Tidak ada yang tahu takdir apa yang akan terjadi pada seseorang. Semua diatur oleh sang Pencipta, tanpa kita tahu kapan takdir itu akan terjadi. Manusia hanya bisa berencana, namun tak akan bisa menentukan masa depannya.
Begitu juga dengan takdir yang dialami oleh Safira saat ini. Sebuah musibah, yang merupakan takdir yang Tuhan berikan untuknya tanpa bisa ia tolak sedikit pun.
Kehidupan wanita itu bisa dikatakan cukup mulus sejak ia lahir di dunia ini. Lahir di dalam sebuah keluarga yang berada, memiliki keluarga yang sangat menyayanginya, tak luput kehidupan mewah dan gelimang harta adalah sebuah kesempurnaan yang diidam-idamkan setiap orang.
Namun siapa yang tahu, tanpa dapat Safira kendalikan, sebuah musibah terjadi pada dirinya. Sebuah musibah yang tentunya membuat sosok gadis bermental baja itu mengalami keterpurukan yang teramat sangat.
***
"Lepaskan aku.... Kumohon...." jeritan yang terdengar pilu berasal dari bibir gadis itu. Manik gadis itu terpejam, meski bibirnya terus berteriak ketakutan. Gadis itu bermimpi, hingga membuatnya begitu gelisah dalam tidurnya.
"Jangan..." saat itu juga gadis itu terbangun dari mimpi buruknya. Nafasnya terengah-engah seperti habis berlari maraton. Tidak hanya itu, wajahnya juga sangat pucat serta peluh bercucuran di sekujur kepala hingga tubuhnya.
Safira menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Berusaha meredam rasa takutnya setelah mimpi mengerikan yang selalu menghantuinya hampir setiap malam. Cukup lama dia berada dalam posisi itu, sampai bunyi perutnya terdengar, tanda dia tengah kelaparan.
Safira menyingkap selimutnya, lalu bangkit dari ranjangnya. Langkah kakinya membawanya menuju dapur minimalis yang berada di sebelah kamarnya. Dengan gerakan terburu-buru, Safira membuka lemari pendingin, lalu mengambil apa saja yang bisa dimakannya saat ini.
Safira duduk di sebuah kursi, dan langsung melahap sebuah apel dan beberapa buah segar lainnya.
Setelah selesai menghabiskan satu apel, Safira memegang perutnya.
"Kau selalu membuat Ibu kelaparan Sayang." lirihnya sambil mengelus perut ratanya yang masih rata.
Ya, gadis itu tengah hamil meski statusnya masih lajang. Memang sangat mengherankan, tapi memang itulah kenyataannya. Itulah takdir yang Tuhan berikan, tanpa bisa Safira menolak.
Dua bulan yang lalu, hidupnya masih baik-baik saja. Bekerja di perusahaan milik Ayahnya, dan menikmati masa mudanya bersama teman-teman dan keluarganya. Tidak pernah terbayang dirinya akan memiliki anak dalam waaktu dekat ini.
Semua terjadi begitu tiba-tiba, saat Safira dan Kakak perempuannya, Denna hendak mengunjungi adik tirinya yang sedang dirawat di rumah sakit. Tiba-tiba saja segerombolan mobil menghadang mereka di tengah jalan, memaksa mereka keluar dengan melakukan pengancaman.
Keduanya dibawa ke sebuah tempat yang tidak mereka tahu sama sekali. Dia dan Kakaknya disekap dan tak jarang mengalami kekerasan fisik. Dan semua itu terjadi begitu saja. Ketika orang-orang itu menyeretnya ke hadapan sosok lelaki yang tidak dia kenali sama sekali. Lelaki yang begitu lancang menyentuhnya bahkan berhasil merebut mahkotanya sebagai wanita.
Hanya dalam beberapa saat, Safira telah menjadi wanita kotor oleh lelaki brengsek itu. Membuat Safira yang dikenal dengan sifat tegasnya, berhasil meneteskan air matanya untuk pertama kalinya.
Namun Safira tetaplah gadis yang kuat dan tegar. Dibalik sifatnya yang sombong dan mengintimidasi, sebenarnya gadis ini memiliki hati yang baik. Namun karena suatu alasan, Safira menyembunyikan kebaikannya tersebut.
Terhitung satu bulan sejak ia memilih pergi dari rumah keluarganya di Jerman. Kini Safira tinggal di sebuah apartemen kecil yang dia sewa dengan uang tabungannya.
Spanyol, akhirnya menjadi negara pelarian Safira dari keluarganya. Untuk sementara dia aman di negara ini sebelum kakak laki-lakinya, Bara. Safira yakin cepat atau lambat Bara akan menemuinya, dan gadis itu berharap dia ditemukan setidaknya sampai bayi dalam kandungannya lahir
Beberapa hari yang lalu, Safira sudah mencari sepasang suami istri yang belum memiliki anak. Dimana setelah dia melahirkan nanti, Safira akan memberikan bayinya pada mereka, untuk mereka rawat. Memang terlihat kejam, namun Safira benar-benar tidak bisa merawat anak ini.
Tidak hanya itu, Safira juga memikirkan bagaimana nasib anaknya kelak. Dia ingin anaknya memiliki orang tua yang lengkap. Safira tidak ingin anaknya kelak mencari keberadaan ayahnya, karena ia sendiri pun tidak tahu siapa pria brengsek itu.
Wajah pria itu, tentu saja Safira mengingatnya. Setiap pahatan wajah pria itu masih terpatri dengan dengan jelas di memorinya. Dan mungkin Safira akan mengingatnya hingga akhir hayatnya. Jika saja dia dipertemukan kembali dengan bastard itu, Safira berjanji akan membalas kehancurannya.
"Bagaimana kabarmu?" sapa Safira pada sahabatnya, Alice, setelah mereka tidak bertemu dua minggu ini, karena sahabatnya itu tengah mengurus pernikahannya.
Alice menyambut hangat pelukan sahabatnya itu, kemudian berjongkok sehingga wajahnya bertemu perut Safira yang masih rata.
"Halo keponakannya aunty. Bagaimana kabarmu? Kamu baik-baik di dalam sana kan? Jaga Mommy-mu baik-baik ya, dia sedang tidak baik-baik saja sekarang." ujar Alice mengajak janin sebesar biji kacang merah itu.
Safira menepuk kening Alice kesal, "Hei jangan berkata seperti itu pada anakku."
Alice tertawa, lalu berdiri, "Tapi ucapanku benar kan? Kamu itu adalah wanita lemah yang sedang berpura-pura kuat." segera meninggalkan Safira, masuk menuju butiknya.
Safira mengangkat bibirnya kesal, tak urung menyusul Alice ke dalam. Ya, butik ini milik Alice, tetapi sekarang karena keadaannya yang cukup memprihatinkan Alice memberikan kuasa untuknya mengelola butik ini.
Meski pendidikan dan pekerjaannya dulu berlawanan, tetapi Safira paham dan mampu mengelola butik ini. Sudah hampir satu bulan dirinya bekerja di sini, dan Safira cukup menyukai pekerjaannya ini.
"Bagaimana pernikahanmu? Semuanya lancar bukan?" tanya Safira. Kini keduanya berada di ruang kerja yang sekarang menjadi ruang kerja Safira.
"Lancar." jawab Alice singkat, namun wajahnya seperti tidak senang membahas hal itu.
"Ada apa Alice?" sebagai sahabat yang sudah menemaninya sejak kecil, tentu bisa tau ada sesuatu yang tidak beres.
Alice menatapnya lamat-lamat, kesedihannya yang disembunyikannya semakin terlihat jelas.
"Safira, sepertinya Dave tidak bersungguh-sungguh menikah denganku." ucap Alice dan dalam dua detik air matanya mengucur membasahi pipinya.
Safira mengangkat alisnya, tapi tak urung membawa Alice dalam dekapannya. Alice terisak dalam pelukannya, meluapkan perasaannya yang bahkan tidak bisa ia katakan pada Daddy dan Mommynya.
Safira memegang kedua bahu Alice, mengusap air matanya. "Alice, ceritakan padaku. Kenapa kamu bisa mengatakan kalau calon suamimu tidak bersungguh-sungguh." tanya Safira.
Alice menenangkan dirinya, "Kau tau Safira, sebenarnya di sini hanya aku yang mencintai calon suamiku, tapi dia tidak."
Dan Safira sangat terkejut mendengarnya. Karena dari cerita Alice, seolah menggambarkan kalau keduanya saling mencintai.
"Kita memang sudah lama saling mengenal. Itu pun karena kita sering bertemu di pesta kolega orang tua kami. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Orang tua kami sangat dekat, jadi kami sering mengobrol. Aku sangat jelas menunjukkan ketertarikanku padanya. Dia tidak menolak, dan malah membiarkanku berada di sekitarnya. Tapi aku tahu, dia melakukannya hanya untuk menjaga perasaanku." jelas Alice panjang lebar.
"Kau tau, beberapa bulan dia menghilang, tidak pernah lagi ikut saat ada jamuan perusahaan. Namun, tiba-tiba dia muncul, menunjukkan effortnya padaku. Aku sangat senang Safira. Aku pikir dia mulai membuka hatinya untukku." Alice tersenyum hambar.
"Setelah itu kita lebih sering bertemu dan lebih dekat lagi. Sampai akhirnya, dia mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Bukan padaku, melainkan pada Daddy dan Mommy."
"Aku pikir dia bersungguh-sungguh dan benar-benar mencintaiku. Tapi setelah aku mendengar pembicaraan Dave dengan Ayahnya, aku akhirnya sadar. Dia tidak benar-benar mencintaiku. Dia hanya memanfaatkanku Safira... Dia menikahiku hanya agar Daddy mau membantu perusahaannya yang hampir bangkrut. Dia memanfaatkanku." tangis Alice kembali pecah, membuat Safira dengan sigap sebagai sandarannya.
Safira tidak tahu harus mengatakan apa untuk menenangkan sahabatnya tersebut. Jujur, dia juga marah pada pria yang telah berani mempermainkan sahabat terbaiknya ini.
Tentu Safira tidak akan tinggal diam. Dia berjanji, jika bertemu dengan bedebah itu, dia tidak akan membiarkannya hidup dengan baik.
Setelah Alice berhenti menangis, Safira mengusap air matanya. "Jadi apa rencanamu selanjutnya? Apakah kau akan melanjutkan pernikahan ini, atau..."
Sebelum Safira selesai bicara, Alice langsung menyela, "Aku akan tetap melanjutkannya." dan itu sanggup membuat Safira membuka mulutnya.
Rupanya sahabatnya ini telah gila oleh cintanya pada pria bajingan itu.
Alice bisa merasakan keheranan dari wajah sahabatnya itu, sehingga dia berucap, "Jangan menatapku seperti itu. Aku yakin setelah kami menikah, aku akan membuatnya jatuh cinta padaku." gadis itu berkata seolah tangisannya baru saja tidak berarti apa-apa.
Safira menyentil kening Alice, agar gadis itu sadar akan cinta butanya.
"Apa yang ada di kepalamu ini? Ingat Alice, bajingan itu hanya memanfaatkanmu. Kamu pikir ini seperti cerita di novel?!" bentak Safira.
"Ya, dan aku berharap cerita dia novel itu terjadi padaku Safira."
Safira kehilangan kata-katanya. Dia merasa Alice adalah gadis yang paling bodoh di dunia ini.
"Alice, bawa aku bertemu bajingan itu!"
"Untuk apa?"
"Aku ingin membunuhnya karena dia telah berani membuatmu jadi gila seperti ini!"
Dering ponsel Safira berbunyi untuk yang kesekian kalinya, membuatnya yang tengah sibuk dengan pekerjaannya berdecak. Safira mengangkat panggilan dengan setengah hati.
"Ada apa lagi Alice? Sudah kubilang jangan menggangguku, aku sedang sibuk." cetusnya.
Terdengar celotehan Alice di sebrang sana, membuat kembali berdecak.
"Pertemukan aku dengan bajingan itu, agar aku tidak marah lagi padamu. Tidak apa-apa jika kau tidak mau, tapi jangan harap aku akan datang ke pernikahanmu." setelah mengatakan hal itu, Safira memutus panggilan.
Wanita itu menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir akan kebodohan sahabatnya tersebut. Entah apa isi otak cerdas yang selalu memenangkan olimpiade sains saat mereka sekolah dulu. Sudah jelas-jelas calon suaminya hanya memanfaatkan dirinya, tapi Alice masih bersikeras melanjutkan pernikahan.
Bukan Safira ingin ikut campur, namun dia dan Alice bukanlah sahabat biasa. Mereka begitu dekat layaknya saudara. Tentu, jika Alice sedih, dia juga akan ikut sedih.
Lain halnya dengan Safira kesal, Alice kini tengah menikmati waktunya bersama seorang laki-laki yang merupakan calon suaminya.
"Ada apa?" tanya pria itu saat melihat wajah Alice berbeda setelah bicara dengan sahabatnya. "Sahabatmu terdengar marah?"
Alice menggeleng, "Aku tidak apa-apa. Safira memang seperti itu, sangat cerewet." ucap Alice.
Pria itu mengangguk, lalu mengusap sudut bibir Alice dari sisa saos yang menempel di sana.
"Sepertinya kalian sangat menyayangi satu sama lain."
Alice mengangguk antusias, "Tentu saja. Kami bersahabat sejak masih kecil, dan kami sudah seperti keluarga."
Wajah Alice tiba-tiba murung saat teringat nasib Safira saat ini.
"Tapi saat ini, aku sangat kasihan pada Safira." lirihnya, membuat pria itu mengangkat alisnya, cukup ingin tahu.
"Beberapa waktu lalu dia mengalami musibah. Dia diperkosa oleh laki-laki asing yang menculiknya bersama Kakak perempuannya. Safira sangat terpuruk, untuk yang pertama kalinya dia datang menangis, meraung padaku."
Alice menatap wajah calon suaminya tersebut dengan intens, "Dan asal kau tau Dave, sekarang Safira sedang mengandung."
Tidak tahu mengapa, wajah pria yang dipanggil Dave itu tiba-tiba saja pucat. Cerita Alice mengingatkannya akan sesuatu yang pernah dilakukannya pada seseorang.
"Kenapa Dave?" tanya Alice karena menyadari keanehan dari ekspresinya.
Pria itu secepatnya menggeleng, "Tidak. Aku hanya turut prihatin pada Safira."
Alice mengangguk, "Kau benar. Tapi meski sudah mengalami musibah seperti ini, Safira sama sekali tidak mau dikasihani. Dia sangat kuat, dan pintar menyembunyikan perasaannya."
Entah mengapa, Dave menjadi sangat penasaran akan siapa Safira sebenarnya. "Bagaimana keluarganya, apakah mereka..."
Sebelum Dave menyelesaikan pertanyaannya, Alice lebih dulu menyela. "Safira pergi dari rumahnya setelah mengetahui kehamilannya. Dia tidak ingin ada yang tau kehamilannya yang di luar pernikahan agar keluarganya tidak menanggung malu. Makanya dia jauh-jauh dari Jerman ke Spanyol agar kakak laki-lakinya tidak menemukannya."
"Spanyol?" Dave hampir tidak bisa mengendalikan dirinya. Manik birunya menatap Alice sangat intens, bukan karena kecantikan gadis itu, melainkan cerita yang baru saja terucap dari bibir wanita itu.
Alice mengangguk, tidak menyadari sesuatu yang berbeda dari calon suaminya tersebut.
"Iya, Safira dan keluarganya tinggal di Jerman. Keluarganya adalah keluarga terpandang di sana." Alice menatapnya lagi, "Aku dengar dari Daddy, kau pergi ke Jerman beberapa waktu lalu. Kurasa kau pernah bertemu dengan Kakak atau Ayahnya Safira?"
Dave bungkam, sementara jantungnya berdetak tidak karuan.
"Alice..." panggil Dave dengan ragu. Dia ingin memastikan sesuatu, tapi dirinya takut akan kebenaran yang akan terkuak. "Siapa nama keluarganya?"
"Pramana, Derri Pramana. Jika kau tinggal di Jerman bagian selatan, kau pasti mengenalnya, karena keluarga itu sangat terkenal di sana." tutur Alice.
Dan Dave semakin bungkam, hampir tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
"Bagaimana, kau pernah bertemu dengan Kakaknya atau ayahnya?"
"Tidak!" tanpa sengaja, suara Dave meninggi, membuat Alice terkejut.
Dave menyadari kesalahannya, "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud. Aku... aku belum pernah ke kota itu selama di Jerman dan aku tidak pernah bertemu mereka." tutur Dave dengan lembut.
Alice tersenyum kecil membuat Dave menguap kepalanya. "Aku tidak bermaksud membentakmu. Maaf."
"Never mind, I'm ok."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!