NovelToon NovelToon

Mooneta High School

Prolog

Nhea P.O.V

Namaku Nhearsya Clastisia. Biasa di panggil Nhea. Kini, aku tinggal bersama bibi Ga Eun. Aku sudah bersama dengannya semenjak ayah dan ibuku bercerai. Semenjak mereka berpisah, aku tinggal bersama bibi. Bahkan sekarang aku tak tau dimana keberadaan mereka. Keduanya hilang tanpa jejak seperti di telan bumi.

  Hari ini adalah hari terakhir ku di rumah bibi. Ia akan memasukkan ku ke sekolah Mooneta. Ya, memang agak asing kedengarannya. Tapi, bibi bilang sekolah ini adalah sekolah terbaik yang ada di Korea.

”Nhea, ayo cepat!" teriak bibi dari bawah.

"Ya, sedikit lagi bi!" sahutku.

'Tap! tap! tap!'

Suara langkah kaki ku terdengar jelas hingga ke sudut ruangan. Ya karena rumah itu benar-benar sepi, hanya aku dan bibi.

"Sudah siap?" tanya bibi.

Aku hanya mengangguk kemudian masuk ke mobil.

***

"Ayo, kita sudah sampai," ujar bibi.

Aku turun dari mobil sambil menarik koperku. Aku terkesima melihat bangunan tua di depan ku. Gaya arsitektur nya seperti bangunan masa Victoria. Gerbang sekolahnya diapit tembok beton kokoh. Warna putih tampak menyelimuti setiap sisi bangunan ini. Patri jendela nya tampak seperti lukisan seorang ratu yang angkuh.

"Bi, apakah ini sekolah baruku?" tanya ku pada bibi.

"Ya, ayo masuk!" ajak bibi lalu menuntunku masuk.

'kriett'

Gerbang maroon itu mengeluarkan suara derit yang amat mengilukan.

Saat sampai di dalam, tak ada seberkas cahaya yang menyapa pandanganku. Suasana di sini benar benar sepi. Dimana para siswa?

Tiba tiba saja sebuah lilin di sudut ruangan menyala dengan sendirinya. Tentu saja hal itu membuat nyaliku ciut. Akankah aku bisa bertahan di sekolah yang tampak aneh ini.

"Ayo lewat sini, ayo cepat. Bibi akan menunjukkan asrama," ucap bibi.

Lalu ia menarik ku ke sebuah lorong yang gelap tanpa seberkas cahaya. Ia berjalan dengan percaya diri, seolah ia tau persis setiap bagian di bangunan ini.

Euhmm, seperti nya aku tak asing dengan tempat ini. Maksud ku gedung di belakang bangunan arsitektur masa Victoria itu. Ternyata bangunan yang paling depan tadi adalah aula. Lalu asrama nya terletak di bagian belakang, konsep bangunannya tak jauh beda menurut ku.

Ketika aku sampai di halaman depan asrama, yang benar saja seluruh siswa melihat tajam ke arah ku seolah sedang mengintai.

Bahkan sebagian yang berada di asrama, melihat ku dari balik jendela kamar mereka.

Ya ampun sekolah apa sebenarnya ini.

Seperti nya bibi tau bahwa aku mulai tak nyaman dengan keadaan itu. Ia menarik lengan ku, kembali ke aula. Kemudian menutup semua jendela patri besar yang ada di sana dan juga pintu utama pastinya. Entah apa yang ingin di lakukan nya.

Tiba tiba saja pintu utama terbuka sendiri dan ada seorang wanita berjubah hitam dengan simbol berwarna hijau yang tak bisa ku lihat dengan jelas, karena memang disana benar benar gelap.

Wanita itu berjalan mendekati kami. Yang benar saja, semua lilin di dinding ruangan tiba tiba menyala dengan sendirinya. Lalu seluruh siswa masuk dengan berebut memenuhi aula. Perasaan ku semakin tak karuan. Aku bersembunyi di balik tubuh bibi.

"Salam nyonya kepala sekolah!" ucap seluruh siswa di aula.

"Kepala sekolah?" aku bertanya sedikit berbisik.

Bibi menarikku yang sedang bersembunyi tadi. Kemudian ia menyuruhku berdiri di depan nya. Kini bibi tampak serius.

"Dengarkan semua, dia adalah siswi baru sekaligus ketua seluruh asrama. Ia akan menggantikan jabatan Oliver," begitu suara bibi memenuhi seisi ruangan.

"Ya benar, dia akan menghasilkan jabatan ku. Mari kita bersama melakukan pelantikan," ucap wanita di depan ku.

"Oh, jadi namanya Oliver. Dia juga ketua asrama ya?" batin ku dalam hati.

"Nyonya, apakah ia tak terlalu lemah untuk menjadi ketua asrama? Lagi pula ia murid baru yang tak tau apa apa soal sihir!" salah satu pria di ujung sana buka suara memprotes kehadiran ku.

"Jika nyonya yang memilih, pasti tidak akan salah! Pasti ada sesuatu yang istimewa dari nya sehingga ia mampu menggantikan posisi Oliver," sahut yang lain dari sudut sana.

"Sudah semuanya dengar. Sekarang sudah memasuki musim salju. Ada kemungkinan Ify menyerang kita. Seperti yang kalian tau, keadaan kita akan melemah jika suhu di sekitar menurun drastis. Oleh karena itu kita harus menggantikan posisi Oliver. Ingat aku memilih Nhea karena dia adalah siswi sekolah ini di generasi pertama. Dan kalian tau apa artinya? Karena generasi pertama adalah generasi paling kuat. Dan generasi pertama ada sebelum ify terlahir. Jadi ify takkan mampu mengimbangi kekuatan nya," jelas bibi.

Situasi semakin kacau. Semua siswa tampak kaget dengan perkataan bibi tadi. Sebenarnya apa ini? Sekolah apa ini? Sihir? Generasi pertama? Ify? Apa semua itu?

Hari pertama

Oliver mengantarkanku menuju asrama. Bibi bilang aku akan sekamar dengannya, ia akan mengajariku banyak hal nantinya.

Kami berhenti di depan sebuah bangunan yang terlihat lebih megah dari gedung asrama yang lainnya. Yang satu ini jauh lebih sempurna, banyak ornamen yang lebih rumit terukir indah di tembok beton penyangga bangunan ini.

"Kenapa asrama ini berbeda dari yang lainnya?" tanyaku ceplas-ceplos.

"Tentu saja berbeda. Ini asrama khusus pimpinan sekolah dan para petinggi sekolah," jelasnya.

Kami melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti sejenak. Melewati koridor utama, lalu menuju anak tangga dengan karpet merah yang tergelar sepanjang jalan.

"Apa kau tinggal disini juga?" tanyaku lagi.

"Tentu saja!"

Oliver kemudian mengangguk.

"Tapi kenapa aku dibawa kesini? Kau bilang ini asrama khusus."

Aku masih belum mengerti sama sekali dengan konsep aneh sekolah ini. Akal sehatku masih sulit mencerna semuanya, atau memang aku yang terlalu lambat.

"Haha... Kau ini orang penting. Jelas saja kau diletakkan di sini."

"Orang penting bagaimana maksudmu?"

"Apa kau masih belum paham?"

Aku menggeleng cepat.

"Kau ini keponakan nyonya kepala sekolah. Bukan hanya itu, ia juga menunjukmu untuk menggantikan posisiku karena kau istimewa. Kau adalah puteri tunggal dari pendiri sekolah ini, yang artinya kau mewarisi kekuatan penuh dari mereka," jelas Oliver dengan serius.

"Puteri tunggal dari pendiri sekolah? Apa itu artinya ayah dan ibu yang mendirikan sekolah ini? Apa mereka sekarang ada di sini? Apa aku bisa segera bertemu dengan mereka sekarang juga?" batinku dalam hati.

Aku tak tahu harus bereaksi bagaimana. Disatu sisi aku merasa begitu bingung, sementara disisi lainnya terselip rasa bahagia.

"Biar ku tunjukkan foto mereka diruang tengah," lanjut Oliver.

Ia menuntunku ke sebuah ruangan di lantai dua. Terbilang cukup besar untuk ukuran ruang tengah. Tak ada perabot sedikitpun disana. Tampaknya tempat ini juga jarang dikunjungi.

Ia menyalakan lampu gantung yang akan berkilauan jika terkena cahaya sedikit saja. Setidaknya itu akan memperjelas pandangan kami sekarang.

Jari telunjuknya mengarah ke sebuah figura besar yang membingkai lukisan didalamnya. Tentu saja lagi-lagi dengan ukiran bergaya Eropa pada bagian tepi. Kelihatannya seluruh bagunan ini memang tak luput sedikitpun dari yang namanya ukiran.

Aku maju beberapa langkah mendekati lukisan tersebut. Mencoba memperjelas pandanganku yang terlihat samar-samar, karena memang diruangan ini sangat minim sekali pencahayaan.

Aku terpaku seketika, menatap lekat lukisan itu dengan penuh rasa kagum.

"Ayah.... Ibu...." batinku dalam hati.

Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Sebenarnya siapa orang tuaku. Kenapa mereka mendirikan sekolah aneh ini. Mereka juga telah lama menghilang sejak aku masih berumur lima tahun, apa semuanya karena sekolah ini. Aku bahkan tak mengerti dengan silsilah dan garis keturunan keluarga ku.

"Dimana mereka sekarang?" tanyaku tanpa memalingkan pandanganku dari lukisan tersebut.

"Mereka sedang pergi untuk melakukan perundingan bersama sekolah di bagian Utara," jelasnya.

Sekolah di bagian Utara? Apa itu artinya ini bukan satu-satunya sekolah aneh yang ada dimuka bumi ini?

"Sejak kapan mereka pergi?"

"Sejak seminggu yang lalu."

Aku menganggukkan kepalaku.

Itu artinya kedua orang tuaku lebih memilih sekolah ini, dan kurasa itu adalah alasan yang cukup logis bagi mereka untuk meninggalkanku di usia segitu.

Kami melanjutkan perjalanan menuju kamar asrama untuk istirahat. Lagi-lagi Oliver menghentikan langkahku. Ia memberitahukan ku sesuatu.

"Ini kamar Nyonya Vallery dan Tuan Wilson," ujarnya sambil menunjuk kearah sebuah bilik.

Tampaknya ruangan itu memang sedang tak berpenghuni. Pintu kayu jati tebal itu terlihat dikunci dari luar.

"Mau masuk ke dalam sana? Biar aku antarkan. Atau mungkin mau menginap disana malam ini?" ucap Oliver.

Aku menggelengkan kepalaku. Bahkan aku sudah tak mengerti lagi dengan perasaan ku saat ini. Rasanya sudah terlalu muak untuk membahas soal mereka.

Orang yang sudah tega meninggalkan anak semata wayangnya yang masih kecil tanpa pernah kembali, hingga sekarang aku genap berusia tujuh belas.

Sudah dua belas tahun aku hidup tanpa kasih sayang dari kedua orang tuaku. Aku pikir mereka telah benar-benar menghasilkan dari muka bumi. Luka batin yang tersisa masih terlalu dalam, belum sempat sembuh seutuhnya oleh waktu.

Lantas kenapa bibi malah membawaku kehadapan mereka sekarang ini. Seolah-olah diposisi ini aku adalah orang yang bersalah.

***

Aku menyusun pakaian dari dalam koper kesebuah lemari kayu besar diujung sana. Semua perabot disini terkesan kuno, namun masih layak pakai.

Bagunan ini sangat klasik, tapi aku tak henti-hentinya berdecak kagum melihat setiap sisi tempat ini. Aku merasa sedang terjebak di masa lalu saat menapakkan kaki di sini. Arsitektur bergaya Eropa yang membuat setiap orang didalamnya merasa tengah berada di era Victoria.

Hari mulai menggelap, mentari turun perlahan lalu menghilang. Ternyata tempat ini jauh lebih menyeramkan saat malam hari tiba. Pencahayaannya tak pernah cukup. Sepertinya selama berada disini, aku akan menjadi rabun.

Oliver menyuruhku untuk segera bersiap. Ia memberikanku seragam sekolah berwarna hitam dengan pita merah di bagian tepinya. Katanya nyonya kepala sekolah alias bibi, akan mengadakan perkumpulan diruang makan.

Setelah selesai bersiap, kami turun ke lantai dasar untuk mengambil jubah. Kata Oliver ini adalah benda wajib yang tidak boleh ketinggalan. Aku baru menyadari jika dilantai dasar ini ada ruangan khusus untuk meletakkan loker.

Semuanya serba hitam. Mulai dari seragam, jubah, hingga sepatu. Apakah tidak ada warna lain yang lebih ceria, warna hitam terlalu membosankan. Seperti tak ada kehidupan sama sekali.

Tadi baru saja gerimis kecil. Walaupun sekarang telah berhenti, tetap saja jalanan menjadi becek dan sulit dilalui. Kami harus menyeberang ke gedung di utama untuk acara makan malam.

Siswa lainnya juga tampak sedang menuju kesana. Sepertinya sekolah ini lebih ramai saat malam hari dari pada tadi siang. Apa mereka semua manusia kelelawar yang hanya keluar saat malam tiba.

Mataku terbelalak lebar melihat meja yang panjangnya tak bisa ku perkirakan. Mungkin sekitar 50 meteran. Satu meja makan raksasa ini cukup menampung seluruh isi sekolah. Wahhhh..... Luar biasa.

Ruangan ini juga berbeda dengan yang lainnya. Selain sangat besar dan megah, tempat ini juga lumayan terang. Mungkin karena ini adalah ruang makan, jadi harus benar-benar mendapatkan pencahayaan yang cukup. Kalian tentu tidak mau tersedak saat makan hanya karena tidak bisa melihat sisa tulang.

Kami duduk di kursi paling ujung. Hanya disana satu-satunya tempat yang tersisa. Berapa biaya yang dikeluarkan sekolah ini untuk semua fasilitas didalamnya. Pasti para siswa rela membayar uang bulanan yang cukup besar untuk ini semua.

Siapa Ify

Mulai dari Kimchi, bulgogi, sup, kimbap hingga jajangmyeon komplit tersedia di nampan makan kami. Aku tak melihat para staff sekolah disini. Tampaknya ruangan makan antara siswa dan staff sengaja di bedakan.

"Semuanya, bersulang untuk anggota baru kita," ujar Oliver sambil mengangkat sloki soju miliknya.

Semua siswa disana refleks juga ikut menganggkat sloki berisikan Soju mereka masing-masing. Begitupula denganku. Sekarang Korea sudah memasuki musim dingin, jadi soju tak boleh terlewatkan. Minuman ini bisa sedikit menghangatkan suhu tubuh.

"Selamat makan!" ucap kami secara bersamaan.

Setelah kalimat itu selesai menggema di seluruh ruangan, semua orang mulai menyantap makanan mereka masing-masing. Suasananya begitu khidmad, tak ada yang berisik sedikitpun.

Mereka semua adalah murid yang memiliki jiwa kedisiplinan yang begitu tinggi. Aku yakin jika sopan santun dan tata krama disini sangat ditekankan kepada semua orang.

***

Selesai acara makan malam, mendadak ada sebuah forum disana. Entah memang seperti ini setiap malamnya atau baru kali ini saja. Tapi ini memang penting untuk menjaga komunikasi satu sama lain sebagai seorang siswa.

Setelah selesai meletakkan nampan kotor kami di ruangan kecil yang ternyata tersembunyi dibalik tirai, kami kembali duduk dimeja makan. Kami membahas obrolan yang ringan-ringan saja, sebelum akhirnya Oliver membuat situasi ini menjadi serius.

"Kita harus bersiap sebelum Ify menyerang kita lagi musim ini," ujar Oliver.

Semua siswa berbisik-bisik pada teman disebelahnya, kemudian mengangguk-angguk. Tak bisa dipungukiri jika sekarang mereka sedang khawatir.

"Benar, waspada akan membuat kita aman," balas seorang pria dari seberang sana.

"Siapa Ify?" tanyaku dengan polosnya.

Bertanya akan jauh membantuku  sebelum pembahasannya semakin rumit. Setidaknya aku harus tahu inti permasalahannya.

"Ify adalah ketua asrama dari sekolah di bagian Utara. Tempat itu selalu diselimuti salju abadi. Oleh karena itu ketika musim salju datang di seluruh Korea, kekuatan mereka semakin bertambah kuat," jelas Oliver.

Meski sama saja penjelasan mereka tetap tak masuk akal bagiku, tapi aku mencoba untuk mengerti.

"Lalu mengapa dia menyerang kita?" tanyaku lagi.

"Ify dulunya adalah murid disini. Ia adalah anak dari nyonya kepala sekolah. Tapi semenjak nyonya kepala sekolah dan suaminya berpisah, Ify lebih memilih untuk bersama ayahnya. Hatinya sudah dibuat beku oleh ayahnya sendiri. Ayahnya tak ingin Ify kembali bersama ibunya," jawab Oliver.

Sepertinya gadis ini memang tahu banyak soal semuanya.

Tapi setahuku bibi belum pernah menikah. Sementara menurut pengakuan Oliver, Ify adalah anaknya bibi. Mungkin aku belum lahir saat kejadian itu terjadi, atau bisa saja aku masih terlalu kecil saat itu.

Suasana sudah semakin larut, mataku juga sudah terlalu berat untuk tetap dipertahankan. Belum lagi besok kami ada kelas pagi.

Akhirnya setelah acara jamuan makan malam selesai, semuanya kembali ke kamar asramanya masing-masing.

"Hei! Tunggu!" sahut seseorang dari belakang.

Aku sontak menghentikan langkahku lalu berbalik mencari arah sumber suara tersebut. Aku mendapati seorang pria yang berusaha mengejar langkahku. Kali ini aku kembali ke asrama sendirian, Oliver masih harus bertemu dengan bibi di ruangannya.

Setelah posisi kami sejajar, ia tampak mengatur nafasnya yang masih memburu.

"Ada apa?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Huh...huh...huh...."

Pria ini masih belum menjawab pertanyaanku. Kelihatannya ia perlu lebih banyak waktu untuk memenangkan dirinya.

"Jongdae," ucapnya.

Aku mengerutkan keningku, tak mengerti dengan apa yang ia maksud.

"Jongdae," ujarnya sekali lagi.

Kemudian ia mengulurkan tangannya.

Sekarang aku mengerti apa maksudnya. Itu adalah namanya, ia pasti sedang memperkenalkan dirinya.

"Nhearsya," ucapku seraya membalas uluran tangannya.

Pria itu tersenyum lebar sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dengan cepat.

"Dipanggil Nhearsya?" tanya Jongdae.

"Oh, panggil saja Nhea."

"Baiklah. Mau balik ke asrama?"

Aku mengiyakan perkataannya barusan.

"Mau barengan?" tawar Jongdae.

"B....bo...leh," balasku dengan senyum yang sedikit canggung.

"Kamu satu kamar dengan Oliver kan?"

"Iya."

"Kamar kita bersebrangan. Ruangan ku tepat didepan kamarnya Oliver," jelasnya tanpa kuminta.

Pantas saja di terlihat cukup akrab tadi dengan Oliver. Ternyata mereka bertetangga. Jika ia satu asrama dengan kami, itu artinya dia bukan murid biasa.

Kami terus melanjutkan obrolan kami sepanjang jalan menuju asrama. Hawa dingin menyeruak tajam, seperti besok salju sudah mulai turun.

"Aku dengar kamu ini anak semata wayang dari nyonya Vallery, apa itu benar?"

"I...iya," jawabku dengan ragu.

"Kenapa sejak kecil kau tidak tinggal disini saja?"

"Entahlah."

Mungkin ini adalah satu-satunya bangunan bergaya Eropa yang berdiri di Korea atau mungkin juga bukan. Tapi aku baru tahu jika ada bangunan seperti ini di Korea.

"Oh iya perkenalkan, aku juga ketua untuk asrama putra."

"Ah, pantas saja."

Jongdae menggaruk kepalanya yang tak gatal. Pipinya bersemburat merah dengan senyum malu-malu seperti orang yang baru saja menerima pujian. Tapi apa kalimatku tadi itu seperti layaknya sebuah pujian?

Sebenarnya yang ku maksud itu pantas saja dia tinggal disana, ternyata dia adalah ketua asrama juga. Semoga saja ia tak salah paham soal itu.

"Oliver bilang asrama itu istimewa, pantas saja kau disana."

Aku segera meluruskan maksud dari perkataan ku tadi sebelum pria ini menjadi salah paham denganku.

"Iya," balasnya singkat, tapi ekspresinya tak berubah sedikitpun.

Ah sudahlah, yang penting aku sudah memperjelas kalimatku.

***

Sebenarnya aku benci jika harus melewati koridor. Tak ada lampu sama sekali. Hanya barisan lilin-lilin kecil yang tergantung disepanjang dinding jalanan ini. Menurutku seharusnya mereka memasang beberapa lampu gantung disini. Itu akan jauh lebih baik ketimbang memasang lilin. Lagipula lilin berpotensi memicu kebakaran jika kalian ceroboh dalam penggunaannya. Atau mungkin sekolah ini sengaja memasang lilin sebagai sumber penerangan utamanya karena biaya listrik terlalu mahal untuk bangunan sebesar ini.

Akhirnya kami telah sampai didepan kamarku yang artinya didepan kamar Jongdae juga. Kami berpamitan untuk masuk ke kamar masing-masing dan mulai beristirahat.

"Selamat malam!" ucap kami secara bersamaan.

Setelah itu aku masuk ke dalam kamar, kemudian menyalakan lampu gantung di atas sana. Aku menggantung jubahku begitu saja di kursi, lalu mengganti seragamku dengan pakaian yang lebih santai.

Karena ini sudah mulai memasuki musim dingin, setelah baju tidurku kali ini tentu saja sweater. Aku juga hanya membawa beberapa coat, sisanya masih sengaja ku tinggalkan di rumah. Mungkin besok aku akan meminta bibi untuk mengantarkan ku kembali kerumah untuk mengambil sisa barang-barang ku. Siapapun tak akan bisa bertahan sepanjang musim dingin ini dengan stok mantel yang sedikit.

Oliver masih belum kembali ke asrama. Agak lama memang untuk sekedar bertemu dengan bibi. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur lebih dulu tanpa menunggunya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!