🥰🥰Happy Reading🥰🥰
...Di sarankan untuk membaca cerita sebelumnya, punya otor yang satunya lagi. Judulnya Teman Atau Suami karena ada hubungannya dengan tokoh utama Prianya di cerita ini! Terima kasih para pembaca budiman....
Di Jakarta.
"Jeglek.." Pintu kamar di buka perlahan, seorang gadis belia masuk dengan sangat berhati-hati.
"Aaaaaaaah... tiidaaak..." Pekik gadis itu terkejut, seraya menutup kedua matanya, saat melihat suaminya keluar dari pintu kamar mandi.
Suaminya hanya berbalut handuk kecil, yang hanya menutupi aset pentingnya itu, langsung berdecak kesal dan mengumpat kata kasar.
"Iiish.. dasar gadis bodoh! Apa loe engga bisa bersikap santai hah.. ? Makanya, kalau masuk kamar orang itu ketuk pintu dulu."
"M.. maaf, Mas." Ucapnya gugup, masih menutup matanya.
"T.. tapi tadi sa.." Ucap gadis itu terhenti, saat suaminya mendekatinya dan menatapnya intens, kemudian tangan suaminya menyentuh tangan gadis itu, untuk melepaskan tangan itu dari wajahnya sendiri.
"Tapi apa? Masih mau membela diri, kalau loe engga salah masuk kamar orang hah..?" Tanya suaminya dengan nada tinggi.
"T.. tidak, Mas. Tolong Mas, jangan seperti ini." Pinta gadis itu, dengan wajah pucat dan memelas.
"Ha.. ha.. ha.." Suaminya tertawa puas, lalu berbalik badan membelakangi istrinya yang sedang bergeming. Pria itupun memakai bajunya dengan santai, didepan gadis yang sudah menjadi istrinya itu.
Sontak saja gadis itu langsung berbalik badan, agar tidak melihat Pria yang sudah menjadi suaminya itu berganti pakaian.
"Heeii... gue tidak pernah mengenal loe, gue tidak pernah menyukai loe, apa lagi mencintai loe. Jadi, jangan pernah berpikir gue mau menyentuh loe, sampai disini, apa loe PAHAM?"
Pria tampan itu mengatakannya dengan begitu kasar, tanpa perduli dengan perasaan gadis itu, yang sekarang sudah SAH menjadi istrinya dimata agama. Sedang gadis itu, tubuhnya sedang bergetar hebat karena ketakutan.
"P.. paham Mas!" Ucap gadis itu gugup, dengan bibir begetar.
"Bagus.. kalau loe Paham! Gue sudah selesai ganti pakaian, terus loe mau ngomong sama tembok hah... ?" Tanya suaminya kesal, saat istrinya itu masih membelakanginya.
"E.. engga, Mas." Gadis itu langsung memutar tubuhnya, ke arah suami dadakannya itu.
"Loe harus tahu, gue menikah sama loe, karena gue terpaksa. Papi gue sakit parah, permintaannya gue harus secepatnya menikah sekarang juga. Kalau bukan karena Papi gue yang sakit, mana mau gue menikah mendadak kayak gini."
Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya pelan, dan matanya sudah berkaca-kaca seakan dunianya menjadi gelap.
Seorang gadis yang kini menjadi seorang istri, tinggal jauh dari kota asalnya Yogyakarta. Suaminya yang seperti tidak menyukainya, namun dia tidak ingin mengecewakan Ibunya di kampung.
"Loe harus mau ikutin kemauan gue. Loe mau kuliah, tidak? Kalau tidak salah loe baru lulus SMA, bukan?"
"I.. iya Mas."
"Loe boleh kuliah, ditempat gue mengajar. Tapi, jaga sikap loe. Jangan sampai ada seorangpun tahu, kalau loe dan gue sudah menikah. Sampai disini loe mengerti maksud gue?"
"I.. iya Mas."
"Gue mau Pernikahan kita hanya berjalan sampai 6 bulan saja, sampai penyakit Papi gue sembuh, terhitung dari sekarang. Gue akan tanggung biaya kuliah loe, dan uang saku bulanan loe. Gue mau loe jaga rahasia ini, dari Mami dan Papi. Loe boleh berhubungan dengan siapa saja, termasuk Pria manapun. Tapi hanya satu yang gue mau, loe harus bermain cantik, jangan sampai ketahuan sama Mami dan Papi." Ujar Pria itu dengan gamblang.
"B.. baik, Mas." Ucap gadis itu gugup, air matanya sudah mengalir deras.
"Sekarang loe boleh tidur sesuka loe, loe mau pilih tidur dimana?"
"S.. saya tidur disofa itu saja, Mas." Ucap gadis itu gugup, seraya menunjuk tempat sofa itu berada.
"Baiklah, kalau loe memilih tidur di sofa, ini bantal dan selimut loe. Sekarang loe boleh mengganti baju loe, dan membersihkan diri di kamar mandi. Gue mau keluar, kalau ada apa-apa loe boleh hubungi gue, Itu ada ponsel di meja rias buat loe. Nomor telpon gue, sudah ada di kontak ponsel loe." Ucap pria itu yang langsung pergi meninggalkannya sendiri.
Gadis itu menatap punggung suaminya penuh dengan kesedihan, yang menghilang dari balik pintu kamarnya. Dirinyapun langsung masuk ke kamar mandi, untuk membersihkan tubuhnya dan mengganti gaun Pernikahannya, dengan baju casual.
"Flash Back"
Di Yogyakarta.
Pagi hari sebelum pernikahan Mutiara Pandini, pukul 07 Wib di kediaman Ibu Lanjar, sudah kedatangan tamu dari Jakarta, mereka ingin meminta anak gadisnya menikah dengan anak laki-lakinya, sebagai permintaan dari sang suami yang bernama Dahlan Permana.
Dahlan Permana adalah, sahabat kecil sang Ayah dari Mutiara Pandini. Mereka saat remaja pernah berjanji, meski terpisah jarak dan kota namun mereka harus selalu menjaga silahturahmi. Kelak jika mempunyai putri dan putra, mereka akan mengikatnya dengan Pernikahan.
Tuan Dahlan sekarang masih di rawat di Rumah Sakit Jakarta, karena kondisinya yang sedang sakit. Sang istri pukul 3 pagi, langsung lepas landas ke Yogyakarta, bersama putranya dan 7 orang pekerjanya, yang akan mengurusi pernikahan anaknya.
Ibu Lanjarpun, sudah mengenal betul sosok Dahlan sahabat suaminya. Namun sejak Dahlan pindah ke Jakarta, 15 tahun yang lalu, mereka belum pernah bertemu kembali.
Demi kondisi sahabatnya yang sedang sakit, dan memenuhi janji Dahlan dan almarhum suaminya, Ibu Lanjarpun menerima permintaan mereka.
Putri semata wayangnyapun, mau tidak mau harus mengikuti apa yang dikatakan oleh Ibunya. Padahal hari ini adalah hari paling bersejarah, bagi seorang gadis belia yang cantik nan ayu. Hari yang sangat penting baginya, yaitu hari kelulusan bagi semua anak kelas 3 SMA.
Di saat semua teman-teman sebayanya, sedang merayakan kelulusan sekolahnya dengan wajah riang, bangga dan bersenang-senang. Tapi tidak dengan gadis belia itu, dia terpaksa harus melangsungkan Pernikahan saat ini juga.
Mutiara sudah menjadi anak yatim sejak lulus SMP, Ibunya Lanjar Pandini terpaksa harus menjadi tulang punggung, untuk menyekolahkan anaknya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan berjualan jamu keliling.
Hari ini Mutia sedang dirias oleh seorang MUA, wajahnya terlihat berbeda dari biasanya.
Selama ini memang Mutia tidak pernah berdandan, seperti gadis pada umumnya. Namun wajahnya tetap cantik dan ayu, karena Ibunya yang seorang tukang jamu keliling, sering memberikan minuman jamu kecantikan yang diracik sendiri.
Mutia menatap nanar gambar wajahnya, di depan cermin rumahnya yang terbilang sangat sederhana. Air matanya hampir tidak terbendung lagi, tidak percaya dengan takdirnya.
"Kamu harus kuat Mutia! Kamu harus kuat!" Hanya kata-kata itu, menjadi penyemangatnya.
"Sayang, kamu cantik sekalih. Maafkan Ibu Nak, harus membuat kamu melakukan Pernikahan Mendadak seperti ini." Hanya itu, yang bisa di ucapkan oleh Ibunya saat ini.
Mutia hanya mengangguk pelan, tanpa terasa air matanya langsung meluncur bebas di pipinya.
--BERSAMBUNG--
...Jangan lupa kasih like, favorite, vote dan tips komentar yah. Terima kasih....
🥰🥰Happy Reading🥰🥰
...Di sarankan untuk membaca cerita sebelumnya, punya otor yang satunya lagi. Judulnya Teman Atau Suami karena ada hubungannya dengan tokoh utama Prianya di cerita ini! Terima kasih para pembaca budiman....
Ibu Lanjar yang melihat air mata putri satu-satunya itu, seketika langsung meraih tisu untuk menghapus air matanya.
"Sayang, jangan menangis lagi. Kamu akan hidup bahagia, bersama suamimu nanti di kota Jakarta." Air mata Lanjarpun ikut mengalir deras, merasakan kesedihan putrinya itu.
"Heeemmm.." Hanya gumaman pelan, yang keluar dari bibir mungil Mutia.
Mutia memikirkan bagaimana kehidupannya nanti di kota asing, yang belum pernah sama sekalih dia datangi. Bagaimana jadinya hidup Mutia tanpa Ibunya nanti.
Bahkan Mutiapun memiliki kekasih, yang sudah berjalan 2 tahun, semenjak dirinya duduk dibangku kelas 2 SMA.
Mereka sudah merencanakan akan kuliah bersama nanti, sambil bekerja freelance, setelah lulus SMA.
Bagaimana jadinya, jika kekasihnya Mutia tahu, kalau hari ini dirinya melakukan Pernikahan Mendadak, dengan Pria yang berasal dari kota Jakarta.
"Mari Nak, kita akan segera melakukan Ijab Qabul sebentar lagi." Ibunya menggandeng putri cantiknya itu, dengan bibir yang menebarkan senyuman kepada tamu, yang terbilang hanya kerabat, dan tetangga dekat saja.
Mutia duduk di samping Pria, yang sebelumnya tidak pernah dia kenal. Pria itu akan menjadi suaminya, dalam hitungan menit saja.
Perasaan gusar, gamang, benci dengan situasi ini, hanya bisa ditelannya mentah-mentah.
Bagai mimpi disiang bolong, mutia seperti terkena cambukan petir, yang seketika membuat tubuhnya terjebak, dalam kondisi yang sekarang ini dia hadapi.
"SAH.. !" Ucap Penghulu itu berseru.
"SAH..... !" Sahut semua tamu, yang menghadiri Pernikahan Mendadak ini.
"Alhamdullilah, barrakalloh yah Mas Andi Permana dan Mba Mutiara Pandini." Ucap Bapak Penghulu, dengan berjabat tangan kepada kedua mempelai.
"Namanya Andi Permana." Bathin Mutia berucap.
"Terima kasih Bapak Penghulu." Ucap Andi dengan suara baritonnya, namun terdengar merdu di telinga Mutia.
Mutiapun mengikuti ucapan Pria, yang sekarang sudah menjadi suaminya itu.
"Pria ini sudah menjadi suamiku sekarang, sikapnya dingin kepadaku. Apa mungkin diapun terpaksa menikahiku? Apa mungkin dia juga punya kekasih sepertiku?" Bathin Mutia bermonolog.
"Sekarang, silahkan pasangkan cincin pernikahan kalian, kejari tangan kalian bergantian." Pinta Bapak Penghulu itu, dengan senyum yang mengembang.
Andi memakaikan cincin emas bermatakan berlian itu, ke jari manis tangan kanan milik Mutia. Begitupun dengan Mutia, melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Andi kepadanya.
Setelah selesai memakaikan cincin Pernikahan mereka masing-masing, Bapak Penghulu meminta Mutia, untuk mencium punggung tangan kanan Pria asing, yang bernama Andi itu, yang sekarang menjadi suaminya.
Andipun langsung mengulurkan tangan kanannya, setelah itu mengecup kening istrinya dengan sangat terpaksa.
Pernikahan mereka hanya pernikahan sirih, karena Pernikahan Mendadak mereka tidak bisa kalau di lakukan secara resmi.
Pernikahan mereka baru SAH secara agama, belum SAH secara Hukum, maka saat di Jakarta, mereka baru akan meresmikan Pernikahannya secara hukum Negara.
Siang hari, para tamu dan kerabat dekat, sudah meninggalkan rumah Mutia satu persatu. Tinggalah dua keluarga, yang masih tersisa.
"Ibu.... Mutia, hikkzz.. hikkkzzz... " Air matanya mengalir deras.
"Iya sayang, semoga kamu betah di Jakarta, dan selalu di beri kebahagiaan." Ibu Lanjar mengusap lembut, punggung anaknya itu dipelukkannya.
*******
Di Jakarta.
Sesampainya mereka menginjakkan kakinya lagi di kota jakarta. Tepatnya lagi sekarang berada, di Rumah Sakit yang begitu besar dan luas.
Rumah Sakit yang terbilang, hanya orang berada yang bisa dirawat di Rumah sakit tersebut.
Ibu Mertuanya bernama Safira, sangat ramah dan sayang kepada Mutia.
Ibu Safira menggandeng mutia ke dalam sebuah ruangan VVIP, ruang rawat tempat dimana Ayah mertuanya sedang terbaring lemah, dengan dipasang selang impus di tangannya.
"Papi, ini Mutia anaknya sahabat Papi mas Bagus Abimanyu. Apa Papi bisa mendengar suara Mami?" Tanyanya dengan suara berbisik, di telinga suaminya.
"Iya Mami, apa ini menantu Papi?" Tanyanya dengan suara lirih, seraya membuka matanya perlahan.
"Iya, Papi sayang. Ini Mutiara Pandini menantunya Papi." Ucap istrinya, tersenyum mengembang.
Mutiara hanya tersenyum manis, tangannya langsung meraih punggung tangan Ayah mertuanya itu, lalu menciumnya dengan takzim.
"Cantiknya, menantu kita Mami. Andi kemana? Kenapa dia tidak ada?"
"Andi pulang kerumah, katanya sangat lelah seharian ini dan dirinyapun mengantuk ingin tidur."
"Dasar anak itu, sudah menikah masih kelakuannya tidak bisa berubah." Maki Tuan Dahlan kesal.
"Tapi, sandiwara kita berhasil 'kan Papi?" Bisik Mami Safira di telinga suaminya.
Mami Safira terbayang, saat tiga hari yang lalu membahas soal sandiwara yang mereka rencanakan.
"Papi heran sama anak kita Mami, setiap ditanya kapan menikah? Kapan akan mengenalkan calon istrinya? Selalu saja ada jawaban yang tidak masuk akal." Papi Dahlan mengeluh.
"Mungkin dia masih fokus menjadi Dosen sayang, dan belum sempat memikirkan pernikahan."
"Tapi usianya sudah cukup matang, Andi sudah menginjak usia 25 tahun. Bagaimana kita bisa punya cucu? Kalau Andi sampai saat ini belum juga menikah."
"Iya sih, Pih. Bukankah Papi punya sahabat di Yogyakarta? Sahabat Papi punya anak perempuan, bukan?"
"Benar juga Mih, Papi punya sahabat SMA dulu, yang bernama Bagus Abimanyu. Dia punya anak perempuan seingat Papi dulu, saat kita masih tinggal di Yogyakarta."
"Iya sudah, kita langsung nikahkan saja mereka."
"Mana bisa begitu Mih, kita harus cari tahu dulu kondisi keluarga sahabat Papi itu."
"Okay, besok Papi suruh anak buah Papi ke Yogyakarta untuk melihat kondisi sahabat Papi."
"Siap, Mami sayang."
Dua hari kemudian anak buah Papi Dahlan kembali dari Yogyakarta, membawa hasil penyelidikannya selama disana.
Papi Dahlan seketika menitikkan air matanya, setelah mengetahui jika sahabatnya sudah tiada 3 tahun yang lalu.
"Aku akan memenuhi janjiku padamu Bagus, aku akan membahagiakan putrimu." Ucap Dahlan dalam hatinya.
"Mih, mulai besok kita harus bersandiwara, agar anak kita mau menikah."
"Siap, Papi sayang."
"Mami.. mami.." Pekik Dahlan suaminya, saat melihat istrinya melamun.
"Aiishh.. Papi ganggu saja, Mami tadi teringat saat kita merencanakan sandiwara kita." Bisik Mami Safira di telinga suaminya kembali.
"Oooh.. he.. he.. he.." Hanya itu yang digumamkan oleh Papi Dahlan, seraya terkekeh menganggukan kepalanya pelan.
Mutia menatap heran kedua mertuanya, Mami Safira selalu berbisik ditelinga suaminya, seakan dirinya tidak boleh mendengar pembicaraan mereka.
"Mutia sayang, kamu nanti pulang kerumah bersama Asisten Papi Dahlan yah."
"Iya Tante."
"Eeh.. mulai sekarang engga boleh panggil Tante, harus panggil Mami dan Papi."
"I.. iya Mami, Papi." Ucapnya gugup.
"Nah begitu, itu baru menantu Mami dan Papi yang cantik." Ucap Mami Safira ramah.
"Asisten Bara, tolong antar menantuku ke rumah dengan selamat. Jangan sampai lecet sedikitpun, awas kalau sampai itu terjadi." Ancam Mami Safira.
"Siap Nyonya, akan saya pastikan itu tidak akan terjadi."
"Bagus, saya pegang kata-katamu." Ucap Mami Safira dengan tersenyum mengembang.
Mutiarapun akhirnya berpamitan kepada mertuanya, dengan langkah berat saat meninggalkan ruang rawat inap tersebut.
Mutiara mengekori Asisten Bara, dengan berjalan menunduk. Sepanjang perjalanan, diriny terdiam tidak mengeluarkan kata-kata sama sekalih.
Asisten Barapun tidak berani membuka suaranya, karena dia tahu wanita yang dia bawa adalah menantu kesayangan Tuannya.
Asisten Bara tidak akan berbicara, terkecuali dia ditanya oleh majikannya.
Sesampainya dirumah Tuan Dahlan Permana, Asisten Bara menunjukkan kamar Mutia dengan sopan. "Silahkan masuk Nona Muda, ini kamar Nona dan Aden."
"Terima kasih, Pak."
"Sama-sama Nona, saya permisi undur diri." Ucap Asisten Bara, kemudian diapun pergi meninggalkan Mutia sendiri.
Mutiapun mencoba mengetuk pintu kamar itu dengan perlahan, namun tidak ada jawaban. Akhirnya diapun mencoba memegang handel pintu itu, lalu mencoba membukanya.
"Flash Back Off"
--BERSAMBUNG--
...Jangan lupa kasih like, favorite, vote dan tips komentar yah. Terima kasih....
🥰🥰Happy Reading🥰🥰
...Di sarankan untuk membaca cerita sebelumnya, punya otor yang satunya lagi. Judulnya Teman Atau Suami karena ada hubungannya dengan tokoh utama Prianya di cerita ini! Terima kasih para pembaca budiman....
Seusai Mutiara membersihkan tubuhnya yang begitu lelah seharian, karena pernikahan dadakannya dan perjalanan dari Yogyakarta ke Jakarta. Tubuhnya sedikit lebih fresh, dan rileks.
"Kruuuukk.." Bunyi perut Mutiara terdengar.
"Astagfirulloh, seharian ini aku belum makan. Saking sedihnya tadi pagi, hingga detik ini, aku tidak menyadari kalau perut ini belum terisi makanan sama sekalih." Mutia bergumam pelan, saat cacing diperutnya mulai protes, hingga mengeluarkan suaranya.
Diliriknya jam didepan matanya yang begitu besar, menempel di dinding kamar suami dadakannya.
"Haah? Sudah jam 7 malam? Aku harus bagaimana ini? Mau keluar kamar, aku takut tidak mengenal siapapun? Kalau terus di dalam kamar, cacing-cacing diperutku terus berdemo?"
Mutiara galau sendiri, sedang diantara dua pilihan.
"Aku lebih baik tidur saja, nantipun akan hilang rasa laparnya. Sudah Mutia kamu harus kuat, bukankah Ayah selalu bilang, kalau jadi anak gadis jangan lemah, harus kuat." Mutia menyemangati dirinya dengan teringat kata-kata Ayahnya ketika masih hidup. Buliran bening, meluncur bebas dipipi mulusnya.
"Hikkzz.. hikkzz... hikkzz... " Isak tangis Mutiara terdengar begitu pilu.
Akhirnya Mutiarapun terpejam matanya dalam tangisannya, di sofa panjang yang dia pilih untuk tempat tidurnya tadi.
*******
Di Rumah Sakit.
"Mami, bagaimana tadi pernikahan anak kita? Ternyata mudah sekalih membohongi anak kita Andi, ya Mih?"
"Semua berjalan lancar Pih, hanya saja sikap dinginnya itu, benar-benar bikin Mami kepingin masukin kedalam panci air panas, Pih."
"Ha.. ha.. ha.. masa kamu setega itu, Mih?"
"He.. he.. he.. becanda dong, Pih."
"Papi kapan boleh pulang, Mih?"
"Terserah Papi, cuma kalau sekarang sepertinya kurang pas Pih. Soalnya baru semalam Papi masuk Rumah Sakit dan dinyatakan kritis, masa sekarang Papi sudah terlihat segar bugar? Bagaimana jadinya kalau sampai Andi dan Mutia tahu nanti? Bisa ketahuan rencana kita, Pih." Ujar Mami Safira dengan gamblang.
"Baiklah, berarti Papi istirahat sampai 3 hari saja disini, ya Mih?"
"Iya, Pih."
"Tapi nanti siapa yang handel kerjaan Papi di kantor, Mih? Hari senin, ada klien besar dari Singapore mau bertemu di Hotel XX."
"Tenang, 'kan ada Mami dan Andi nanti yang akan menggantikan Papi sementara. Mami kepingin lihat, selain menjadi Dosen, Andi bisa memegang Perusahaan Papi, engga? Kalau bisa, nanti Mami minta dia menjadi wakil Direktur yah Pih."
"Sip lah Mie, boleh peluk tidak?"
"Boleh dong Pih, orang kita hanya berdua, bukan?" Mami Safirapun langsung merentangkan tangannya, untuk memeluk suaminya.
"Mih, kangen iih. Boleh engga?" Dahlan memeluk istrinya dengan erat, lalu menciumi seluruh wajah istrinya gemas.
"Pih... ini di Rumah Sakit, masa kayak engga ada tempat lagi?"
"Iya Mih, kalau begitu kita sewa hotel saja yah?"
"Pih, yang Pengantin baru itu anak kita, tapi kenapa Papi yang pingin ke hotel?" Safira heran dengan suaminya, yang tidak tahan jika belum mendapat suntikan Vitamin cinta.
"Biarin saja Mih, 'kan mereka dirumah berdua, bukan? Angga sedang ada KKN di Bandung, selama satu minggu lagi."
"Oh iya, Mami lupa kabarin Angga loh Pih, kalau Kakaknya Andi sudah menikah."
"Biarkan saja Mih, nanti juga Angga lihat sendiri, dan tahu kalau Kakaknya sudah menikah."
"Okay lah." Mami Safira mengangguk pelan.
"Sekarang, kita chekin ke Hotel, untuk satu malam saja. besok pagi, kita balik kesini lagi." Papi Dahlan langsung mengurai pelukkannya, dan bersiap-siap untuk pergi ke Hotel malam ini juga.
"Aiish.. Papi kalau ada maunya, paling gercep deh." Mami Safira menggelengkan kepalanya heran. Padahal usianya sudah menginjak 50 tahun, tapi kelakuan kayak anak muda usia 25 tahunan.
"Iya dong Mih, wajib itu sih pake banget." Papi Dahlan mengerling nakal.
"Ayolah, capcus Pih." Ajak Mami Safira seraya menggandeng lengan suaminya mesra.
Merekapun jalan beriringan, menuju ruang Suster. "Maaf Suster, kami akan chekin ke Hotel malam ini, pastikan tidak ada yang menjenguk kamar kami yah." Ujar Safira dengan gamblang, seraya memberikan nomor telponnya dan uang seratus ribuan 20 lembar.
"Maaf, Tante ini apa yah?" Tanya Suster itu heran, seraya mengembalikan uang ratusan. ribu itu ketangan Safira.
"Ini untuk tips Suster, sudah menjaga ruangan kami. Jangan lupa hubungi saya, tolong disave nomer ponsel saya." Mami Safirapun mengembalikan lagi, uang yang tadi sudah diberikan ketangannya.
"Baik Tante! Ta.. tapi Tante, ini terlalu banyak untuk saya." Suster itu merasa tidak enak untuk menerimanya, pasalnya uang itu separuh dari gajinya satu bulan.
"Jangan sungkan, anggap saja itu rezeki Suster dari Allah, melalui tangan saya." Safira melangkahkan kakinya cepat, agar dirinya terhindar lagi dengan penolakkan Suster itu. "Ayo Pih." Ucapnya cepat.
"Terima kasih, Tante dan Om." Suster itu mengucapkan rasa syukur yang amat sangat, hingga menitikkan air mata bahagianya.
Saat Suster itu mengucapkan kata terima kasih, Safira dan Dahlan sudah menghilang di balik pintu ruangan Suster.
Safira dan Dahlan sudah bukan pasangan muda lagi, namun terlihat mesra, dan bahagia sehingga banyak pasang mata, yang iri kepada mereka.
"Pih, mana Asisten Bara? Kenapa lama sekalih?" Tanya Safira, yang sudah menunggu beberapa menit berlalu.
"Sabar Mih, kenapa jadi Mami yang sudah ngebet pingin cepat-cepat ke Hotel?" Dahlan merasa istrinya makin menggemaskan, jika sedang kesal.
"Mami dingin Pih, kalau diluar udaranya benar-benar menusuk pori-pori kulit Mami."
"Iya sudah, sini dong." Dahlan langsung memeluk istrinya didepan halaman Rumah Sakit, padahal malam ini masih ramai pengunjung, karena malam minggu. Namun Dahlan tidak memusingkan hal itu, hanya istrinya agak sedikit malu, hingga wajahnya bersembunyi diceruk leher suaminya.
"Bagaimana? Apa sudah lebih hangat?"
"Sudah Pih, dari pada tadi dingin, padahal baru beberapa menit saja kita disini."
Asisten Barapun akhirnya datang juga, membawa mobil mewah Tuan Dahlan. Lalu merekapun pergi ke Hotel XX.
*******
Andi kesal sendiri di meja makan saat ini, karena dirinya makan sendiri tanpa kedua orang tuanya, dan Adiknya yang biasa menemaninya makan malam.
"Aiiish... anak itu apa perutnya tidak merasa lapar? Kenapa lama sekalih tidak leluar kamar? Apa jangan-jangan dia pingsan lagi di kamar mandi?" Gumamnya Andi bertanya-tanya.
"Mbo, tolong bawakan makan malam ke kamar istri Andi yah." Andi langsung berjalan menuju kamarnya.
"Baik, Aden." Ucap Mbo Yuyun, seraya berjalan ke dapur.
Saat didepan pintu kamarnya, Andi mengetuk pintu itu dengam pelan, namun setelah dua kali tidak ada jawaban, akhirnya dia membuka handel pintu itu sendiri, dan ternyata tidak di kunci.
"Jeglek" Bunyi pintu kamarnya.
Andi berjalan perlahan masuk, dan mendapati istri terpaksanya, sedang tidur di sofa, dengan terlelap damai.
"Haah..? Ini orang bisa tidur dalam keadaan perut kosong? Kalau nanti sakit bagaimana? Apa aku bangunkan saja?" Gumam Andi pelan.
"Heeii.. bangun..." Panggil Andi pelan dengan mengoyangkan bahunya, namun gadis itu tidak bergerak sedikitpun.
Akhirnya Andi mencoba membangunkan istrinya lebih kencang. "Heeii.. gadis bodoh bangun...." Pekik Andi ditelinga istrinya, sontak saja Mutiara terkejut dan refleks memegang baju kaos suaminya, karena tubuhnya akan terjatuh kelantai, namun tangan Andi langsung menahan tubuh istri terpaksanya itu.
"Eeeh.. m.. maaf Mas." Bibir Mutiara bergetar, saat wajah mereka begitu intens, karena tangan Mutiara mencengkram kuat baju kaos suaminya itu.
--BERSAMBUNG--
...Jangan lupa kasih like, favorite, vote dan tips komentar yah. Terima kasih....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!