung dan cara berjalannya maya teringat seseorang yang Maya kenal, tapi siapa itu Maya masih belum ingat”.
“Yasudah jangan dipikirkan lebih baik kamu beristirahat”
“Iya bu”
Kondisi bapak berangsur membaik, selama bapak sakit aku yang menggantikan bapak untuk keladang, sekedar membersihkan ladang dan memanen sayuran yang sudah layak dipanen. Saat kembali kerumah aku melihat Tuan Rogo dan anak buahnya berada dirumahku.
“Ibu..bapak..”Aku berlari menuju rumah , tapi aku terlambat bapak tidak tertolong, tangisku dan ibu pecah meratapi kepergian bapak. Dipemakaman bapak aku melihat pemuda itu dari jauh memandang kearahku. Tatapannya sangat tajam seolah menyimpan dendam.
Setelah kepergian bapak aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini. Bagaimana caraku dan ibu bertahan hidup, selama ini tumpuan hidup kami berdua adalah bapak.
Udara malam ini sangat terasa berbeda, angina yang berhembus begitu dingin dan langit begitu gelap serta suasana desa ini terasa begitu sunyi. Atau ini hanya perasaanku saja yang masih terbawa suasana atas kepergian bapak. Aku melangkah menutup jendela rumah untuk mengurangi hembusan angin yang masuk. Lagi-lagi aku melihat pemuda itu berdiri didepan rumahku, menatap kosong kearah rumahku.
Keesokan harinya, bunyi kentongan kembali terdengar. Aku keluar rumah mencoba mencaritahu siapa yang meninggal.
“Pak..pak Bahar tunggu”
“Iya mbak Maya ada apa?”
“Siapa pak yang meninggal?”
“Keluarga Tuan Rogo mbak, yasudah saya kesana dulu ya mbak”
“Iya pak terimakasih”
“Bu..ibu Maya ijin pergi sebentar ya”
“Kamu mau kemana Maya?”
“Kerumah Tuan Rogo bu, ada keluarganya yang meninggal”
“Jangan Maya”
“Gak apa-apa bu, Maya cuma mau berbelasungkawa saja ibu gak usah khawatir Maya gak lama kok”
“Yasudah kamu hati-hati ya”
“Maya pamit ya bu”
Dirumah tuan Rogo sudah banyak orang yang datang, aku mencari celah untuk melihat siapa keluarga Tuan Rogo yang meninggal. Rupanya istri dan keempat anak Tuan Rogo meninggal dengan mengenaskan tubuhnya seperti dicabik-cabik makhluk buas.
“Keparat kau bocah asu, KELUAR KAU!!!!!” Seorang pemuda berjalan dengan tenang
“Aku disini rogo” ucap pemuda itu
“Kau yang sudah membunuh istri dan anakku”
“Iya Rogo, kau benar memang aku yang membunuh mereka” ucap pemuda itu dengan tenang
“Siapa kau sebenarnya, mengapa kau lakukan ini semua”
“Harusnya kau mengenali luka ini Rogo” Pemuda itu melepas pengikat kain jarik dari kepalanya. Terpampang bekas luka dipelipis kanannya
“Keparat…anak Rumini!!!!” Tuan Rogo mengepalkan kedua tangannya, mukanya dipenuhi amarah
“Aku Toha anak yang kau bunuh kedua orangtuanya dengan keji, aku datang untuk memenuhi janjiku pada almarhum ibuku, yaitu membunuhmu dan seluruh keturanmu”
“Lancang sekali” Tuan Rogo mengeluarkan keris Rogotnyowo miliknya, kilatan petir menyambar di langit diikuti gelapnya langit yang memunculkan ribuan demit dibelakang Toha. Rupanya kali ini Tuan Rogo sudah menyiapkan dirinya jika hal ini akan terjadi. Wajah Tuan Rogo tak sedikitpun terlihat gentar seperti waktu itu.
Terjadi pertarungan yang sangat sengit antara Toha dan Tuan Rogo, bagaimana dengan semua anak buah Tuan Rogo? Mereka hanya menjadi mainan bagi pada demit dan dengan mudahnya para demit menghabisi nyawa anak buah Tuan Rogo. Tuan Rogo kuwalahan menghadapi Toha, bahkan dukun yang selama ini dipercaya Tuan Rogo mati dengan mudahnya ditangan Toha.
Dikondisi yang terdesak, Tuan Rogo menghampiriku meletakkan kerisnya tepat di llherku,dan menjadikanku pancingan untuk membuat Toha mundur. Namun Toha tak gentar dengan ancaman Tuan Rogo. Kedua mata Toha menghitam, seolah tubuhnya sudah bersatu dengan demit-demit yang mengikutinya.
Aku mencoba membaca situasi, saat Tuan Rogo lengah aku menggigit lengannya seperti waktu itu, walaupun ujung kerisnya berhasil merobek lenganku.
Toha segera menyerang tubuh Tuan Rogo, dan mencabik-cabik tubuhnya tanpa ampun begitu juga dengan demit-demit itu. Yang menikmati setiap teriakan Tuan Rogo yang kesakitan.
Aku memang menginginkan Toha teman kecilku kembali namun tidak dengan ilmu hitamnya. Toha mengakui semua kesalahannya memilih jalur hitam padaku, semua ia lakukan karena dendamnya yang mebuat dirinya sehitam ini hingga ia melakukan perjanjian dengan demit alas tuo untuk mendapatkan ilmu hitam dan kekuatan untuk membalaskan dendamnya kepada Tuan Rogo dan seluruh keturunanya.
Sejak saat itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan Toha, itu adalah terakhir kali aku bertemu dengannya. Informasi yang aku dapat Toha mengasingkan dirinya dan kembali ke alas tuo.
Aku dan ibu memutuskan pindah ke kota, berbekal alamat yang pernah bapak berikan aku dan ibu mendatangi rumah teman kecil bapak yang tinggal di kota. Rupanya bapak telah menitipkan kami berdua kepada beliau jika sesuatu terjadi pada bapak. Sebuah kota yang jauh berbeda dengan desa kelahiranku. Mungkin nanti akan ku ceritakan mengenai kota ini,karena setiap tempat menyimpan sisi gelap yang kadang kala menarik untuk diceritakan. Tapi nanti ya, karena sekarang aku dan ibu masih sibuk dengan warung yang baru kurintis bersama ibu dengan sisa uang yang kami miliki.
Enam bulan setelah aku dan ibu membuka usaha warung kami, penghasilan yang kami dapat sangat lumayan. Kami bisa menutup kebutuhan sehari-hari dan menyisakan sebagian untuk kami tabung, untuk berjaga-jaga saat ada sesuatu hal yang mendesak soal financial kami tidak terlalu pusing akan hal itu. Tapi semua berubah saat yang terdekat menjadi alasan usaha warung milik ibu bangkrut.
Setelah kepergian bapak, aku dan ibu memutuskan untuk pindah ke kota menemui teman kecil bapak yang bernama Pak Zamroni tapi aku sering memanggil beliau dengan sebutan paklek, karena usia beliau lebih muda satu tahun dari usia bapak.
Awal kedatangan kami paklek Roni meminta kami untuk tinggal bersamanya dan keluarganya. Paklek Roni memiliki tiga orang anak, anak pertamanya bernama Lita usianya sama denganku hanya bulan kelahiran kami yang berbeda. Sedangkan anak kedua dan ketiga paklek, usianya baru lima tahun mereka kembar dampit (kembar cowok-cewek) namanya Arad an Ari.
Tapi aku dan ibu menolak untuk tinggal bersama paklek karena tidak mau merepotkan keluarga paklek. Sebisa mungkin aku tidak ingin menambah beban keluarga paklek walaupun bisa dibilang paklek adalah orang berada waktu jaman itu.
Paklek pun mengerti dan menerima keputusan kami, akhirnya paklek memberikan kunci rumah lamanya kepada kami. Walaupun rumahnya terbilang sederhana tapi setidaknya aku dan ibu punya tempat untuk beristirahat dan yang paling penting kami tidak harus mengeluarkan biaya untuk menyewa rumah ini.
Hari itu juga aku dan ibu membersihkan rumah paklek yang ternyata sudah lama sekali tidak ditempati,sawang (sarang laba-laba) dan debu membuat aku dan ibu harus ekstra kerja keras untuk membersihkannya.
“Maya, kamu kalua capek istirahat duluan saja biar ibu yang ngelanjutin”
“ini sudah mau selesai kok bu”
“Kamu jangan capek-capek ya, ibu mau kedapur dulu mau ngecek barang-barang didapur yang sekiranya masih bisa kita gunakan” Aku mengangguk.
Lampu rumah ini menggunakan lampu yang berwarna kuning, sehingga pencahayaannya masih sangat kurang. Setidaknya masih ada listrik, tidak seperti rumahku di desa yang masih menggunakan lampu sentir (lampu minyak). Dapurnya pun masih menggunakan tungku, intinya rumah ini hampir sama dengan rumahku di desa.
Karena hanya ada satu kamar jadi aku dan ibu tidur dalam satu dipan, untung saja dipannya cukup besar sehingga cukup untuk kami berdua. Karena rasa kantuk mulai menyerangku dan tubuhku yang mulai merasa lelah aku memutuskan untuk tidur lebih dulu.
Udara di sini sangat berbeda dengan didesa ku, saat pintu rumah ku buka bukan lagi pemandangan hijau yang kulihat melainkan orang-orang yang berlalu lalang. Sesekali aku melemparkan senyuman kea rah mereka yang lewat di depan rumahku. Rata-rata mereka menggunakan seragam yang sama, ya mereka adalah para pekerja pabrik kayu yang berada tidak jauh dari rumahku.
“Bu” Sapa ku mencoba beramah tamah dengan tetangga
“Mbaknya ini siapa ya? Kok aku baru liat?”
“Iya bu saya dan ibu saya baru pindah kesini” ucapku sesopan mungkin
“Ohhh.. sodaranya pak Roni?”
“Siapa Maya?” Tanya ibu dari dalam rumah sembari berjalan kearahku
“Saya Bu Warsi, itu rumah saya disebelah”
“Saya Santi dan ini Maya anak saya bu”
“Yasudah bu kalua begitu, kapan-kapan mampir kerumah saya kebetulan saya punya warung nasi soto”
“Iya bu terimakasih”
“Kalau ada apa-apa jangan sungkan bu, datang kerumah saya”
“Iya bu terimakasih banyak, kami mohon ijin merepotkan ya bu”
“Ahhh ndak merepotkan bu, saya senang karena rumah ini gak lagi sepi, ya sudah bu saya pamit dulu”
“iya bu monggo”
“Heh maya, kamu kenapa melamun?”
“Enggak bu,Maya cuma lagi mikir aja gimana kalau kita buka warung saja bu kayak bu Warsi, masakan ibu kan enak”
“Ah kamu ini ada-ada saja”
“Ayolah bu, nanti Maya yang bantu itu masak Maya bisa kok”
“Udah-udah sekarang kita sarapan dulu, ibu udah masak buat kamu”
“Serius???”
“Wahhh, sayur lodeh tempe goreng. Emmm Maya jadi kangen bapak, pasti bapak selalu nambah kalau ibu masakin sayur lodeh”
“Bapak sudah bahagia nak”
“Iya bu, ngomong-ngomong ibu dapat semua ini dari mana?”
“Kita gak perlu jauh-jauh ke ladang Maya, tukang sayur setiap pagi keliling”
“Emmm gitu, enak ya bu disini apa-apa datang sendiri”
Aku dan ibu mulai memikirkan usulanku tadi pagi, karena hanya itu keahlian yang kami punya. Dan rumah kami strategis untuk dibuat usaha warung.
“Tapi Maya bagaimanapun juga kita harus meminta ijin terlebih dahulu dengan bu Warsi. Kita kan orang baru disini dan bu Warsi sudah memiliki warung lebih dulu, ibu gak mau nantinya malah membuat bu Warsi merasa tersaingi”
Benar juga apa yang ibu katakana, dimanapun kita berada kita harus menomorsatukan yang namanya unggah-ungguh.
Besoknya aku dan ibu berkunjung kerumah bu Warsi dan menyampaikan niat kami untuk membuka warung di depan rumah kami.
“Assallammualaikum”
“Waalaikumsallam, ehh bu Santi Maya mari masuk”
“Terimakasih bu”
“Ada apa kok datangnya malam-malam begini?”
“Kami gak enak buk kalau berkunjung siang hari, pasti ibu lagi sibuk di warung saya lihat warung ibu ramai sekali”
“Ya, namanya usaha warung pasti begitu bu, sebentar ya bu Santi Maya saya bikini minum”
“Ndak usah repot-repot bu”
“Ndak repot cuma air putih saja, tunggu sebentar”
Bu Warsi keluar dengan membawa sebuah nampan ditangannya.
“Loh bu kok jadi repot begini”
“Ndak apa-apa bu Santi dan Maya kan belum pernah nyobain soto buatan saya”
“Wahhh keliatannya seger sotonya”
“Iya Maya monggo dicobain jangan sungkan”
“Maya makan ya bu”
“Iya-iya silahkan”
Aku dan ibu menyantap soto buatan bu Warsi, pantas saja warung soto milik bu Warsi selalu ramai ternyata rasa sotonya seenak ini. Semoga niat aku dan ibu membuka warung disambut baik oleh bu Warsi, lagi pula warung kami berbeda menu dengan warung bu Warsi.
“Alhamdullah, seger banget bu sotonya Maya suka banget”
“Sukur kalo nak Maya suka”
“Oya bu Warsi maksud kedatangan kami berdua kesini kami ingin meminta ijin dan pendapat ibu soal rencana kami untuk membuka warung di depan rumah kami”
Mendengar permintaan ibu wajah bu Warsi terlihat agak kecut, namun beliau berusaha menyembunyikan ekspresi wajahnya dengan senyuman kepada kami.
“Bagaimana bu?” Tanya ku sekali lagi karena bu Warsi belum menjawab pertanyaan ibu.
“Kalian berdua yakin mau buka warung juga?”
“Iya bu, kami tidak ada pekerjaan lain hanya ini yang kami bisa”
“Saya tidak melarang siapapun untuk membuka warung sama seperti saya, tapi saya hanya mengingatkan seperti yang sudah-sudah buka warung disini tidak mudah. Sudah banyak tetangga disini yang mencoba membuka warung seperti saya tapi gak ada yang pernah nyampe satu bulan udah tutup”
“Kami akan tetap mencoba bu, jika ibu mengijinkan”
“Ya silahkan saja”
Setelah kami mendapat ijin dari bu Warsi kami pamit pulang, tapi aku merasakan ada gelagat aneh yang bu Warsi tunjukkan seperti tidak suka tapi aku mencoba menepis pikiran burukku pada bu Warsi.
Aku dan ibu mulai menyiapkan perlengkapan dan kebutuhan untuk berjualan besok pagi. Sebenarnya kalaupun bu Warsi tidak mengijinkan kami untuk berjualan aku dan ibu akan tetap membuka warung yang kami namai “Warung Sarapan Pagi Candramaya”. Ibu memilih namaku karena Candra artinya bersinar dengan harapan warung kami nantinya akan selalu ramai dan membawa keberkahan bagi aku dan ibu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!