"luka semakin lama semakin membesar, ia tidak tahu bagaimana cara menyembuhkannya. Karena yang terluka adalah hatinya .Jika sebuah luka tidak bisa diobati, apakah dengan membuatnya membeku rasa sakitnya akan berkurang?
Tak apa jika lukanya tak bisa menutup dengan sempurna, asalkan rasa sakit itu perlahan berkurang atau dengan membuatnya membeku tidak akan terasa sakit lagi. Tak apa membuatnya mati rasa, karena kristal es akan melindungi hati ini jika suatu saat ada pedang yang menusuk lagi."
Di sebuah kereta, terlihat seorang gadis dengan coat berwarna silver yang tebal. Gadis itu menenggelamkan wajahnya kedalam coat dengan mata yang sembab.
Gadis itu adalah Hinana Arizawa, dengan membawa koper hitam besar ia menuju ke arah Hokkaido.
Sebenarnya ia akan menikah minggu depan tapi kekasihnya meninggalkannya.
Tepat di kursi sebrang terlihat seorang laki-laki dengan membawa kontak kamera nya sedang memotret pemandangan. Dengan senyuman manisnya laki-laki itu memotret pemandangan dekat Hinana duduk.
"hentikan hal itu menggangguku." Hinana mendekati laki-laki itu karena ia terasa terganggu.
"maaf anda salah paham, aku hanya mengambil gambar pemandangnnya." laki-laki itu tersenyum ke arah Hinana.
"berikan padaku."
"Heh apa. Sudah kukatakan anda..."
Belum selesai laki-laki itu bicara, Hinana langsung mengambil kamera milik laki-laki itu dan melihat.
Setelah dirasa tidak ada gambar dirinya, Hinana menyerahkan kamera milik laki-laki itu tanpa berkata apapun. Seorang laki-laki itu tersenyum dengan perlakuan Hinana.
Kereta berhenti di stasiun Nisshin, Hinana segera keluar dan memesan taksi untuk menuju ke apartemen yang sudah di sewanya.
"Ano.. Anda meninggalkan syal di kereta." laki-laki tadi menyusul Hinana untuk mengembalikan syal warna merahnya.
"aku sengaja meninggalkannya." jawab Hinana dengan singkat.
"maaf tapi tidak baik meninggalkan sesuatu di tempat lain, lebih baik anda membawanya kembali. Jika tidak suka anda bisa membuangnya ."
Hinana merasa kesal dengan laki-laki itu, ia langsung mengambil syal itu dan membuangnya ke tempat sampah di dekatnya.
"Eh, anda benar-benar membuangnya. Padahal masih terlihat bagus." kata laki-laki itu karena terkejut dengan mudahnya membuang syal padahal di Hokkaido sangatlah dingin.
"kau siapa? Jangan pernah ikut campur urusan orang lain." Hinana tak tahan menahan amarahnya, karena saat ini ia benar-benar emosi. Syal yang di sengaja ia buang karena pemberian dari mantan pacarnya.
Hinana tak ingin membuat keributan dengan laki-laki yang baru ia temui, dan memutuskan segera naik ke dalam taxi yang baru datang.
Alasan Hinana datang ke Hokkaido karena ingin melupakan masa lalunya yang pahit di Tokyo. Hinana suka musim dingin jadi ia berpikir untuk pindah pekerjaan dan tinggal di Hokkaido.
Ponsel Hinana berdering dan itu telepon dari Bibi nya yang sedang menunggunya.
"Ya hallo,"
"Apa kau sudah sampai? Datanglah ke rumah Bibi kami semua sudah menunggu."
"sudah ku katakan bahwa aku langsung ke apartemen."
"Hinana ibu mu mencemaskanmu, kau harus ke rumah bibi dulu. Daah bibi menantimu."
"baiklah.." Hinana mematikan poselnya dan mengatakan pada sopir taksi untuk pindah tempat tujuan.
Dua puluh menit kemudian, Hinana sudah sampai di rumah Bibi nya dan disambutnya dengan hangat. Bibi nya Hinana yang akrab di panggil Miyo-san sudah tahu apa yang terjadi pada Hinana.
Ketika ibu Hinana menceritakan keadaan Hinana ia tidak keberatan jika Hinana tinggal di rumahnya.
Tapi Hinana bersikeras untuk tinggal sendiri dan tidak ingin merepotkan Miyo-san.
" Selamat datang Hinana." sapa Miyo-san dan Keiko putrinya.
"terimakasih semuanya."
"Onii- san (sebutan kakak ) mari masuklah, kita bisa tidur bersama di kamarku aku sangat senang kau datang.
"terimakasih Keiko tapi aku akan menginap di apartemen saja."
"kau tidak boleh menolak Hinana, tinggal lah di sini beberapa hari kedepan." Miyo-san membawakan secangkir macha dan ramen untuk makan bersama.
"terimakasih ,tapi aku tidak ingin merepotkanmu Bibi."
"tidak tidak, aku sama sekali tidak merasa begitu. Baiklah sekarang selamat makan ."
Mereka bertiga kemudian menikmati makan malam bersama. Hinana berpikir tidak ada salahnya jika tinggal beberapa hari dirumah Bibi nya. Perasaan Hinana sedikit senang karena ada Keiko sepupu yang sangat perhatian padanya.
Keesokan harinya Hinana akan pergi ke sebuah kantor designer terkenal di Hokkaido. Ia akan bekerja di bagian periklanan meskipun dulunya ia adalah seorang model ternama di Jepang, tapi ia memutuskan untuk berhenti semenjak kejadian itu.
"Mohon bimbingannya." kata Hinana dengan menunduk setelah managernya memperkenalkan sebagai karyawan baru.
"Eh bukankah kau Hinana Arizawa seorang model itu kan?" Kata Emi karena merasa mengenalnya karena sering melihat foto Hinana di sampul-sampul majalah.
"benar dia Hinana-san, aku tak percaya bahwa kita akan punya teman sekantor yang terkenal." Tsubaki rekan kerja laki-laki yang sangat familiar dengan Hinana karena pernah bekerja sama mempromosikan design baju perusahaannya.
Hinana yang merasa teman-teman kerjanya sudah mengenalnya merasa senang dan berharap bisa bekerja sama dengan baik.
"benar aku Hinana Arizawa akan bekerja di bagian periklanan jadi mohon kerja samanya." Hinana memperkenalkan dirinya kemudian menuju ke ruang kerjanya yang di bantu oleh Emi Fujuku senior di bidang yang sama.
Sudah hampir satu bulan Hinana menikmati pekerjaannya dan sudah mulai akrab dengan teman-teman sekantornya. Tapi meskipun sudah memiliki pekerjaan yang sibuk Hinana masih belum bisa melepas kesedihannya.
Dalam kesehari-hariannya Hinana memakai pakaian yang berwarna gelap, Hinana benar-benar menjadi orang yang berbeda dari yang sebelumnya. Sejak kejadian itu Hinana merasa bahwa hidupnya suram dan penuh kegelapan.
"Hinana bagaimana dengan pekerjaanmu." tanya Emi dengan merapikan semua dokumennya.
"sudah selesai dengan sempurna."
"baiklah, karena Direktur akan datang hari ini dan mengadakan rapat bersama."
"aku sudah siap." kata Hinana dengan senyum yang meyakinkan.
"ganbatte Hinana." Emi memberikan semangat untuk Hinana karena merupakan project pertama Hinana dan akan di bahas bersama Direktur perusahaan nya.
Semua karyawan sudah berada di ruang meeting, semua orang menunggu kedatangan Direktur yang sudah hampir tiga jam belum datang.
"apakah Direktur menunda meetingnya?" Hinana bertanya pada Tsubaki karena saat akan mulai presentasi ia merasa gugup.
"entahlah, mungkin terjadi sesuatu pada Direktur."
"begitukah."
"kita tunggu saja dahulu. Hinana jangan khawatir dengan projectmu kami semua mendukungmu."
"terimakasih Tsubaki."
Seorang laki-laki berjalan di koridor dengan kemeja berwarna merah muda dan memakai topi flat cap yang terlihat modis. Dia adalah Ren Koizumi seorang Direktur perusahaan.
"baiklah, segera persiapkan dokumen kalian semua. Direktur sudah datang." kata kepala manager dan mempersilahkan sesorang masuk ke ruang meeting.
"Konichiwa, maaf atas keterlambatan saya."
Semua karyawan berdiri menyambut kehadirannya, begitu juga dengan Hinana. Seketika Hinana langsung terkejut melihatnya, hingga dua pasang mata saling betatapan.
Hinana Arizawa seorang model cantik yang berumur 25 tahun.
Renchiro Koizumi atau yang biasa di panggil Ren. Ia adalah Designer sekaligus pemilik perusahaan Koizumi Clothes.
Senin sore Hinana telah selesai melakukan pekerjaanya, teman-temannya mengajak untuk makan bersama tapi Hinana menolaknya. Di parkiran ia menunggu seseorang.
" tuan Direktur, ada yang ingin ku sampaikan." Hinana segera menghampirinya ketika orang yang ditunggu akhirnya datang juga.
"ada apa.?"
"aku minta maaf saat itu, saat dikereta aku sedang dalam masalah dan saat di stasiun juga. Tidak seharusnya aku melampiaskan kemarahanku pada orang lain. Jadi aku benar-benar minta maaf." ucap Hinana dengan membungkukkan badan karena benar-benar menyesal. Jika ia tahu bahwa laki-laki itu adalah atasannya mungkin ia akan bersikap sedikit lebih sopan.
Tak butuh lama Ren kemudian tertawa terbahak-bahak karena mendengar permintaan maaf Hinana.
"Heh, apakah ada yang lucu." tanya Hinana
"tidak, tidak. Aku tak menyangka jika kau masih mengigatku, padahal sudah terjadi satu bulan yang lalu."
"Eh begitukah," Hinana menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia tak menyangka jika permintaan maafnya akan ditertawakan. Hinana mengira saat Direktur menatapnya dengan tajam karena kejadian di kereta dan akan memecatnya.
"maaf maaf menurutku kau lucu. Siapa namamu aku lupa?"
"Hinana Arizawa."
"Hinana, senang bisa bekerja sama denganmu. Oh iya aku akan makan malam dengan teman-teman ku apa kau mau ikut?"
"Eh, maaf aku tidak bisa. Aku harus segera pulang."
"kau bawa mobil?"
"tidak, aku akan naik taksi."
"kalau begitu ku antar pulang saja." Ren menawarkan tumpangan. Karena Ren menganggap semua karyawan adalah temannya saat sedang tidak bekerja.
"tidak perlu, !!! Maaf maksudku aku bisa pulang sendiri. Sampai jumpa tuan." Hinana berusaha menolak ajakan dari Ren karena ia memutuskan untuk tidak berteman dengan siapapun terutama laki-laki.
Ren Koizumi adalah seorang Direktur utama di sebuah perusahaan perancang baju. Meskipun dia menjadi Direktur tapi sifat dan penampilannya terkesan santai. Kepribadiannya berbeda 180 derajat dari Hinana.
Hinana telah sampai di rumah dan melihat ada sebuah paket di meja.
"aku pulang."
"selamat datang apa kau memesan baju lagi Hinana." teriak Miyo-san di dapur saat tahu Hinana sudah pulang.
"em.."
"kau kemari membawa baju-baju mu yang bagus, mengapa kau berika pada Keiko?" Miyo-san menghampiri Hinana.
"aku sudah bosan, lagi pula dengam pekerjaanku yang sekarang aku lebih cocok dengan outfitku yang sekarang." jawab Hinana dengan santai dan mengeluarkan satu persatu pesanannya.
"apa kau baik-baik saja, melepaskan pekerjaanmu yang dulu?"
"em." angguk Hinana setelah agak lama berpikir.
Menjadi model memang sudah jadi impiannya saat kecil, tapi saat semua itu terjadi Hinana kehilangan semua impiannya.
"kau mungkin lelah, istirahatlah dulu Bibi akan buatkan makan malam."
"baiklah." ucap Hinana dan membawa sekardus pesanannya ke kamar.
Hinana masih tidur satu kamar dengan Keiko karena Keiko sendiri yang memintanya. Ibunya sudah menyewakan apartemen untuk Hinana tapi karena ia tak enak menolak ajakan Bibi nya, mungkin setelah beberapa bulan ia akan pindah.
"Onii-san kau membeli pakaian lagi."
"em."
"boleh aku lihat, Onii bisakah kau tidak membeli selain warna hitam?" Keiko yang dari semangat menjadi lemas karena tahu kalau kakak nya sering memakai baju gelap akhir-akhir ini.
"aku juga membeli warna abu-abu." jawabnya santai
"Onii semua baju mu sangat bagus, kenapa tak mau memakainya lagi."
"bajunya sudah tua, lagian aku sudah memberinya padamu."
"ibu melarangku untuk memakainya."
"kenapa?"
"jika aku memakainya dan kau melihatnya Onii-san akan sedih."
"terserah kau saja Keiko." ucap Hinana dengan tenang meskipun sebenarnya ia memikirkan ucapan Keiko.
Malam harinya Hinana, Keiko dan Bibinya seperti biasa makan malam bersama.
"Hinana, kenapa kau sekarang menjadi pendiam. Dulu kau selalu bercerita tentang apa yang terjadi di sekolahmu. Meskipun hari- hari mu di sekolah menyenangkan atau tidak kau selalu bercerita dengan bersemangat." ucap Miyo-san karena mulai khawatir dengan keponakannya.
"itu dulu Bibi sudah sangat lama, sekarang tidak ada yang menarik untuk di ceritakan."
"hanya saja Bibi merindukan Hinana yang dulu."
"Bibi itu sudah sangat lama sejak aku masih SD, aku sudah selesai makan. Aku akan istirahat dulu Bi terimakasih makanannya." Kemudian Hinana beranjak pergi menuju kamarnya.
"ibu ada apa dengan Onii-san. Aku kira saat dia kemari akan jadi menyenangkan"
"Hinana sedang dalam keadaan kurang baik. Keiko maukah kau tetap menemaninya, aku merasa kasihan padanya. Sejak mantan kekasihnya membatalkan pernikahan, Hinana kehilangan jati dirinya ia tak pernah tertawa bahkan menangis di hari itu."
"siap ibu, aku bisa di andalkan."
"terimakasih putri ibu yang sangat baik." puji Miyo-san kepadan Keiko anaknya.
Seperti biasa kemudian Keiko membantu ibunya membereskan sisa-sisa piring sehabis makan malam.
Keiko sering tinggal berdua dengan ibunya karena ayahnya yang bekerja di luar kota dan pulang hanya enam bulan sekali. Kedatangan Hinana sebenarnya membuat Keiko senang karena memiliki teman, tapi harapan itu sirna saat Keiko tahu keadaan Hinana yang sangat terpuruk.
"selamat pagi." sapa Ren pada rekan-rekan kerja
"selamat pagi." balas Tsubaki dan Arumi
"Tuan Ren ini hasil pemasaran bulan ini, silahkan kau lihat dulu." Tsubaki menyerahkan laporan pada Ren.
"Ah syukurlah banyak permintaan, trimakasih Tsubaki kerja bagus."
"semua ini berkat karyawan baru kita."
"siapa?"
"Nona Hinana, semua kerja kerasnya patut dapat apresiai." Tsubaki melirikkan pandangan ke Hinana. Sementara Hinana masih terfokus pada komputernya.
"tentu saja, kembalilah bekerja."
Meskipun awalnya Hinana terpaksa dengan pekerjaannya tapi seiring berjalannya waktu ia mulai menyukainya.
Dulunya Hinana memang menjadi model tapi tidak terlalu mengenal fashion, apa yang ia pakai semua untuk kepentingan sponsor.
"Hinana, ayo makan siang bersama." Emi mengajak untuk keluar karena sudah jam istirahat.
"maaf tapi aku sudah membawa bekal."
"eehh kau selalu begitu."
"Bibi ku sudah bekerja keras membuatkannya."
"iya iya kau memang anak berbakti Hinana."
"kita makan siang bersama tak masalah jika kau bawa bekal makanmu." Tsubaki menghampiri Hinana dan Emi.
"iya benar, ayo Hinana." Emi menarik tangan Hinana
Sementara Hinana mencoba menolaknya dengan halus.
"maaf Emi. Tapi.."
"iya tak apa Hinana, besok aku akan bawa bekal juga dan kita makan bersama. Daah Hinana."
"Ayo Tsubaki aku sudah sangat lapar." Emi mengajak Tsubaki untuk segera keluar dan Tsubaki mengikutinya.
Hinana membuka bekal makan siangnya, ia sudah sering menolak ajakan teman-temannya sejak hari pertama kerja.
Hinana masih sulit berteman kaarena teman baik nya sendiri yang menghianatinya.
"Hinana kau juga membawa bekal, ayo makan siang bersama." Arumi berjalan ke arah Hinana dengan membawa bekalnya.
"Maaf Arumi tapi aku harus keluar." Ucap Hinana kemudian keluar meninggalkan Arumi dan temannya Rena.
"baiklah Hinana."
"ku pikir Hinana adalah orang yang menyenangkan, ternyata tidak."
"jaga ucapanmu Arumi." Rena mencoba mengingatkan Arumi karena Hinana masih belum jauh dari mereka.
Hinana mendengar perkataan dua orang temannya tapi sepertinya ia sudah tidak peduli lagi. Hinana segera pergi dengan membawa bekal makan siangnya.
Tsubaki Masataka sahabat Ren saat SMA
Arumi Ikura
Emi Fujuku
Hinana menuju rooftop untuk memakan bekal makan siangnya. Sebenarnya Hinana selalu memikirkan apa yang dikatakan temannya pada dirinya. Kecewa itu yang ia rasakan, Hinana merasa kecewa karena sulit untuk mendapatkan kepercayaan diri untuk lebih terbuka. Masih ada hal yang Hinana takutkan, ia takut jika akan tersakiti lagi.
"Ahhh dinginnya sangat menyenangkan.." teriak seorang tiba-tiba dan itu membuat Hinana terkejut dan segera membereskan makannnya.
"Eh apa yang kau lakukan disini?" tanya Ren kemudian menghampiri Hinana.
"aku sedang makan, tapi aku sudah selesai. Permisi.!"
"Tunggu sebentar." Ren mencegah Hinana pergi dengan memegang tangannya.
Beberapa kemudian Hinana terjatuh saking terkejutnya, selama ini ia mencoba menghindari semua orang.
"kau tidak apa-apa?" tanya Ren dan mencoba untuk menolong Hinana yang terjatuh.
"Berhenti...!! Eh maaf, aku tidak apa-apa. Aku bisa sendiri. Maafkan aku." ucap Hinana kemudian terburu-buru pergi dari hadapannya Ren.
Ren hanya memandangi kepergiannya Hinana.
"apa tanganku kotor." gumam Ren dengan memandangi tangannya dan tertawa kecil.
Hinana kembali ke ruangannya dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia masih mengingat saat Ren memegang tangannya dan saat itu Hinana menantap matanya.
"Hinana, laporanmu untuk bulan depan." Suara Emi membuyarkan lamunan Hinana.
"Baik, terimakasih." Hinana mengambil lembaran kertas tak mulai fokus kembali ke pekerjaannya.
"Oi.. Hinana kau banyak mendapat permintaan bulan ini tidakkah kau mentraktir kami?." teriak Tsubaki dari ruangannya dan mengintip Hinana.
"Eh, aku masih banyak belajar belum sehebat kalian."
"jangan pedulikan dia Hinana, di otak Tsubaki hanya ada makanan." Sahut Emi.
"baiklah ."
Emi memang senior yang paling mengerti Hinana karena Emi sudah mendengar kabar buruk tentang Hinana. Tapi ia tak begitu tertarik privasi orang lain, terlebih lagi Hinana orang yang pendiam.
Sore hari Hinana tidak berniat pulang, ia ingin main Ski di Niseko. Karena dengan main Ski bisa membuat perasaannya lebih baik, disamping itu ia baru mendapatkan bonus gajinya.
Hamparan salju yang sangat luas dengan udara yang sangat dingin terlihat indah di mata Hinana. Meskipun sudah lama tidak main Ski tapi Hinana yakin bisa melewati semuanya.
"Yoshh." ucapnya dengan penuh keyakinan kemudian mulai meluncur.
Hinana berteriak dan menikmati permainannya meskipun terjatuh berkali-kali. Tidak salah jika Hokkaido menjadi tempat pelariannya, karena ia sangat menyukai musim salju.
"ada yang jatuh pingsan cepat tolong dia." teriak seseorang kemudian berlari kearah yang sudah banyak di kerubungi orang.
Hinana hanya menengok tanpa memperdulikan dan masih terus bermain. Tapi hampir sepuluh menit Hinana masih melihat orang bergerombol di sana, hatinya tergerak untuk menolong karena jika terlalu lama di biarkan orang itu akan jatuh terkena Hipotermia.
"Permisi, permisi." Hinana melewati segerombolan orang untuk melihat apakah sudah ada yang menolongnya.
"Hah Tuan Ren." teriaknya kemudian datang menghampiri dan meminta tolong untuk membawa Ren ke tempat yang hangat.
Hinana menuggu Ren tapi ia juga bingung harus melakukan apa, karena ia tidak tahu keluarganya dan Ren hanya atasannya bekerja saja.
"kenapa aku disini.?" ucap Ren dengan memegangi kepalanya yang sakit.
"kau sudah bangun Tuan, syukurlah. Aku tak tahu harus bagaimana." Hinana kemudian menghampiri Ren dan membawakan teh hangat.
"Nana.!" panggil Ren saat melihat Hinana dan hal itu membuat tangannya menjatuhkan secangkir teh. Hinana merasa dadanya sangat sesak saat mendengar panggilan itu.
"Kau tak apa Nana?." tanya Ren sekali lagi dan mencoba untuk bangun dari tidurnya.
"kau sudah baikan? Maaf aku harus pergi."
"tunggu sebentar Nana, Aww." Ren memegangi dadanya yang masih terasa sakit dan Hinana melihatnya kemudiannya mengurungkan niatnya untuk pergi.
"kau bisa duduk kan?"
"bisa, terima kasih sudah membantuku."
"aku akan memesan teh lagi, tunggulah."
"tidak perlu Nana, tolong ambilkan tas ku saja." Ren menunjuk tasnya dan Hinana segera mengambilnya.
"terima kasih sekali lagi Nana." ucap Ren setelah meminum obatnya dan Hinana hanya mengangguk.
Hinana melihat wajah Ren yang semakin pucat ia semakin tidak tega. Meskipun ia mencoba tidak peduli dengan semua orang tapi jika melihat orang sakit Hinana tidak bisa membiarkannya.
"kalau kau merasa sakit seharusnya tidak kemari, udara sangat dingin bisa memperburuk keadaan." ucap Hinana memecah keheningan.
"terima kasih sudah menasehatiku, tapi bisakah kau melihat orang jika sedang berbicara?"
Seketika Hinana mencoba menatap wajah Ren. Jantung Hinana merasa berdetak kencang saat melihat Ren tersenyum kemudian dengan segera Hinana mengalihkan pandangannya.
"a-aku akan pergi, kau su-sudah lebih baik sekarang." ucap Hinana terbata-bata karena menahan jantungnya.
"hem hati-hati Nana." Ren tersenyum kepada Hinana dan saat Hinana melihatnya ia langsung melarikan diri.
Hinana pulang dengan menaiki Bus, ia masih tidak percaya perasaannya masih berfungsi padahal selama ini yang ia rasakan adalah sakit hati. Meskipun Ren berhasil memasuki hatinya Hinana mencoba untuk menolakknya karena tak ingin membuat lukanya bertambah besar.
Keesokan harinya seperti biasa Hinana kembali ke pekerjaannya. Hinana tak melihat Ren dari tadi pagi mungkin Ren tidak bekerja karena kecelakaan kemarin. Tapi sudahlah Hinana tak ingin memperdulikan itu yang terpenting ia sudah menolongnya.
"Nana..." panggil Ren kemudian menghampiri meja Hinana dan semua karyawan melihatnya.
"Hah Nana.?" ucap Tsubaki terkejut dan menggaruk kepalanya.
"ucapan terima kasih yang pantas untukmu." Ren membawakan bingkisan dan diberikan kepada Hinana.
"tidak perlu, aku tidak membutuhkannya." tolak Hinana dan memberekan barang-barangnya.
"apa kau tak suka hadiah?, menurutku itu hal pantas untuk berterima kasih."
"ku bilang tidak perlu, permisi aku pergi dulu." Hinana berlari segera pergi dari kantor.
"ada apa dengannya? Bukankah sangat sombong menolak pemberian tuan Ren." ucap salah seorang karyawan.
"kau benar, aku kira Hinana orangnya baik ternyata hanya cover saja."
Ren tak pikir panjang dan berusaha untuk mengejar Hinana meskipun ia rasa sudah jauh. Dan benar Hinana sudah pulang naik taksi dengan rasa kecewa Ren kembali ke kantornya.
"ada apa sebenarnya Ren?" tanya Emi dengan membereskan barangnya.
"tidak ada, hati-hati jika pulang."
"Hinana orang yang sangat pendiam, jika kau hanya main-main lebih baik jangan mengejarnya."
"apa aku terlihat seperti pemain wanita?" tanya Ren dengan tawa kecilnya sehingga membuat Emi juga ikut tertawa.
Ren memang tidak masuk kerja hari ini, tapi ia menyempatkan untuk ke kantor melihat email pekerjaannya dan menunggu kakaknya akan datang dari Paris.
Seperti biasa Hinana akan pergi ke tempat Ski. Tapi sesampai di sana sedang turun salju dan tidak memungkinkan untuk bermain.
Hinana memutuskan pulang dengan menaiki bus, saat salju sedang turun ada sebuah payung yang mendarat tepat di kepala Hinana.
"Eh, Terima Kasih." kata Hinana saat ada seseorang yang memberikan payung padanya.
Seorang laki-laki itu hanya tersenyum kemudian pergi.
Hinana merasa laki-laki itu sangat familiar tapi entahlah dimana ia bertemu, dan Hinana tampak tidak memperdulikannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!