"Kamu mau pinjem duit dari saya? Buat apa?" tanya cowok tampan dengan tinggi 175 cm dan berat badan yang proporsional tersebut. Tubuh yang kekar dan berotot, yang menggoda siapapun untuk menyentuhnya.
Cowok tampan itu melihat karyawan di depannya dengan pandangan menyelidik. Ia seperti sedang memeriksa cewek lugu di depannya dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Saya janji, akan saya bayar Pak! Saya butuh untuk keluarga saya." ujar gadis cantik berpenampilan sederhana yang berusaha menyembunyikan rasa takut dibalik suaranya yang bergetar.
Cowok itu bukannya langsung menjawab dan mengiyakan permintaan cewek lugu di depannya. Ia malah asyik mempermainkan kegugupan cewek tersebut yang bisa Ia tangkap dari caranya memainkan kuku-kuku jari tangannya. Gadis polos itu terus menunduk tak berani menatap balik dirinya.
"Siapa nama kamu?" tanya cowok itu lagi. Jujur saja, terlalu banyak karyawan di cafe dan showroom yang Ia pimpin. Ia bahkan sampai lupa siapa saja nama-nama karyawan kecuali karyawan yang sudah lama dan suka menjilat di depan Mommy-nya yang berhati bak malaikat.
"Dewi, Pak. Dewi Puspitasari, nama lengkap saya." jawab cewek tersebut yang masih menunduk dan memainkan jari jemarinya.
Cowok tersebut lalu teringat saat Ia mendengar percakapan di toilet beberapa hari yang lalu. Kebetulan, toilet Cafe tidak dipisah antara laki-laki dan perempuan karena luas cafe yang tidak seberapa. Cowok tersebut sempat mendengar nama Dewi Puspitasari.
Rupanya, gadis yang dibicarakan oleh teman-temannya kini sedang berdiri dihadapannya. Gadis yang menurut teman-temannya adalah bukan teman yang baik karena sering sekali meminjam uang namun belum pernah sekalipun membayar balik.
Cowok tersebut memandang remeh gadis di hadapannya. Menganggap kalau kebiasaannya meminjam uang orang lain sudah mendarah daging. Sekarang, teman-temannya tak ada yang mau meminjamkan makanya Ia nekat meminjam uang pada atasannya sendiri.
Cowok itu merasa kagum dengan keberanian cewek polos di hadapannya. Di balik sikap polosnya ternyata tersimpan berbagai maksud dan tujuan. Salah satunya adalah uang.
"Berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya cowok itu sambil tetap menatap wajah gadis di hadapannya.
Meski tatapannya tidak berbalas, cowok itu tetap saja memperhatikan cewek lugu yang terus memainkan kuku dan menundukkan wajahnya tersebut. Ada perasaan senang melihat ketakutan di wajah gadis polos itu. Dirinya merasa sekarang sudah seperti Bos saja, padahal Ia juga masih belajar memimpin cafe dan showroom milik kedua orang-tuanya.
"Du- dua ratus, Pak." jawab cewek itu dengan suara yang semakin gugup saja.
Cowok tersebut tersenyum. Ia merasa lucu, hanya karena uang sekecil itu cewek di depannya sampai ketakutan untuk meminjam. Tak masalah baginya, uang sekecil itu baginya hanya untuk sekali ngopi di warung kopi berlogo warna hijau langganannya.
Dikeluarkannya dompet miliknya yang berisi lumayan tebal tersebut. Diambilnya dua lembar uang berwarna merah dan diletakkan di atas meja. "Ambillah! Kamu nggak usah pinjam! Aku akan kasih untuk kamu!" ujar cowok tersebut dengan nada angkuh dan sombong. Ia merasa seperti mempunyai banyak uang saja karena ada yang meminjam uang padanya.
Gadis itu melirik sekilas ke atas meja, gadis polos itu bukannya mengambil uang di atas meja melainkan menggelengkan kepalanya. Ia mengumpulkan keberaniannya lalu mengangkat kepalanya dan menatap cowok angkuh di depannya tersebut.
Mereka kini saling tatap. Cowok tampan itu bisa melihat wajah si gadis yang memang cantik meski tanpa riasan di baliknya. Cantik alami dan kulit yang seputih pualam.
"Maaf, Pak. Bukan dua ratus ribu yang saya pinjam, melainkan dua ratus juta rupiah." cewek tersebut menatap mata cowok sombong yang terlihat sangat terkejut tersebut.
Cowok itu merasa malu dan terkejut dalam waktu bersamaan. Ia sudah pamer kalau uang dua ratus ribu begitu kecil untuknya, namun ternyata kesombongannya sia-sia. Gadis polos di depannya bukan menginginkan dua ratus ribu rupiah melainkan dua ratus juta rupiah. Jumlah yang lumayan banyak juga bagi dirinya.
Cowok tersebut berusaha mengendalikan rasa keterkejutannya. Ia tak mau terlihat memalukan dihadapan anak buahnya tersebut. Ia harus jaga image karena Ia pimpinan di cafe ini. "Buat apa?"
"Untuk biaya pengobatan Bapak saya yang sekarang berada di rumah sakit dan harus dioperasi." jawab gadis polos itu dengan jujur.
Cowok tersebut melihat kejujuran di matanya. Namun, mengeluarkan uang dua ratus juta untuk orang yang tidak begitu Ia kenal adalah hal yang berat baginya. Bagaimana kalau gadis di depannya ini tidak bisa membayar?
"Kamu akan membayar saya dengan apa? Kamu saja masih karyawan kontrak di cafe ini. Mau berapa lama kamu bekerja untuk membayar semua hutang kamu pada saya?" cowok itu akhirnya memilih menjadi bos yang perhitungan pada anak buahnya.
Cewek itu terdiam. Ia yang semula berani menatap wajah Wira yang sombong, kini kembali menunduk malu. Apa yang bisa Ia berikan sebagai jaminan kalau dirinya tidak akan kabur dan tetap melunasi utang-utangnya? Potong gaji? Gaji bulanannya saja serba pas-pasan dan terkadang Ia harus puasa hanya agar gajinya cukup sampai akhir bulan.
"Kenapa diam saja? Sadar diri kalau kamu enggak bisa membayarnya nanti? Uang dua ratus juta itu bukan uang yang kecil. Uang segitu bisa untuk membeli sebuah rumah kontrakan kecil. Kamu meminjam uang dari saya tanpa ada jaminan. Bahkan, Bank saja yang punya uang jauh lebih banyak daripada saya meminta jaminan kepada para nasabah yang ingin meminjam. Apa yang bisa saya pegang dari diri kamu? Toh, kamu takkan lama kerja di sini kalau kamu banyak hutang pasti perusahaan manapun tak mau mempekerjakan kamu!" katanya dengan pedas.
Sudah menjadi turunan dalam keluarganya, laki-laki keluarga Wisesa memang terlahir memiliki mulut pedas. Tidak kaget kalau cewek di depannya kini meneteskan air mata karena mendengar perkataan pedas Wira.
Merasa tak tega melihat air mata gadis di depannya, Ia tergerak membantu tapi hanya satu juta saja. Ia akan anggap sedekah. Tak perlu diganti. Gratis.
Gadis itu menghapus air matanya. "Saya butuh uang itu, Pak! Bapak saya harus dioperasi secepatnya!" pinta gadis itu. Suaranya pelan namun sangat memelas meminta agar hati bosnya tergerak.
Wira mengeluarkan uang delapan ratus ribu lagi dari dalam dompetnya dan memberikan tepat satu juta pada gadis itu. "Ini! Ambillah! Tak usah kamu ganti!" katanya dengan perasaan tak tega.
Gadis itu sempat meragu antara mengambil uang itu atau tidak. Nominal yang Ia butuhkan masih kurang banyak. Ketika sedang galau, Ia tersadar saat Hp miliknya berbunyi. Diangkatnya panggilan masuk yang berasal dari adik laki-lakinya yang kini berada di rumah sakit.
"Kak, Bapak butuh dioperasi secepatnya! Dokter bilang kalau terlambat dioperasi, Bapak bisa cacat selamanya!" lapor adiknya Bahri. Di belakang Bahri terdengar suara tangis Ibunya yang membuat air matanya mulai mengalir deras.
"Ya Allah... Kemana lagi aku harus mencari uang untuk pengobatan Bapak?" batin Dewi.
"Kata dokternya Kakak bisa bayar DP dulu lima juta rupiah, nanti Kakak bisa melunasi biaya operasinya. Yang penting Kakak datang dulu! Aku tak bisa menandatanganinya, menunggu Kakak datang!" desak Bahri lagi.
"Kakak akan kesana sekarang! Tunggu Kakak!" ujar gadis itu dengan suara bergetar dan air mata yang terus menangis.
Gadis itu menutup panggilannya dan hendak pamit untuk pergi ke rumah sakit.
"Biar saya antar! Kasih tau saja dimana rumah sakitnya!" kata Wira yang kini diliputi rasa iba di hatinya.
****
...Ini Visualisasi Wira...
Yuk langsung like, komen, add favorit dan Vote tentunya ya 🤩🤩🤩😍😍😍
Wira mengambil jaket miliknya yang Ia sampirkan di belakang kursi kerjanya. "Kita berangkat sekarang!"
Dewi menuruti perkataan Wira tanpa banyak membantah. Pikirannya sedang kalut dan diliputi rasa putus asa. Ia terlalu bingung dan tak tahu kemana harus mencari pinjaman uang sebesar itu.
Keluarga Bapak dan Ibunya bukanlah berasal dari keluarga kaya raya. Kebanyakan berasal dari keluarga menengah ke bawah. Dulu saat Bapaknya masih bekerja di pabrik otomotif, kehidupannya lumayan membaik. Sayangnya, sang Bapak mengalami kecelakaan kerja sehingga menyebabkan sebuah jari kelingkingnya terputus.
Bapaknya mendapat uang pesangon yang tidak seberapa dan tak lagi di pekerjakan. Semenjak itu, Bapaknya bekerja sebagai tukang ojek pangkalan. Penghasilan dari mengojek tidak bisa menutupi kebutuhan rumah tangga yang semakin besar. Persaingan antara tukang ojek pangkalan dengan tukang ojek online begitu ketat. Lama-kelamaan penghasilan Bapaknya mulai menurun dan tak lagi mampu menutupi kebutuhan hidup keluarganya.
Kedua adiknya masih sekolah. Untuk menutupi kekurangan, keluarganya meminjam dari tetangga. Hutang mereka semakin lama semakin menumpuk. Ibu mereka akhirnya bekerja sebagai buruh cuci untuk menambah penghasilan keluarga.
Dewi berhasil lulus SMA berkat perjuangan kedua orang tuanya. Hutang mereka mulai berkurang setelah Dewi mulai bekerja di Tarbi Cafe.
Namun hidup terus memberikan cobaan demi cobaan tanpa henti. Bapaknya kedapatan meminjam pada rentenir dengan bunga besar untuk mengganti motornya yang rusak. Terpaksa Dewi meminjam kesana kemari untuk menutup hutang pada rentenir agar bunganya tidak makin besar.
Dewi bahkan harus sering puasa agar uang sisa gajinya cukup sampai gajian berikutnya. Ibunya mulai tak kuat mengambil banyak cucian dari para tetangga, otomatis tanggung jawab yang Dewi pikul semakin berat saja.
Kini, hutang belum lunas sudah ada calon hutang lagi dalam jumlah besar yang menantinya. Bapaknya kecelakaan tunggal, jalanan yang licin membuat motornya tergelincir dan Bapknya jatuh dari motor.
Dokter mengatakan kalau Bapaknya harus dioperasi dan tak bisa bekerja sampai benar-benar pulih. Butuh waktu lama sampai Bapaknya pulih. Siapa yang akan menafkahi keluarganya kalau bukan Dewi?
Beban yang berat kini semakin berat saja. Rasanya Dewi ingin mengakhiri semua penderitaan dengan mengakhiri hidupnya saja. Namun Dewi berpikir keras, Ia tak mau keluarganya tambah menderita lagi karena sikap tidak tanggung jawabnya.
Satu-satunya jalan yang Dewi tempuh adalah dengan meminjam pada bos-nya. Teman-temannya sudah tak ada yang mau meminjaminya. Ia sudah dianggap tukang bohong karena tak pernah membayar hutang yang Ia pinjam.
Padahal Dewi bukannya tidak mau membayar, melainkan memang belum ada uang untuk membayar. Ia bahkan mencatat semua pinjaman yang Ia pinjam agar tidak lupa. Sejatinya, hutang itu jika tidak dibayar di dunia maka akan ditagih di akhirat.
Ia putus asa. Mau meminjam uang ke rentenir tapi Ia takut didatangi tukang tagih yang berwajah menyeramkan. Bagaimana kalau keluarganya yang kena pukul? Dewi menggelengkan kepalanya. Ia tak mau keluarganya terkena sial karena hutangnya.
Dewi melihat bos muda-nya datang. Ia sedikit kecewa. Ia berharap bos besar-nya yang datang. Pak Agas yang baik hati, ramah dan suka menolong. Pak Agas juga yang menerimanya bekerja di cafe ini.
Sayangnya, Pak Agas sudah jarang ke cafe. Bu Tari istrinya juga hampir tak pernah. Cafe ini kini dipercayakan oleh anaknya yang tampan, Wira.
Dewi tidak begitu mengenal Wira. Bos muda-nya itu jarang mengobrol dengan anak buahnya. Hobby-nya di ruangan memeriksa laporan dan sesekali membantu kalau cafe sangat ramai saja.
Ia jarang berbicara dengan karyawannya. Terkesan agak sombong dan menganggap dirinya dan karyawannya beda kasta sehingga tak layak diajak ngobrol. Itu yang Dewi tangkap tentang Wira.
Dewi mengesampingkan asumsinya tentang Wira. Ia butuh uang sekarang. Wira mungkin bisa membantunya, atau Ia akan mendatangi alamat Pak Agas untuk meminta tolong pada bos besarnya tersebut. Pak Agas pasti mau membantunya. Pak Agas orang baik. Dewi percaya itu.
Dewi pun memberanikan diri masuk ke dalam ruangan Wira. Ternyata benar, bos kecilnya ini menyeramkan. Aura bossy terpancar dalam dirinya. Berbeda sekali dengan kedua orang tuanya yang ramah dan menganggap karyawan bak keluarganya.
Dewi tak berani mengangkat wajahnya. Ia takut terpesona akan ketampanan Wira. Wajah mirip Pak Agas dan kulit seputih Bu Tari. Benar-benar perpaduan yang sempurna.
Dewi juga merasa malu dengan tujuannya meminjam uang, apalagi bos kecilnya mau memberi satu juta yang Ia anggap sebagai sumbangan. Ia tahu bos kecilnya punya hati baik, tak mau dirinya sampai berhutang. Namun uang satu juta masih jauh dari dua ratus juta yang Ia butuhkan untuk biaya operasi.
Dewi mulai panik saat adiknya Bahri menelepon dan memintanya datang. Tawaran dari bos kecilnya tak bisa Ia tolak.
Dewi pun pergi ke parkiran dan mendapati motor sport milik Wira terparkir bersama helm mahal miliknya. Tak ada yang berani mencuri helm mahal milik bos cafe itu meski ditaruh di parkiran motor. Semua karyawan sangat menjaganya.
"Pak, pinjamkan sebuah helm buat dia!" kata Wira yang berbicara pada security seraya menunjuk ke arah Dewi.
"Pakai helm saya saja, Pak!" ujar security seraya memberikan helm miliknya pada Wira.
"Terima kasih." Wira lalu melemparkan helm ke arah Dewi yang susah payah Ia tangkap. "Pakailah!"
Dewi menurut. Wira pun mulai naik ke atas motor dan menyalakan mesin motornya. "Cepetan naik! Jangan malah bengong aja!" ketus Wira.
"Ba-baik, Pak!" Dewi pun naik ke atas motor yang agak tinggi dan nung ging tersebut. Baju kerjanya yang dress selutut otomatis terangkat dan menampakkan pahanya yang putih mulus.
Wira merasa risih. Ia banyak bertemu cewek cantik tapi melihat paha mulus Dewi jiwa lelakinya keluar.
Wira menggelengkan kepalanya. Ia lalu melepas jaket miliknya dan memberikannya pada Dewi. "Nih pake! Jangan sampai semua orang ngeliatin kita selama di jalan!" perintah Wira.
"Iya, Pak." Dewi menerima jaket pemberian Wira dan menutupi paha mulusnya dengan jaket yang harum parfum beraroma maskulin dan mahal tersebut.
Baru saja menutupi pahanya dengan jaket, Wira sudah tancap gas. Dewi yang belum siap berpegangan pada bagian belakang motor pun reflek memeluk Wira.
Bukan hanya Dewi yang kaget, Wira juga. Ia merasakan sesuatu yang empuk dan besar menempel di punggungnya. Benar-benar menggoda imannya cewek di boncengannya kali ini.
Dewi pun menguasai diri dan melepaskan pelukannya pada Wira. Ia berpegangan pada besi belakang motor di tengah Wira yang menyalip dan ngebut dengan kecepatan tinggi.
Berbeda dengan Dewi, Wira malah sengaja menambah kecepatan motornya. Ia tak rela sesuatu yang empuk itu tak lagi menempel di punggungnya. Sayangnya, semakin Wira ngebut semakin Dewi bertahan agar tak lagi memeluk Wira yang harum tersebut.
****
Makin penasaran dengan kisah si Abang (Anak Bangor) Wira? Yuk sambil baca jangan lupa vote, komen, like dan add favorit ya 😘😘😘
Wira dan Dewi akhirnya sampai di rumah sakit yang tadi diberitahu oleh Dewi. Rumah Sakit Kesehatan Keluarga Itu Penting, rumah sakit langganan keluarganya. Bahkan Wira juga dilahirkan di sana, namun di RSIA bukan di rumah sakit umum seperti yang ada di depannya.
Wira menaruh helm miliknya di bagian belakang motor. Tak lupa Ia pakaikan gembok khusus helm. Jangan sampai helm harga jutaan ini lenyap dalam sekejap.
Kalau helm yang dipakai Dewi Ia taruh sembarangan. Toh kalau hilang paling harganya tak sampai seratus lima puluh ribu. Tak masalah baginya.
"Saya ke dalam dulu ya, Pak!" pamit Dewi.
"Eh nanti dulu! Udah jauh-jauh gue anterin eh gue lo tinggal begitu aja! Emangnya gue tukang ojek!" omel Wira.
"Mm... Bapak mau masuk ke dalam?" tanya Dewi.
"Iyalah. Mau tau aja kata-kata lo bener apa enggak?!" Wira merasa tak perlu lagi bersikap formal karena mereka sudah tidak berada di lingkungan cafe lagi. Bisa ber elo-gue kalau di luar.
"Mari, Pak!" Dewi yang memimpin jalan sedangkan Wira mengikuti dari belakang.
Biasanya kalau ke ruangan VVIP langganan keluarga mereka jika sakit pusing sedikit saja, dari pintu masuk tidak terlalu jauh dan hanya berbelok ke kanan. Kali ini Wira seakan diajak berkeliling rumah sakit dahulu baru sampai di tempat yang dituju.
Yang membuat bulu kuduk Wira meremang adalah Ia harus melewati kamar jenazah dahulu. Wira bukan cowok pemberani. Ia pun mensejajari langkah Dewi yang tak menyadari kalau bos-nya adalah cowok penakut.
"Jauh banget sih! Lo ngajak gue muter-muter dulu ya biar bisa lama jalan bareng sama gue?!" tuduh Wira.
"Eng... Enggak, Pak! Sumpah! Lift yang dekat pintu masuk tadi penuh dan lift sebelahnya rusak. Jadi daripada lama lebih baik kita naik tangga darurat saja. Kebetulan tangganya memang ada di bagian belakang. Bapak... Takut ya?"
"Gue takut? Kata siapa? Jangan sok tau lo! Gue mah biasa jalan begini di tempat gelap. Ikut uji nyali juga gue berani!" sesumbar Wira dengan sombongnya.
Lalu sesuatu yang tak terduga terjadi. Gumprang....
"Astaghfirullah! Apaan tuh!" ujar Wira yang baru saja melompat kaget.
Dewi menahan senyumnya, tak mau Wira tersinggung kalau tahu Ia menertawakannya. "Kayaknya itu nampan yang jatuh deh! Di belakang kan dapur."
Wira berusaha bersikap tenang. Menyembunyikan kekagetannya. Ia pikir Dewi tak tahu kalau Ia kaget dan terkejut dalam waktu bersamaan. Kalau Ia tahu pasti rasa malu-nya akan bertambah.
Mereka lalu melewati beberapa ruang perawatan yang namanya diambil dari nama bunga. Ada ruang Melati, Mawar dan mereka berhenti di ruangan Anggrek. Mereka lalu menuju ke ruang Anggrek Nomor 303.
Di dalam kamar Anggrek Nomor 303 terdapat 6 buah tempat tidur yang letaknya berhadap-hadapan. Tiga di sebelah kiri dan tiga lagi di sebelah kanan. Semua ranjang tempat tidurnya penuh oleh pasien yang di rawat inap.
Wira yang terbiasa satu ruangan seorang diri kini berada di satu ruangan yang harus berbagi kamar dengan 6 orang pasien. Belum lagi ditambah dengan keluarga mereka yang ikutan menunggu, makin terasa sesak saja. Suasana yang seharusnya tenang, malah jadi berisik dan mengganggu kenyamanan pasien kalau begini caranya.
Wira mengikuti langkah Dewi yang menuju ke bagian paling pojok yang bersebelahan dengan kamar mandi. Lagi-lagi Wira tak habis pikir, ruangan dengan banyak orang ini hanya ada satu kamar mandi saja. Kalau pasien ingin buang air, mereka harus menunggu dong? Sungguh tidak nyaman sekali!
Wira lalu menarik tangan Dewi sebelum Ia masuk ke dalam bilik ruangan milik ayahnya. "Ini nggak salah? Kok banyak banget sih orangnya? Biasanya tuh cuma satu orang di dalam kamar, tapi ini banyak sekali?" bisik Wira yang tak mau sampai ada yang mendengar percakapan mereka berdua.
Dewi sampai geleng-geleng kepala mendengar keheranan Wira. Dalam hatinya Ia bergumam, "Dasar orang kaya! Nggak pernah ngerasain hidup susah kali ya? Ini tuh masih untung bisa dirawat di rumah sakit ini yang bersih dan terawat. Kalau di rumah sakit daerah, mungkin lebih penuh lagi dan tidak terjaga kebersihannya." keluh Dewi menyembunyikan isi hatinya.
Dengan sabar Ia memberitahu Wira kenapa ayahnya dirawat di ruangan ini. "Ini namanya ruang inap kelas 3, Pak. Mungkin Bapak terbiasa di kelas VIP yang hanya berisi satu orang saja dengan kenyamanan seperti berada di hotel. Tentu biaya yang Bapak keluarkan akan sangat besar. Kalau di ruangan ini, biayanya jauh dengan yang Bapak keluarkan. Namun tetap saja, ini merupakan beban bagi saya. Biaya rumah sakit ini menurut saya juga sudah besar. Saya tak mampu pindah ke kelas yang lebih bagus lagi dari ini." kata Dewi menjelaskan. "Saya udah boleh masuk nih Pak?"
Wira hanya bisa mengangguk. Ia mengikuti Dewi dari belakang dan tak langsung masuk ke dalam bilik ruangan Bapaknya Dewi. Ia sengaja berhenti di depan agar keluarga Dewi tak ada yang tahu kalau Ia datang.
Kedatangan Dewi disambut oleh suara laki-laki. Dari caranya berbicara, bisa dipastikan kalau Ia adalah adiknya. "Kak Dewi, gimana? Dapat kan uangnya? Kata dokter kita harus deposit lima juta dulu. Bapak harus dioperasi Kak secepatnya! Kakak gak mau kan kalau Bapak sampai cacat seumur hidup?!"
Wira mendengarkan percakapan mereka dalam diam. Terdengar Dewi tidak menjawab pertanyaan adiknya sama sekali. Adiknya lalu bertanya lagi kepada Dewi. "Jangan bilang kalau Kakak belum dapat uangnya?! Kak, cuma Kakak harapan kita satu-satunya! Kakak kan bisa pinjam di kantor Kakak, atau pinjam kek sama temen Kakak! Kita harus cepat mengoperasi Bapak, Kak! Nanti, kalau Bapak sudah sembuh pasti Bapak akan membantu kita mencari nafkah lagi untuk keluarga. Pasti Bapak akan melunasi utang-utangnya. Bilang aja sama temen Kakak, kita pasti akan ganti!"
Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Dewi. Anak itu benar-benar membutuhkan uang untuk biaya operasi Bapaknya. Ia satu-satunya tumpuan keluarga yang diharapkan dapat membawa uang untuk biaya operasi Bapaknya. Namun, kedatangan Dewi tanpa membawa uang sama sekali merupakan sesuatu yang mengecewakan bagi keluarganya.
Wira lalu mendengar suara perempuan yang lebih tua. Sepertinya, beliau adalah Ibunya Dewi. "Apa Ibu pinjam saja ya sama rentenir yang waktu itu Bapak pinjam? Pasti kita akan dikasih! Nanti bilang aja, kita akan bayar beserta bunganya. Yang penting Bapak harus segera dioperasi!"
"Jangan, Bu! Pinjam di rentenir itu bukanmya menyelesaikan masalah, justru kita akan terjerat ke dalam hutang yang lebih besar lagi! Kita mau bayar pakai apa? Kita udah nggak punya apa-apa lagi, Bu! Kita saja tinggal di kontrakan, enggak punya rumah seperti orang lain. Kita mau bayar pakai apa? Kalau mereka sampai mencelakakan kita bagaimana?" kata Dewi yang terdengar ketakutan dan putus asa. Wira mendengar suara Dewi bergetar menahan air mata dan kemarahan dalam dirinya.
Kasihan... Beginilah hidup Dewi sebagai generasi sandwich. Harus kuat demi menopang keluarganya. Beginilah potret hidup keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan. Hidup terlalu kejam, tak segan mencekik orang yang sudah susah.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!