Perempuan itu bersenandung kecil sambil tangannya yang tak berhenti mengusap lembut kening si kecil yang berada di sampingnya. Bibirnya tersenyum hangat kala menatap mata tertutup itu.
Tak terasa bayi mungilnya ini dua bulan lagi akan menginjak umur 9 tahun. Menurutnya, si manis ini masih bayi untuknya.
"Bunda sayang kamu ... Malaikat Bunda." Ujarnya pelan sembari mengecup kening itu lembut, dia tidak ingin membangunkannya.
Dengan perlahan tubuhnya pun beranjak dari ranjang ber sprei pink itu, dia tersenyum sekilas lalu akhirnya kakinya melangkah keluar dari kamar dan tak lupa menutup pintu kamar ini lagi.
Baru saja keluar dari kamar, perempuan itu di kejutkan dengan seorang lelaki yang tiba-tiba lewat di hadapannya sambil menguap lebar.
Dia terkekeh, "kalau ngantuk ya tidur, Jer."
"Belum, masih ada yang perlu di kerjain," lelaki itu menjawab, "oh iya, boleh pinjem laptop Kakak nggak? Punyaku ngelag terus."
Dia yang mendapat pertanyaan seperti itu lantas mengangguk, kakinya melangkah menuju kamarnya dan di ikuti oleh lelaki itu dari belakang.
"Kan udah di bilang beli yang baru, masih aja pakai yang lama."
Lelaki itu hanya menyengir sambil mengusap rambut sedikit gondrongnya ke belakang. Ah, sepertinya dia harus potong rambut besok. Tetapi Ranaya sangat menyukai rambut gondrongnya, gimana dong?
"Kak."
Saat sudah sampai kamar, perempuan itu menoleh saat namanya di panggil.
"Masih belum inget dia … ?" tanyanya.
Sang empu yang mengerti pertanyaan itu untuknya lalu menolehkan kepalanya ke belakang, tepatnya menatap foto yang berada di atas meja kerjanya. Foto dimana dia masih remaja dulu, bersama dengan sosok lelaki yang sampai saat ini dia tidak tahu itu siapa.
Memang terlihat romantis. Foto sedikit usang itu menampakkan dirinya bersama sosok lelaki tadi berlatarkan banyaknya bunga mawar. Dengan pose dia memeluk lengan si lelaki sambil menyandarkan kepalanya, dan si lelaki yang tengah menatapnya lembut.
Jika Jerga ke kamarnya seperti ini, pasti lelaki itu akan bertanya kepadanya dengan pertanyaan yang sama seperti tadi.
Siapa dia? Siapa lelaki itu? Kenapa Jerga selalu bertanya apakah dia sudah mengingatnya atau belum? Siapa? Sebegitu berartikah lelaki itu untuknya?
"Jer, tolong jangan buat Kakak mikir lagi. Kepala Kakak sakit." Ucapnya dengan tangan yang terangkat memijat keningnya.
Jerga menatap sendu perempuan berambut sebahu itu. Dia menghela napasnya kecil dan di rasa sekarang matanya mulai memanas.
"Tapi Kakak harus inget dia. Udah mau setahun ... dan Kakak bener-bener mau lupain dia?"
"Jer ...."
"Please, Kak ...."
Perempuan itu tetap bungkam, namun pikirannya tengah kemana-mana. Ya, sudah selama delapan bulan ini dia mencoba mengingat seperti apa yang Jerga katakan tadi, namun benar-benar sulit baginya. Kepalanya akan sangat sakit bila berusaha mengingat itu.
"Dia yang selalu di samping Kakak. Dia yang melindungi Kakak dan merubah hidup Kakak."
Samar-samar itu yang dia dengar dari Jerga sebelum lelaki itu keluar dari kamarnya sambil membawa laptop miliknya. Telinganya berdengung, dan tiba-tiba dadanya terasa sangat sesak.
Dia membalikkan tubuhnya lagi dan mata sayunya menatap foto itu. Tangannya yang sedikit gemetar perlahan meraih foto itu, lalu di tatapnya lekat-lekat lelaki di dalam sana, dan mendadak dadanya terasa dua kali lipat lebih sesak.
"Jia ...."
"Akhh!"
Perempuan itu meremas kuat baju di bagian dadanya. Kenapa terasa sakit sekali?
Di tatapnya foto itu lagi dengan mata yang kini sudah memanas. Tangannya beralih memegangi kepalanya yang terasa sangat sakit.
"Aku pengen terus jaga Jia, pengen terus di samping Jia, ngelindungin Jia, terus sama Jia ...."
Tarikan di rambutnya semakin menguat, meskipun dia sadar dia sudah menyakiti dirinya sendiri. Dan kalau Jerga melihat ini, pasti lelaki itu akan marah.
"Hiks ... Ayo inget."
Tubuhnya jatuh meringsut dan bersandar pada meja kerja di belakangnya. Tak sadar cairan bening itu sudah turun membasahi kedua pipinya. Entah menangisi apa dia pun tidak tahu.
"Nala nggak akan ninggalin Jia ...."
"Jia nggak sendirian, Nala selalu di samping Jia ... Nala disini, sama Jia ...."
Dia membuka matanya ketika nama itu terucap di dalam otaknya. Matanya sedikit melebar, dan cairan bening itu semakin banyak turun hingga berlomba-lomba jatuh di pipinya. Tangannya yang semakin gemetar kembali mengangkat foto itu dan di pandanginya lama.
Dadanya semakin sakit.
"Na ...."
Bahunya kini naik turun, dan suara isakannya semakin keras terdengar.
"Hiks, Na ...."
"Na, maaf ... Maaf aku baru inget kamu sekarang. Maaf aku lupain kamu ..." isaknya.
"Na, Jia jahat ya? Jia jahat banget sama kamu ...."
Hatinya seperti tertusuk ribuan pedang kala kenangan-kenangan itu terputar di otaknya. Kenangannya saat remaja, kenangan kesedihan hingga bahagianya, kenangan yang sempat dia lupakan delapan bulan ini.
Dan tentu saja kenangan bersama lelaki itu.
Benar kata Jerga. Lelaki yang hadir di hidupnya ini adalah lelaki yang selalu di sampingnya, menjaga dan melindunginya, lelaki yang merubah hidupnya, dan lelaki yang membuatnya selalu bahagia jika bersamanya.
Lelaki baiknya, dia sangat merindukannya.
"Maafin aku ... Maafin aku nggak inget kamu."
Dia kembali meremas kuat baju di bagian dadanya. Merindukan lelaki itu sesakit ini untuknya, dia benar-benar sangat merindukannya.
Senyum manis itu, sampai saat ini masih tersimpan jelas di dalam ingatannya. Ya ... Dia sangat menyesali delapan bulan ini dia melupakan senyuman itu dan juga sosok itu. Tetapi kini, dia akan terus mengingatnya. Mengingat senyum manisnya, mengingat sosok lembutnya, mengingat pelukan hangatnya, dan mengingat semua hal yang mereka lewati dulu.
"Aku janji, aku bakal nemuin kamu besok."
Sekali lagi, dia merindukannya.
"Hiks, Na ...."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
...───• ~ ⸙ᰰ ~ •───...
...Hai! Ini karya pertamaku disini, dan semoga kalian suka ya sama cerita yg aku bawakan....
...Dan komen kalian menjadi penyemangatku~!...
...Part 1? Mari komen banyak banyakk...
...Jangan lupa vote dan komen>.<...
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Lelaki itu sedikit memincingkan matanya kala cahaya kerlap-kerlip sangat menusuk penglihatannya. Dia berusaha menegapkan tubuhnya dan melanjutkan langkahnya ke meja yang tak jauh darinya, tak lupa juga dia membawa nampan berisi minuman yang akan di antarkannya kesana.
Orang-orang yang ada di sana wajahnya tak bisa di kenali. Mereka semua memakai topeng dan beberapa tengah asik dengan kegiatannya sendiri.
"Silahkan."
Ucapannya beberapa detik lalu membuat semua yang ada di sana terdiam dan menatapnya. Dia pun bingung, ada apa? Apa ada yang salah dengannya? Hingga perasaan bingung itu kian bertambah saat beberapa dari mereka mendekatinya dengan ekspresi wajah yang terkesan datar.
"Uhuk!"
"Uhuk! Kalian ... apa-apa—"
Sulit … Kenapa dia sangat sulit bernapas? Seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya dan itu benar-benar membuatnya tersiksa.
Dia terbatuk beberapa kali hingga dia bisa merasakan baju bagian atasnya basah, beberapa kali juga dia terbatuk karena cairan itu yang terus menerus di masukan secara paksa ke mulutnya.
"Maafin saya ...."
Matanya membulat, refleks punggungnya terangkat dan berposisi duduk. Napasnya sedikit terengah-engah dengan tangan kanan mulai terangkat untuk mengusap pelipisnya yang basah oleh keringat.
Mimpi itu lagi …
Sudah beberapa kali dia bermimpi dengan mimpi yang sama, namun tak sekalipun dia ingat kejadian di mimpi itu. Dia memang merasa mimpi itu adanya kejadian yang sudah tejadi, tetapi dia sama sekali tidak mengingatnya.
Menghela napasnya panjang, dia lalu meraih gelas berisi air mineral di meja samping ranjang tidurnya, meneguknya dalam jumlah yang banyak sampai isinya habis tak tersisa.
"Siapa … Kalian siapa?" Monolognya.
Matanya memandang lurus ke depan, namun tatapannya kosong, napasnya masih sedikit tersenggal. Raut wajahnya seketika berubah saat sakit yang luar biasa itu mulai datang dan menyerang kepalanya.
"Ahss!"
Gelas di genggamannya jatuh begitu saja di atas ranjangnya, kedua tangannya kini lelaki itu gunakan untuk memegangi kepalanya dengan kuat. Hingga lama kelamaan menjadi tarikan di rambutnya.
Sangat sakit.
"Akhh, Bunda … sakit." Lirihnya meringis.
Kapan semua ini akan berakhir? Sampai kapan dia harus merasakan sakit luar biasa di kepalanya saat malam seperti ini? Tidurnya sering kali terganggu, dan bahkan dia bisa membuka matanya hingga fajar datang.
Sekarang waktu baru menunjukkan pukul satu pagi, dan sakit di kepalanya akan bertambah dari waktu ke waktu.
Lelaki itu dengan gerakan cepat beranjak dari ranjang tidurnya dan berjalan ke dinding dekat lemari bajunya. Tubuhnya jatuh meringsut di sana dan dia pun mulai melakukan hal yang selama ini dia lakukan bila sakit itu datang.
Dak! Dak!
Ah … Rasanya sangat puas membenturkan kepalanya sendiri ke dinding, seperti sakit yang di rasanya bisa hilang saat itu juga.
Dak! Dak!!
Semakin keras benturannya semakin merasa puas yang dia rasakan, meskipun kini kepala bagian kanannya terasa basah dan ada juga yang menetes ke lantai kamarnya. Apalagi kalau bukan darah?
Kegiatannya perlahan terhenti, lelaki itu beralih menyandarkan punggung ke dinding yang sejak tadi dia gunakan untuk membenturkan kepalanya itu. Napasnya kembali terengah dan mata sayunya mulai memanas.
"Bunda … sakit."
"Bunda, Nangga sakit ..."
Bibirnya bergetar, dia memejamkan matanya dan saat itu juga cairan bening yang sejak tadi menggenang pun jatuh membasahi kedua pipinya.
Kenapa dia sangat lemah? Ah, dia benci dengan dirinya sendiri.
Nanggala benci dengan dirinya yang seperti ini. Dia merindukan bundanya, dia merindukan keluarganya. Sesaat dia teringat hal yang membuat keluarganya hancur seperti ini, dan mendadak dadanya sangat sesak mengingatnya.
"Nangga kangen bunda … Nangga kangen ayah."
"Nangga kangen kalian semua ...."
Lelaki itu terisak kecil sembari menikmati sakit di kepalanya yang mulai muncul lagi. Dia sudah lelah, dia sudah tidak kuat menanggung kesakitan ini sendiri, apa dia boleh menyerah?
Nanggala ingin sekali menyerah dan menyalahkan siapa saja yang membuat hidupnya seperti ini. Namun dia tidak mungkin menyalahkan mereka, kedua orang tuanya.
"Nangga butuh Bunda …."
.......
.......
.......
Angin pagi sangat menusuk melewati hoodie berwarna hijau mint-nya yang tidak terlalu tebal membalut kaos putih tipisnya dari luar. Matanya menatap sekeliling, banyak toko pinggir jalan yang belum buka.
Kepalanya mendongak ke atas. Ah, langitnya masih gelap. Tentu saja, jam baru menunjukkan pukul empat pagi.
"Selamat pagi, Nak Nanggala!"
Mendengar namanya di panggil, anak itu menolehkan kepalanya ke samping kanan. Sedetik kemudian dia tersenyum sangat ramah dan sedikit membungkukkan kepalanya.
"Selamat pagi, Budhe!"
Terlihat wanita yang mungkin seumuran atau bahkan lebih tua dari bundanya itu juga tersenyum ramah, dia melangkahkan kaki mendekatinya yang masih setia berdiri di depan toko di hadapannya.
Kedua tangan yang sejak tadi Nanggala sembunyikan pada kantung depan hoodie-nya dia keluarkan ketika perempuan itu sudah berdiri di hadapannya, dan tentu saja dia langsung menyalimi tangan itu. Lalu seperti biasa, selanjutnya wanita itu pasti akan menepuk-nepuk lengan ataupun bahunya.
"Ealah, ini masih pagi banget. Kamu udah mau berangkat?"
Nanggala tersenyum manis, "ah, iya Budhe. Lagian udara pagi juga seger."
Thalia hanya tersenyum hangat.
Dia kenal Nanggala, anak muda yang satu tahun lalu pindah di kost kecil yang terletak tidak jauh dari sini. Setiap pagi-pagi buta begini, atau setiap malam, pasti dia akan melihat sosok Nanggala yang berjalan berangkat atau pulang bekerja.
Anak itu juga tak jarang membantu disini, tokonya yang menjual berbagai macam cake dan camilan-camilan roti kering kecil lainnya. Ada juga yang tradisional, karena Thalia itu aslinya dari Jawa Tengah.
Umurnya masih sangat muda, seharusnya dia sekolah, belajar. Memikirkannya saja kadang membuat wanita itu ikut bersedih.
Dulu pernah, Thalia berkata pada Nanggala akan menyekolahkannya, tetapi Nanggala menolak. Anak itu tetap dengan mimpinya, bersekolah dengan uangnya sendiri.
Benar-benar manis. Lelaki dengan senyuman yang sangat manis.
Thalia tahu di balik senyuman manis itu, banyak sekali kepedihan yang tersimpan di dalamnya.
"Nanggala? Wis mau berangkat to?"
Kedua orang yang sejak tadi mengobrol kecil-kecilan itu menoleh ke belakang dan menatap siapa yang baru saja keluar dari dalam toko.
"Iya, Pakde." Nanggala mengangguk dan tersenyum lagi.
Pria bertubuh tinggi itu ikut mengangguk dan membalas senyuman anak di sana. Nanggala bisa melihat salah satu tangan pria itu menenteng sesuatu. Tote bag berwarna putih.
"Iki, nggo bekal kamu."
Nanggala menatap benda yang beberapa detik lalu disodorkan oleh pria di hadapannya.
Tangannya bergerak dengan lambat, kepalanya mendongak menatap bergantian suami istri yang tengah tersenyum manis di hadapannya.
"Em, Pak—"
"Ndak. Ndak ada yang ngerepotin. Wis, bawa aja, buat kamu sarapan."
Selalu seperti ini.
Pakde Hardi dan budhe Thalia sangat baik kepadanya, dan dia selalu merasa tidak enak. Meskipun mereka sering berkata, anggap saja mereka adalah kedua orang tuanya.
Baiklah, Nanggala sangat-sangat berterima kasih untuk itu, masih di pertemukan dengan orang-orang baik seperti mereka.
Tapi ... Nanggala sungguh masih merasa tidak enak.
"Terima kasih banyak, Pakde. Nanggala janji akan belajar dengan sungguh-sungguh."
Senyuman kedua sepasang suami istri itu mengembang, mendengarnya mereka sangat bangga.
Tentu saja mereka sangat mendukung pendidikan Nanggala, selalu menyemangati dan mendoakan lelaki manis itu agar bisa bersekolah lagi.
"Ndak perlu ngerasa ngerepotin atau sungkan. Pakde karo Budhe ngasih kamu itu ikhlas. Tapi janji yo? Kamu kudu belajar giat dan lanjutin sekolah kamu. Oke?"
Itu yang selalu Nanggala dengar ketika mereka memberikan sesuatu kepadanya saat mereka tahu dari raut wajahnya kalau dia merasa tidak enak. Sekali lagi,
"Nah, begitu dong!"
Terdengar tawa kecil mereka saling bersahutan di pagi yang masih gelap ini.
"Ojo terlalu banyak kerja hari ini, ojo sampe sakit. Kamu juga harus merhatiin kesehatan kamu."
"Tenang, Pakde. Nanggala anak yang kuat kok."
Lagi-lagi mereka tertawa kecil mendengar perkataan lelaki muda di hadapan mereka.
"Dasar, kamu itu rajin banget sih? Andai wong lanang males kae koyok kamu, Budhe bakal ngerasa seneng banget."
"Kamu tau ndak? Dia lebih ngerepotin."
Entah yang ke berapa kalinya mereka tertawa.
"Ah, jangan gitu Budhe. Mas Yodhan 'kan pintar."
"Iyo pinter, pinter ngapusi Budhe," wanita itu mendengus, "Yodhan ki melese pol. Bukane kuliah sing bener, malah kabur ke warnet dolanan game."
Nanggala terkekeh kecil mendengar ucapan kesal wanita di hadapannya ini, begitu juga sang suami yang berada di samping istrinya.
"Kalo bisa nih, Budhe bawa dia ke pasar terus nuker dia karo wedhus," dengusnya, "sekarang aja masih tidur, pengin banget Budhe siram wajahnya itu karo air panas."
"Uwis-uwis, Nanggala, kamu berangkat aja. Nanti keburu matahari naik."
Hardi menghentikan aksi curahan keluh kesah istrinya kepada Nanggala sebelum menjadi terlalu panjang. Anak itu akan bekerja, bisa-bisa nanti dia telat karena mendengarkan celotehan istrinya.
Dan lagi, adzan subuh juga belum berkumandang. Biasanya Nanggala akan sholat di masjid yang dia lewati di jalan nanti.
"Yowis, gih berangkat. Hati-hati, yo?"
Nanggala mengangguk dan tersenyum, "makasih banyak Pakde, Budhe. Nanggala berangkat dulu."
Kedua suami istri itu mengangguk bersamaan dan tersenyum, melambaikan tangannya, sambil terus melihat kepergian Nanggala sampai lelaki itu benar-benar hilang di tikungan jalan.
"Dia itu bener-bener anak baik hati. Semoga kebaikan selalu melindungi kamu, Nanggala."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
...───• ~⸙ᰰ~ •───...
Suara-suara khas yang bersahutan saling menawarkan barang dagangan mereka terdengar sangat ramai pagi ini. Hari masih sangat pagi, namun tempat pertama yang Nanggala datangi untuk bekerja sudah seramai ini. Dengan udara yang masih sejuk, mungkin itu yang membuat pasar ini ramai oleh pembeli.
Nanggala berhenti sejenak sambil mengatur pernapasannya, tangannya terangkat untuk menyeka keringat yang mengalir melalui pelipisnya. Wajahnya kemudian mendongak dan menatap tumpukkan karung yang baru saja di bawanya dari depan.
"Nanggala? Masih banyak?"
Suara itu membuatnya menoleh, kemudian kepalanya mengangguk, "lumayan, Bang."
"Biar Abang aja yang selesein." Ujar lelaki itu lalu bangkit dari duduknya.
Nanggala yang melihatnya dengan cepat berjalan menghampiri lelaki itu, mencekal lengannya dan berdiri di depannya sambil tersenyum manis.
"Nanggala aja, Bang. Abang duduk aja, oke?"
Lelaki itu terkekeh mendengarnya, di tepuknya pelan lengan anak itu, "dasar, kelewat rajin lo."
Nanggala tersenyum.
"Yaudah sana, biar Abang yang tata barang disini."
Yang di perintahkan mengangguk lalu berlari kecil ke arah luar pasar, tepatnya menuju mobil pengangkut berbagai macam sayuran yang sudah di bungkus oleh karung. Lalu dia akan membawa karung-karung itu menuju ke dalam pasar yang nantinya akan di jual oleh bos yang membayar pekerjaannya ini.
Karungnya cukup besar dan isinya pun padat, jujur memang sangat berat untuk Nanggala. Lelaki itu membawanya dengan posisi di atas punggungnya. Terkadang dia sendiri sampai gemetar karena tidak cukup kuat menahannya.
Namun sudah menjadi resikonya, tanggungjawabnya. Dia yang meminta bekerja di pasar dan inilah pekerjaannya. Nanggala tidak boleh mengeluh dan menyerah.
Nanggala kembali tersenyum dan siap membawa karung berisi kumpulan wortel ini ke dalam pasar. Tangannya dia cengkram kuat pada karung itu, dan juga punggung yang sudah setengah membungkuk karena beban karung di atasnya.
"Nanggala, semangat!"
.......
.......
Waktu menunjukkan pukul 11 siang, langit di atas sana terlihat sedikit mendung. Dan kini Nanggala baru saja datang ke tempat kerja keduanya. Lelaki itu masuk lewat pintu belakang, ya karena memang pekerjaannya di belakang kalau jam segini.
"Bu?"
Yang di panggilnya itu menoleh. Wanita yang terlihat tengah sibuk dengan nampan besar yang di bawanya.
"Sana cepetan kerja! Udah mulai rame!"
"Baik, Bu."
Nanggala berjalan menuju ruangan kecil di dekat pot besar di sana, melepas hoodie-nya, tasnya, menaruh tote bag berisi makanannya, dan meraih celemek berwarna hijau lumut yang tergantung di dinding.
Baiklah, Nanggala akan memulai pekerjaan keduanya.
Lelaki itu melangkah lagi mendekati benda bundar berisi air yang sedikit besar di sana, serta di sampingnya sudah terdapat tumpukan piring bekas orang makan. Nanggala mendudukkan tubuhnya di kursi kecil lalu mulai mencuci piring-piring kotor itu. Sebentar lagi memang memasuki jam makan siang, pasti akan sangat ramai.
Meskipun ini adalah kedai kecil, tapi masakannya banyak sekali di minati, karena memang seenak itu.
Seenak itu tetapi Nanggala belum pernah sekalipun mencicipinya. Walau dia bekerja disini, tidak pernah ada makanan yang dia bawang pulang, atau dengan kata lain sebagai 'bonus'.
Tidak pernah. Ya seperti itulah, banyak sifat dan kepribadian bos yang di temuinya selama Nanggala bekerja ini dan itu.
Perutnya sudah sangat lapar jika dia boleh jujur. Nanggala memang belum makan apa-apa dari pagi, dan makanan yang di buat pakde Hardi saja masih utuh di kantung itu.
"Heh! Kamu mau kemana?! Pasti ke warnet lagi, 'kan?!"
"Terus apa masalahnya sama Ibu?!"
"Seenggaknya bantuin kedai dulu baru main!"
"Ah, berisik!"
Samar-samar, Nanggala mendengar percakapan yang sepertinya berasal dari dalam kedai. Pasti dia lagi. Anak pemilik kedai ini.
Anak yang masih duduk di bangku SMP, memang anak yang bandel. Sering pergi main, atau ke warnet. Sering juga Nanggala mendengar pemilik kedai itu memarahinya karena bolos sekolah.
Nanggala kadang berpikir, anak itu sudah enak bisa sekolah dan mendapatkan uang hanya dengan menengadahkan telapak tangan ke atas, tanpa tahu susahnya cari uang, dan susahnya untuk masuk sekolah. Bagi dirinya.
Kalau Nanggala diberi kesempatan seperti itu, dia benar-benar tidak akan menyia-nyiakannya.
Ya. Kalau.
Prank!
"Anjing! Ngehalangin aja lo!"
Nanggala-pun sama terkejutnya, piring yang sejak tadi di bersihkannya lepas begitu saja ketika ada seseorang yang menabrak kencang lengannya dari belakang dengan kaki. Dan tentu saja membuat piring itu jatuh serta hancur begitu saja.
Nanggala mendongak dan dapat melihat anak pemilik kedai itu yang menatapnya sinis, lalu tak lama pergi begitu saja dengan langkah yang cepat.
Tidak peduli dengan apa yang baru saja dia perbuat.
"Ya ampun, Nanggala!"
Anak itu yang tengah mengambil pecahan-pecahan piring tadi pun menoleh, menatap wanita yang tengah menatapnya dengan wajah yang tidak bersahabat disana.
"Yang bener dong kerjanya!"
"Maaf, Bu. Saya minta maaf."
Nanggala mulai berdiri dan membungkukkan badannya beberapa kali, untuk kesalahan yang tidak di perbuatnya.
Untuk yang kesekian kalinya.
Ah, sering dia seperti ini.
"Upah kamu saya potong ya!"
.......
.......
.......
Malam yang dingin, tadi sore hujan membasahi beberapa tempat di kota Jakarta. Air sisa hujan saja masih beberapa menggenang di jalan.
Jam menunjukkan pukul 22.45. Ya, sudah sangat larut tentu saja. Tetapi pekerjaannya baru selesai malam ini.
Nanggala begitu lelah. Namun dia senang, dia senang mencari uang dan di kumpulkan untuk mimpinya. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman, seolah hidup yang di jalaninya tidaklah seberat itu.
Srak! Srak!
Kepalanya menoleh ke samping kirinya saat suara itu tertangkap oleh indera pendengarannya. Matanya menatap sekelilingnya, dan dia tidak menemukan apapun. Hanya taman bermain yang hanya di terangi oleh lampu-lampu jalan.
Srak!
Lagi. Suara itu terdengar lagi.
Nanggala pun akhirnya mencari tahu sumber suara itu, kakinya melangkah memasuki area taman bermain dengan pandangan yang menyapu ke luasnya taman ini.
Tidak ada siapa-siapa, Nanggala tidak menemukan adanya tanda-tanda sumber suara tadi.
Hingga saat dia membalikkan tubuhnya, dia dibuat sedikit terkejut dengan sosok gadis berambut panjang yang tengah berjongkok sambil memainkan sendalnya. Dia pun tersenyum lalu berjalan mendekat.
Si gadis yang merasakan ada langkah mendekat seketika mendongakkan kepalanya dan refleks memundurkan tubuhnya.
"Nggak!"
Nanggala membulatkan matanya melihat reaksi gadis itu. Dari pakaiannya yang bersih dan terawat, tidak mungkin kalau gadis itu orang ... jalanan?
"Eum, tenang ya? A-aku bukan orang jahat." Ucap lelaki itu selembut mungkin.
Gadis itu masih menunduk takut sambil memeluk erat boneka putih di pelukannya. Hingga Nanggala merasakan gadis itu tak bergerak mundur lagi, dia pun memberanikan diri maju selangkah demi selangkah.
Tubuhnya dia jongkok kan pelan di depan gadis itu.
"Kamu ngapain disini? Udah malem."
Nada bicaranya sangat lembut, Nanggala tidak ingin gadis itu ketakutan karenanya. Dan dari penampilan juga wajahnya, sepertinya umurnya tidak jauh beda darinya. Apa dia hilang?
Tidak ada jawaban, gadis itu masih terus menunduk.
Nanggala tersenyum tipis lalu pandangannya turun ke bawah, senyumnya semakin manis ketika melihat salah satu kaki gadis itu sudah tidak memakai apa-apa. Ya, sendalnya tertinggal di depan kala tadi gadis itu mundur menjauhinya. Dan dari yang dia lihat, sandal itu memang awalnya sudah putus.
"Pakai sepatu punyaku, ya?"
Tangannya menunjuk sepatu putih yang tengah di pakainya, gadis itu sekilas melirik namun hanya sebentar, dia sepertinya terkejut saat melihat sepatunya lalu wajahnya berpaling dengan cepat.
"Enggak …" lirihnya namun masih bisa Nanggala dengar.
Nanggala yang melihat tatapan terkejut itu pun bingung, ada yang salah dengan sepatu putih bertalinya ini?
Dia menghela napasnya lirih lalu mengulurkan tangannya kepada gadis itu. Disini ada kursi, dia hanya ingin menenangkan sambil bertanya kenapa gadis itu keluar sendiri di hari yang sudah malam seperti ini.
Hingga tak berapa lama gadis itu mau menerima uluran tangannya, dan dengan lembut dia membawanya duduk di kursi yang berada di taman bermain ini.
Sempat merasa aneh tadi saat sekilas wajah gadis itu menoleh kepadanya. Kenapa seperti familiar?
"Rumah kamu dimana? Mau aku antar pulang?"
Yang di beri pertanyaan menggeleng lantas membuat Nanggala tersenyum lagi. Gadis itu memang sangat tertutup seperti ini? Ya memang, dia orang baru untuk gadis itu.
"Atau bawa handphone? Biar aku telfon keluarga kamu dan suruh jemput kamu disini."
Anggukkan itu membuat Nanggala tersenyum untuk yang ke berapa kalinya. Dia bisa melihat pergerakan gadis itu merogoh tas selempangnya, dan tak lama mengeluarkan benda pipih dari dalam sana, lalu memberikan benda itu kepadanya.
"Nomor satu ..." perintahnya lirih, sambil masih memeluk erat boneka kelinci putihnya.
Nanggala mengangguk mengerti lalu mulai membuka ponsel itu yang tidak bersandi. Dia langsung saja menekan tombol 1 seperti apa yang gadis tadi perintahkan.
Gerakan tangannya yang tadi akan mengangkat ponsel itu untuk di dekatkan ke telinganya seketika terhenti, matanya menatap lekat nama yang tertulis di sana, pun dengan napasnya yang mulai tercekat kala telepon itu sudah tersambung.
"Je—"
"Aduh, non Jia dimana? Bibi jemput ya, non jangan kemana-mana sebelum bibi sampai."
Bukan dia … Bukan suara yang Nanggala inginkan. Ataukah memang hanya namanya yang mirip?
Lamunannya pun buyar saat suara di sana terus memanggil dengan nama tadi.
"Eum, maaf. Jia bersama saya, dan s-saya bukan orang jahat." Jelas Nanggala terbata, karena takut saja dia langsung di tuduh.
Dan akhirnya setelah memberitahu posisinya sekarang ada dimana, wanita tadi pun menyuruhnya tetap bersama gadis itu sebelum dia menjemputnya.
Nanggala tidak keberatan, dia malah senang menemaninya dan ada rasa kasihan dengan gadis itu. Dan lagi, nama itu … Nama yang tadi tertera di ponsel itu membuat matanya memanas. Hatinya sakit mengingat nama itu.
"Makasih …"
Suara lirih itu lagi-lagi membuyarkan lamunannya dan membuatnya menoleh.
"Makasih baik sama Jia …."
Nanggala tersenyum hangat mendengarnya, dan kini tatapan mereka bertemu. Nanggala semakin tersenyum dan membuat gadis itu juga membalas senyumannya.
Cantik sekali.
Senyuman gadis itu benar-benar mengingatkannya kepada seseorang. Seseorang yang sudah tidak pernah bertemu lagi dengannya. Dan jujur dia merindukannya.
Melihat senyuman gadis itu seperti tengah berhadapan langsung dengan seseorang yang di rindukannya tadi.
"Kamu baik."
Senyumnya sangat manis, lalu tanpa sadar mata Nanggala mulai memanas menatap wajah itu. Dadanya terasa sesak.
Dan kenapa ... Jantungnya berdebar tidak seperti biasanya menatap senyum gadis itu?
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
...•To be continued•...
...ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...
...───• ~⸙ᰰ~ •───...
...ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...
...ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...
...Vote sebelum membaca, dan komen setelah membaca ya~...
...Terima kasih untuk jejak kalian disini🙏🏻...
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Minggu siang ini terlihat sangat mendung, banyak awan hitam yang menutupi hampir seluruh langit di atas sana. Sang matahari enggan untuk menampakkan dirinya, padahal jam saja masih menunjukkan pukul setengah satu siang.
Lelaki itu sedikit terkekeh ketika melihat gadis yang duduk di atas karpet itu sedari tadi sangat fokus membaca buku. Sama dengannya, dia pun tengah belajar meskipun hari ini minggu.
"Kak?"
Yang di panggil menoleh dan tersenyum.
"Kemarin di temenin sama siapa di taman?"
Lagi-lagi gadis itu masih tersenyum dan membolak-balikkan kertas buku yang sejak tadi di bacanya.
"Sama orang baik."
Jerga menatap sendu wajah gadis itu. Yang dia dengar dari bibi, kemarin malam kakaknya berjalan-jalan sendiri lagi ke taman bermain yang memang sedikit jauh dari rumah.
Ini sudah kedua kalinya gadis itu pergi tanpa di ketahui orang rumah.
Dan bibi bilang, ada telepon masuk ke nomornya namun saat itu dia ada les dan ponselnya tertinggal di rumah. Beruntung ada bibi yang menjawab panggilan telepon itu, dengan dia yang memang sedang resah karena nona mudanya tidak ada di rumah.
Jerga juga beruntung gadis itu di temukan oleh orang yang baik, dia hanya takut terjadi apa-apa dengannya.
"Orangnya baik, ganteng, baik kayak Jerga."
Lelaki itu lantas terkekeh.
"Jangan keluar sendiri lagi, ya? Tunggu Jerga ataupun Bibi kalau Kakak pengen keluar."
Yang di beri perintah mengangguk, lantas membuat Jerga tersenyum lagi.
"Jia cuma pengen beli susu strawberry …" lirih gadis itu namun masih bisa di dengar.
Kembali menatap sendu, Jerga lantas turun dari ranjangnya dan mendudukkan dirinya di samping gadis itu.
"Kan udah Jerga beliin ini, masih banyak juga di kulkas."
Tidak lagi memasang raut wajah sedih, Jia sekarang ini tersenyum lebar dan mengambil sekotak susu strawberry di atas karpet lalu langsung meminumnya. Ya, susu yang baru Jerga belikan tadi pagi.
Jerga tersenyum tipis menatapnya, tangannya terangkat untuk merapikan rambut gadis itu, hingga suara ketukan pintu kamarnya membuat perhatiannya teralihkan.
"Di panggil tuan buat makan siang."
Jerga mengangguk mengerti, "makasih, Bibi."
Wanita itu mengangguk dan tersenyum sangat ramah, lalu pergi lagi dari hadapan keduanya. Di lanjutkan dengan Jerga yang beranjak dari duduknya, tak lupa mengajak Jia juga bersamanya. Lelaki itu keluar kamar sambil menuntunnya lembut menuju ruang makan yang berada di lantai satu rumahnya.
"Duduk."
Baru saja tiba, suara dingin itu sudah menyambut Jerga dan langsung saja dia melangkah mendekati meja makan, tangannya menarik salah satu kursi dan menyuruh Jia duduk disana, sedangkan dia menarik kursi di samping gadis itu.
"Kak, makan dulu. Susunya buat nanti."
Jerga menurunkan lembut kotak susu yang masih di minum si pemiliknya itu, dan si pemilik tentu saja menurut. Senyumnya mengembang dengan cantik sambil memandang lelaki yang duduk di sampingnya.
"Nggak usah bercanda kalian!"
Jerga yang masih saling memandang dengan Jia pun menoleh, ketika baru saja suara cukup keras itu terucap. Dia menatap tidak suka seseorang yang tiba-tiba berbicara seperti itu tadi, dan mulai menyendokkan lagi beberapa suap nasi dan lauk ke mulutnya.
Sesekali juga Jerga menyuapkan daging sapi miliknya kepada Jia yang duduk di sampingnya ini. Hanya dia yang kesal ketika seseorang tadi berkata seperti itu, kakaknya tidak. Gadis itu masih asik dengan makanannya, namun wajahnya sekarang terkesan murung dan sedih. Tetapi tidak lama kemudian tersenyum lagi ketika menatap matanya.
Hal itu membuat seseorang berbaju putih dengan renda di sekitar lehernya itu menatapnya malas. Sama halnya dengan lelaki yang duduk di sampingnya, lelaki berperawakan tinggi, anak pertama dari keluarga ini.
"Besok, kalo kamu dapet nilai jelek lagi, Papa tambahin les kamu."
Jerga yang sejak tadi menyuapi sang kakak itu menoleh, lalu menatap tak terima pria berwajah tegas yang duduk di meja ujung.
Dia tahu perkataan itu untuk dirinya. Untuk siapa lagi?
"Pa ...."
"Apa? Mau melawan?"
Jerga hanya bisa menunduk, menghela napasnya lirih, pasrah, menerima. Dari pada di tambah les yang tambah banyak? Dia tidak mau. Lesnya sudah cukup banyak, ah bukan cukup lagi, bahkan lebih. Seringkali merasa otaknya benar-benar seperti ingin pecah.
Sehari saja terkadang ada 3-4 tempat les yang harus Jerga datangi. Pulang sekolah juga terkadang dia bisa sampai malam. Pagi belajar di sekolah, sampai sore atau bahkan malam. Setelah pulang sekolah dia belajar di tempat les. Pulang hampir tengah malam saja dia masih harus belajar lagi di rumah sampai pagi.
Tidak jarang hidungnya akan mengeluarkan darah. Ya, mimisan. Sudah biasa bagi diri Jerga.
"Hari ini hujan, biar nanti Papa telepon guru les kamu buat dateng ke rumah aja."
Sekali lagi anak bungsu di keluarga ini hanya bisa menghela napasnya pasrah. Tidak mau melawan, dan tidak akan bisa.
Karena kalau Jerga melawan, entah apa yang terjadi kepadanya selanjutnya.
"Jia makan yang bener dong!"
Suara keras dari Jihan membuat ketiga orang yang berada disini menoleh kepada yang namanya di serukan. Jihan, anak kedua di keluarga ini, orang yang masih sama dengan yang berteriak beberapa menit yang lalu itu.
Jerga yang melihat itu langsung saja menurunkan tangan Jia yang saat ini seperti tengah kesusahan memotong daging sapi di piringnya, membuat nasinya tercecer kemana-mana, dan karena itu yang membuat Jihan berteriak lagi.
Lelaki itu berusaha menghentikan tangan Jia, masih dengan gerakan lembut.
"Kak, Jerga suapin aja ya?"
Gadis itu menoleh dan selanjutnya mengangguk senang. Tubuhnya saja sedikit dia hadapkan ke samping, ke seseorang yang beberapa detik lalu menawarkan untuk menyuapinya.
"Urusin tuh kakak lo!"
"Lo juga kakaknya kalo lo belum lupa."
Jihan terkekeh sinis mendengar jawaban dari adik bungsunya yang saat ini tengah telaten menyuapi gadis di hadapannya itu.
"Gue nggak punya adik gila, gangguan mental, stres, gila—"
"Kak!"
"Jangan teriak sama kakakmu!"
Jerga menatap tak percaya sang ayah.
Yang duluan memulai siapa? Dia juga tidak akan seperti itu jika kakaknya tidak melontarkan kata-kata yang membuatnya sakit seperti ini. Dia sesak, bukan salah gadis itu jika dia seperti ini.
"Jangan bilang Kak Jia gila lagi." Lirihnya dingin masih menatap Jihan sinis.
"Dia emang gila, 'kan?"
Suara berat itu membuat Jerga menoleh.
Lelaki yang sejak awal sarapan tadi tidak membuka suaranya sedikit pun. Kakak tertuanya.
"Kalian semua yang gila. Ayo, Kak."
Menarik dengan cepat lengan Jia, Jerga berniat membawanya pergi dari meja makan penuh setan ini. Inginnya sih pergi sekalian dari rumah, tetapi dia tidak bisa.
"Duduk!"
Teriakan pria kepala keluarga itu bahkan tidak di dengar sedikit pun oleh Jerga yang kini sudah berjalan kian menjauh. Lelaki itu menulikan pendengarannya dan masih menuntun lembut lengan Jia, berjalan menaiki anak tangga.
Lebih baik dia ke kamarnya lagi.
"JERGA ABHICANDRA!!"
.......
.......
.......
Di kamar bernuansa abu-abu lah kini mereka berada. Lebih baik Jerga kembali ke kamarnya lagi, dari pada di meja penuh setan itu. Keluarganya setan semua jika Jerga boleh mengatakannya. Dia sudah lama tidak kuat, namun dia bisa apa? Dia anak paling kecil di rumah ini, yang bisanya disuruh menurut ini dan itu.
Keinginannya dari dulu Jerga membawa kakaknya pergi dari rumah neraka ini. Benar-benar tidak ada yang bisa di sebut baik hati atau malaikat.
Mereka boleh membencinya, tetapi jangan Jia. Gadis yang saat ini tengah terbaring sambil terlihat menghitung bintang-bintang yang tertempel di langit-langit kamarnya.
Jerga sedikit terkekeh kecil. Kakinya melangkah menuju sang kakak di sana, mendaratkan tubuhnya dan duduk di sampingnya. Hal itu membuat si gadis yang sadar ada pergerakan di sampingnya pun menoleh, lalu kemudian bangkit dari tidurnya.
"Jerga nggak papa??"
Lelaki itu menoleh dan tersenyum, merasakan lembutnya usapan Jia pada puncak kepalanya.
"Nggak papa, Kak. Jerga disini buat Kakak."
"Papa ...."
Jerga seketika memeluk tubuh kakaknya saat gadis itu merubah raut wajahnya menjadi sangat ketakutan. Kedua lututnya saja dia naikan.
Jia menyembunyikan wajah takutnya pada pelukan adiknya, sambil memeluk boneka kelinci putih yang selalu dia bawa kemana-mana.
Dapat dia rasakan kakaknya sangat ketakutan, tubuhnya saja mulai gemetar.
"Sstt ... Jerga disini ...."
Lelaki itu beberapa kali mengusap lembut punggung Jia untuk menenangkannya.
"Papa nggak marah sama Kakak, papa marah sama Jerga."
Jerga merasa pelukannya merenggang, hingga sedetik kemudian ada dua tangan yang memegang kedua sisi pipinya.
Bonekanya sudah terjatuh begitu saja di atas sprei abu-abu miliknya.
"Tapi Jia nggak mau Jerga dimarahin Papa ..." mata gadis itu mulai berkaca.
Kata-kata yang terucap beberapa detik lalu dengan tulus itu membuat Jerga menatap haru sang kakak. Wajah polos itu, tatapan polos itu, suara polos itu, membuat hatinya benar-benar sesak.
Dia sangat menyayangi gadis itu, lebih dari apapun. Karena, hanya dia yang gadis itu punya. Dan, hanya gadis itu yang dia punya.
Jerga sudah benar-benar benci dengan keluarga ini. Dia tidak boleh lemah, dia harus melindungi gadis yang saat ini masih memegang kedua sisi pipinya. Namun sedetik kemudian, raut wajah Jia berubah takut. Ah sepertinya bukan takut, terlihat seperti cemas dan khawatir.
"Bonny?!"
Jerga mengikuti arah pandang Jia, dan detik selanjutnya dia terkekeh kecil lalu mengambil sesuatu yang dia temukan di samping tubuhnya. Sesuatu yang tadi gadis itu taruh begitu saja saat mengkhawatirkannya.
Kini Jia mengkhawatirkan benda berwarna putih yang sering di panggilnya 'Bonny'.
"Bonny disini, Kak ...."
Jia masih dengan wajah khawatirnya, menatap sedih si Bonny yang baru saja di serahkan adik lelakinya itu. Dia merebutnya dengan cepat dan memeluknya erat, matanya bahkan masih berkaca. Raut wajahnya begitu sedih.
Jerga menatapnya sendu. Di tatapnya sang kakak dan boneka putih itu bergantian, hatinya begitu sakit. Dia tidak tega melihat kakaknya seperti ini.
'Maafin Jerga nggak bisa jagain kakak ...' batinnya.
Tangannya terulur dan menyentuh sisi kiri kepala Jia lalu mengelusnya lembut. Mengelusnya dengan sayang, bahkan secara tidak sadar pandangan matanya juga mulai buram.
Brak! Brak!
Keduanya terlonjak kaget saat mendengar gedoran pintu yang cukup keras itu dari luar.
"Jerga! Buka pintunya!"
Lelaki yang di serukan namanya hanya mendengus kasar, dia memang tadi mengunci pintunya saat mereka masuk.
"Nggak! Maafin Jia!! Jia minta maaf, hiks ... Mama!!!"
Jerga lagi-lagi menoleh cepat, kini dia menatap kakaknya khawatir. Ini yang biasa terjadi ketika sang ayah berteriak di rumah, meskipun bukan teriak untuk gadis itu.
"Kak, Kak, tenang ... Jerga disini."
Lelaki itu terus berusaha menenangkan Jia yang kini tengah sangat ketakutan. Kedua tangan gadis itu bahkan mulai memukuli kepalanya sendiri, sambil sesekali menutupi kedua telinganya.
"Kak! Jangan kayak gitu!"
Jia masih memukuli kepalanya dan menangis, sebelum semua itu terhenti saat Jerga lebih mendekat ke arahnya dan memeluk tubuhnya erat.
"Jerga disini, Kak ... Jangan kayak gini ...."
Suaranya melembut, mengelus lembut punggung sang kakak yang sudah mulai tidak berontak lagi. Tubuh mungilnya meringkuk takut di pelukannya. Jerga bisa merasakan jaket birunya diremas kencang oleh kedua tangan gadis itu.
"Hiks ... Maafin Jia ...."
"Kak, sstt ..." Lelaki itu berbisik lembut lagi dan mengeratkan pelukannya. Dia bisa mendengar isakan kakaknya.
BRAK! BRAK!
"JERGA!!"
Dan lihatlah, Jia semakin menyembunyikan kepalanya pada dada milik Jerga sekarang. Gadis itu sangat ketakutan dengan teriakan kencang ayahnya.
"Kak, Jerga keluar dulu ya?"
Lelaki itu merenggangkan pelukannya, menatap Jia sambil tersenyum hangat. Tetapi tatapan gadis itu masih ke bawah, sesekali melirik ke kanan dan ke kiri sambil mulai menggigiti kuku jarinya.
"Jangan digigit ...," Jerga menurunkan pelan tangan itu, "nanti luka."
Jia tetap diam saja, tubuhnya masih gemetar karena ketakutan. Dan kini beralih memeluk erat Bonny.
Jerga menatapnya sendu, lalu saat dirasa kakaknya sedikit tenang, lelaki itu beranjak dari duduknya dan melangkah menuju pintu kamarnya. Untuk membukanya, untuk apalagi?
Cklek
Pintu terbuka dan langsung menampakan sosok dengan wajah yang tengah menahan marah di hadapannya. Tanpa kata pria itu menarik kencang tangan putra bungsunya. Menariknya keluar dari kamar.
Plak!
Jerga tersentak kaget dan mulai merasakan pipi kanannya sangat perih.
"Bagus orang tua lagi ngomong di tinggal pergi?"
Bahunya naik turun.
"Papa nggak pernah didik kamu kayak gitu!" lanjutnya keras dengan mata yang menatap marah sang putra.
Jerga masih terdiam dengan rasa sakit di pipinya, "Jerga emang nggak pernah hidup dari didikan Papa."
Plak!!
"Anak kurang ajar!"
Tamparan kedua baru saja Jerga dapatkan di pipi kirinya. Lengkap sudah. Benar-benar perih, tamparan sang ayah memang tidak main-main. Dan dia sudah biasa merasakan ini.
Pria bermarga Abhicandra yang sejak tadi menatap anak bungsunya marah itu seketika menundukkan kepalanya, saat dia merasakan ada yang memeluk kaki kirinya.
"Jangan sakiti Jerga, Papa ... hiks."
Suara gadis itu bergetar sambil memeluk erat kaki kiri ayahnya dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya masih memeluk Bonny. Sedikit ada perasaan takut yang dia rasakan.
Dhamar menghela napasnya kasar, kepalanya sudah terangkat lagi ke atas dan menatap Jerga yang kini menatap sedih gadis yang masih memeluk kakinya.
"Minggir kamu!"
Kakinya dia hempaskan keras sambil tangannya dengan kejam menjambak rambut yang dihiasi bandana pink itu ke belakang, sehingga melepaskan tangan yang sejak tadi memeluk kakinya.
Gadis itu pun terdorong ke belakang.
"Kak!"
Jerga beralih mendekati Jia lalu memegang kedua sisi kepala gadis itu yang tadi terkena jambakan ayahnya. Dan pasti itu sangat perih.
Jerga benci ayahnya.
"Papa stop sakitin Kak Jia?! Kak Jia itu anak Papa!"
"Oh, bagus kamu teriak sama Papa!"
"Kalo mau pukul, pukul Jerga aja! Jangan pernah pukul Kak Jia!"
Dhamar terkekeh sinis, "nggak usah ngatur Papa kamu!"
Jerga semakin menatap ayahnya tak percaya. Dia sangat benci dengan ayahnya, ayahnya tidak pernah menyayanginya, juga Jia. Dia merasa kalau dia bukan bagian dari keluarga ini, karena dia dan kakaknya di perlakukan berbeda dengan kedua kakaknya yang lain. Mereka seperti anak emas sang ayah.
Sedangkan Jerga? Tidak pernah di perlakukan selembut itu. Entah apa yang membuat ayahnya sangat membencinya. Dia terkadang juga sedih memikirkan itu, kenapa dia dan Jia di perlakukan berbeda?
Karena nilai sekolah?
Jerga bahkan terus berusaha untuk membanggakan nama sang ayah. Dengan giat belajar, mengikuti les yang tidak hanya satu atau dua, dia mengikuti semua itu, dia menerima semua itu, semua yang diperintah ayahnya tanpa adanya bantahan. Tetapi kenapa ayahnya tidak pernah bersikap lembut kepadanya? Pasti selalu dengan, ya ... kekerasan.
Bahkan kakaknya, gadis yang saat ini masih meremas erat jaketnya untuk yang kedua kalinya. Jia juga sering terkena pukulan tangan sang ayah, meskipun dia seorang perempuan. Tega-teganya bukan? Ayahnya memang benar-benar bukan manusia.
Jerga tidak apa-apa setiap hari mendapat pukulan atau tendangan dari ayahnya. Tetapi jangan Jia, gadis yang bahkan tidak akan pernah melawan apa yang dilakukan sang ayah kepadanya. Gadis itu hanya menangis dan menutupi kedua telinganya, atau bahkan hanya menunduk dan memeluk erat boneka miliknya.
"Dasar anak gila."
Jerga menatap ayahnya benci.
Bisa-bisanya ayahnya berkata seperti itu kepada anak perempuannya sendiri? Bukannya menjaga dan melindunginya, pria itu malah menyakitinya dan melontarkan kata-kata tidak pantas seperti itu.
Kata-kata yang sangat tidak pantas di ucapkan oleh seorang ayah kepada anaknya.
Jerga dapat merasakan kepala Jia semakin bersembunyi di dadanya, serta tangan yang sejak tadi hanya meremas jaketnya kini sudah memeluk pinggangnya sangat erat. Gadis itu ketakutan.
Dia pun mengusap tangan kakaknya lembut untuk menenangkan gadis itu.
"Seharusnya kamu emang Papa kurung. Anak gila nggak tau diri."
"Cukup, Pa!"
Dhamar menoleh menatap putranya marah.
"Kak Jia anak Papa! Kak Jia kayak gini juga bukan kemauan dia!"
Jerga benar-benar sudah muak, dia merasakan pelukan di pinggangnya semakin erat.
"Seharusnya kalo Papa emang seorang ayah, orang tua, Papa didik kita dengan benar! Bukan dengan kekerasan!"
Lelaki itu bisa melihat rahang ayahnya mengeras, matanya melebar tajam, lalu kakinya maju selangkah mendekat ke arahnya.
"Makanya Jerga bilang, Jerga emang nggak pernah hidup dari didikan Papa."
Dia benar-benar tidak peduli akan tatapan itu.
"Kalo Papa bukan orang tua Jerga, Jerga juga nggak akan pernah menghormati orang kayak Papa."
"JERGA!!!"
Anak itu tahu apa yang selanjutnya akan dia terima, dia pasrah saja, dia hanya tidak suka ayahnya berkata seperti itu kepada kakaknya.
Lebih baik tubuhnya yang menerima kesakitan, jangan tubuh kakaknya, ataupun hati kakaknya.
"Pa."
Jerga dapat mendengar suara itu, dia juga dapat merasakan belum ada pukulan di kepala atau tubuhnya.
Dan suara itu tentu saja membuat keduanya menoleh, namun tidak dengan gadis yang saat ini masih memejamkan mata dan bersembunyi di pelukan adik lelakinya.
"Guru les Jerga udah dateng." Ucapnya tenang.
Wajahnya datar menatap ayahnya, dan beralih menatap kedua adiknya, masih dengan pandangan yang sama.
Kakak tertuanya, Janan Abhicandra. Lelaki yang tidak banyak bicara dan selalu datar. Tentu saja lelaki itu juga membencinya dan membenci gadis di pelukannya. Memang siapa yang menyayanginya di keluarga ini?
Mendengarnya, Dhamar yang sudah menurunkan tangannya yang tadi hendak menampar lagi putra bungsunya itu, kini menatap tajam kedua anak yang berada di bawahnya. Pria itu menghembuskan napasnya kasar, tubuhnya berlalu pergi menuruni anak tangga sebelum memerintahkan sesuatu untuknya dengan nada dinginnya.
"Masuk kamar."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
...• To be continued •...
...ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...
...ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...
...ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...
...ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...
...Hai hai!...
...Mohon dukungan dan semangatnya ya~!...
...ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!