..."Bruukkk"...
Azam meletakkan satu kardus mie instan yang berisi baju baru di atas meja makan kantor, tempat ia bekerja.
"Apaan nih?" tanya Bima, salah seorang rekan kerja Azam sekaligus tetangga Azam di kampung halaman.
"Baju," jawab Azam datar.
"Banyak banget?"
"Buat ibuk, bapak, kakak, adik dan semuanya."
"Kenapa gak dipaketin aja sih? kan expedisi masih buka?"
"Apa masih bisa sampai sebelum lebaran?"
"Bisa kayaknya."
"Wah meragukan, udahlah aku bawa saja daripada gak nyampek malah jadi perkara."
"Ribet, kenapa gak beli jauh-jauh hari?"
"Jangan protes mulu Bim!"
"Hemm..."
Azam mengambil kardusnya lalu kembali duduk di kursi kerjanya. Bima hanya mengernyitkan dahi seraya beranjak kembali juga. Azam dan Bima merupakan teman masa kecil hingga dewasa. Mereka pun diterima bekerja di tempat yang sama. Lebih tepatnya, Bima yang lebih dulu bekerja di sana lalu mengajak Azam saat ada lowongan pekerjaan lagi.
Hari ini, tidak ada yang istimewa selain semua pekerja bersiap untuk menyambut libur panjang lebaran. Semua orang bersuka cita, tak terkecuali Azam dan Bima. Mereka berdua kembali berdiskusi perihal kapan jadinya untuk mudik. Mereka memang bertetangga di kampung halaman mereka, Jepara.
"Besok gimana?" tanya Bima.
"Malam ini saja Bim, sudah kangen keluarga besar."
"Yasudah kalau begitu, sampai kosan langsung siap-siap!"
"Oke."
Meski telah sepakat, Bima malah ketiduran di kosan hingga membuat Azam sedikit kesal. Bima sendiri seolah tak bisa menahan kantuknya hingga terlelap dan kemudian bermimpi. Dalam mimpinya, Bima dihampiri oleh seorang kakek tua yang tak ada angin, tak ada hujan, menasihatinya meski mereka tidak saling mengenal.
"Jangan berangkat dulu malam ini!" cegah kakek itu.
"Kenapa? kakek siapa?" tanya Bima.
"Jangan pergi sekarang!"
"Tapi kenapa?"
Belum juga mendapat jawaban, Bima terbangun karena Azam membangunkannya.
"Bangun woi! malah tidur."
"Duh Zam.. gak pas banget sih banguninnya."
"Kenapa? mimpi jorok kamu ya?"
"Enggaklah, aku mimpi aneh malahan."
"Mimpi apa?"
"Ada seorang kakek yang melarangku berangkat mudik malam ini."
"Halah, mimpi gak jelas itu. Selagi bukan kakekmu, gak usah dipikirkan!"
"Gila! kakekku sudah lama meninggal."
"Eh, jangan-jangan yang datang, itu kakekmu."
"Bukanlah, wajahnya beda."
"Kakek buyutmu? nenek moyangmu?"
"Azam!"
Azam terkekeh.
"Kali aja bener Bim, arwah kakeknya kakekmu masuk ke dalam.."
"Udah-udah sana, minggir! aku mau packing."
"Hemm, buruan loh!"
"Iya-iya."
...🍂🍂🍂...
Pada akhirnya, Bima mengabaikan mimpinya dan tetap berangkat malam itu juga. Usai menunaikan solat maghrib, Bima dan Azam berangkat ke terminal. Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk menemukan bis sesuai tujuan. Beruntungnya lagi, bis langsung berangkat meski penumpang masih longgar.
"Widih, mantap nih!" ujar Azam.
"Iya Zam, gak perlu nunggu lama."
"Iya."
Meski terkesan sunyi tapi semuanya tampak normal. Tentu saja, Bima dan Azam menanggapi kediaman para penumpang secara wajar. Mereka pikir, perjalanan malam pastilah melelahkan. Sepertinya juga, para penumpang merupakan pegawai yang langsung melakukan perjalanan mudik usai pulang bekerja, sehingga wajar jika mereka memilih diam dan tak lama lagi, mungkin akan terlelap. Itu jugalah yang akan Bima dan Azam lakukan.
Di saat Bima hampir terlelap, ia melihat ada seorang kakek di tepi jalan yang mana rupanya begitu mirip dengan kakek yang tadi datang ke mimpinya. Kakek itu hanya berdiri diam menatap ke arah Bima. Alhasil, Bima lekas memberitahu Azam perihal kakek tersebut. Sayangnya, Azam tidak dapat melihat sebab bis telah melaju melewatinya.
"Kok bisa ya?"
"Bisa apa?" tanya Azam.
"Kakek yang ada dalam mimpiku ternyata sungguh ada di alam nyata."
"Kamu salah lihat kali Bim."
"Enggak, baru juga tadi mimpinya, sebelum kita berangkat."
"Ya kalau begitu wajar, emang banyak orang yang mirip."
"Tapi enggak kalau mirip semuanya. Sampai dengan pakaian dan celananya juga."
"Emm."
Sesaat setelahnya, Bima membulat sebab ia kembali melihat kakek yang sama di pinggir jalan. Padahal, jelas-jelas telah dilewati bis tadi. Melihat hal itu, Azam pun bertanya:
"Kenapa kamu?"
Bima mengucek matanya lalu menatap Azam dalam diam.
"Kamu kenapa Bim? jangan bikin aku takut!"
"Zam.."
"Iya, apa? kenapa?"
"Kakek yang ada di mimpiku sekaligus yang tadi aku lihat, barusan muncul lagi di pinggir jalan."
"Ah ngaco kamu."
"Serius Zam, ini aja mulai merinding aku."
"Ngantuk kamu Bim, tidur gih!"
"Tuh tuh tuh, lihat tuh, ada lagi dia!" seru Bima sembari menunjuk ke jendela bis.
Azam yang penasaran segera melihatnya namun, Azam tidak melihat apa-apa.
"Sengaja kamu ya? sengaja bikin aku ketakutan."
"Enggak Zam, masak kamu gak lihat sih?"
"Aku gak lihat apa-apa Bim."
"Hah?"
"Udah ya duduk, tenang dan pelan-pelan pejamin mata! kali aja bisa tidur."
Bima menurut tapi, baru saja dia memejamkan mata, lekas ia berteriak sebab, tiba-tiba sosok kakek yang sedari tadi ia lihat, muncul di jendela bis, melayang sembari mengetuk kaca jendela. Azam panik seraya lekas bertanya perihal apa yang terjadi? Bima bangkit dan lekas menjauh dari sisi jendela.
"Ada apa Bim? ada apa?"
"Itu Zam.. kakek itu.."
"Hah? di mana?"
Anehnya, Azam masih tetap tidak bisa melihat sosok kakek yang Bima lihat. Yang lebih aneh lagi, meski Bima telah membuat keributan sedemikian heboh, tak ada satu pun penumpang yang menoleh ke arah mereka. Seolah, mereka semua tak mendengar apa-apa. Beberapa saat kemudian, Bima memilih duduk di kursi yang lain. Azam mengikutinya sembari mengulurkan sebotol air mineral.
"Kamu ini kenapa sih Bim?"
"Kakek itu hantu Zam. Dia bisa melayang di jendela bis."
"Hemm.. iya-iya aku percaya. Minum lagi gih sampai kamu tenang!"
Bima mengangguk lalu kembali menenggak air mineral yang tadi, Azam berikan.
"Bim, aku jadi mikirin mimpimu. Kalau memang kakek itu muncul di mimpimu dan memintamu untuk tidak berangkat mudik malam ini, artinya kan itu sebuah peringatan. Aku juga tidak tahu tentang apa yang akan terjadi nanti tapi bukannya itu menjadi hal yang baik? lantas kenapa, dia malah datang untuk menghantuimu?" tanya Azam yang lekas membuat Bima turut berpikir keras.
"Benar juga Zam, apa maksudnya?"
"Karena sama-sama tidak tahu, anggap saja kalau dia hanya sekedar usil semata. Tidak perlu dipikirkan lagi! kita hanya perlu duduk manis hingga kita, sampai di kampung halaman."
"Hemm.. iya Zam."
"Kalau memang masih takut, banyakin baca doa Bim!"
Bima mengangguk, Azam menghela napas panjang lalu kembali mengalihkan pandangannya ke depan sebelum kemudian memejamkan matanya. Sementara Bima, memberanikan diri menoleh ke arah jendela sebab muncul rasa penasaran. Beruntung, sosok kakek yang tadi melayang, sudah menghilang. Bima pun dapat bernapas lega dan tanpa sadar, mengucapkan hamdalah.
"Alhamdulillah."
...🍂 BERSAMBUNG..🍂...
Awalnya, Bima dan Azzam tak berpikir macam-macam tentang sikap para penumpang yang abai kala Bima membuat kegaduhan tapi lama-lama, mereka curiga juga. Jika dalam keadaan normal, sedikit bunyi saja sudah bisa memancing perhatian. Sementara kegaduhan besar yang Bima buat, bagaimana bisa tidak membuat satu pun penumpang memperhatikan keduanya?
"Aneh gak sih Zam?" tanya Bima.
"Kalau dipikir ulang, sepertinya memang aneh Bim."
Azam dam Bima mulai memperhatikan sekitar. Hening, tak ada suara apa pun selain bisikan mereka berdua. Sopir dan kernet bis tak saling berbincang. Begitu pun dengan penumpang lainnya. Azam bangkit, berinisiatif untuk berjalan maju ke depan, Bima menahan.
"Mau ngapain?"
"Sstttt!" ucap Azam seraya membuat isyarat agar Bima diam.
Selanjutnya, Azam mulai melangkah normal ke depan. Dia bertanya ke kernet, berapa harga karcisnya karena sedari tadi, ia dan Bima belum diminta bayar. Anehnya, si kernet hanya menjawab "nanti saja" dengan nada datar. Azam menelan ludahnya lalu berbalik perlahan hendak kembali ke tempat duduknya. Kesempatan itulah yang ia gunakan untuk mengamati penumpang lainnya.
...Deg.....
Azam bergidik seraya mempercepat langkahnya lalu kembali duduk di sebelah Bima.
"Gimana? tanya apa kamu ke kernet tadi?" cerca Bima.
"Dingin."
"Dingin? AC?"
"Bim.."
"Apa?"
"Ini bener-bener aneh."
"Kenapa? ada apa?"
"Yang kulihat, wajah semua penumpang terlihat dingin, tatapan mereka fokus ke depan dan tak bergerak. Bahkan, jika diperhatikan lebih seksama, seperti tak ada yang berkedip."
...Deg.....
"Nih ya, kernet yang tadi kutanyai pun hanya menjawab dengan datar. Kesannya dingin bangetlah pokoknya."
"Gak beres ini Zam."
Melihat temannya gusar, Azam lantas cekikikan membuat Bima kebingungan.
"Kenapa lagi kamu?"
"Aku bercanda Bim, jangan takut gitu. Orang-orang bersikap demikian juga wajar. Mereka semua capek, habis beraktifitas seharian dan dilanjut dengan perjalanan bis malam. Masuk akal bukan?"
"Zam.. zam, masih bisa ya kamu mikir begitu? apa kamu gak percaya sama sosok kakek yang membuatku ketakutan tadi?"
"Percaya tapi udah, kita aman."
Bima mendengus.
"Yaudah-yaudah, kamu ingin apa? kamu mau aku bilang kalau bis yang kita tumpangi saat ini nih bis setan? gitu?"
"Husssttt! ngawur kamu!"
"Lah terus gimana Bima? ngebingungin kamu, kayak cewek lagi PMS (Pra Menstruasi)."
"Ya seenggaknya jangan asal nglonyor gitu ngomongnya!"
"Oke-oke."
Azam mendekat lalu berbisik di telinga Bima:
"Bis ini, bis setan Bim."
Bima lekas meninju pelan temannya yang kian gencar mengusilinya. Entah memang Azam tidak takut atau sekedar mencairkan suasana saja. Yang jelas, hal ini cukup berhasil mencairkan bongkahan rasa takut di hati Bima hingga ia bisa terlelap. Azam baru merasakan keanehan saat suasana bis terasa kian senyap. Bahkan, bis yang biasanya diramaikan dengan musik dangdut, malah sama sekali tidak menyetel musik apa pun.
Selain Bima, tak ada penumpang lain yang terlelap. Yang paling aneh, beberapa jam telah berlalu tapi tidak ada satu orang pun yang berbincang. Azam bisa maklum jika itu penumpang tapi, sopir dan kernet pun turut diam. Terkesan seperti orang asing yang tidak saling mengenal. Tengkuknya merinding kala memikirkan kemungkinan yang tak ia harapkan. Azzam menggelengkan kepalanya guna menghalau pikiran-pikiran buruk yang mulai mengeliat.
Beberapa saat kemudian, Bima terbangun. Tidak lama, ia hanya melirik ke arah Azam lalu kembali memejamkan mata. Sialnya, Bima tidak bisa tidur dengan tenang sebab, kakek yang sebelumnya datang ke mimpinya, datang lagi. Dia terlihat berjalan menghampiri Bima yang hanya bisa berdiri diam tanpa bisa menggerakkan badan. Alhasil, Bima berusaha menenangkan diri seraya menunggu si kakek sampai di depannya tepat.
"Kek.."
Entah keberanian dari mana membuat Bima berani memanggilnya.
"Sudah kubilang jangan berangkat! kenapa masih berangkat?"
"Kenapa kek? saya dan teman saya telah sepakat untuk mudik malam ini. Ada apa memangnya?"
Si kakek hanya diam hingga akhirnya, Bima terbangun dari mimpinya. Bima tertegun sembari mengatur deru napasnya. Batinnya dipenuhi banyak tanya.
"Siapa sebenarnya kakek itu?"
"Kenapa begitu getol memperingatiku?"
"Memangnya ada apa dan apa yang akan terjadi jika aku melanjutkan perjalanan ini?"
Bima menarik napas dalam-dalam lalu menoleh ke arah Azam yang masih terlelap. Bima bingung hendak berbuat apa.
"Gimana ya? apa sebaiknya kuajak Azam untuk kembali ke kosan?"
"Ah, bisa bertengkar hebat aku nanti sama dia. Alasanku gak logis untuk mengambil keputusan itu."
"Atau.. ganti bis saja? Bagaimana pun, aku masih merasa kalau semua penumpang bis aneh. Kernet dan Sopir juga sama anehnya. Mungkin saja.. apa yang Azam celetukkan tadi, ada benarnya. Apa mungkin si kakek itu memperingatiku tentang bis ini?"
"Astaghfirulloh pusing, hati gak bisa tenang sama sekali."
Bima mencoba membangunkan Azam perlahan namun Azam sulit untuk dibangunkan.
"Zam.. Zam.. Azam."
"Hemm..."
"Bangun Zam! serem banget nih bis. Turun yuk, ganti bis yang lain!"
"Hemm.."
"Zam.."
"Hemm.."
"Bangun!"
"Hemm.."
"Hemm muluk!"
Bima mulai kesal, percuma saja membangunkan Azam. Akhirnya, dia berinisiatif untuk mencoba mengajak salah satu penumpang untuk berbincang. Pikirnya, berkenalan dulu lah lalu berbincang ringan agar suasana mencair perlahan. Sayangnya, jawaban penumpang tersebut tidak sesuai dengan yang Bima harapkan.
"Turun Jepara juga pak?" tanya Bima sembari mengulas senyum.
"Iya."
"Buset, singkat amat jawabnya," benak Bima.
"Kerja di Jakarta pak?"
Orang itu menganggukkan kepalanya.
"Sendiri saja mudiknya, apa semua keluarga tinggalnya di Jepara?"
Pertanyaan Bima kali ini mendapatkan pelototan tajam membuat Bima lekas bungkam.
"Maaf ya pak! maaf mengganggu istirahat bapak! silahkan dilanjut!" ucap Bima seraya beranjak kembali ke tempat duduknya.
Belum juga normal detak jantung Bima, kernet bis tiba-tiba berucap dengan nada yang kencang, seolah ucapannya sengaja ditujukan untuk Bima.
"Kalau mau selamat, diam! jangan banyak tanya!"
Bima menelan ludahnya seraya mengangguk tanpa sadar.
"Eh, itu.. buat aku ya maksudnya?" tanya Bima di dalam hati.
"Duh Azam, tidurnya pules banget sih?"
"Baru kali ini, naik bis seserem ini."
Bima masih terus ngedumel di dalam hati. Kemudian, ia merogoh ponselnya dari dalam tas lalu mengutak atik beberapa akun sosial media miliknya, guna mengalihkan fokus agar ketakutannya menghilang. Sialnya, jaringan tidak stabil, membuat Bima mendengus kesal.
"Bisa-bisanya ngadat di saat yang tidak tepat. Gak tahu situasi banget, sialan!"
Bima memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas lalu membaca doa tidur sembari memejamkan mata. Sayangnya, tidak semudah yang ia rencanakan. Matanya seolah enggan terpejam membuat Bima kian frustasi. Alhasil, Bima mencoba berhitung di dalam hati, mirip dengan metode untuk menidurkan anak kecil yang anehnya malah berhasil. Lambat laun, hitungannya melambat hingga membuatnya benar-benar terlelap.
... 🍂 BERSAMBUNG... 🍂...
Rasanya, baru sebentar Bima tidur saat tiba-tiba bis membunyikan klakson dengan kencang membuat Bima dan Azzam bangun gelagapan. Bima dan Azam lekas berdiri guna melihat keadaan. Ternyata, dari arah berlawanan, ada bis lain yang entah kenapa oleng ke kanan yang artinya menutupi jalur bis yang sedang mereka tumpangi. Alhasil, Sopir bis yang mereka tumpangi, membanting setir ke kanan dengan keras dan membuat bis mereka terguling. Bima beserta seluruh penumpang terpelanting, terbentur kursi, besi pegangan dan lain-lain hingga bis berhenti berguling. Akan lebih mudah jika pingsan, sayangnya, Bima dan Azam masih sadar untuk merasakan nyeri di sekujur tubuh mereka. Darah mengucur di beberapa bagian tubuh. Kepala menjadi pening dan pandangan sedikit kabur.
"Astaghfirulloh! ya Alloh!"
Bima menoleh ke samping dan mendapati Azzam yang masih terlelap. Ternyata, yang baru saja ia alami, hanyalah sebuah mimpi.
"Ya Alloh, alhamdulillah hanya mimpi," gumam Bima.
Bima menenangkan diri sejenak sembari menormalkan deru napas sebelum kemudian beranjak ke toilet untuk mencuci wajah. Tak lama kemudian, ia kembali ke tempat duduknya. Saat kembali duduk inilah, Azzam tampak tak biasa.
"Sudah bangun Zam?" tanya Bima berbasa-basi dan tengah bersiap untuk menceritakan mimpinya.
Sayangnya, Azam tidak meresponnya. Azam terlihat seperti perempuan yang sedang membelai rambut panjangnya. Karena merasa aneh, Bima lantas bertanya.
"Kamu ngapain sih Zam?"
Azam masih diam dan terus membelai sesuatu yang tidak terlihat. Dari gerakan tangannya, sungguh seperti perempuan yang sedang membelai rambut perlahan.
"Jangan gitu lah Zam! kurang kerjaan banget."
Sekali lagi, Azam diam membuat Bima kian gerah.
"Obsesi jadi bencong kamu ya? ngapain sih?"
Mendengar ucapan Bima, Azzam pun menoleh perlahan lalu tersenyum.
"Jijik tahu? jangan senyum²!"
Tak lama kemudian, Azzam berucap yang mana ucapannya langsung membuat Bima terkejut. Bagaimana tidak, suara Azzam tiba-tiba berubah menjadi suara perempuan.
"Ada apa mas? mau kenalan dengan saya?"
Bima terjingkat seraya membeku tidak dapat berkata apa-apa. Sosok yang merasuki Azam kini tertawa cekikikan.
"Kuntila-nak.." ucap Bima terbata.
"Saya Roro mas, bukan Kuntilanak," jawab sosok itu disusul tawa cekikikan lagi.
Bima berteriak heboh namun, para penumpang tak ada yang bergerak sedikit pun. Sekedar menoleh saja, tidak. Tak lama kemudian, sosok yang merasuki Azam keluar. Tidak menghilang melainkan hanya melayang lalu merayap di badan bis hingga ke langit-langit bis. Hampir saja Bima pingsan dibuatnya. Bagaimana tidak, rupa sosok perempuan itu sangatlah menyeramkam. Rambutnya panjang tapi matanya hanya ada sebelah. Mulutnya sangat lebar sampai ke telinga. Bima mematung tak bergerak hingga akhirnya pingsan juga.
Entah berapa lama Bima pingsan. Ketika bangun, ia telah dibaringkan di kursi bis yang kosong dan Azam menungguinya. Bima mengerjapkan matanya beberapa kali seraya coba mengingat perihal apa yang telah terjadi.
"Bim.."
Bima melirik Azam.
"Sudah sadar kamu Bim?"
"Zam.."
"Iya?"
"Sakit banget nih kepalaku."
"Iya, kamu tadi pingsan dan kepalamu terbentur kursi."
"Kamu tahu?"
"Tahu, pas banget pas aku bangun tidur tadi."
"Em.. lalu.. kanu lihat sosok perempuan gak?" tanya Bima antusias.
"Perempuan yang mana?"
"Perempuan yang.. eh kamu, kamu tadi kerasukan Zam."
"Kerasukan gimana? aku baik-baik saja kok."
"Zam, ada yang gak beres sama bis ini dan mereka semua aneh," ucap Bima sembari melirik ke para penumpang yang lain.
"Kalau soal itu, aku sih.."
Belum selesai Azam bicara, Kernet Bis memberikan aba-aba agar semua penumpang turun karena mereka semua akan diberikan konsumsi makan malam di rumah makan yang telah disediakan.
"Kita turun dulu Bim!"
"Iya."
Azam membantu Bima berdiri dan kemudian turun bersama menuju rumah makan yang ditunjukkan.
"Rumah Makan Bu Rose," gumam Bima mengeja nama rumah makan di depannya.
Rumah makan bu Rose terlihat normal seperti rumah makan pada umumnya. Terdapat tiga orang penjual di sana. Tampaknya, ini adalah rumah makan langganan yang sudah biasa bekerja sama dengan sopir dan kernet bis yang sedang mereka tumpangi. Ketika bis tiba, ketiga penjual lekas menghitung jumlah penumpang dan kemudian menyajikan makanan beserta minuman. Azam dan Bima duduk di kursi yang telah disediakan sembari mengamati sekitar.
"Kalau soal rumah makannya sih.. kayaknya gak ada yang janggal," gumam Bima.
"Apa Bim?"
"Rumah makan ini, normal-normal saja, gak ada yang aneh."
"Memangnya kamu pikir bakal seaneh apa?"
"Takut saja Zam, nih ya aku ceritain. Kamu tadi kerasukan dan yang merasukimu itu sejenis kuntilanak. Wujudnya perempuan dengan rambut panjang tapi, matanya cuma satu dan yang paling menyeramkan adalah, mulutnya itu lebar banget sampai ke telinga."
"Hah, yang benar? aku gak ngrasain apa-apa."
"Ya kan kamu emang lagi gak sadar tadi."
"Tapi, serius apa bercandaan nih? kalau bercanda, sumpah gak lucu Bim."
"Beneran Zam, kalau bohong, lah kenapa aku bisa pingsan?"
"Emm... serius kamu lihat penampakan?"
"Iya Zam, masih gak percaya kamu?"
"Kayaknya, ada yang salah sama kamu. Rasanya, kamu digangguin makhluk halus terus."
"Kok jadi aku yang salah?"
"Pokoknya salahmu."
"Hemm.."
Bima berdehem seraya meminum teh hangat yang telah disajikan di meja. Sementara Azam mulai menyuapkan sesuap nasi ke mulutnya.
"Gimana kalau kita ganti bis Zam?"
"Buat apa?"
"Bis itu aneh loh."
"Kita udah bayar Bim dan coba kamu lihat! apa ada bis lagi yang lewat? sepi banget malam ini."
...Deg......
"Iya Zam, jadi tambah aneh kalau begini. Gak biasanya sesepi ini. Ini kan lagi ramai-ramainya orang mudik, gak masuk akal kalau sepi begini."
"Jangan mulai mikir macam-macam Bim! fokus makan saja terus kita naik bis dan melanjutkan perjalanan sampai ke Jepara. Lebih cepat sampai, lebih baik."
"Kok bisa setenang ini kamu?"
"Mencoba tenang, kamu juga harus begitu."
Bima kembali mendengus seraya mengambil sendok untuk mulai menyantap makanannya. Bima sudah hampir menghabiskan makanannya kala menyadari kejanggalan yang lain. Ternyata, cara makan para penumpang satu bisnya terlihat kaku dan dingin. Cenderung sangat kaku dan serupa. Sangat sukar dijabarkan tapi kesan menyeramkan begitu kental dan lagi-lagi, tak terdengar satu pun perbincangan di antara mereka, senyap. Para penjual sama diambya, hanya menyajikan makanan tanpa mengucapkan apa-apa. Sekedar mempersilahkan untuk makan pun, tidak.
"Zam, hening banget loh ini."
"Aku tahu, abaikan saja! keperluan kita makan, setelah itu lanjut ke Jepara."
"Zam.."
"Makan Bim!"
Bima menelan makanan di mulutnya lalu kembali menyuap. Hatinya benar-benar gusar sekarang.
"Ya Alloh, apa lagi ini?" benak Bima.
Rasa gusar perlahan berubah menjadi takut yang akhirnya, Bima memilih untuk melantunkan doa di dalam hatinya.
...🍂 BERSAMBUNG... 🍂...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!