Theo mematut dirinya di depan cermin, untuk mengecek bagaimana penampilannya saat ini. Karena sebentar lagi ia akan pergi ke rumah Mellisa, kekasih tercintanya, yang telah dipacarinya hampir lima tahun ini.
Tok... Tok....
Sebuah ketukan di pintu kamarnya membuatnya menoleh, masih dengan senyuman yang terukir dibibirnya.
"Ya?"
Pintu pun terbuka sesaat setelah Theo menjawab ketukan itu. Martha, ibunda Theo, langsung menyembulkan kepalanya dan membalas senyuman Theo.
"Kamu mau pergi?" Tanya Martha sembari mengecek penampilan anaknya dari kepala hingga ujung kaki.
"Ya, Ma. Aku ada janji nonton sama Mellisa."
Martha menganggukkan kepalanya. "Mama enggak nyangka hubungan kalian bisa selama ini."
"Hm, Theo juga mikir begitu, Ma." Theo menyusul ibunya yang tengah duduk di pinggiran ranjangnya.
"Kata Bang Tito, kamu mau jual mobilmu ya?"
"Abang bilang ke Mama?"
"Iya, kemarin sore Tito cerita pas mampir ke rumah. Apa... harus sampai menjual mobil? Terus nanti mobilitas kamu ketemu klien gimana? Dan lagi, Papa mungkin udah enggak sanggup untuk beliin kamu mobil lagi. Karena tahun depan, Tania akan mendaftar kuliah."
Theo menghela nafasnya, lalu mengusap punggung tangan ibunya dengan lembut.
"Theo butuh modal untuk ngembangin usaha, Ma. Nantinya, Theo bisa kemana-mana pakai motor. Terus sisa uang yang untuk modal, akan Theo pakai untuk ngebenerin mobil Papa. Jadi kita masih punya mobil untuk dipakai sekeluarga."
"Itu mobil tua, Nak. Bahkan dari sebelum Tito lahir. Percuma aja kalo mau dibenerin, pasti bakal ngabisin dana yang banyak."
"Bisa, Ma. Kita benerin bertahap ya? Yang penting Mama dan Papa doain Bang Tito biar kerjanya lancar, doain Theo juga biar usaha Theo bisa bertahan dan berkembang. Jadi Theo dan Abang bisa bantuin Mama Papa untuk memenuhi semua kebutuhan rumah dan Tania."
"Pastilah itu! Mama sama Papa selalu doain kalian tiap kami berdoa." Martha mengusap punggung anaknya. "Dan... kamu udah cerita ke Mellisa kalo mau jual mobil?"
Theo menggelengkan kepalanya. "Belum, mungkin nanti setelah kami pergi nonton, Ma."
"Hm, Mellisa juga harus tau dari kamu. Meskipun statusnya masih pacar, tapi enggak ada salahnya juga kamu cerita ke dia. Yah itung-itung belajar kan kalo nanti berumah tangga harus selalu terbuka ke pasangan."
"Iya, Ma. Nanti Theo akan cerita."
...****************...
Seperti biasanya, Theo menjemput Mellisa di rumahnya. Lebih tepatnya di depan pagar rumah keluarga Mellisa, karena Mellisa selalu memintanya seperti itu sejak awal mereka menjalin hubungan.
Tak lama setelah Theo mengabari jika dirinya telah sampai, Mellisa aka segera keluar dan masuk ke dalam mobilnya. Gadis cantik dengan tinggi rata-rata dan rambut sebahu itu selalu tampak feminim. Karena sejak Theo mengenalnya saat masih berkuliah hingga sekarang, Mellisa selalu mengenakan dress tiap pergi keluar rumah.
"Sayang, bisa kita mampir ke toko make up yang biasanya? Aku harus beli lipstick, yang aku pake sekarang warnanya terlalu pucat." Ucap Mellisa sesaat setelah masuk ke dalam mobil.
Theo menoleh ke arah Mellisa dan mengecek penampilan kekasihnya itu. "Enggak, lipstick itu warnanya cantik. Enggak pucat."
Mellisa menghela nafasnya dan melirik ke arah Theo. "Kamu enggak ngerti, pokoknya kita mampir dulu kesana ya? Oke?"
"Baik, tuan putri. Kita jalan sekarang ya?"
Theo segera memacu mobilnya ke tempat yang diminta Mellisa barusan. Dan seperti biasa, Theo selalu dibuat geleng-geleng oleh Mellisa. Bilangnya hanya membeli lipstick yang warnanya sesuai dengan keinginannya, tapi nyatanya malah membeli yang lainnyq juga.
Setelahnya, mereka menuju ke sebuah mall untuk berjalan-jalan dan menonton sebuah film di bioskop. Film yang akan mereka tonton kali ini adalah film yang ingin ditonton oleh Mellisa.
"Mau kemana?" Mellisa menarik lengan Theo.
"Antri tiket."
Mellisa menggelengkan kepalanya. "Aku udah pesen tiketnya online, jadi kita bisa langsung masuk ke dalam teater."
"Oh, oke. Aku akan transfer nanti setelah nonton ya."
Mellisa menggelengkan kepalanya sambil melingkarkan tangannya dilengan Theo. "Kamu simpan aja uang kamu, kali ini aku yang traktir. Oke, sayang?"
"Wah, terima kasih banyak, sayangku. Kencan berikutnya aku yang akan bayar semuanya." Theo mengusap puncak kepala Mellisa dengan lembut.
Saat keduanya hendak berjalan menuju teater tempat filmnya diputar, langkah keduanya terhenti oleh sapaan seseorang. Keduanya menoleh ke arah sumber suara, dan Mellisa langsung menegang seketika saat mengetahui orang yang menyapa mereka.
"Emma?"
Adalah sepupu Mellisa yang selama ini selalu dihindari Mellisa karena sikapnya yang buruk.
"Wah, enggak nyangka ya akhirnya bisa liat juga pacarnya kak Mellisa secara langsung. Ternyata emang lebih ganteng daripada difoto." Emma menilai penampilan Theo dari atas hingga bawah, lalu senyuman sinis muncul dibibirnya.
"Dan sekarang aku tau kenapa kak Mellisa enggak pernah ngenalin pacarnya ke kita semua, karena ternyata pacarnya tidak terlalu... kaya."
Tanpa rasa bersalah, Emma segera berlalu meninggalkan Theo dan Mellisa. Theo mengamati langkah kaki kemana Emma berjalan. Dadanya terasa sesak setelah mendengar penilaian dari salah seorang anggota keluarga kekasihnya.
Yang ditakutkan ibunya selama ini akhirnya terjadi juga. Ya, mungkin memang Theo sudah ditolak dari dulu oleh keluarga Mellisa. Karena dirinya bukan berasal dari keluarga... kaya.
...****************...
Haloooooo.... daku balik lagi! Hahahahaha....
Kali ini mau cerita tentang kisahnya Theo sama Alita, yang ternyata banyak juga yang request dan penasaran. Jadi akhirnya diputuskan untuk menahan cerita barunya, dan bikin ceritanya mas Theo dulu 🤭
Selamat membaca & menunggu dengan sabar up ceritanya ya! Semoga suka dengan lika-liku yang dibuat oleh authornya 🤗🤗
Baik Theo dan Mellisa tidak ada yang bisa menikmati film yang mereka tonton kali ini. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, hingga mengabaikan popcorn dan minuman yang sempat mereka beli tadi.
Setelah selesai menonton film, langkah mereka menuju ke sebuah restoran, tempat mereka biasa makan bersama. Mungkin Theo memang sudah tidak selera makan, tapi ia juga harus memperhatikan dirinya sendiri agar tetap bisa berjuang.
Berjuang untuk memperbesar usahanya, agar bisa mempertahankan Mellisa disisinya.
"Udah aku bilang kan tadi, kalo aku yang traktir." Ucap Mellisa sembari menahan Theo yang hendak merogoh dompet disaku celananya.
"Tapi...."
Mellisa menggelengkan kepalanya, lalu meletakkan kartu debitnya dan membayar tagihan makan mereka.
Sejak pertemuan dengan Emma tadi, mereka memang tampak canggung. Tidak banyak interaksi dan percakapan diantara keduanya, padahal biasanya mereka akan saling bertukar cerita dan bercanda.
"Kita mau langsung pulang atau... kamu mau mampir ke suatu tempat?" Tanya Theo setelah membantu Mellisa memasangkan sabuk pengamannya.
"Sayang... a-aku... minta maaf atas kejadian tadi. Enggak seharusnya Emma ngomong kayak gitu, aku-"
"It's okay, sayang." Theo menyela perkataan Mellisa, lalu mengusap pipi Mellisa dengan lembut. "Kenapa kamu yang jadi ngerasa bersalah? Emma aja biasa aja kan setelah ngomong begitu."
"Mami Papiku emang keberatan sama hubungan kita, tapi aku tetep mau bertahan sama kamu. Aku yakin nantinya kamu akan berhasil, dan membuktikan ke orangtuaku kalo kamu layak untuk aku."
Theo mengukir senyuman lebarnya. "Makasih ya udah percaya sama aku. Aku janji enggak akan ngecewain kamu, aku akan berusaha keras biar event organizer-ku jadi besar, sukses dan dipercaya banyak orang."
Mellisa menganggukkan kepalanya. "Aku percaya, kamu pasti akan sukses, sayang."
Theo pun mencondongkan tubuhnya ke arah Mellisa, mendaratkan sebuah kecupan dikening kekasihnya dan memeluknya beberapa saat.
"Ah, ada satu hal yang mau aku omongin ke kamu." Theo melepaskan pelukannya.
"Tentang?"
"Aku... aku butuh modal untuk beberapa tender yang udah masuk, dan... itu enggak sedikit."
"Aku bisa bantu?"
Theo menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Enggak, sayang. Kamu enggak perlu ngelakuin itu, tapi terima kasih banyak karena telah menawarkan bantuan. Tapi... aku berencana untuk ngejual mobil ini."
"K-kamu yakin?"
"Hm, karena... agak susah kalo mau ngajuin pinjaman ke bank sekarang. Jadi, cumq cara ini yang bisa aku ambil."
"Aku enggak masalah, kamu bisa pakai mobilku untuk ketemu klien atau-"
"Sayang... untuk urusan itu, aku bisa kemana-mana pakai motor. Tapi masalahnya adalah... kalo... kita mau jalan berdua."
"Memangnya kenapa? Aku bisa gantian untuk jemput kamu, nanti kita bisa pergi pakai mobil aku. Kamu enggak perlu khawatirin soal aku."
Theo kembali menarik Mellisa ke dalam pelukannya, dan menghujani puncak kepala gadis itu dengan banyak kecupan. Rasanya lega sekali ia mendapatkan kekasih seperti Mellisa, yang dapat mengerti dirinya disetiap kondisi.
...****************...
Theo akhirnya menjual mobil kesayangannya. Mobil yang telah menemaninya sejak masa kuliah dan merintis karirnya. Tidak mudah hingga akhirnya ia memutuskan untuk melepas mobil yang merupakan satu-satunya harta miliknya. Tetapi demi kelangsungan hidup usaha dan gaji beberapa karyawannya, ia harus mengambil keputusan sulit ini.
Hampir setahun ini, Theo bekerja dengan sepeda motor second yang dibelinya. Sedangkan saat akan pergi berkencan dengan kekasihnya, Mellisa akan menjemputnya ke rumah.
Gadis itu memaksa, karena selama lima tahun bersama Theo-lah yang selalu mengantar jemput dirinya, dan mengantarkannya kemana pun. Mellisa tidak hanya datang untuk menjemput Theo, gadis itu sesekali mengobrol dengan ibu atau adiknya.
Hal itu tentu membuat Theo bahagia, setidaknya ia masih memiliki harapan. Meskipun orangtua Mellisa menentang hubungan mereka, tetapi Mellisa tetap bertahan untuknya.
Hari ini, Mellisa mengajaknya untuk bertemu. Setelah dua minggu berkutat dengan pekerjaannya yang sedang banyak, Theo akhirnya bisa meluangkan waktu untuk bertemu dengan Mellisa.
Berkat ketekunannya, usaha event organizer miliknya yang sudah cukup dikenal banyak orang membuatnya sangat sibuk. Theo berhasil memperluas usahanya, menambah karyawan dan mitra bisnisnya, serta menambah pundi-pundinya.
Ia bahkan dapat menyisihkan uang untuk membantu biaya kuliah adiknya yang akan masuk ke universitas sebentar lagi. Ia juga sedang mengumpulkan uang untuk membeli mobil, agar Mellisa tidak perlu repot-repot menjemputnya.
Setelah merapikan dokumen pekerjaannya, Theo bersiap untuk menemui Mellisa di sebuah kafe. Tidak seperti biasanya, Mellisa memintanya bertemu dilokasi dan tidak menawarkan diri untuk menjemputnya. Theo tidak mempermasalahkan hal itu, toh setelah bertemu dengan Mellisa dirinya ada janji temu dengan klien. Jadi dia bisa langsung menemui kliennya dengan sepeda motornya.
"Hai." Sapa Theo begitu sampai dimeja tempat Mellisa menunggunya. Theo mengecup puncak kepala Mellisa, seperti yang biasa dilakukannya saat bertemu.
Mellisa tersenyum, dan menggeser segelas milkshake yang dinikmatinya saat menunggu Theo tadi.
"Kamu mau makan?" Mellisa bertanya, dan dijawab gelengan kepala oleh Theo.
"Aku udah makan tadi di kantor. Tapi kalo kamu mau makan, aku temenin."
Mellisa menggelengkan kepalanya. "Aku enggak nafsu makan."
"Kenapa? Kamu sakit?" Theo bertanya dengan panik. Ia mengulurkan telapak tangannya untuk mengecek keadaan Mellisa.
"Sebenernya... ada yang harus aku omongin ke kamu."
Theo menarik tangannya, dan mulai menatap Mellisa dengan cemas. Tidak biasanya Mellisa bersikap serius seperti ini. Biasanya gadis itu selalu tersenyum dengan lebar dan bersemangat.
"Soal... apa?"
Mellisa meremas jemarinya, mengumpulkan kekuatan untuk mengungkapkan kepada Theo. Matanya mulai berkaca-kaca, bahkan disaat bibirnya belum mengeluarkan sepatah kata pun.
"Kita harus putus." Ungkap Mellisa dengan nada suara yang parau.
Theo terdiam. Ia hanya menegakkan punggungnya dan mengamati Mellisa dengan dalam, menunggu penjelasan yang akan dikemukakan oleh kekasihnya.
"Kita... udah enggak bisa ngelanjutin hubungan ini lagi."
"Tapi kenapa, sayang?"
"Karena orangtua aku."
Theo kembali mengatupkan bibirnya. Memang sudah pasti adalah masalah keluarga Mellisa yang tidak bisa menerimanya, dan seharusnya tadi ia tidak perlu menanyakannya.
"Aku tau aku bukan dari keluarga kaya, tapi aku sedang berjuang untuk bisa bertahan diatas kakiku sendiri. Usahaku sedang dalam kondisi yang jauh lebih bagus. Jika aku sukses nanti, mereka pasti akan merubah penilaiannya terhadapku kan?"
Mellisa menggelengkan kepalanya dengan mata yang berlinang. "Justru karena itu. Aku enggak ingin orangtuaku ngehancurin usaha kamu hanya demi kepentingannya. Mereka pasti akan ngincer kamu kalo hari ini kita enggak pisah."
"T-tapi...."
"Aku enggak mau kamu kenapa-napa. Aku enggak mau bisnis kamu berantakan hanya karena keegoisanku untuk bertahan sama kamu."
"Kita bisa ngadepin ini semua sama-sama, sayang." Theo meraih jemari Mellisa dan menggenggamnya dengan erat.
"Enggak bisa. Kamu enggak tau papi bisa bertindak sejauh apa." Jawab Mellisa dengan air mata yang mengalir dengan derasnya.
Theo menghela nafasnya, dadanya terasa begitu sesak. Lima tahun ternyata tidak cukup untuk membuktikan kepada keluarga Mellisa bahwa ia layak untuk menjadi pendamping Mellisa. Bahkan dengan kesuksesannya bertahan dan memperbesar usahanya sendiri. Karena bagi orangtua Mellisa, dirinya tetaplah berbeda kasta dengan mereka.
Tidak ada waktu bagi Theo untuk berkubang dalam rasa patah hatinya. Theo malah semakin menyibukkan dirinya, agar tidak teringat perihal berakhirnya kisah cintanya dengan Mellisa. Meskipun Theo masih memiliki harapan untuk dapat kembali kepada Mellisa.
Usahanya memang telah berkembang pesat, tapi Theo masih bertahan dengan sepeda motornya. Tentu saja ia ingin kembali membeli mobil untuk dirinya sendiri, tetapi tidak sekarang. Ia hanya ingin mengokohkan usahanya terlebih dulu, dan membahagiakan keluarganya.
Bagi Theo, itulah yang terpenting sekarang. Jika usahanya telah berdiri dengan kokohnya, maka ia tidak perlu begitu khawatir dengan kelangsungan hidup dirinya maupun keluarganya nanti.
...****************...
"Masih belum ada kabar dari Mellisa?" Tanya Benny saat memasuki ruang kerja Theo.
Benny adalah teman Theo sejak SMA, dan Benny-lah yang membantunya sejak awal dalam mendirikan event organizer ini.
Theo yang sedang terfokus pada ponselnya langsung mendongakkan kepalanya ke arah temannya itu. Lalu matanya beralih ke tumpukan berkas yang diletakkan oleh Benny dimejanya.
"Udah dua tahun lebih, masih aja nyariin Mellisa terus. Dia udah nutup semua akses komunikasinya, bro. Elo harusnya sadar, itu berarti emang dia udah enggak mau ada kontak lagi sama elo."
Theo menghela nafasnya, lalu menegakkan posisi duduknya dan meletakkan ponselnya dimeja.
"Dia begitu karena orangtuanya, Ben. Dia cuma enggak pengen gue kenapa-napa."
"Ya udah kalo gitu, elo juga enggak usah nyari-nyari dia lagi. Dia juga palingan udah punya pacar, dijodohin mungkin sama orangtuanya. Percuma aja elo telusurin medsos temennya satu-satu, mereka juga enggak ada yang mau kasih tau kan?"
Benny berjalan mendekat dan berdiri disamping kursi Theo, dan menepuk pundak Theo beberapa kali.
"Udah cukup dua tahun ini elo nungguin Mellisa, udah waktunya elo move on. Sekarang elo udah sukses, banyak duit, jadi bos ya kan? Tinggal elo ganti aja tuh motor lo jadi mobil, dijamin cewek-cewek banyak yang ngantri dengan sendirinya."
Theo menyunggingkan senyuman, lalu mengusap wajahnya dengan telapak tangannya.
"Gue enggak yakin bakal mampu, Ben. Dalam hati dan pikiran gue isinya masih kenangan gue sama Mellisa semua." Ucap Theo sambil menyandarkan kembali punggungnya dan wajahnya menengadah ke atas, menatap langit-langit ruangannya, seolah sedang meramalkan dirinya dimasa yang akan datang.
"Elo tuh sekolah aja yang pinter, giliran soal cewek malah jadi gobl*k! Itu tuh karena elo-nya aja yang sampai sekarang belum mau ngebuka diri buat cewek lain. Makanya isinya masih Mellisaaaaa semua. Yakin deh, ntar begitu elo ketemu yang cocok, bakalan jadi bucin lagi lo! Enggak bakal lo inget Mellisa-Mellisa itu lagi, yakin gue!"
Theo hanya tersenyum menanggapi perkataan Benny barusan. Ia sendiri pun tidak yakin, apakah nantinya ia dapat melupakan Mellisa dan menggantinya dengan pujaan hatinya yang baru?
"Udah buruan dicek berkasnya, gue butuh persetujuan elo sore ini. Gue mau balik ke ruangan, ada interview anak magang bentar lagi."
...****************...
Theo pulang larut malam ini, dan ini sudah biasa terjadi sejak kandasnya hubungannya dengan Mellisa. Setelah menggantung jas hujannya, Theo segera masuk ke dalam rumah dan mendapati ibunya yang masih terjaga sambil menonton TV.
"Mama belum tidur?" Tanya Theo sambil melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sebelah lebih dua puluh lima menit itu.
Ia pun segera berjalan mendekati sang mama dan mengecup pipi kiri mamanya.
"Belum bisa tidur, kayaknya karena siang tadi mama kelamaan tidur siangnya."
Martha lalu menyentuhkan tangannya ke arah wajah dan tangan Theo yang terasa dingin itu.
"Buruan mandi, mama siapin teh anget ya. Atau... kamu mau makan juga?"
"Nanti aja Theo siapin sendiri, Ma. Theo kepengen makan mie, mama tidur aja sekarang."
"Udaaahhh... kamu mandi aja. Mama yang akan bikinin kamu teh dan mie-nya."
...****************...
Theo menuruti perintah mamanya untuk segera membersihkan diri. Setelah selesai, ia segera turun ke bawah. Aroma kuah mie instan telah memasuki indera penciumannya saat menuruni tangga, dan tampaknya sang mama telah masuk ke dalam kamar untuk tidur.
Saat hendak menikmati mie instannya, terdengar suara pintu yang terbuka. Theo menengok dan mendapati Tania keluar dari kamarnya. Theo menyunggingkan senyuman. Tampaknya ia terlalu sibuk bekerja, sehingga tidak menyadari jika adik perempuannya sudah sebesar ini sekarang.
"Belum tidur?" Tanya Theo sebelum menyuapkan mie instan ke dalam mulutnya.
"Udah, cuma kebangun dan pengen minum aja." Jawab Tania sambil mengisi gelasnya dengan air mineral.
Setelah minum, Tania malah duduk disebelah Theo dan memandangi kakaknya
"Mau?" Theo menawarkan mie instan yang tengah dinikmatinya.
Tania menggelengkan kepalanya. "Abang balik malem mulu, weekend juga seringnya kerja."
"Ya kan acara-acara gitu kebanyakan pas weekend."
"Tapi kan abang udah punya banyak karyawan, apa masih harus abang ikut ngerjain juga?"
"Kenapa enggak? Abang bikin usaha ini kan karena abang yang suka."
"Tapi abang jadi enggak punya waktu untuk keluarga. Meskipun semua kebutuhan kami dicukupi sama abang, tapi kan abang juga harus ngeluangin waktu untuk kumpul sama keluarga. Kak Tito sama anak istrinya aja bisa, masa abang yang bos enggak bisa sih? Makanya mama papa suka gantian melek tuh, cuma demi nungguin abang pulang."
Theo terdiam sesaat, dan kemudian mengusap lembut puncak kepala adiknya. "Hm, abang akan sering-sering luangin waktu buat keluarga."
Tania menghela nafasnya, lalu memberanikan diri untuk berkata kepada Theo. "Bang, boleh enggak Tania... bantuin abang kerja?"
"Kenapa? Uang yang dari abang kurang ya?"
"Bukan gitu maksudnya, Bang." Tania menggelengkan kepalanya. "Tapi... selama ini kan semua orang di rumah tuh selalu menuhin kebutuhan aku. Pas kondisi ekonomi kita lagi enggak bagus pun, kalian tetep maksain aku buat masuk ke sekolah yang mahal."
Theo memberikan kode kepada adiknya untuk menunggunya sebentar agar bisa menyelesaikan makannya. Setelahnya, Theo baru memberikan penjelasan kepada adiknya.
"Kamu tau kenapa kita semua begitu ke kamu? Itu karena kami enggak pengen kamu merasa dibedakan."
"M-maksud abang?"
"Yah, kamu tau sendiri dulu abang Tito dan abang sekolahnya ditempat mahal semua. Bahkan kami juga difasilitasi mobil sama papa. Tapi setelah papa pensiun dan sakit, memang banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan papa. Tapi kami semua sepakat, kalo pendidikanmu juga enggak boleh terabaikan. Oleh sebab itulah abang Tito dan abang bekerja keras biar kamu bisa sekolah di sekolah yang bagus, sama seperti kami dulu. kamu juga kemarin abang tawarin mobil tapi enggak mau."
"Orang abang aja pakenya motor, masa aku minta minta mobil."
"Ya enggak masalah, kan abang yang nawarin."
Lagi-lagi Tania menggelengkan kepalanya. "Akunya juga enggak bisa nyetir. Tapi sekarang masalahnya bukan itu, aku... cuma pengen bantuin abang. Bisanya ya cuma bantuin abang, karena kalo bang Tito kan kerjanya di kantor orang."
"Kamu kalo mau bantuin abang, sekolah aja yang bener, lulus tepat waktu, enggak neko-neko, terus bahagiain mama papa. Itu aja."
"Tapi aku kan juga pengen punya kegiatan kalo pas liburan semester gitu, Bang. Sabtu Minggu gitu juga, bosen tau di rumah terus."
"Jadi kamu mau kayak part time gitu?"
Tania langsung menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Mau banget!"
"Yaudah, besok abang ngomong sama Benny. Biar dia yang atur kamu bisa bantuin diacara yang mana."
"Makasih, abangku yang ganteng!" Tania langsung memeluk Theo dengan erat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!