Semilir angin berhembus mesra hingga membuat daun-daun menari dengan indahnya. Sang surya sepertinya sedang menampakkan kuasanya di tengah kota yang ada di Jakarta selatan. Cuaca panas telah melanda kota selama satu minggu ini.
Ketegangan serta perasaan yang tidak menentu tengah melanda beberapa mahasiswa penghuni salah satu universitas swasta yang ada di Jakarta selatan. Mereka semua sedang menunggu giliran sidang skripsi.
"Danira Puspa Baskoro!"
Seorang gadis terhenyak dari tempat duduknya setelah mendengar namanya dipanggil. Ia terlihat gugup, helaian napas berat pun terdengar di sana.
"An, doakan sidangku lancar dan berhasil sepertimu," ucap Dara saat menggenggam kedua telapak tangan sahabatnya. Dara adalah nama panggilan dari Danira.
"Pasti, kamu pasti bisa!" jawab gadis berambut sebahu itu dengan diiringi senyum yang sangat manis, "Good luck, Baby!" lanjutnya seraya merengkuh tubuh yang ada di hadapannya.
Anne Malila ... itulah nama gadis yang menatap kepergian Dara menuju ruang sidang. Ia tersenyum manis sampai Dara hilang dari pandangan. Ia pun merasakan hal yang sama dengan Dara saat ini. Bagaimanapun juga Dara adalah satu-satunya teman dekat selama ia menempuh pendidikan di kampus ini. Bahkan, tiga tahun ini, Anne tinggal di rumah megah Dara.
"Ya Tuhan, semoga dia lancar dan tidak lupa materinya," gumam Anne saat menengadahkan kepalanya. Ia sendiri terlihat tidak tenang, pikirannya fokus kepada Dara yang sedang berjuang.
Bukan tanpa alasan Anne mencemaskan Dara. Ia tahu betul bagaimana kepribadian Dara yang sesungguhnya. Tidak mudah bagi Dara mengekspresikan diri di depan banyak orang karena Dara seorang introvert. Dia pun tidak memiliki teman selain Anne, bisa dikatakan jika hidupnya bergantung pada Anne.
Suara dering ponsel yang ada di dalam tas membuyarkan lamunan Anne. Ia merogoh tas slempangnya untuk mencari benda persegi panjang tersebut. Senyumnya mengembang sempurna kala melihat nama yang ada di layar ponsel itu.
"Aku sudah sampai, kamu di mana?" ucap penelpon yang ada di sebrang sana.
"Aku di dekat ruang sidang, Bee," jawab Anne sambil berdiri dari tempatnya.
Setelah melakukan panggilan tersebut, Anne kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ia sedang menunggu kehadiran seseorang yang mengisi hatinya selama ini. Bagus Narendra. Itulah nama yang biasa disebut Anne dalam doa selain nama kedua orang tuanya yang sudah pulang ke pangkuan Tuhan.
"Hay ...," sapa seorang pria hingga membuat Anne segera bangkit dari tempatnya saat ini.
"Bee ...." Binar bahagia terlihat jelas dari sorot mata Anne saat melihat kehadiran pria manis yang berdiri di hadapannya.
"Selamat, Hunny ... Akhirnya, kamu berhasil menghadapi ujian ini," ucap Bagus seraya menyerahkan buket bunga mawar yang sangat indah.
Mata indah itu semakin berbinar melihat pemberian sederhana dari Bagus. Bukan hadiah mahal, hanya sebuah buket bunga tapi bisa membuat Anne melayang-layang ke atas awan. Perhatian dan kepedulian yang ditunjukkan Bagus semakin menambah rasa cintanya.
"Terima kasih, Bee! Love you so much!" Anne menghambur dalam pelukan Bagus setelah menerima buket tersebut.
Sepasang kekasih itu akhirnya duduk di bangku yang ada di sana sambil menunggu Dara yang masih berjuang di ruang sidang. Senyum manis seakan tak bisa pudar dari wajah cantik Anne saat Bagus menunjukkan perhatiannya.
"Anne ... aku berhasil!"
Suara teriakan di ujung lorong membuat Anne dan Bagus mengalihkan pandangan ke sumber suara. Mereka berdua beranjak dari tempat duduknya saat melihat Dara berlari ke arahnya.
"An, akhirnya, aku bisa presentasi di depan semua orang! Papi pasti bangga melihat hasil skripsiku nanti!" ujar Dara sambil meraih kedua tangan Anne untuk digenggamnya.
"Selamat, Baby! Pasti! Om Rudi pasti bangga melihat pencapaianmu!" ucap Anne sambil memeluk tubuh sahabatnya itu.
"Selamat, Dar! Selamat atas kesuksesan kalian berdua," ucap Bagus setelah kedua wanita tersebut mengurai tubuh.
Ketiga orang tersebut merayakan keberhasilan dengan makan-makan di cafetaria kampus. Kali ini Dara lah yang mentraktir Anne dan kekasihnya. Aura-aura bahagia terlihat jelas di wajah ketiga muda-mudi itu. Namun, Gelak tawa ketiganya harus berhenti saat ponsel Anne kembali berdering.
"Aku mau angkat telfon dulu, kalian diam sebentar, ini ibu yang telfon!" ucap Anne sebelum menggeser icon hijau di layar ponselnya.
Wajah bahagia itu tiba-tiba saja menjadi mendung. Hilang sudah pancaran cahaya bahagia setelah panggilan terhubung dengan seseorang di sebrang sana. Bulir air mata lolos begitu saja dari mata indah itu, hingga membuat Bagus dan Dara khawatir.
"Aku harus pulang ke Bekasi, Ibu kecelakaan! Sekarang beliau di rumah sakit!" ucap Anne setelah panggilan telepon itu berakhir, "Aku akan pulang sendiri. Sebaiknya kamu kembali ke pabrik saja, Bee," ucap Anne seraya menatap Bagus yang shock mendengar kabar tersebut.
🌹Hallo semua👋👋Welcome di karya baruku 😍 semoga kalian suka😘❤️🌹
...🌷🌷🌷🌷...
Air mata terus berjatuhan mengiringi langkah Anne menuju tempat dirawatnya bu Ningrum—Ibu angkatnya selama ini. Sejak kepergian orang tua nya, Anne dirawat pak Hadi yang tak lain adalah suami bu Ningrum. Sayangnya, pak Hadi harus kembali menghadap sang pencipta di saat Anne duduk di bangku SMA.
"Ibu ... bertahanlah, Bu! Anne tidak punya siapa-siapa lagi selain Ibu!" gumam Anne saat menyusuri koridor rumah sakit. Ia berjalan menuju Gedung radiologi untuk mencari bu Ningrum yang menjalani serangkaian proses pemeriksaan di sana.
Anne menghentikan langkahnya ketika berhenti di depan pintu yang gedung radiologi. Ia melihat dua orang perawat mendorong brankar pasien, kedua bola mata itu melihat dengan jelas bahwa pasien yang terbaring di atas brankar itu adalah bu Ningrum.
"Ibu ..." gumam Anne seraya mengusap sisa air mata yang membasahi pipi, "Suster, ini adalah ibu saya," ucap Anne saat menatap salah satu suster yang ada di sisi bangkar.
"Alhamdulillah ... kami sejak tadi menunggu keluarga ibu ini," ucap suster tersebut seraya mengembangkan senyumnya, "Mari ikut kami kembali ke IGD untuk membahas kondisi ibu Anda," lanjut suster tersebut sebelum mendorong brankar tersebut.
Langkah demi langkah telah Anne lalui dengan derai air mata. Ia tidak kuasa melihat kondisi bu Ningrum karena banyak sekali luka di kepala dan di wajahnya. Ketakutan yang begitu besar menyelimuti hati dan pikiran Anne, ia takut kehilangan sosok yang membesarkannya selama ini. Kenangan-kenangan Indah bersama bu Ningrum terus menari-nari dalam ingatan.
"Silahkan Nona duduk di sana," ucap salah satu suster tersebut seraya menunjuk ruangan di dekat IGD. Sementara itu, kedua perawat tersebut melanjutkan langkahnya memasuki ruang IGD.
Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan Anne setelah seorang dokter dan perawat rumah sakit duduk di sebrang meja yang ada di hadapan Anne. Dokter tersebut menjelaskan bagaimana kondisi bu Ningrum saat ini dengan tutur kata yang lembut.
"Itu penjelasan medis yang bisa saya sampaikan, Nona. Untuk selanjutnya biar pak Agus yang membahas perihal biaya yang dikeluarkan untuk operasi besar ini," ucap dokter tersebut seraya mengalihkan pandangan ke samping
Perawat bernama Agus itu mulai membahas rincian biaya yang harus dibayar oleh Anne. Jantungnya semakin berdebar kencang setelah melihat deretan angka yang tertulis di sana. Untuk biaya operasinya saja berkisar sekitar tujuh puluh juta, itupun tidak termasuk biaya kamar inap, ICU, perawatan dan serangkaian penanganan medis lainnya. Perawat tersebut mengintruksikan agar Anne menyiapkan uang kurang lebih seratus juta.
"Maaf, tidak bisakah ibu saya memakai asuransi dari pemerintah?" tanya Anne dengan sorot mata penuh harap.
"Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, Nona. Asuransi dari pemerintah tidak mengcover biaya pasien kecelakaan, apalagi untuk kondisi Ibu Nona saat ini. Mungkin asuransi mandiri pun tidak bisa mencover semua biaya tersebut karena ini operasi besar," sesal pak Agus seraya menatap Anne.
"Lalu apa yang harus saya lakukan, Pak?" Anne terlihat frustasi kali ini.
"Tentunya Nona harus membayar biaya rumah sakit. Setidaknya Nona harus membayar dua puluh lima persen untuk DP sebelum operasi. Selanjutnya, Nona bisa membayarkan sisanya saat ibu Nona diperbolehkan pulang," ucap perawat tersebut.
Bulir air mata semakin turun dengan deras. Anne tidak tahu lagi harus bagaimana. Ia bingung mendapatkan uang sebanyak itu dari mana. Ia termenung tanpa sebuah jawaban yang pasti hingga suara pak Agus kembali terdengar di sana.
"Jadi, bagaimana Nona? Apakah Nona setuju jika pihak rumah sakit melakukan tindakan operasi kepada pasien?" sekali lagi pak Agus mengkonfirmasi keputusan Anne.
Anne kasih bungkam, ia berusaha mencari cara untuk mendapatkan uang tersebut. Pikirannya mulai berkelana jauh—memikirkan dari mana ia mendapat pinjaman untuk membayar DP.
"Baiklah, Pak, saya bersedia! Saya minta waktu sampai nanti malam untuk membayar DPnya. Tolong lakukan yang terbaik untuk ibu saya," ucap Anne dengan sorot mata penuh harap. Setelah membubuhkan tanda tangan di atas kertas bermaterai, Anne segera keluar dari ruangan tersebut.
🌹Terima kasih sudah membaca karya ini, semoga suka ♥️Yuk Vote untuk karya baru ini😍🌹
...🌷🌷🌷🌷...
Aku dalam perjalanan ke kontrakan Juna. Ada apa, An?
Anne melenguh setelah membaca balasan pesan dari Dara. Kepalanya kembali berdenyut karena belum menemukan jalan untuk membayar DP biaya operasi bu Ningrum. Tatapannya menerawang jauh sedangkan pikirannya tengah mengingat siapa kiranya yang bisa membantunya saat ini. Bagus tidak mungkin bisa membantunya karena kekasihnya itu pun bukan orang kaya. Ayahnya hanya seorang karyawan pabrik sedangkan ibunya membuka toko roti.
"Om Rudi!" gumam Anne setelah teringat nama yang pasti bisa membantunya saat ini. Uang seratus juta pasti tidak ada apa-apanya bagi om Rudi.
Anne segera mencari kontak om Rudi. Ada perasaan gugup yang menjalar dalam hati. Ia takut om Rudi sedang sibuk dan tidak bisa menjawab telfon darinya.
"Hallo, om Rudi," ucap Anne setelah panggilan tersebut terhubung.
Tanpa basa-basi, Anne menceritakan kesulitannya saat ini. Ia menjelaskan dengan detail rincian biaya rumah sakit yang harus ia bayar dan tidak lupa ia memberitahu masalah DP yang harus dibayar malam ini.
"Terima kasih, Om! Saya akan menemui Om setelah selesai melakukan transaksi dengan pihak rumah sakit," ucap Anne sebelum panggilan tersebut selesai.
Seulas senyum manis terbit dari bibir Anne. Ia bisa bernapas lega karena om Rudi akan mentransfer uang yang dibutuhkan Anne saat ini juga. Anne terlihat sibuk menulis nomor rekening di ponselnya untuk dikirim ke om Rudi.
"Alhamdulillah! Terima kasih, Tuhan ... Engkau telah memberikan jalan untuk hamba." Anne bergumam setelah mengusap wajahnya dengan telapak tangan.
Tidak sampai sepuluh menit, ponsel Anne kembali berdering tanda sebuah pesan masuk. Anne membaca bukti transfer masuk yang dikirim om Rudi ke rekeningnya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Anne segera mengayun langkah untuk kembali ke IGD.
"Di mana saya harus membayar DP untuk biaya operasi ibu Ningrum?" tanya Anne kepada salah satu perawat yang ada di sana.
Anne melenggang begitu saja dari IGD setelah perawat tersebut menunjukkan di mana ruang administrasi berada. Ia harus mentransfer uang pemberian om Rudi kepada pihak rumah sakit karena tidak mungkin jia ia pergi ke bank terlebih dahulu.
"Tolong, segera tangani ibu saya, Pak!" ucap Anne setelah menandatangi beberapa berkas persetujuan operasi.
Setelah segala urusan selesai. Anne kembali ke IGD. Ia meminta tolong kepada salah satu perawat yang ada di sana agar menjaga bu Ningrum sebentar saja karena ia harus menemui om Rudi.
"Terima kasih banyak, Bu," ucapnya sebelum berlalu dari sana.
Perjalanan panjang harus Anne lalui kembali. Naik ojek adalah keputusan paling tepat di tengah-tengah padatnya lalu lintas dari Bekasi ke Jakarta Selatan. Mungkin hari ini ia harus bolak-balik di jalanan demi keselamatan bu Ningrum.
Semua itu akan ia lalui walau rasa lelah mulai mendera. Demi keselamatan wanita yang selama ini merawatnya, apapun pasti akan ia lakukan. Bahkan, Anne sendiri tidak tahu bagaimana cara mengembalikan uang pinjaman dari om Rudi nanti.
"Ya Tuhan, berikan jalan yang mudah untuk hamba," gumam Anne dengan pandangan yang tidak lepas dari gedung-gedung menjulang tinggi yang ada di sepanjang jalan yang ia lalui.
Detik demi detik telah berlalu, setelah menghabiskan waktu selama berpuluh-puluh menit, akhirnya ... Anne sampai di depan gerbang yang menjulang tinggi itu. Ia segera masuk tanpa harus melalui pertanyaan dari satpam yang ada di sana karena Anne memiliki akses keluar masuk rumah ini.
"Bu Una, apa Dara belum pulang?" tanya Anne ketika berpapasan dengan salah satu asisten rumah tangga yang bekerja di sana.
"Sepertinya Non Dara tidak pulang, tadi pamit jika ingin menghabiskan waktu di Bandung, Neng," jawab Bu Una.
"Kalau om Rudi di mana, Bu?" tanya Anne lagi,
"Oh, Tuan Rudi ada di ruang kerjanya, baru saja pulang dari kantor," ucap Bu Una seraya menunjuk lantai dua, di mana ruang kerja om Rudi berada.
Anne segera berlalu dari hadapan bu Una dan tidak lupa pamit kepada wanita berusia empat puluh tahun itu. Satu persatu anak tangga telah dilalui Anne hingga langkahnya harus terhenti di depan pintu yang tertutup rapat.
Helaian napas berat terdengar di sana sebelum Anne mengetuk pintu tersebut. Entah mengapa kali ini langkahnya terasa berat, ada perasaan ragu yang menyelinap dalam hati sebelum Anne menarik handle pintu tersebut.
"Om Rudi ... boleh saya masuk?" Anne menyembulkan kepalanya untuk melihat keadaan di dalam ruangan tersebut. Ia bisa melihat jika Ayahnya Dara itu sedang berkutat di depan laptopnya.
"Silakan masuk, An!" jawab om Rudi tanpa mengalihkan pandangannya, "tunggu saya di sofa," lanjut om Rudi.
Mendengar perintah itu, Anne segera masuk ke dalam ruangan bernuansa putih itu. Ia segera duduk di sofa seperti yang dikatakan oleh om Rudi. Anne tertunduk lesu, pikirannya melayang-layang entah kemana, hingga om Rudi duduk di sofapun ia tidak tahu.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya om Rudi hingga membuat Anne menegakkan kepalanya, ia menatap om Rudi dengan tatapan sendu.
Bulir air mata lolos begitu saja dari mata indah itu. Anne terisak karena tidak sanggup menceritakan apa yang sedang terjadi. Ia merasa sedang memikul beban berat di atas pundaknya. Masalah seperti sebuah bola yang terus menggelinding dalam hidupnya.
"Kalau kamu memang tidak mau bercerita tidak masalah, An." Terdengar suara bariton itu di telinga Anne.
"Saya butuh uang yang sangat banyak, om!" ujar Anne dengan kepala yang tertunduk.
Om Rudi hanya mengangguk-angguk kepalanya setelah mendengar langsung cerita dari Anne. Beliau menyilangkan kaki kanannya di atas kaki kiri, sedangkan, tatapannya tak lepas dari paras cantik Anne.
"Om bisa saja membantu semua biaya pengobatan ibumu tapi Om ingin mengajukan satu syarat yang harus kamu penuhi," ucap om Rudi tanpa mengalihkan pandangannya.
Anne tertegun mendengar pernyataan om Rudi. Ia mencoba menerka apa kiranya syarat yang diinginkan oleh ayahnya Dara itu. Perasaan tidak enak mulai menyapa hati dan pikirannya, "apa syarat yang harus saya penuhi, Om?" tanya Anne dengan suara yang lirih.
"Menikahlah denganku!" ujar om Rudi dengan suara yang tegas.
...🌹Selamat Membaca🌹...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!