NovelToon NovelToon

Wanita Bahu Laweyan

BAB 1. MATI DI MALAM PERTAMA

Hari ini, Anindita Puspa Ayu Batari akan menikah dengan orang yang dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Tanpa sebuah perkenalan ataupun rasa cinta, ia rela menikah demi perjodohan yang dilakukan oleh keluarga besarnya. Sebuah pernikahan bisnis lebih tepatnya.

Saat ini, Dita melihat tampilan wajah ayunya di cermin. Terlihat sekali tatapan kosong di sana. Menatap jauh ke dalam cermin yang tidak pernah menampakkan sebuah kepalsuan.

"Aku menerima takdirku yang terlahir sebagai putri dari seorang ningrat, yang tidak pernah punya kebebasan apa pun, meskipun itu tentang cinta," ucap Dita pada cermin di hadapannya.

Sepi, hanya hembusan angin semilir dari celah kamar yang terasa lebih dingin dari biasanya.

Aroma kemenyan dan bunga dari sesajen yang diletakkan di salah satu sudut kamar, membuat aroma di kamar calon pengantin semakin terasa berbeda.

Namun, bukan hanya di kamar Dita saja sesajen itu diletakkan. Masih ada beberapa jenis yang sama yang tersebar di seluruh rumah pengantin wanita. Termasuk sesajen yang lebih lengkap berada dan menjadi satu dengan kembar mayang.

Tentu saja sesajen itu digunakan dengan maksud melindungi agar setiap proses yang dilakukan selama kegiatan di rumah pengantin wanita bisa berjalan lancar.

Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar, membuyarkan lamunan Dita untuk beberapa saat.

"Nak, apa kamu sudah siap?" tanya Ibu Sekar Ayu, ibunya Dita pada putrinya dengan logat khas Jawa.

Dita menoleh ke arah pintu, "Iya Bu, saya sudah siap."

Dita juga terbiasa bercakap-cakap dengan logat Jawa ketika di rumah. Sehingga tidak terasa aneh saat berbicara.

Setelah mendapatkan jawaban dari dalam, Nyonya Sekar mempersilakan para perias pengantin untuk masuk ke kamar Dita bersama dirinya.

"Ayo mbak, silakan masuk!"

"Njeh Bu," ucap mereka hormat.

Sementara itu, suara gamelan Jawa terdengar mengalun indah di kediaman Dita. Dekorasi yang apik khas dengan adat Jawa tulen terlihat jelas di sana. Sepasang kembar mayang sudah dipersiapkan untuk kedua calon pengantin. Karena pagi itu, pernikahan akan berlangsung.

Mayang sari (hiasan dari janur) sudah terpasang di kedua sisi kursi pengantin. Lengkap dengan buah-buahan segar di sana yang menghiasi Mayang sari. Menambah kesan sakral dan memperindah pelaminan yang memakai gebyog di belakang kursi pelaminan.

Penjol atau sering disebut umbul-umbul juga sudah di pasang rapi di ujung gang masuk rumah, sebagai tanda bahwa di daerah sana sedang ada acara pernikahan. Tidak lupa sebuah sajen juga di letakkan di sana.

Para perias sudah masuk ke dalam kamar Dita. Mereka membawa koper yang berisi make up dan peralatannya untuk merias wajah calon pengantin perempuan. Sebenarnya Dita sudah sangat cantik, tetapi karena hari ini merupakan hari yang sakral dan spesial maka para perias itu datang untuk menyempurnakan penampilannya.

Sebelum merias, perias tersebut membacakan sebuah doa lalu meniupkannya ke ubun-ubun Dita. Tidak lupa ia membersihkan rambut-rambut halus di kening Dita, baru sesudahnya mulai melukis paes di keningnya. Sebuah Cithak juga diberikan untuk sentuhan akhir riasan di tengah-tengah kening.

Selanjutnya sebuah sanggul bentuk bokor mengkurep lengkap yang ditutup dengan rajutan melati. Tidak lupa cunduk mentul yang berjumlah songo menghiasi sanggul Dita.

Selama dirias, Dita tidak bersuara sama sekali, tidak ada senyum tidak ada percakapan. Ia tampak tenang, tetapi menghanyutkan.

Waktu yang digunakan untuk merias cukup singkat, karena tidak perlu membutuhkan banyak riasan, wajah Dita sudah tampak bersinar sangat cantik.

Sementara itu, di rumah kediaman pria, mereka sudah bersiap untuk datang ke rumah Dita. Dengan iring-iringan rombongan mobil pengantin, tepat pukul delapan pagi, mereka sudah sampai di kediaman Dita. Tempat berlangsungnya akad nikah.

Wisnu dan para rombongan segera menuju tempat akad nikah. Di sana sudah ada penghulu dan beberapa saksi dari kedua mempelai. Di hadapannya Pak Handoko, wali Dita sudah bersiap menyambut Wisnu.

Setelah semua siap, Wisnu bersiap melakukan ijab kabul. Kini Pak Handoko menjabat tangan Wisnu dan mengucap akad nikah ijab kepadanya.

"Saudara Wisnu Barata, Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Ananda Wisnu Barata bin Sanjaya dengan anak saya yang bernama Anindita Puspa Ayu Batari dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan emas sebelas gram, Tunai.”

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Anindita Puspa Ayu Batari binti Handoko Kusumo dengan maskawinnya yang tersebut, tunai.”

"Bagaimana saksi?" tanya penghulu kepada semua saksi.

Semua menjawab, "Sah."

"Alhamdulillah."

Lalu semua orang mengucapkan doa untuk kedua pengantin. Setelah itu, Dita baru dibawa keluar untuk menemui Wisnu dan bersiap menandatangi dokumen pernikahan.

Sungguh bahagia menjadi Wisnu, karena memiliki istri yang sangat cantik seperti Dita. Selesai menandatangi surat, Wisnu menyematkan cincin di jemari Dita. Mencium kening, lalu mengucapkan doa-doa untuk Dita.

Akhirnya Dita resmi menjadi istri Wisnu. Pembawaan yang tenang, tidak memperlihatkan raut bahagia di wajah Dita. Namun, Wisnu tidak mempermasalahkan hal tersebut.

Tidak butuh waktu lama, sepasang suami istri itu langsung menggelar resepsi. Banyak sekali kolega bisnis yang datang menghadiri pernikahan Wisnu dan Dita. Semua tampak sukacita, terlebih di hadapan mereka terlihat sepasang Raja dan Ratu di pelaminan yang sangat serasi.

Pemandangan tampak memukau di mata para tamu undangan. Banyak yang memuji kecantikan Dita, juga ketampanan Wisnu. Tidak ada celah diantara keduanya.

"Pasti keturunan mereka akan sangat tampan dan cantik. Apalagi kedua orang tua sudah cantik dan tampan."

"Benar Mbak Yu, sungguh beruntung mendapatkan Dita, apalagi Wisnu sebagai seorang CEO, jadi tidak ada ruginya Dita menikah muda."

Semua pujian yang di berikan kepada Dita sama sekali tidak membuat Dita tersenyum. Tidak ada ekspresi kebahagiaan sama sekali yang tampil di sana. Ia hanya sesekali tersenyum ketika ada teman kolega bisnis ayahnya yang ia kenal ataupun kolega Wisnu.

Beberapa jam kemudian, malam telah datang. Sesuai rencana, mereka akan menghabiskan dua hari di kamar hotel sebagai hadiah pernikahan mereka. Kini semua keluarga sudah kembali ke rumah masing-masing, kecuali pasangan pengantin baru tersebut.

"Mas, Dita ke kamar mandi dulu. Badannya sudah lengket banget," pamit Dita.

"Iya Dek, aku menunggu di sini saja," kata Wisnu sesaat setelah Dita masuk ke kamar mandi.

"Daripada garing di sini, mending cari udara segar di balkon," ujarnya.

Wisnu lalu melangkahkan kakinya ke balkon. Ia mencoba menikmati indahnya suasana malam dari lantai tersebut. Ia menghirup udara malam dengan perlahan, sambil melihat-lihat tamu hotel yang lalu lalang di bawah sana.

Namun, bau anyir seketika menyeruak, memenuhi rongga dadanya.

"Bau, apa ini?" ucapnya janggal.

Bulu kuduknya tiba-tiba saja meremang, lalu entah bagaimana tengkuknya seolah sedang ditiup-tiup. Ia pun langsung menoleh seketika.

Entah bagaimana caranya, sekelebat bayangan hitam yang sebelumnya berdiri dibelakangnya, kini sudah berdiri tepat di depan wajahnya. Matanya merah menyala dengan bau anyir yang sangat pekat, tanpa tubuh yang menyertainya.

Tentu saja Wisnu terkejut, matanya terbuka lebar dengan mulut menganga. Kini bola matanya mengerjap, mencoba mencari keberadaan mahluk yang baru saja muncul, tetapi langsung menghilang beberapa detik kemudian.

"Makhluk apa itu tadi?"

Tiba-tiba ponsel yang ia pegang menyala tanpa sebab. Karena terkejut dan gugup, ia menjatuhkannya ke lantai.

Wisnu menunduk untuk mengambilnya. Sayang, pada saat bersamaan, ia seolah di dorong dari belakang hingga kakinya terpeleset. Beberapa tiang pagar balkon patah, hingga tubuhnya sukses meluncur dari ketinggian lantai dua puluh.

Ia pun terjatuh dari balkon kamarnya dan mendarat tepat di depan pintu masuk hotel tersebut. Matanya melotot dengan lidah menjulur keluar. Darah segar seketika muncrat membanjiri tubuhnya.

Kejadian tersebut sangat cepat. Tanpa suara, tanpa jeritan, Wisnu langsung meninggal di tempat.

Beberapa tamu hotel histeris melihat jasad Wisnu tergeletak tanpa nyawa di depan lobby hotel. Keadaan menjadi kacau, beruntung masih ada yang ingat dan segera menelepon polisi dan ambulans.

Dita yang baru keluar dari kamar mandi terkejut mendapati Wisnu tidak ada di sana. Lalu sesaat kemudian ada telepon dari resepsionis. Ia mengatakan jika ada korban bunuh diri yang terjatuh dan meninggal di depan lobby hotel. Menurut mereka, ia berasal dari kamar Dita. Siapa yang tidak syok mendapati dugaan tersebut.

"Ciri-ciri korban seperti apa, Mbak?"

Resepsionis itu menyebutkan semua yang ia lihat tanpa ada yang ia tutupi sedikitpun.

Bibir Dita gemetar, "Baik, sebentar lagi saya turun."

Firasat Dita langsung mengarah ke Wisnu. Ia berlari ke balkon. Terlihat jam tangan Wisnu tertinggal di sana dan juga pacar balkon yang patah. Dita menutup mulutnya, seolah tidak percaya dengan ramalan beberapa tahun yang lalu, kini terbukti.

"Ini nggak mungkin, kan? Mas Wisnu nggak boleh meninggal!" teriak Dita histeris.

Seketika Dita pun pingsan di tempat.

...🌹Bersambung🌹...

.

.

Lalu ramalan apa yang diucapkan kepada Dita waktu itu? Akankah ramalan itu sedang menjalankan takdirnya? Jangan lupa like, komen, dan dukungannya teman. Semoga suka dengan karya barunya.

Bab 2. TRAUMA

Dita masih tampak histeris akan kejadian yang menimpanya hari ini. Ia tidak menyangka ramalan yang didapatkan beberapa tahun yang lalu terbukti saat ini.

Kedua belah pihak keluarga besar segera mendatangi lokasi kejadian. Banyak keluarga terkejut akan kematian Wisnu yang mendadak. Apalagi saat mereka melihat jasad Wisnu. Nyonya Anggraeni sempat berteriak histeris kala itu. Begitu pula dengan Rista.

Banyak bisik-bisik yang menyalahkan Dita untuk kejadian ini, karena tidak becus menjaga suaminya.

"Pasti semua ini karena wanita sial itu! Baru aja menikah sudah membuat suaminya mati. Aku yakin, semua ini pasti karena dia."

Rista sudah tidak bisa menyembunyikan kekesalannya lagi saat ini. Baginya kehilangan kakak sekaligus sosok pengganti ayahnya itu sangat membuatnya terpukul.

"Hust, diam kamu. Biar polisi yang menyelidiki semuanya."

Nyonya Anggraeni tidak ingin menyinggung Keluarga Besar Kusumo saat ini. Sementara itu, Rista adalah adik perempuan Wisnu satu-satunya. Dia juga merupakan anak indigo.

Jadi ia tau penyebab apa yang menimpa kakaknya. Beberapa saat yang lalu, ia sudah mengatakan hal ini di depan seluruh keluarga besarnya, tetapi tidak ada yang percaya. Takdir baru Dita sudah berjalan saat ini. Tidak akan ada yang bisa menolongnya lagi.

Sementara itu, Rista masih saja mengomel sepanjang perjalanan pulang, tetapi keluarganya sama sekali tidak percaya akan kemampuan Rista yang bisa membaca masa depan. Hingga akhirnya Wisnu harus meninggal kali ini.

"Andai saja kalian mempercayaiku, semua nggak akan terjadi," ucapnya penuh sesal.

Rista bergelayut pada lengan ibunya di dalam mobil.

"Wanita itu terkutuk, Buk. Seharusnya Kak Wisnu nggak bakal mati kalau nggak maksa buat nikah sama Dita!"

"Rista, yang kamu tuduhkan itu sama sekali tidak beralasan. Ini sudah jaman modern, Nak. Tidak ada kutukan di jaman seperti ini."

"Ibuk, kenapa sih, sama sekali nggak percaya sama kemampuanku!"

Ibu Anggraeni sebenarnya ingin mempercayai Rista, tetapi ia lebih takut dengan kekuasan yang dimiliki oleh Keluarga Besar besannya, Handoko Kusumo. Jika ia berani mengusik keluarga tersebut, bisa-bisa bisnis keluarganya terancam kali ini.

Bahkan banyak yang menyebutkan jika kematian Wisnu sebagai tumbal dari kekayaaan Keluarga Kusumo tersebut. Entah gosip mana yang benar, karena semua tidak bisa dibuktikan dengan mata kepalanya sendiri.

Esok pagi adalah pemakaman Wisnu, darah dagingnya sendiri. Kini harapan memiliki cucu, musnah sudah. Bahkan ia kehilangan calon penerus kerajaan bisnis keluarganya. Hanya satu harapannya saat ini, yaitu membiarkan Rista menjalankan tonggak kepemimpinan perusahaannya.

Sementara itu, Dita masih mengurung dirinya sendiri di kamar. Suara-suara misterius itu terus membelenggu jiwanya.

"Ha ha ha, kini kau merasakan apa yang aku rasakan dulu, gadis cantik."

"Siapa pun yang akan menikahimu akan bernasib sama dengan Wisnu, ha ha ha ...."

Dita menutup telinganya rapat-rapat sambil berteriak, "Tida ... ak!"

"Hati-hati, Nak. Masa depanmu sangat suram. Kalau kau berhasil melewatinya, baru cahaya terang tersebut akan kamu temukan!"

Ucapan peramal itu bagaikan sebuah bom atom yang siap meledak kapan pun ia mau. Seperti halnya kejadian hari ini. Di saat pesta pernikahannya usai, suaminya malah meninggal sebelum sempat menyentuh tubuhnya.

Bayangan Wisnu kini seakan datang dengan tersenyum, tetapi terkadang datang diiringi suara minta tolong darinya. Membuat Dita sering terbangun karena mimpi buruk.

Nafas Dita tersengal ketika ia terbangun dari mimpi untuk kedua kalinya. Suara minta tolong dari Wisnu terlihat semakin jelas di dalam indera pendengarannya.

"Apakah itu kamu, Mas? Meskipun aku belum mencintaimu, tetapi aku aku tidak berniat membunuhmu!" ucap Dita sambil terisak.

Dita lantas pergi dan duduk di hadapan cermin riasnya. Dita membuka beberapa kancing baju miliknya dan menoleh ke arah bahunya. Sekilas ia bisa melihat tanda lahir tersebut di salah satu bahunya dengan sangat jelas.

"Apa semua yang terjadi di dalam hidupku, karena kamu?" tanya Dita sambil mengusap bahunya.

Bagaimana pun Dita mencoba, tanda lahirnya tidak akan pernah hilang. Sama seperti takdirnya yang masih menjadi misteri sampai saat ini.

"Apa ini cobaan hidup yang harus aku lalui? Salahku apa?"

Dita menatap tajam kedua bola matanya. Melihat pantulan dirinya di cermin.

Cantik dan sempurna adalah penggambaran yang tepat untuk dirinya saat ini, tetapi tidak ada yang tau bagaimana dirinya harus berjuang di dalam kebudayaan yang sangat dijunjung tinggi oleh keluarganya tersebut.

"Apapun itu akan aku hadapi, jika memang ini takdirku maka aku akan berusaha untuk melawannya," ucapnya mencoba tegar.

Seketika bau anyir kembali memenuhi rongga dadanya. Tidak mau menunggu lama, ia pergi untuk mandi. Berniat agar bau tersebut bisa hilang.

Kenyataannya, bau anyir tersebut tidak bisa hilang meskipun Dita sudah mandi berkali-kali. Dengan berbagai aroma sabun dan pewangi, tetapi tetap saja bau anyir itu seolah enggan pergi dari tubuhnya.

Dengan pasrah, akhirnya ia tetap ikut dengan keluarga besarnya menuju pemakaman Wisnu.

Sementara itu, pikiran kedua orang tua Dita sama saja. Hal yang paling mereka hindari malah terjadi saat ini, membuat Keluarga Handoko harus pintar memainkan perannya.

Semalam wajah Dita tampak sangat kacau dan terpukul. Sejak ia dibawa pulang dari hotel, belum ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Namun, Nyonya Sekar tidak mau membuatnya semakin tertekan. Oleh karena itu ia membiarkan Dita menyendiri di dalam kamarnya.

"Bagaimana ini, Bu. Pasti keluarga besan akan berkomentar tidak-tidak tentang putri kita," ujar Pak Handoko gusar.

"Tidak akan, Mas. Besan kita bukanlah typikal seperti itu."

"Semoga saja begitu. Lalu bagaimana kondisi Dita?"

Nyonya Sekar mendudukkan dirinya di tepi ranjang.

"Seperti orang kebanyakan, Dita terlihat sangat syok akan kejadian ini. Aku takut Dita akan semakin menutup diri setelah ini."

"Tidak akan, aku akan mencarikannya seseorang yang bisa menyembuhkan luka batinnya."

"Mas, jangan gegabah. Jodoh itu datangnya dari Allah, jadi nggak bisa seenaknya kita mengatur orang."

Namun, Pak Handoko orang yang sangat ambisius. Termasuk dalam urusan perjodohan untuk Dita. Apa yang sudah menjadi rencananya harus terjadi dan tidak ada yang boleh mengganggunya.

"Sekali aku bilang iya, maka akan aku lakukan seperti apa yang aku mau."

Akhirnya, Nyonya Sekar hanya bisa menggerutu. Lucunya saat ia kesal, maka ia akan menggunakan logat Jawa.

"Sakarepmu, Mas." (Terserah kamu, Mas)

Nyonya Sekar bersikap seperti itu karena ikatan seorang ibu lebih kuat dari suami. Ia bisa merasakan jika putrinya pasti terpukul akan hal yang baru saja ia alami. Tidak mungkin baginya memaksanya untuk terus seperti ini. Ia tau jika Dita juga mempunyai impian, hanya saja ia tidak berani menyuarakannya.

"Maafkan aku, Nak. Bukan maksud Ibu untuk melahirkanmu dengan takdir seperti ini," ucapnya lirih sambil menatap nanar ke arah kamar putrinya yang masih tertutup.

Padahal selama di dalam kamar, Dita masih menata hati dan pikirannya demi masa depannya. Hidup, kematian, jodoh, rezeki semuanya telah diatur Sang Pencipta. Hanya saja manusia bisa berikhtiar dan melakukan hal yang terbaik menurut versinya.

Semoga tidak ada kemalangan yang akan didapatkan oleh Dita di kemudian hari, karena takdir barunya sudah dimulai sejak kemarin. Sejak ikrar ijab kabul diucapkan, sejak itu pula ia sudah memasuki babak baru.

Akankah Dita bisa menguatkan hatinya terhadap pandangan miring dari orang-orang? Kita simak di episode selanjutnya.

.

.

...🌹Bersambung🌹...

Jangan lupa dukungan dan support all, semoga Allah membalas kebaikan pada kalian semua. Aamiin.

Bab 3. PEMAKAMAN

Jenazah Wisnu saat ini sudah dibawa ke pemakaman. Sebentar lagi, akan dimasukkan ke liang lahat dengan disaksikan semua pelayat. Terlihat jelas raut kesedihan di wajah Nyonya Anggraeni dan Rista. Sementara itu, hanya tatapan kosong diberikan oleh Dita untuk mengiringi kepergian Wisnu. Tanpa sebuah air mata ataupun isakan tangis.

Dita sangat risih dengan keadaan dirinya saat ini. Bau anyir tersebut pada kenyataannya tidak bisa dicium oleh orang lain selain Dita sendiri. Meskipun begitu, Dita tidak mengetahuinya. Tatapan kosong yang sudah lekat pada dirinya adalah caranya untuk bertahan agar buliran kristal itu tidak keluar dari kedua matanya.

Taburan aneka bunga petik kini menjadi penghias makam Wisnu yang masih basah. Harum tanah yang masih baru, tercium semerbak menusuk hidung bercampur aroma bunga mawar. Namun, pada indera penciuman Dita hanyalah bau anyir yang sangat pekat hingga sesekali membuatnya hampir muntah.

"Bau apa ini sebenarnya, apakah orang lain juga merasakan hal yang sama denganku?" tanya Dita di dalam hati.

Lamunan Dita buyar, sejenak ia ikut mengheningkan cipta, mengikuti lantunan doa yang dibacakan oleh Pak Ustadz. Doa-doa khusus untuk mendoakan jenazah Wisnu yang baru saja dikebumikan.

Tidak ada isak tangis yang mengiringi pemakaman kali ini. Semua itu atas permintaan Pak Ustadz yang melarangnya. Meskipun hati bergejolak, Dita menahannya.

"Jika kalian ingin almarhum tenang, tolong jangan ada sekalipun isak tangis yang terdengar selama pemakaman."

Meskipun rasanya sangat menyakitkan, Nyonya Anggraeni mencoba untuk tetap tegar. Lain halnya dengan Rista, yang tidak menangis karena kepedihannya telah terbakar api kecewa yang sangat mendalam.

Terlebih kini ia berada satu tempat dengan Dita. Berbagi oksigen dengannya sungguh membuatnya muak.

"Wanita pembawa sial, harusnya kamu tidak membunuh kakakku!" gumamnya kesal.

Para pelayat yang hadir seolah larut dalam keadaan duka. Dita dan keluarga besarnya memang datang melayat, tetapi tidak ada percakapan di sana. Hanya keheningan dan sesekali lantunan doa mengalir menemani kepergian Wisnu.

"Sabar ya, Nak!" ucap Nyonya Sekar berbisik di dekat telinga Dita.

Tidak ada respon sama sekali dari Dita. Terkesan acuh dan tidak ada semangat hidup darinya. Meskipun ia mendengar, tetapi niat untuk mengangguk atau bahkan mengatakan sesuatu, sama sekali tidak muncul dalam benak Dita.

Dita memang masih terlihat syok, tetapi Rista tidak melihat raut kesedihan di dalam sana. Hanya tatapan kosong yang Dita sajikan, sehingga membuat efek menakutkan bagi siapa saja yang menatapnya.

Lain halnya dengan Rista yang memang indigo. Ia bisa melihat dengan jelas aura hitam yang selalu menyelimuti tubuh Dita.

Entah kenapa aura Dita terasa lain hari itu. Membuat Rista dengan mudah dapat merasakan bahkan melihatnya dengan jelas. Bukan dalam pandangan manusia biasa melainkan pandangan mata batinnya.

"Begini saja, aura mistismu sudah terlihat, Dita!"

Rista melihat ke arah kakak iparnya sekali lagi, sambil bergumam, "Wanita sok suci, sampai kapanpun aku tidak akan pernah menganggapmu sebagai kakak iparku! Camkan itu!"

Tidak ada orang berani mengajak Dita berbicara, sebab Dita sudah membisu sejak kematian Wisnu. Hanya ibunya yang setia mengajaknya berbicara meski tidak ada ucapan dari Dita.

"Anakku! Yang kuat, ya!" ucap Nyonya Sekar di dalam hati.

Kebekuan Dita, memperlihatkan bahwa hanya tubuh Dita saja yang berada di situ, tetapi jiwanya berada dalam dimensi lain. Nyonya Sekar yang melihat hal itu segera berinisiatif untuk meminta maaf kepada Nyonya Anggraini, ibunda Wisnu sekaligus besannya. Apalagi tatapan tidak suka dari Rista terlihat jelas di sana.

Nyonya Sekar meninggalkan putrinya dan mendekati besannya.

"Jeng, kami turut berbela sungkawa atas insiden ini. Aku mohon kelapangan hatinya agar bisa memaafkan kami."

Mata Nyonya Anggraeni tetap menatap nisan putranya tanpa mau memandang besannya yang datang ke sisinya.

"Nggak ada yang perlu dimaafkan Jeng, karena semua sudah terjadi," ucap Nyonya Anggraeni singkat.

"Insiden ini terjadi di luar kehendak kami, bukan juga sebuah unsur kesengajaan," imbuhnya kembali.

"Ia, aku tahu, tidak perlu kamu menjelaskan apapun pada kami."

Logat dan gaya bicara Nyonya Anggraeni terlihat kasar tidak ramah seperti biasaanya. Nyonya Sekar memakluminya.

Tidak ingin membuang waktu lama, ia juga menjelaskan bahwa rumor tentang keluarga Kusumo yang menganut ilmu pesugihan itu salah.

"Sungguh, hal itu tidak ada yang benar, karena kami tidak menganut pesugihan."

"Ini murni kecelakaan," begitulah ucapan Nyonya Sekar yang ingin ditekankan kepada besannya.

"Iya, aku tau, Jeng."

Lama-lama Nyonya Anggraeni mulai jengah, sehingga bisa memicu perkelahian kecil. Oleh karena itu, ia memilih meninggalkan besannya untuk segera kembali ke rumah.

Apalagi cuaca yang semula cerah kini berubah dengan cepat dan sangat gelap, tertutup arak-arakan awan gelap yang dengan cepat membuat suasana pemakaman menjadi angker.

Sementara itu, tatapan Rista masih sama seperti tadi. Dia yang tidak suka dengan kehadiran Dita di sana memilih bergegas pergi mengikuti langkah ibunya. Sesekali ia masih menoleh ke arah Dita dan para pelayat yang tersisa.

Ingin sekali ia mengatakan kepada semua orang, tentang siapa sebenarnya Dita. Jangan sampai ada yang menjadikannya istri, karena kejadian buruk, pasti akan menimpa calon suaminya ataupun siapapun yang berani menikahi Dita.

Namun, entah kenapa saat ia ingin berbicara dengan Dita, mulutnya terkunci rapat. Bahkan alam pun melarangnya agar Rista tidak berbicara. Hujan deras seketika mengguyur area pemakaman. Belum lagi suara petir yang bergemuruh. Kilatan petir terlihat sesekali di sana.

Dita dan keluarganya yang tersisa segera meninggalkan area pemakaman tersebut. Tidak lupa sebelum pulang, Dita berpamitan pada nisan Wisnu.

"Mas, aku pulang dulu. Maafkan aku ...."

.

.

...🌹Bersambung🌹...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!