NovelToon NovelToon

Adinda Untuk Kapten Zaid

AKZ part 1

Zaid mengenakan kemeja batik warna biru berlengan panjang yang digulung hingga ke siku. Pakaian yang begitu pas di tubuh tegapnya menambah kegahahan serta ketampanannya. Membuatnya semakin berkharisma dan pastinya membuat kaum hawa begitu mendamba untuk dipersunting oleh Sang Kapten.

Namun, Zaid begitu dingin dan sulit untuk digapai. Tak sedikit pun ia memberikan kesempatan atau harapan kepada para wanita yang mendambanya. Entah wanita seperti apa yang menurutnya pantas untuk bersanding dengannya.

Zaid keluar dari kamarnya kemudian berjalan menuruni tangga. Di ruang depan, sang ibu nampak telah siap dengan mengenakan setelan kebaya yang bermotif sama dengan batik miliknya. Dengan hijab berwarna senada, sang ibu nampak anggun dan cantik di usianya yang tak lagi muda.

" Wah... Ibunya Zaid memang paling top deh " puji Zaid saat melihat penampilan sang ibu kemudian mencium pipi sang ibu.

" Ya, iyalah... Masa anaknya ganteng maksimal begini, ibunya biasa aja sih " sahut Bu Sandra terkekeh.

" Ayo, bu... Nanti terlalu siang kita datangnya. Gak bisa ngobrol- ngobrol lama " ucap Zaid sambil melangkahkan kaki menuju mobil diikuti langkah kaki sang ibu.

Zaid membukakan pintu mobil untuk sang ibu, setelahnya ia masuk ke dalam mobil lalu mulai menghidupkan dan melajukan mobilnya.

" Anak Arjuna yang sunat berapa tahun ? " tanya Bu Sandra.

" Kalau gak salah 4 tahun, bu " jawab Zaid sambil tetap fokus mengendarai mobil SUV mewahnya.

" Hebat ya, sudah mau disunat. Dulu kamu baru disunat pas kelas 4 SD. Kalau gak sakit saluran kencing, pastinya ya gak akan mau disunat " kenang Bu Sandra.

" Terus anaknya yang kedua, berapa tahun ? Perempuan atau laki-laki yang kedua ? " tanya Bu Sandra lagi.

" Perempuan bu. Kalau gak salah baru 6 bulan umurnya " jawab Zaid seadanya.

" Hem sejodo ya... Arjuna memang beruntung. Udah anaknya lucu-lucu, punya istri cantik, sholehah. Terus kamu apa kabarnya ? " tanya Bu Sandra.

" Kabar Zaid ? Zaid baik, Bu " jawab Zaid singkat dengan sedikit menarik ujung bibirnya.

Zaid sudah tahu arah pertanyaan sang ibu, karenanya ia tak ingin memperpanjang lagi.

" Ck... Kamu ini... " ucap Bu Sandra memukul lengan zaid. Ia merasa kesal dengan jawaban dari anak semata wayangnya itu.

Tak salah rasanya jika seorang ibu mengkhawatirkan jodoh untuk anaknya. Apalagi di usia Zaid yang sudah matang untuk menikah. Belum lagi karirnya yang cemerlang.

Teorinya seharusnya Zaid pun sudah memiliki anak tapi kenyataannya, jangankan istri dan anak. Memiliki kekasih saja Zaid tidak punya.

Inilah yang dikhawatirkan oleh Bu Sandra, ia takut jika ia tak bisa melihat cucu keturunannya. Karena itu ia seringkali menjodoh-jodohkan Zaid dengan anak kerabatnya yang semuanya ditolak mentah-mentah oleh Zaid.

40 menit kemudian, mobil yang dikendarai Zaid masuk ke dalam halaman rumah dimana telah banyak tamu-tamu yang datang.

Syukuran khitanan dengan suasana semi formal yang dihadiri oleh rekan-rekan kerja serta kerabat saja yang diundang menciptakan rasa kekeluargaan dan nyaman saat bercengkrama dengan sahabat dan kerabat.

Zaid dan Bu Sandra masuk ke dalam rumah besar dengan halaman yang luas itu. Mereka menemui Arjuna yang tengah duduk menemani Adam sang anak.

" Hai, jagoan Om... Pinter banget sih kamu udah sunat " ucap Zaid sambil mengelus kepala Adam.

Bocah kecil nan tampan itu hanya tersenyum sambil sedikit meringis menahan sakit mungkin karena efek biusnya sudah habis.

" Karena udah pinter, nih Om Zaid kasih hadiah buat Adam " ucap Zaid sambil memberikan mainan satu set hot wheel kesukaan Adam.

Mata bocah tampan itu berbinar melihat hadiah yang diberikan Zaid.

" Terima kasih, Om... " ucapnya sambil meraih hadiah dari Zaid.

" Ini, dari nenek buat beli mainan kesukaan Adam. Cepet sembuh ya, anak sholeh " ucap Bu Sandra sambil memberikan amplop kepada Adam lalu mencium pipi bocah lucu itu.

" Terima kasih, nenek cantik " ucap Adam membuat Bu Sandra gemas sendiri.

" Kalau aja Zaid punya anak gemesin kayak anak kamu ini, Jun... " ucap Bu Sandra sambil melirik Zaid yang tak acuh.

" Nanti juga dapet, Bu. Sabar aja dulu " sahut Zaid asal.

" Tuh, Juna... Kasih tahu temenmu yang satu ini kalau ibu mau cepet-cepet punya cucu. Nanti keburu ibu mati gak bisa lihat cucu, gimana coba ... " gerutu Bu Sandra.

" Ya, janganlah Bu. Emangnya ibu mau meninggal sekarang-sekarang " canda Zaid membuat sang Ibu menatap nyalang.

" Anak ini... " cebik Bu Sandra.

" Lho, mba Sandra sudah datang ? Kok gak kasih tahu bunda sih Jun ? " tanya Bu Lia, ibu kandung Arjuna menghampiri Bu Sandra lalu bersalaman dan cium pipi kanan kiri.

" Baru datang dek... Lihat dulu jagoan yang cakep ini lho " jawab Bu Sandra sambil mengusap kepala Adam.

" Nak Zaid, apa kabarnya ? " tanya Bu Lia saat Zaid mengambil tangannya lalu mencium tangan Bu Lia.

" Alhamdulillah, baik Bu... " jawab Zaid sopan.

" Mentang-mentang sudah jadi kapten, jarang main kesini lagi " ucap Bu Lia.

" Pak Kapten mah sibuk, Bu. Harus ada janji dulu baru bisa ketemu " oceh Arjuna diiringi senyum dari Zaid.

Bu Sandra dan Bu Lia memilih berlalu dari hadapan anak-anak mereka dan lebih memilih duduk sambil makan hidangan yang ada sambil berbincang-bincang.

" Mana Kirana sama Laras ? " tanya Zaid sambil melihat sekeliling.

" Kirana tadi aku suruh makan dulu. Kalo Laras lagi digendong sama Dinda tuh " tunjuk Arjuna ke arah gadis cantik yang memakai dress selutut berwarna biru navy yang berdiri di muara pintu.

Zaid semakin terpesona melihat Adinda, gadis belia yang kini beranjak dewasa. Dengan tatanan rambut yang dikepang serta kulit putih yang kontras dengan warna pakaiannya. Bibir berwana merah muda dan posturnya yang tinggi semampai.

Gadis inilah yang selalu mengusik hatinya. Selalu menghantuinya dengan bayangan senyuman manisnya.

Sungguh Zaid tak bisa lagi memalingkan hatinya pada wanita lain. Hanya ada satu wanita yang bersemayam di hatinya.

Gadis belia yang jelita, polos dan manja. Dialah Adinda, adik bungsu Arjuna sahabatnya.

Zaid menahan rasa yang membuncah di hatinya saat Adinda berjalan mendekat ke arahnya. Jantungnya berdetak lebih kencang terlebih saat Adinda berdiri di sampingnya.

" Abang... Kak Kiran belum selesai makan ? " tanya Adinda pada Arjuna.

Gadis cantik itu berbicara dengan sang kakak tanpa memedulikan keberadaan Zaid di sampingnya.

" Emangnya kenapa ? Laras rewel ? " tanya Arjuna sambil meraih bayi perempuannya.

" Engga sih, tapi Dinda kebelet nih. Abang pegangin Laras sebentar ! " jawab Adinda sambil menyerahkan Laras pada Arjuna.

" Tapi, abang lagi jagain Adam ini " Arjuna membawa Laras yang sibuk menarik-narik sepatu ke dalam pangkuannya.

" Idih... Bentar doang, gak tahan nih. Nanti kalau sampai Dinda bocor disini, berabe kan. Masa iya dinda harus saingan sama Laras pake popok juga" ceroscos Adinda asal.

" Kamu ini... " Arjuna geleng-geleng kepala dengan tingkah sang adik.

" Eh, salaman dulu nih sama temen abang, Kak Zaid baru datang " ucap Arjuna sambil menahan tangan Adinda dan menunjuk Zaid.

Adinda meraih tangan Zaid lalu mencium tangannya, bentuk rasa hormat kepada orang yang lebih tua.

" Dinda tinggal ke belakang dulu ya Kak. Kak Zaid ngobrol lagi deh sama bang Juna " ucap Dinda sopan sambil berlari kecil.

Zaid mengiringi kepergian Adinda dengan ekor matanya, lalu tersenyum samar.

Gadis ini sama sekali tidak berubah, mungkin yang berubah hanyalah kecantikannya yang semakin bertambah tetapi gaya bicaranya masih sama.

Polos, sopan, dan apa adanya. Sama seperti waktu pertama ia berjumpa yang membuatnya selalu memikirkan gadis belia yang cantik jelita itu.

AKZ part 2

Adinda Persada Ayunindya, gadis cantik berusia 20 tahun. Dia adalah adik bungsu dari sahabatku Arjuna Satria Persada.

Pertama kali aku bertemu dengannya saat bertamu ke rumah Arjuna. Saat itu ia masih duduk di kelas 10. Gadis belia yang begitu jelita. Semua rekanku mengagumi kecantikannya bahkan ada yang langsung menggodanya.

Saat itu, kami berempat duduk di ruang tamu dan Adinda baru saja pulang sekolah. Ia mengucapkan salam kepada kami semua. Seorang rekanku menggodanya dengan menyuruh memilih salah satu diantara kami dan dia dengan entengnya memilihku, entah itu bergurau atau sekenanya saja tapi semenjak itu hatiku tertawan oleh pesonanya.

Adinda berkulit putih, hidungnya mancung, bibirnya tipis berwarna merah muda. Postur tubuhnya tinggi sekitar 165 cm. Usianya terpaut 12 tahun dengan Arjuna dan berarti beda usia kami pun 12 tahun.

Arjuna memiliki satu adik perempuan di atas Adinda. Pertiwi Putri Persada, usianya berbeda 6 tahun denganku dan saat ini telah bekerja sebagai dokter di salah satu rumah sakit yang ada di kota. Pertiwi sudah bertunangan dengan rekannya sesama dokter dan akan segera menikah tahun depan.

Arjuna dan kedua adiknya memiliki wajah rupawan selain itu mereka memiliki attitude yang baik.

Aku menyukai Adinda namun aku tak bisa memastikan perasaanku sendiri. Lagi pula saat itu dia masih begitu belia dan aku harus mengabdikan diri dengan dikirim sebagai pasukan Garuda penjaga perdamaian ke Afrika.

4 tahun berlalu, namun aku tak bisa menghilangkan bayangan Adinda dari memoriku. Rasa yang ada bahkan semakin bertambah terlebih saat aku melihatnya kembali. Melihatnya beranjak dewasa dan semakin cantik membuatku semakin terpesona.

Masih ku ingat saat Arjuna meminta bantuanku untuk berpura-pura menjadi kekasih adiknya. Awalnya Arjuna lah yang akan berpura-pura, tapi karena Kirana istrinya akan melahirkan terpaksa aku yang menggantikannya.

Aku turun dari mobil tanpa membuka kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungku. Dengan masih mengenakan seragam dinasku yang kututupi jaket aku berjalan menuju gerbang sekolah.

Aku mencari Adinda hingga aku menemukannya duduk di kursi taman dikelilingi oleh teman-temannya dengan seorang anak laki-laki sedang memegang tangan Adinda.

Aku tahu gadis itu merasa tak suka dengan sikap anak laki-laki tersebut, itu terlihat dengan sikapnya yang berusaha melepaskan tangan anak tersebut.

" Dinda... " ucapku saat sampai di tempat Adinda duduk.

Semua anak berseragam putih abu itu memandang ke arahku. Mereka nampak heran melihatku.

Adinda tersenyum lalu berjalan ke arahku setelah sebelumnya menepiskan tangan anak laki-laki itu.

Adinda menggandeng tanganku dan bergelayut manja.

" Nih, kenalin pacar gue. Namanya Zaid. Jadi kalian gak perlu tanya-tanya lagi siapa pacar gue. Apalagi kamu Edo, jangan lagi ganggu gue " ucap Dinda ketus.

" Gue gak percaya... Dia pasti kakak lo kan ? Lo sengaja bawa dia kesini supaya kita percaya kalau lo udah punya pacar " sahut Edo menolak pengakuan Dinda.

Adinda berdecak kesal, ia segera mengambil ponselnya lalu memperlihatkan wallpaper kepada mereka.

" Lihat baik-baik. Ini abang gue, Arjuna. Beda kan sama cowok gue ini " ucap Adinda sambil menunjukku.

Mereka sontak melihat ponsel Adinda, sebagian dari mereka percaya tapi tidak dengan Edo yang ku tebak menyukai Adinda.

" Ok, gue percaya. Tapi gue aneh aja, kenapa lo mau sama orang seumuran kakak lo ? " ucapnya setengah mengolok.

" Apa masalahnya kalau saya seumuran kakaknya Adinda ? " sahutku tak terima.

Adinda menepuk lenganku lalu menggelengkan kepala.

" Masalahnya apa buat lo ? Mau seumuran gue, kakak gue atau seumuran bokap gue ya suka-suka gue dong. Kalau gue suka terus sayang lo mau apa ? " skak Dinda.

Edo dan kawan-kawannya terdiam, sementara Adinda tersenyum kepadaku.

" Lo yakin sayang sama dia ? Kalo dia mau nikahin lo, emang lo mau Din nikah muda ? " sela Edo kesal dengan jawaban Dinda.

" Kalau gue mau nikah muda, lo mau apa ? Kalau dia mau nikahin gue, mau sekarang atau nanti juga sama aja toh dia ini calon suami gue " papar Adinda membungkam mulut mereka semua.

Aku tercengang dengan ucapan gadis kecil ini. Entah itu keluar dari lubuk hatinya atau hanya asal bicara saja, tapi aku berharap apa yang keluar dari mulutnya itu menjadi doa.

" Ayo, Kak... Gak usah ladenin mereka yang suka usil sama hubungan orang " ajak Dinda lalu menarik tanganku mengajakku menjauh.

" Saya harap kalian tidak mengganggu Adinda lagi, atau saya tidak akan mentolerir sikap kalian. Kalian harus tahu, saya biasa melakukan hal yang kalian tak bisa bayangkan " ancamku, lalu berlalu dengan menggenggam tangan Adinda.

Aku melepaskan genggaman tanganku saat berada di depan mobil. Entah kekuatan darimana hingga aku berani menggenggam tangan gadis yang sudah membuat detak jantungku berpacu begitu kencang.

Aku membuka pintu mobil membiarkannya masuk lalu aku masuk melalui pintu lain. Setelahnya, aku melajukan mobil menuju Rumah Sakit tempat istri Arjuna melahirkan.

" Makasih ya, Kak. Udah mau bantuin Dinda " ucapnya tulus.

" Hem... " jawabku singkat.

Aku meliriknya sekilas, lalu kembali fokus mengendarai mobil.

" Edo tuh, emang ngeselin. Seenaknya aja maksa-maksa supaya mau jadi pacarnya. Padahal Dinda udah tolak berulang kali, tapi tetep aja keukeuh minta Dinda jadi pacarnya. Ih, biar kata dia cakep, keren, terus kaya... tapi Dinda mah ilfeel " ceroscos Dinda yang dengan cueknya menceritakan kekesalannya pada anak laki-laki tadi.

Aku hanya tersenyum simpul sambil menggaruk-garuk kepala mendengar penuturan Adinda.

Ya, ampun... Ini masih bocah aja yang naksir udah segitunya. Gimana kalo dia udah gedean ? Alamat saingan dimana-mana ini.

Aku membatin dalam hati.

20 menit perjalanan dari sekolah Adinda menuju Rumah Sakit. Sampai disana, Arjuna telah berada di ruang perawatan karena sang istri telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan.

Aku dan Adinda masuk ke dalam ruang rawat. Disana tengah berkumpul Pertiwi serta Bu Lia.

" Wah... Keponakan tante Dinda udah lahir " pekik Adinda berlari ke arah sang ibu yang sedang menggendong cucu pertamanya.

" Cuci tangan dulu, woi. Jangan maen cium-cium aja " ingat Pertiwi yang langsung dituruti Adinda dengan mencuci tangannya di wastafel.

" Selamat ya, Jun... Kamu sudah menjadi seorang ayah " ucapku sambil memeluk Arjuna.

" Thanks bro... Makasih juga karena udah mau bantuin ngurusin adik gue itu " sahut Arjuna melepas pelukannya.

" Terima kasih ya nak Zaid, sudah antar Dinda ke sini. Maaf ya jadi merepotkan " ucap Bu Lia padaku.

" Gak apa-apa Bu... Sekalian Zaid lihat anaknya Juna. Takutnya, nanti Zaid gak sempat nengokin " ucapku.

" Lho, Nak Zaid jadi berangkat ? " tanya Bu Lia lagi. Kali ini, diikuti oleh pandangan Adinda yang menatap ke arahku namun sesaat kemudian kembali menatap bayi tampan di gendongan sang ibu.

" Jadi, Bu... Kalau gak ada halangan, lusa Zaid berangkat " jawabku melirik Adinda yang asyik menatapi bayi Arjuna.

" Jaga diri disana ya, nak. Semoga kamu diberikan kesehatan dan keselamatan selama bertugas disana " ucap Bu Lia.

" Aamiin... Terima kasih, Bu doain Zaid ya " ucapku.

" Iya, ibu pasti doakan yang terbaik untuk nak Zaid. Semoga pulang dari sana, Nak Zaid juga bisa segera menyusul Arjuna, segera punya istri dan anak " ucap Bu Lia lagi.

" Aamiin... " ucapku sambil melirik ke arah Adinda yang begitu sumringah melihat keponakannya.

Jika aku boleh meminta, aku berharap kamulah jodohku, Adinda...

AKZ part 3

Zaid duduk di sofa sambil menggendong Laras, bayi cantik yang sepintas mirip dengan Adinda. Tentu saja mirip, karena Arjuna dan Adinda pun begitu mirip.

Tak lama, Adinda datang dan duduk di samping Zaid

" Sini, Kak... Biar Dinda yang gendong Laras. Emangnya kak Zaid bisa ? " tanya Adinda terkesan meremehkan kemampuan Zaid.

" Bisa dong, memangnya kamu gak lihat ini lagi apa " jawab Zaid sambil menggerakkan bibirnya seolah mengajak bicara bayi cantik itu.

" Ya udah deh, kalau gitu titip Laras ya Dinda mau makan dulu " ucap Adinda sambil beranjak.

Baru saja Adinda bangkit, bayi cantik itu terlihat menangis membuat Zaid kebingungan dan memanggil Adinda.

" Dinda... Tunggu, ini Larasnya nangis " Zaid terlihat panik.

" Idih, katanya bisa. Bisa bikin nangis ya ? " oceh Dinda sambil meraih Laras dari tangan Zaid.

Ajaib, hanya dengan menyentuh bayi cantik itu, ia menghentikan tangisnya membuat Zaid takjub.

" Memang kalau udah ketemu pawangnya langsung diem " ucap Zaid asal, membuat Dinda mencebikkan bibirnya.

" Pawang apaan ? " tanya Dinda kesal.

Pawang hati aku...

" Apaan ? Jawab ? " paksa Dinda.

" Pawangnya Laras lah. Iya kan Laras sayang " jawab Zaid sambil berdiri di samping Adinda dan mencolek pipi gembul Laras.

Laras tertawa melihat wajah lucu yang dibuat Zaid.

" Dih, Laras ketawa. Seneng ya lihat Om ganteng disini " ucap Zaid percaya diri.

" Ih, kepedean... " cibir Adinda sambil menimang-nimang Laras.

" Emang ganteng kok, buktinya banyak yang antri jadi istri " sahut Zaid santai.

Dinda menengok ke kanan dan ke kiri.

" Mana yang ngantrinya ? " tanya Dinda dengan nada meledek.

" Emang Om Zaid nih paling bisa ya Laras cantik " sambung Dinda sambil mengajak Laras berbicara .

" Bisa apa ? " tanya Zaid penasaran.

" Bisa banget ngehalu... Ha...ha..." ledek Dinda diiringi gelak tawa.

" Ish, dasar ... Untung aku suka " gerutu Zaid sambil melihat ke arah lain.

" Untung apa Kak ? " tanya Adinda karena tak sepenuhnya mendengar ucapan Zaid.

" Untung kamu, adiknya Arjuna. Kalau bukan... " Zaid menahan kata yang akan diucapkannya.

" Kalau bukan kenapa ? " tantang Adinda menatap wajah Zaid.

Zaid memalingkan wajahnya, ia tak tahan jika harus bersitatap dengan Adinda. Rasanya jantungnya melompat-lompat dengan aliran darahnya berdesir hebat.

" Gak kenapa-kenapa sih " jawab Zaid sambil menggaruk kepalanya.

" Idih, masa Kapten cetek " remeh Adinda sambil mencebikkan bibirnya.

Ah, ingin rasanya aku menempelkan bibir ini dengan bibirmu itu, Dinda...

Zaid segera menormalkan pikirannya. Ia sadar tak seharusnya ia hanyut dalam lamunan. Hingga ia segera mengalihkan mata dan otaknya pada bayi cantik dalam gendongan Adinda.

Zaid dan Adinda begitu lepas bermain dengan Laras hingga mereka tak curiga jika interaksi mereka diperhatikan oleh kedua ibu mereka.

" Zaid, kayaknya udah pantes punya anak mba " ucap Bu Lia.

" Iya, sepertinya begitu. Dan rasanya saya sudah menemukan calon yang cocok buat Zaid " sahut Bu Sandra sambil tersenyum melihat kedekatan antara Adinda dan Zaid.

" Mba sudah punya calon toh... Semoga cocok dengan Zaid ya mba " ucap Bu Lia tanpa curiga.

" Oh iya de, ada yang harus saya bicarakan berdua sama ade. Tapi jangan disini, disini kayaknya terlalu ramai "

" Masalah apa ya ? Penting mba ? " tanya Bu Lia penasaran, yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Bu Sandra.

" Hm... Dimana ya mba ? Paling kalau mau agak sepi di lantai atas sih mba " ucap Bu Lia menunjuk ke lantai 2 rumahnya.

" Ya udah, de. Kita bicara di atas saja. Ayo de ! " ajak Bu Sandra sambil berdiri.

Bu Lia akhirnya membawa Bu Sandra menuju lantai 2 rumahnya, lalu mereka duduk di ruang keluarga yang ada di sana.

Mereka berdua duduk di sofa yang ada di ruangan keluarga.

" Ada masalah apa mba ? Saya jadi penasaran ini" tanya Bu Lia.

" De, ade masih inget kan kalau dulu suami kita pernah ingin berbesan malah mereka sudah berjanji untuk menjodohkan anak-anak kita " jawab Bu Sandra.

" Iya, mba... Tapi itu kan dulu, lain lagi ceritanya karena kan anak kita pas lahir sama-sama laki-laki . Saya melahirkan Arjuna dan Mba Sandra melahirkan Zaid " sahut Bu Lia mengenang masa saat melahirkan Arjuna.

" Betul, tapi kan ade akhirnya melahirkan Pertiwi juga Adinda. Jadi sepertinya kita bisa melanjutkan perjodohan anak-anak kita " ucap Bu Sandra lagi.

" Waduh mba... Pertiwi kan sudah tunangan, jadi gak mungkinlah dijodohkan sama Zaid " sahut Bu Lia.

" Bukan Pertiwi, de. Tapi Adinda " sambung Bu Sandra.

Kening Bu Lia berkerut, ia tak menyangka jika Bu Sandra akan meminta perjodohan dengan anak bungsunya.

" Maaf mba... Tapi sepertinya Adinda belum cukup dewasa untuk menikah " tolak Bu Lia.

" Tolong de... Saya takutnya karena janji yang dibuat oleh suami kita, jadinya Zaid susah dapat jodoh. Lagi pula memangnya ade gak takut kalau suami kita jadi tidak tenang karena punya janji yang belum ditepati. Janji itu kan hutang de, kalau suami kita tidak bisa membayarnya berarti itu jadi kewajiban yang masih hidup kan untuk melunasinya " jelas Bu Sandra.

" Saya... Saya bisa saja memutuskannya sendiri tapi ini bukan masalah kecil mba jadi saya harus membicarakannya dulu sama anak-anak " ucap Bu Lia.

" Ya sudah, de. Dibicarakan saja dulu sama anak-anak. Saya cuma mau membicarakan itu saja. Mudah-mudahan secepatnya ada keputusan ya dan kami akan segera melamar Adinda " sahut Bu Sandra.

" Apa Zaid sudah setuju dengan rencana ini, mba ? " tanya Bu Lia.

" Zaid bahkan belum mengetahui rencana ini. Saya baru akan memberi tahu Zaid nanti " jawab Bu Sandra.

" Lalu bagaimana jika Zaid menolak perjodohan ini ? " tanya Bu Lia khawatir.

Bu Sandra mengulum senyum,

" Saya yakin Zaid tidak akan menolaknya. Justru saya khawatir penolakan datang dari Adinda. Saya berharap ade bisa membujuk Adinda agar menerima perjodohan ini " harap Bu Sandra.

" Mengapa mba begitu ingin menjodohkan Zaid dengan Adinda padahal bisa saja Zaid sudah mempunyai calon pendamping hidup " ucap Bu Lia.

Bu Sandra menghela nafas, lalu menatap Bu Lia.

" Sebagai seorang ibu, saya bisa merasakan jika Adinda adalah wanita yang tepat untuk Zaid. Adinda bisa membuat hidup Zaid lebih berwarna. Walaupun hanya sekilas, tapi saya bisa melihat kekakuan dalam diri Zaid hilang ketika bersama dengan Adinda. Itu yang membuat saya yakin jika Adinda adalah wanita yang cocok untuk Zaid " papar Bu Sandra.

Bu Lia terdiam, jujur ia tidak tahu bagaimana harus bersikap. Ia amat tahu jika Zaid merupakan anak yang baik. Karirnya bagus serta bertanggung jawab. Ia yakin jika Zaid bisa menjadi suami yang baik untuk anak bungsunya yang manja.

Hanya saja, ia tak tahu bagaimana mengemukakan rencana ini kepada Adinda. Anak bungsunya itu pasti akan menolak. Adinda meskipun dikenal ramah, polos dan manja tetapi juga keras kepala.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!