"Metha stop, jangan pancing aku." Aldrich berusaha menghindar dari Metha yang mencoba menggodanya.
"Al, please, aku sedang ingin..." Kata Metha dengan tatapan sayu.
"Tidak Tha, aku tidak mau melakukannya sebelum aku menghalalkanmu."
Metha menghela nafas frustasi, ia tak habis pikir bagaimana bisa Aldrich menolaknya, padahal saat ini Metha tengah memakai lingerie seksi.
"Metha, maafkan aku, sungguh aku ingin menjagamu dan melakukannya saat nanti tiba waktunya." Aldrich mengambil kimono dan memakaikannya pada Metha.
Metha hanya terdiam, sungguh ia kesal dengan penolakan Aldrich. Hatinya merasa dongkol karna penolakan itu.
Aldrich melihat jam dipergelangan tangannya, sudah waktunya ia kembali kekantor.
"Aku harus kembali kekantor, hari ini aku harus mendampingi Papap bertemu klien dari jepang." Aldrich mengecup puncak kepala Metha sementara Metha masih terdiam menahan kesalnya.
"Andai bukan karna uangmu, sudah pasti aku akan meninggalkanmu, Al." Batin Metha saat melihat Aldrich keluar dari apartemen milik Aldrich. Meskipun begitu, namun mereka tidak tinggal bersama, Aldrich tetap tinggal dirumah bersama kedua orang tuanya, yakni Fariz dan Stevi.
**
Sementara ditempat lain, Seorang gadis yang sudah resmi menjadi istri dosen tengah duduk disebuah cafe menunggu sahabatnya tiba.
"Claraaa." Panggil Chelsea sambil melambaikan tangannya.
Clara menoleh dan tersenyum lalu mendekati meja Chelsea, mereka cipika cipiki lalu duduk berhadapan.
"Makin cantik aja nih pengantin baru, sweet banget." Ledek Clara.
"Ishh apa sih Ra, aku udah bukan pengantin baru, udah enam bulan aku menikah, lagian nanti juga kamu ngalamin jadi pengantin, tiap hari berbunga-bunga." Jawab Chelsea dengan tersenyum.
Clara tertawa, "Iya berbunga bunga, sampai rambutmu saja wangi bunga, shampoan terus nih setiap hari." Cibir Clara.
"Emang kecium? kan aku pake hijab, Ra." Jawab Chelsea polos sambil mengendus jilbabnya sendiri.
"Tuh kan bener, padahal aku cuma menggodamu saja, Chel." Lalu mereka tertawa bersama.
Clara dan Chelsea merupakan teman dikampus dulu, meski mereka tidak satu fakultas, namun mereka berada dalam organisasi kampus yang sama.
Clara mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan memberikannya pada Chelsea.
"Apa ini?" Tanya Chelsea sambil menerima lalu membukanya, Chelsea membolakan matanya ketika membaca nama yang tertulis dikertas undangan itu. "Kamu mau nikah, Ra?" Tanya Chelsea tak percaya.
Clara mengangguk sambil tersenyum.
"Ya Ampun, akhirnya nyusul juga. Koq ngedadak? Gak terjadi sesuatu kan?" Tanya Chelsea sambil menaikan dua jari kanan dan kirinya seperti memberi tanda kutip.
"Ishh, amit amit deh Chel." Clara mengetuk meja kafe. "Ini permintaan Kakekku, dia udah sakit-sakitan dan minta aku nikah sama Mas Bisma, anak dari sahabatnya Almarhum Ayah dan ibuku." Kata Clara menjelaskan.
Chelsea hanya mengangguk anggukan kepalanya. "Dijodohin?" Tanyanya lagi.
Clara tersenyum.
"Kamu mau?" Tanya Chelsea mendalam.
Clara mengangguk, "Terbukti dengan adanya undangan ini, tandanya aku mau kan Chel."
Chelsea menghela nafas pelan, "Dia baik?" Tanya Chelsea lagi, Chelsea merasakan kecemasan, ia takut sahabatnya itu tidak merasa bahagia dan terpaksa.
"Dua bulan kenal sama Mas Bisma, sejauh ini dia bersikap baik, kami beberapa kali jalan bareng dan dia baik, orangnya juga gak neko-neko, gak banyak nuntut aku, malah abis nikah nanti aku tetep boleh kerja dibutik. Mas Bisma bilang, kami harus saling belajar menerima." Jawab Clara panjang lebar.
Chelsea mengangguk, "Syukurlah, smoga segera ada cinta diantara kalian ya." Doa tulus dari Chelsea yang di amini oleh Clara.
"Nanti datang dengan Babang Zayn mu itu kan?" Tanya Clara.
Chelsea tertawa, "Tentu saja, kamu kira nanti aku sama siapa?"
Clara mengerdikan bahunya, "Ya kali aja sama dua bodyguard kamu."
"Oh maksudmu Davan dan Aldrich." Chelsea menyesap minumannya sebelum akhirnya bicara kembali. "Davan adik iparku itu lusa ini berangkat ke Amrik, nerusin S2 disana, sedangkan Aldrich, dia lagi bucin bucinnya sama cewek, udah susah ketemuannya juga. Padahal tadinya aku mau jodohin kamu ke Davan atau sama Aldrich, taunya jodohmu datang sendiri." Chelsea tertawa.
"Ck, mentang mentang udah punya jodoh, sok sok an mau cariin jodoh orang." Cibir Clara dan mereka lanjut tertawa dan menghabiskan waktu makan siang bersama.
**
"Al, fokuslah pada pekerjaan, kelak perusahaan ini akan jadi tanggung jawabmu sepenuhnya." Fariz berkata pada anak satu-satunya itu.
Aldrich menghela nafasnya, "Harusnya Papap dan Mama kasih Aldrich adik supaya tidak terlalu nengandalkan Aldrich diperusahaan." Aldrich bersandar pada sandaran kursi.
"Al, kamu kan tau, Mamamu punya masalah dirahimnya, Papap sudah bersyukur memilikimu, dan Papap tidak ingin terjadi apa-apa pada Mamamu." Fariz mencoba mengingatkan masalah yang terjadi pada Aldrich.
"Iya Pap, Al tau itu. Tapi Al juga masih muda, Al ingin menghabiskan waktu bersenang senang, masih ingin meneruskan kuliah keluar negri seperti Davan." Kata Al tidak bersemangat.
Fariz menaikah satu halisnya, "Melanjutkan kuliah atau bermain main dengan pacarmu itu?"
Aldrich memandang Fariz, "Ck, Papap seperti tidak pernah muda saja. Bahkan Papap dan Mama menikah dulu sebelum lulus kuliah."
Fariz tertawa, "Kamu sudah mau menikah?" Fariz menghentikan tawanya, "Dengar Son, Papap tidak masalah jika kamu ingin menikah muda, asalkan calon istrimu itu jelas, bukan seperti yang saat ini bersamamu, Mamamu tidak menyukai dia, Al."
"Dia punya nama, Pap. Namanya Metha." Kata Aldrich membela.
"Ya Methamorfosis lebih tepatnya." Sahut Stevi yang baru saja tiba dan mendengar sedikit percakapan Ayah dan anak tersebut.
Fariz berdiri dan menyambut kedatangan Stevi. "Aku kira gak jadi kesini, Sayang." Fariz mencium kening Stevi dengan begitu penuh kasih sayang.
"Ck, kalian bisa tidak sih gak bermesraan dihadapan anak bujang kalian." Kesal Aldrich.
"Dan Mama, aku tidak suka Mama memanggil Methaku dengan sebutan Metamorfosis."
Stevi berjalan angkuh dan duduk disebrang Aldrich. "Memang dia itu metamorfosis, cuma kalo dihewan itu metamorfosis itu peralihan perubahan hewan, kalo sama pacar kamu itu peralihan perubahan sifat, didepan kamu seperti ini, dibelakang seperti itu." Kata Stevi sambil mengangkat kedua jarinya seperti tanda kutip.
Aldrich hanya diam tidak membalas perkataan Stevi, menurutnya sia sia berdebat dengan sang Mama, karna aturan dirumahnya adalah Mama slalu benar, Mama tidak pernah salah, dan jika Mama salah kembali lagi ke point awal yakni Mama slalu benar. Apa lagi sang Papap yang slalu saja membela istrinya itu, Fariz memang bucin setengah mati pada Stevi, dan kebucinannya itu turun pada Aldrich.
Menurut Stevi, Metha merupakan wanita yang tidak baik untuk Aldrich, terlihat dari tagihan kartu kredit dan bukti transaksi dari kartu rekening Aldrich yang masuk kedalam email Fariz.
Aldrich bahkan mengijinkan Metha untuk tinggal di apartemen mewahnya, padahal apartemen itu hadiah ulang tahun dari Stevi untuk putra kesayangannya dengan maksud jika nanti Aldrich menikah, maka sang anak dan menantu sudah memiliki tempat tinggal, tapi semua berjalan diluar ekspektasinya, Aldrich malah mengijinkan Metha untuk menempati apartemennya karna Aldrich berfikir Metha yang akan menjadi pendamping hidupnya nanti.
***
Hai Readers yang aku sayangin, jumpa lagi dgn Novel Othor yang terbaru dgn judul BUKAN DRAMA PERNIKAHAN, novel lanjutan dari TAKDIR CINTA (Ghea&Tristan).
Karna banyaknya yang minta cerita Aldrich dipisah, jadi Othor akan buat disini, tapi Readersku tersayang jangan lupa Vote, Like, Koment, Hadiah, dan beri Rating bintang 5 ya di novel BUKAN DRAMA PERNIKAHAN ini.
Yang baru mampir kesini, disarankan baca dl TAKDIR CINTA (Ghea&Tristan), dan yang mampir ke Takdir Cinta, bantu Up ya dgn Vite like, koment dan rating bintang 5, siapa tau novelku sebelumnya bisa ke Up oleh Novel Toon.
Aldrich larut dalam kesibukannya, sepulang Fariz dan Stevi, ia masih harus menyelesaikan pekerjaannya yang sudah menumpuk diatas meja.
Drrt.. drtt..
Ponsel Aldrich bergetar, ia melihat nama Davan tertera dilayar ponselnya dan segera mengangkatnya.
"Ya Dav?"
"Al, aku sudah berada di loby perusahaanmu, turunlah, ini sudah sore."
"Kenapa tidak langsung naik keruanganku?"
"Ogah, ujung ujungnya kamu memintaku untuk membantu menyelesaikan pekerjaanmu." Jawab Davan sekenanya.
"Ck, sepupu macam apa kau ini. Baiklah, lima menit lagi aku turun." Aldrich mematikan panggilannya.
Aldrich segera turun untuk menemui Davan, hari ini mereka akan makan malam bersama dirumah keluarga Fadhil dalam rangka perpisahan dengan Davan, melepas Davan untuk pergi melanjutkan S2 nya ke negri Paman Sam.
Fariz dan Stevi sudah terlebih dahulu berangkat, Stevi beralasan rindu kumpul dengan Ghea dan juga Jessica.
"Ck, lama sekali." Kesal Davan saat Aldrich menghampirinya.
"Sorry, kerjaanku banyak sekali, Papap bucinku itu dijemput Mama dan akhirnya berangkat duluan kerumahmu, tidak perduli dengan kerjaan yang numpuk, mereka terlalu seenaknya padaku." Kata Aldrich dengan lemas.
"Curhat bos?" Ledek Davan sebelum masuk kedalam mobilnya.
Aldrich mentoyor kepala Davan, "Bukan curhat, tapi ngeluarin unek unek." Aldrich melonggarkan dasinya setelah duduk manis disebelah kemudi yang dikemudikan oleh Davan.
Mobil Davan meluncur keluar dari perusahaan DW Group, diperjalanan mereka lanjut berbincang kembali.
"Sifatmu dengan Om Fariz tuh sama, yakni sama sama bucin." Kata Davan sambil fokus dengan kemudinya.
"Hem, Papap bucin abis sama Mama, gak pernah bilang engga sama Mama dan kalau dirumah tuh nempel terus sama Mama. Percis seperti Kakek Erick dengan Nenek Diana. Tapi tidak sama denganku, Dav."
"Ya, kamu benar, Om Fariz memang sama seperti Kakek Erick." Davan mengangguk. "Tapi kamu juga seperti itu dengan Metha, tidak bisa bilang tidak ke Metha, aku rasa Metha begitu memanfaatkan kebucinanmu, Al." Davan berbicara penuh dengan hati hati.
"Ck, kamu samanya dengan Papap dan Mama." Kesal Aldrich, "Tidak menyukai Methaku." lanjutnya lagi.
Davan menarik nafasnya dan menghembuskannya perlahan, berbicara dengan Aldrich membutuhkan kesabaran ekstra, Aldrich slalu tidak menyadari kesalahannya dan slalu menganggap apa yang diperbuatnya itu benar. Cinta membutakan mata hatinya, itu yang ada dalam pikiran Davan. Davan tidak ingin Aldrich menghindar dan menjaga jarak darinya hanya karna Davan tidak menyukai Metha.
"Suatu saat kamu akan mengerti Al, apa itu cinta apa adanya. bukan cinta yang adanya apa." Ucap Davan.
"Aku heran, Dav. kenapa semua orang menilai Metha tidak baik, padahal karna Metha hari hariku jadi bersemangat."
"Ya, kamu bisa bicara seperti itu karna kamu sedang bucin bucinnya ke Metha." Jawab Davan.
"Dan kamu tidak mengerti karna kamu belum pernah jatuh cinta, Dav." Ucap Aldrich enteng.
Davan hanya mengerdikan bahunya sambil fokus menyetir. "Dasar bucin akut." Batin Davan.
Setelah dua puluh menit, mereka tiba dirumah keluarga Fadhil.
"Lama, kemana dulu?" Tanya Chelsea sambil bertolak pinggang.
Aldrich mendekat untuk cium pipi Chelsea namun Chelsea mundur satu langkah.
"Udah istri orang dia, Al." Ledek Davan.
"Ck, padahal cuma cium pipi." Kata Aldrich kesal.
"Bukan muhrim." Sahut Zayn yang menarik pinggang Chelsea lalu mengecup puncak kepalanya.
"Haishhhh, Kak Zayn, ekspresi muka datar tapi bucin itu ga pantas, tau gak." Cibir Aldrich.
Chelsea dan Davan tertawa.
"Wajar bucin, sama istri sendiri. Biar istri makin cinta. Yang gak wajar itu bucin sama cewek yang belum jadi muhrim, karna belum tentu berjodoh." Kata Zayn menusuk hati.
"Nyindir ceritanya??" Balas Aldrich.
"Udah udah." Chelsea mencoba melerai perdebatan antara kedua sepupu itu. "Yuk masuk, semua udah pada nunggu." Ajak Chelsea.
Zayn makin mengeratkan pelukannya pada Pinggang Chelsea, lalu berbisik. "Udah beres, Sea?"
Chelsea mendongak menatap wajah Zayn yang sedang menaik turunkan halisnya.
"Ishh Kakak, nanti didengar orang." Wajah Chelsea memerah sementara Zayn memasang wajah tanpa berdosa.
"Oh tuhan, kenapa keluarga ini dipenuhi dengan orang orang mesum, Om Fadhil, Kakek Erick, Om Bryan, Om Tristan, Papap." Keluh Aldrich. "Dan mereka mesum tanoa mengenal tempat." Keluhnya lagi.
Davan tertawa, "Sabar, Al. Makan dulu yang banyak karna melawan naffsuu juga butuh tenaga." Ledek Davan.
***
"Ra, setelah menikah nanti, kita tinggal di rumah yang sudah ku sewa ya." Kata Bisma dengan manisnya. "Maaf, aku hanya mampu menyewa rumah untuk satu tahun kedepan."
"Dimana itu Mas?" Tanya Clara.
"Jaraknya dekat dengan butik tempatmu bekerja, tapi rumahnya minimalis, cukup untuk kita berdua."
Clara mengangguk, pasalnya setelah ia menikah, sang Kakek akan dibawa oleh tantenya ke singapura untuk meneruskan pengobatan, Clara juga tidak mempermasalahkan rumah yang disewa dan tidak terlalu besar itu, karna Bisma bukanlah seorang anak pengusaha, keluarga Bisma cukup sederhana, orangtuanya bekerja sebegai wiraswasta, dan Bisma memiliki seorang Kakak perempuan yang sudah hidup menjanda karna ditinggal selingkuh oleh mantan suaminya dulu. Bisma sendiri bekerja sebagai manajer pemasaran disebuah perusahaan swasta.
"Aku tidak masalah, Mas. Ditahun pertama kita bisa menyewa, semoga tahun depan berikutnya bisa ngumpulin uang untuk uang muka rumah dan kita bisa menyicilnya." bersama. " Jawab Clara tersenyum.
Ponsel Bisma berdering, namun Bisma mengabaikannya.
"Mas ponselmu." Ucap Clara.
"Biar saja, Ra. Aku kan sedang menyetir." Jawab Bisma.
Clara diam dan tampak berfikir, ia mempunyai kecurigaan yang tinggi, karna itu tidak banyak pria bertahan dengannya karna menurut banyak pria, Clara posessif dan begitu cemburuan.
Bisma mengerti apa yang ada dalam pikiran Clara. Saat dilampu merah, Bisma mengambil ponselnya dengan penuh percaya diri, "Ini teman kantor, Ra. namanya Sammy."
Mata Clara memandang layar ponsel milik Bisma yang berdering kembali, tertera nama Sammy dengan foto profil seorang pria.
Clara tersenyum. "Maafkan aku, Mas."
Bisma tersenyum samar, tentunya Clara tidak melihatnya.
"Aku bukan type orang yang gampang dekat dengan wanita, pasti Ibu sudah bercerita banyak hal padamu."
Clara mengangguk meski Bisma tidak melihatnya, "Iya Mas, Ibu sudah banyak cerita, karna itu diumurmu yang sudah menginjak tiga puluh tiga tahun kamu belum juga menikah." Jawab Clara.
"Itu kamu tau." Bisma sedikit menggoda Clara.
Usia Bisma memang terpaut sepuluh tahun dengan Clara, Bisma memang tidak pernah dekat dengan wanita, karna memang ia tidak tertarik dan tidak bisa dekat dengan wanita. Itu alasan sang ibu menjodohkannya dengan Clara, anak dari almarhum sahabatnya. Hal itu malah membuat Clara tertarik pada Bisma, ia berfikir sikap Bisma yang tidak mudah dekat dengan wanita akan membuat Bisma setia dan tidak akan pernah selingkuh. Tanpa Clara ketahui ada hal lain yang akan terjadi nanti didalam rumah tangganya.
Clara bukan gadis lemah dan manja, ia begitu mandiri karna ditinggal oleh kedua orang tuanya sejak kecil. Hidupnya yang hanya bersama sang Kakek membuat Clara menjadi sosok yang kuat dan penuh kewaspadaan.
**
Sabar ya Readers, ikuti alurnya dulu biar ga bingung. Kan ga seru kalau tau tau udah konflik lagi aja.
Biar Aldrich di alur hidupnya dan begitu pula dengan calon jodohnya Aldrich nanti.
Aldrich bolak balik melihat layar ponselnya, ia terus membuka lalu menutup kembali aplikasi berwarna hijau tersebut. Wajahnya terlihat gusar menampakan keresahannya.
Chelsea dan Davan terus memperhatikan sepupu yang lebih dianggap sahabatnya itu.
Chelsea menyenggol lengan Davan, membuat Davan menoleh dan Chelsea menunjuk Aldrich dengan dagunya. "Sibucin lagi galau." Bisik Chelsea sepelan mungkin.
Davan mengerdikan bahunya, "Begitulah kelakuan sibucin." Jawabnya asal.
"Semoga dia tidak merepotkanku jika nanti ditinggal olehmu ke Amrik, Dav." Kata Chelsea.
"Siap siap saja kamu mendengarkan kegalauan si bucin akut itu, Chel." Jawab Davan terkikik geli.
Sementara disisi rumah yang lain. Para orang tuapun berkumpul dan saling bertukar cerita.
"Riz, Stev, jangan terlalu keras pada Aldrich. Kasian kan dia seperti tertekan." Kata Ghea yang sedari tadi memperhatikan Aldrich.
"Ck, Ghe. Aldrich itu masih labil, dan kelabilannya itu dimanfaatkan oleh cewek." Jawab Fariz.
"Ya, aku setuju soal itu, Riz. Aldrich itu percis kayak kamu semasa muda, terlalu baik." Sahut Jessi.
"Dan kebaikan Aldrich dimanfaatkan oleh pacarnya." Sahut Tristan.
Stevi memijat pelipisnya. "Bingung sama Aldrich, susah banget lepas dari cewek itu. Dan parahnya lagi, Apartemen mewah yang aku belikan untuk Aldrich, ditempati oleh si Metamorfosis itu."
"Dekatkan diri sama yang maha membolak balikan hati, minta yang terbaik untuk putra kalian, minta didekatkan dengan yang terbaik dan minta dijauhkan dari segala hal yang tidak baik." Fadhil memberi wejangan pada Fariz dan Stevi.
"Iya, Mas. Kadang kami berdua juga bingung, pelet apa yang nempel ke Aldrich." Jawab Stevi.
"Jangan suudzon dulu, Stev. Bisa jadi ini semua karna kalian yang terlalu memanjakan Aldrich sedari kecil. Sehingga saat besar seperti ini Aldrich tidak suka jika ada yang menentangnya." Kali ini Ghea yang berbicara.
"Andai ada wanita yang bisa aku jodohkan untuk Aldrich." Gumam Stevi yang terdengar oleh mereka semua.
"Wanita yang seperti gimana Stev, yang menjadi menantu idealmu?" Tanya Jessi.
"Yang baik untuk Aldrich aja, Jess." jawab Stevi.
"Sekarang susah cari gadis, banyaknya janda." Sahut Tristan asal.
"Ck, mentang mentang sering nanganin kasus perceraian, lu mau nyodorin janda buat anak gue." Cibir Faris.
"Lho, kalo janda tapi baik, kenapa enggak Pap. Setidaknya Janda lebih terhormat daripada gadis yang ternyata bukan gadis." Stevi memberi tanda kutip pada kedua jarinya.
"Iya betul, jaman sekarang siapa sih yang mau jadi Janda?" Sahut Ghea.
"Ya, betul itu Ghe, tidak ada yang bercita cita ingin menjadi Janda." Sahut Tristan sambil menunjukan jempolnya.
"Gue curiga ama lu, Tan. Lu ngomongin janda mulu, jangan jangan lu lagi kepincut sama satu klien lu ya?" Ledek Fariz yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Tristan.
"Papi...." Panggil Jessi pada Tristan dengan nada tidak mengenakan.
Tristan menggaruk tengkuknya, "Gak gitu juga, Bee.. Itu bisa bisanya Fariz aja tuh."
Ghea tersenyum melihat sahabat sahabatnya itu, Fariz yang slalu meledek Tristan dan Tristan yang takut dengan istrinya.
***
"Oh shiittt.. Aldrich menghubungiku." Gumam Metha saat dirinya baru saja tiba diapartemen sambil melihat ponselnya yang menunjukan banyaknya panggilan masuk dari Aldrich.
Metha memegang kepalanya sambil berjalan sempoyongan, ia menuju kamar untuk merebahkan dirinya. Metha baru saja pulang dari club malam, ia menghabiskan waktu dengan berjoget dan berkumpul dengan teman temannya, tentunya menghambur hamburkan uang yang diberikan oleh Aldrich.
Bukannya menghubungi Aldrich balik, Metha malah melempar ponselnya kesembarang arah, lalu ia tertidur saking lelahnya dan karna masih berada dibawah pengaruh minuman alkohol tersebut.
Namun sebuah tangan kekar melingkar begitu saja diperut Metha, membuat Metha sedikit mendongkan wajahnya.
"Dimas, harusnya kamu pulang saja, aku takut Aldrich akan datang kesini." Racau Metha.
"Urusan kita belum selesai, Tha. Kamu bilang akan memuaskanku? Lagi pula kekasih bodohmu itu tidak akan datang malam malam kan?" Dimas berkata sambil melucuti pakaian yang menempel pada tubuh Metha.
Metha tertawa saat Dimas berusaha mencumbuinya, "Tapi kamu harus pulang sebelum Pagi, Aldrich biasanya akan datang membawakanku sarapan."
"Okay Honey, tapi berikan aku tiga ronde dengan posisimu diatasku. Puaskan aku malam ini." Kata Dimas disela sela mencumbui Metha.
Metha membalikan tubuh Dimas sehingga kini dia yang berada diatasnya, "Tenang saja Dimas, hasratku sedang tinggi, sibodoh Aldrich tidak pernah mau menyentuhku, padahal aku sangat penasaran dengan miliknya, apa miliknya lebih jantan dari milikmu?" Metha tertawa keras.
"Tentu saja Honey, milikku tak terkalahkan." Jawab Dimas dengan penuh percaya diri.
Mereka larut dalam percintaan, Metha sungguh tidak memikirkan perasaan Aldrich, mereka juga sungguh tidak tau malu, terlebih mereka melakukan hal itu di apartemen milik Aldrich.
Prank
Aldrich tidak sengaja memecahkan gelas, ia menaruh gelas dimeja dapur namun terlalu pinggir sehingga membuat gelas itu terjatuh.
"Ya ampun tuan muda Al, biar simbok yang bereskan." Sahut Mbok Nah kepala pelayan dirumah Fariz.
"Maaf Mbok, jadi merepotkan Simbok." kata Aldrich.
"Gak apa apa Tuan muda, untung aja bibi kedapur." Mbok Nah membereskan serpihan kaca yang hancur itu.
"Terimakasih Mbok." Kata Aldrich kemudian beranjak kembali kekamarnya.
Melewati kamar Orang tuanya, Aldrich mendengar suara yang tidak biasa. Aldrich bukannya pergi malah menempelkan telinganya dipintu kamar Fariz dan Stevi.
"Ouhh Papap, terus Pap."
"Kamu tidak berubah, Ma. Masih sempit sekali."
Aldrich menghela nafasnya, "Kebiasaan, kalau mau begituan lupa menyalakan kedap suaranya, gak bisa tahan sebentar apa sampai tidak sempat begitu." Kesal Aldrich lalu berjalan cepat menuju kamarnya.
Didalam kamar, Aldrich merebahkan dirinya, dan menjadikan kedua tangannya sebagai bantalan. "Besok mana pagi sekali anterin Davan ke bandara, dan mepet sama meeting dikantor. Bisa gak ya curi waktu sebentar buat ketemu Methaku." Gumam Aldrich, lalu tak lama dirinya pun tertidur
**
"Cepatlah pulang, Dav." Aldrich menepuk punggung Davan sebelum melerai pelukannya.
"Aku akan pulang jika pendidikanku sudah selesai." Jawab Davan. "Hiduplah dengan baik Al. Jangan sampai kamu menyesali apa yang sudah kamu lakukan." Kata Davan kemudian.
"Maksudmu Metha?" Tanya Aldrich.
Davan mengangguk, "Jangan bersikap bodoh, cinta boleh, tapi kamu harus tetap gunakan akal sehatmu, Al."
"Kenapa baru berani bilang ini padaku sekarang?" Tanya Aldrich.
"Tidak apa, karna jikapun kamu marah, aku sudah pergi dan tidak bisa melihat kemarahanmu." Davan tertawa.
"Oh my God, diamlah Dav, kamu boleh menasehatiku jika nanti saat kamu pulang, kamu sudah mempunyai seorang kekasih." Kata Aldrich malas.
"Whatever you say." Kata Davan enteng kemudian berkata kembali, "Aku masuk, ingatlah Al, gunakan logika."
Aldrich tersenyum, ia menatap punggung sepupunya yang semakin menjauh itu hingga tidak terlihat lagi.
Aldrich nenatap jam dipergelangan tangannya, waktu menunjukan pukul sembilan, dan ia cukup lega karna meeting hari ini diundur hingga siang nanti.
Aldrich memacu kendaraannya menuju apartemennya, untuk melihat kekasih pujaan hatinya itu.
Sinar mentari pagi menelusup kecelah gorden, Metha memegang kepalanya yang masih terasa pusing, matanya mengedarkan pandangannya dan melihat seisi apartemen yang cukup berantakan.
"Syukurlah Dimas sudah pergi." Gumamnya.
Ceklekk.
Suara pintu kamar terbuka.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!