"Aku dan suamimu berada di Shangri-La, kamar nomor 1108. Kami sedang melakukan hal-hal yang kami sukai. Nadine, kenapa sih kau tak mau bercerai? Kok kau bodoh banget sih! Jangankan tubuhnya, hatinya saja kau tak bisa jaga!"
Nadine sedang berdiri di depan pintu kamar 1108 sambil mengamati dengan dingin SMS di handphone yang dipegangnya. Bulu matanya yang panjang menutupi lingkaran matanya yang gelap, wajahnya datar.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Angga yang sedang merangkul sekretarisnya yang cantik dan manja berjalan keluar. Melihat Nadine disana, ia terdiam sebentar, lalu menyunggingkan senyum jahat, "Kau datang untuk menangkap basah aku lagi? Kenapa tidak masuk saja ke dalam, di luar panas banget, gak capek apa berdiri di sini?"
Nadine menatap pria itu datar, "Aku tak mau mengganggu kesenangan kalian, aku memang sudah berdosa dulu. Tapi dirimu sendiri, kapan kau akan sembuh?"
Mendengar celaan Nadine ini, mata Angga bersinar marah, "Nadine, kaulah yang sejak awal sudah tidak suci lagi, jadi untuk apa kau bersikap seperti ini."
Nadine tersenyum, air matanya hampir tumpah.
Tiga tahun lalu, mantan Angga pernah menculiknya. Dalam usahanya untuk kabur, keperawanannya direbut oleh seorang pria asing bertopeng. Ia melihat mobil suaminya terparkir tidak jauh dari tempat Nadine berada. Nadine shok, ia melihat suaminya sedang berhubungan **** dengan seorang wanita di dalam mobil itu. Dan wanita itu, adalah wanita yang telah menculiknya.
Melihat pemandangan di dalam mobil itu, Nadine gemetar, hatinya seakan tertusuk pisau, bahkan rasa sakit yang dirasakan tubuhnya waktu itu kalah oleh rasa sakit hatinya. Ia tak tahu kenapa ini semua bisa terjadi, yang ia tahu hanyalah hatinya yang terasa sakit.
"Kalau kau tidak enak mendengarnya, maaf ya. Toh kau sudah sering melihatku bersikap seperti ini." Nadine mendongakkan kepalanya.
Tatapan Angga mulai mendingin, "Mau apa sebenarnya kau kesini? Jangan bilang kau sengaja datang untuk membuatku kesal."
"Wah, ternyata kau bisa menebaknya. Instingmu memang selalu tepat." Nadine menyunggingkan senyum datar.
"Pergi kau dari sini!" Kata Angga tanpa berbasa basi lagi.
Nadine mengeluarkan sebuah dokumen dari dalam tasnya, lalu menyerahkannya pada Angga.
Tanpa menerimanya, Angga bertanya dengan hati-hati, "Ini apa?"
"Dia…" Tatapan Nadine mengarah pada sekretaris Angga.
"Aku kenapa?" Kata sekretaris itu sambil menggandeng lengan Angga.
Ia mendengar gosip, bahwa meskipun adalah Nyonya Angga, tapi Nadine tak pernah dianggap oleh suaminya. Dan hari ini terbukti, wanita ini kelihatannya sangat menjijikkan bagi Angga. Jadi ia tak takut pada Nadine.
Nadine menggerak gerakkan dokumen di tangannya, "Kau adalah sekretaris utama yang terkenal di kota ini. Di kota ini, sudah ada 80% pengusaha yang tidur denganmu, dan salah satu pengusaha itu menderita penyakit AIDS, bulan lalu ia sudah diperiksa."
Sekretaris itu ketakutan hingga wajahnya pucat pasi.
Nadine kembali menatap Angga, "Kalian memakai ****** kan? Kalau tidak, aku mengenal seorang dokter, aku bisa mengenalkannya padamu."
Angga mengambil dokumen itu dari tangan Nadine, ia memicingkan mata, lalu sorot matanya berubah marah. Ia melempar dokumen itu ke wajah Nadine, "Kau selalu saja membuat orang lain kesal."
Nadine hanya bisa mematung di tempatnya. Dokumen itu mengenai wajahnya, ternyata sakit juga.
Nadine lalu tersenyum mengejek, "Kau tahu, aku memang tidak ingin kau hidup bahagia."
"Kalau begitu aku akan membuatmu lebih tak bahagia agar aku bisa kembali bahagia. Pulanglah hari ini juga, tak perlu menungguku!" Ucap Angga marah.
Ia berbalik, lalu berjalan ke arah lift.
Nadine berdiri mematung tanpa ekspresi sedikitpun. Ia mengerti apa maksud kalimat tidak perlu menunggunya itu. Malam ini Angga pasti akan bermalam di rumah seorang perempuan, pasti ingin merasakan kenikmatan perempuan itu.
Setelah kehilangan keperawanannya, Angga tak pernah sekalipun menyentuhnya. Bagi Angga, ia tak sebanding dengan seorang sekretaris kotor. Air mata perlahan memenuhi bola mata Nadine. Ia hanya diam mematung, tak menangis, tapi bukan berarti ia tak berduka.
Sekretaris Angga menampar wajahnya. Nadine tak bisa mengelak, ia mundur beberapa langkah lalu bersandar di dinding.
"Keterlaluan sekali kau! Kau sudah merusak nama baikku didepan dia. Memangnya dengan begini kau bisa mendapatkan hatinya?" Sekretaris itu berkata marah sambil mengepalkan tinju.
"Mana mau aku sama pria sampah seperti dia." Nadine balik menampar wajah sekretaris itu, "Aku tidak bisa kalian berdua permainkan."
"Kalau begitu kenapa kau tidak bercerai saja?" Teriak sekretaris itu.
"Kau tak punya hak untuk tahu. Besok dokumen ini akan beredar di internet, siapkan mentalmu baik-baik." Kata Nadine dingin. Ia lalu berjalan keluar hotel.
Hari sudah gelap. Nadine merapikan pakaiannya sambil berjalan di jalan yang sepi. Cahaya bulan menarik panjang bayangan tubuhnya. Ia merasa kesepian, merasa down. Sesampainya dirumah, hatinya makin tak sejahtera. Akhirnya ia pergi ke ruang shift malam di rumah sakit untuk tidur disana.
Sesampainya di kantor, ia menyalakan lampu. Seorang tentara yang mengenakan seragam hijau berlari mendekat dengan wajah tegang, dengan panik ia bertanya, "Kamu dokter kandungan yang sedang bertugas sekarang?"
Nadine terperangah oleh sikap panik pria ini, "Ada apa? Apa anda butuh bantuan?"
"Di dekat sini ada seorang wanita hamil yang ketubannya pecah. Keadaan dia sangat gawat sekarang, butuh pertolongan secepatnya. Tolong kamu ikut aku sebentar." Kata tentara itu dengan panik.
Bagi ibu yang sedang hamil dan bayinya, ketuban pecah memang menandakan keadaan mereka sedang gawat.
Tanpa pikir panjang lagi Nadine berkata, "Aku ambil perlengkapanku sebentar, berikan aku waktu 5 menit, baru aku akan ikut denganmu."
Tak lama kemudian, ia pergi mengikuti tentara itu ke sebuah area taman kecil di dekat rumah sakit. Disana, berdiri belasan tentara dengan wajah tegang. Mereka tidak bergerak sama sekali, seakan sudah terlatih untuk tidak panik hingga atasan datang atau atasan memberikan petunjuk.
Nadine diantar masuk ke TKP, yaitu ruangan 802, diseberang ruangan 801. Sekilas, ia melihat seorang pria yang sedang memberi komando pada bawahannya. Wajahnya tegas, pandangan matanya tajam, tubuhnya sempurna, seperti karya seni yang ‘dipahat indah’ oleh sang professional, wajahnya tampan seperti malaikat.
Yang membuat Nadine merasa heran adalah, di antara orang-orang yang sedang serius mendengarkan ini ternyata ada juga seorang pemimpin. Berarti apakah status pria ini adalah seorang jenderal?
Pandangan pria yang tajam itu beralih padanya, sangat tajam seakan mau membunuh orang. Nadine kaget, merasa diancam, ia lalu menunduk.
Pria itu berjalan ke arahnya. Tubuh yang tinggi besar menutupi bayangan tubuhnya, seakan menelan tubuhnya hidup hidup. Nadine ingat pria asing malam itu juga memiliki tubuh yang kuat seperti ini sehingga saat itu ia memberontak bagaimanapun juga tetap tak ada gunanya.
"Tatap wajahku", perintah Radit.
Seperti elang ia menatap tajam wajah polos Nadine. Ia diam, tidak marah tapi terlihat mengancam. Nadine mengumpulkan segenap keberaniannya untuk mendongak menatap pria itu. Wajah pria itu dingin, tatapannya tajam, membuat orang yang melihatnya seram.
Nadine yang baru pertama kali melihat sosok pria seperti ini tidak hanya tak bersuara, tapi juga seakan ‘takluk’ pada pria itu.
"Aku dokter, bukan seorang kriminal." Nadine buka suara.
Radit tetap menatapnya tajam. Dengan tegas ia memberi perintah pada bawahannya, "Suruh dia pergi, ganti saja dengan orang lain."
Nadine bingung, "Kenapa begitu?"
"Di dalam kau harus menghadapi tiga orang pecandu narkoba, mereka tidak segan segan akan membunuh orang yang tak disukainya. Kau berani?" Tanya Radit kasar.
"Kenapa tidak berani?" Tanya Nadine balik.
Radit menatapnya dingin, ia lalu memegang dagu Nadine dan mendekat, "Pikir dulu baik-baik baru kau jawab aku. Kalau masuk kedalam, kau berada diantara hidup dan mati. Ini bukan permainan anak kecil, bukan sandiwara asal-asalan."
Napasnya mengenai wajah Nadine, sangat menakutkan. Tapi Nadine langsung bermuka masam. Makin orang lain memandang rendah dia, makin dia ingin melakukannya.
"Kalau takut mati aku tidak akan kemari." Jawab Nadine berani. Ia balas menatap Radit tanpa takut.
Radit mengernyitkan dahi sambil memandangnya. Bola mata Radit hitam gelap, Nadine dapat melihat bayangan dirinya di bola mata itu…
"Aku antar dia masuk" tiga menit kemudian Radit mengambil keputusan.
Ia merenggangkan pegangan tangannya, lalu mundur selangkah.
"Tak bisa!" seluruh orang disana berteriak dengan kompak.
Dodi dengan khawatir memperingatkan, "Ketua, sangat berbahaya kalau anda masuk. Kalau wakil presiden sampai tahu, bisa habis kami!."
"Jangan ngomong sembarangan, siapapun yang masuk tidak akan mendapat bahaya, tunggulah kalian disini!" kata Radit bersikeras memberi perintah.
"Tapi ketua..." Dodi masih ingin mengatakan sesuatu.
Pandangan Radit yang dingin langsung dilemparkan kepadanya.
Dodi langsung menutup mulut, tanpa membantah lagi ia berkata, "Baiklah."
Dengan kuat Radit memegang lengan Nadine dan menariknya menuju pintu ruangan 801.
Nadine berjalan hendak mengetuk pintu, tapi kemudian tangan Radit tiba-tiba menggenggam erat tangannya. Nadine terkejut, tangannya seakan kena sengatan listrik. Nadine langsung menarik tangannya, ia tak biasa digenggam pria seperti itu. Mata Radit bersinar dingin menatapnya selama beberapa menit.
Radit lalu membuka handphone dan membuka aplikasi rekaman. Dengan wajah tanpa ekspresi ia berkata, "Sebelum kau masuk kesana, silahkan meninggalkan pesan terakhir, karena nantinya kalau kau mati, kami akan mengirimkan pesan ini pada orang terdekatmu."
"Kalau begitu, kirimkan pada suamiku ya" kata Nadine datar, ia lalu mengambil handphone dari tangan Radit.
"Angga, kalau aku bisa lahir kembali, aku berharap kita tak akan bertemu lagi. Donasikanlah mayatku, kalau kau mau memotong-motongnya boleh saja, dicangkokkan kepada orang lain jauh lebih baik. Yang penting dengan begitu, kita tidak akan bis bertemu lagi" ucap Nadine tajam, kemudian menyerahkan kembali handphone itu pada Radit.
Dengan suram Radit menatapnya, matanya bersinar aneh, "Masih ada pesan lain?."
Sorot mata Nadine sedikit melemah, "Tolong berikan sisa tabunganku pada mama. Dan aku harap kalian bersedia merawat mamaku."
"Baiklah!" janji Radit.
Nadine tak lagi khawatir, wajahnya kembali menghadap kamar itu, "Aku masuk sekarang."
"Wanita hamil di sekap di dalam adalah pacar seorang pejabat senior di tempat ini, kau harus menjamin wanita itu dan anaknya selamat. Selain itu, selama ada aku, kau tidak akan kenapa-napa, aku jamin" kata Radit dengan suara berat.
Nadine terdiam. Matanya yang bening menatap Radit. Mata itu terlihat begitu dalam, begitu luas, seperti luasnya alam semesta. Hati Nadine merasa sedikit tersentuh. Seorang pria sangat tampan bisa berkata padanya: selama ada aku, kau tidak akan kenapa-napa. Janji seperti ini, meski diucapkan oleh seorang pria asing, tapi tetap bisa membuat orang yang mendengarkannya merasakan kehangatan. Terutama saat itu, saat dimana hati Nadine merasa dingin dan kesepian.
"Aku tidak takut" Nadine pelan-pelang menyunggingkan senyum, "Tapi, terimakasih ya."
"Sama-sama" ucap Radit.
Ia menarik Nadine ke sampingnya, lalu mengetuk pintu. Sebuah lubang kecil di pintu itu terbuka.
"Suruh wanita itu masuk seorang diri" kata orang didalam dengan kasar.
"la membutuhkan asisten saat melakukan operasi, jadi harus kami berdua yang masuk." Ucap Radit tak peduli.
"Tak boleh! Siapa tahu kalian ternyata bersekongkol untuk mengacau disini."
"Kalau begitu biarin saja wanita hamil didalam sana mati. Apa kalian tidak punya hati nurani?" Ucap Radit dingin.
Ucapan yang tegas dan keras itu membuat orang yang mendengarnya sedikit takut. Orang tersebut terdiam selama tiga detik.
"Berani juga ya kau! Masuklah!"
Radit mendorong pintu tersebut dan berjalan masuk. Sebuah pistol dihadangkan di depan kepalanya. Melihat ini, Nadine mulai khawatír, sementara wajah Radit tetap datar. Beberapa orang disana datang menggeledah tubuh Radit, tapi tidak ditemukan senjata apapun.
"Kalian jangan main-main ya dengan kami." la memasukkan kembali pistolnya.
"Sakit, tolong aku, tolong!" Terdengar suara teriakan wanita hamil itu di dalam kamar utama.
Nadine langsung berlari menuju kamar tersebut.
Gorden jendela dibuka, tapi lampu kamar tak dinyalakan sehingga kamar tersebut agak remang-remang. Dua pria lain mengarahkan pistol pada Nadine dengan tatapan garang. Nadine tak memedulikan mereka, ia berjalan ke arah wanita hàmil itu.
Wajah wanita hamil itu pucat, ia memegangi perutnya. Ranjang tempat wanita itu berbaring sudah agak basah.
"Tolong aku, tolong aku! Aku mau mati saja!"
"Perlihatkan kepadaku hasil medis yang terakhir." Ucap Nadine çepat.
"Dalam. dalam laci." Kata wanita itu. Wajahnya penuh keringat.
Nadine segera membuka laci itu. Di atas hasil medis itu ada sebuah foto, foto perempuan itu dengan Angga! Nadine ternganga. Ternyata senior yang dimaksud adalah Angga! Dan perempuan yang sedang hamil itu adalah selingkuhannya Angga ýang lain!
"Dokter, tolong aku. Sakit sekali!" kata perempuan itu sambil memegangi tangan Nadine.
Pelan pelan Nadine tersadar. la mengeluarkan hasil medis tersebut, lalu melihatnya. Raut wajah Nadine langsung berubah.
"Posisi janinmu tidak tepat, tali pusarmu melilit leher janin itu sehingga ia susah untuk keluar. Jadi kamu harus operasi sesar. Dan lagi, kondisimu sekarang sedang gawat, tidak bisa hanya dibius sebagian, seluruh tubuhmu harus dibius." Ucap Nadine panik. Ia lalu membuka kotak P3Knya.
Salah satu penjahat itu merampas kotak P3K tersebut. Setelah memastikan tidak ada senjata apapun, ia mengembalikannya pada Nadine.
Wanita hamil itu bergeleng geleng, matanya merah, ia memohon, "Bolehkah untuk tidak sesar? Dia pria yang menyukai perempuan yang tidak punya bekas luka di tubuhnya."
Menyukai perempuan yang tidak punya bekás luka? Ternyata benar pria ku Angga!
"Kalau tidak sesar, anak itu bisa tercekik." Kata Nadine dingin.
Mata wanita itu bersinar serius, ia menggertakkan gigi, "Biarkan saja anak itu tercekik."
Nadine menyipitkan matanya, ia tidak menyukai keputusan wanita itu, "Dia adalah anak yang kamu jaga selama 9 bulan di kandunganmu, sekarang ia sudah memiliki nyawa."
"Untuk apa punya anak tapi tidak mendapat cinta dari pria itu. Anak itu hanya akan jadi beban nantinya, pokoknya aku tidak ingin di sesar!" Ucap wanita itu keras dengan nada yakin.
Karena terlalu banyak bergerak, perutnya makin terasa sakit.
Nadine menggertakkan gigi. la lalu mengambil obatbius dari kotak P3K nya, dibukanya cairan obat bius itu dengan cepat dan dimasukkan ke dalam jarum suntik.
"Maaf ya, tapi sebagai seorang dokter aku tak bisa menyanggupi permintaanmu. Di mataku, anak itu sudah memiliki nyawa!" Ucap Nadine dingin.
Nadine berkonsentrasi menyiapkan jarum suntiknya, lalu bersiap untuk menyuntik wanita itu. Tapi Radit tiba-tiba menggenggam pergélangan tangannya, matanya yang hitam memancarkan sipar kepedulian. Ia sadar akan pentingnya memenuhi keinginan wanita hamil tersebut, jadi ia mercoba untuk membujuk Nadine.
"Turuti saja kémauannya, ia kan pasien disini. Ucap Radit mengingatkan Nadine.
Nadine menghempaskan tangan Radit, tapi tangan tersebut idak bergerak.
la pun marah, dengan tegas ia menatap mata Radit, "Aku adalah seorang dokter kandungan, membantu wanita untuk sukses melahirkan anaknya adalah tanggung jawabku. Kalau sampai nantinya terjadi sesuatu, aku loh yang harus menanggungnya. Aku gak takut mati, aku takut jika tidak melakukan hal yang benar!"
Radit terdiam. Bukannya ia tak takut untuk melakukan yang benar, hanya saja, ia tak mau gadis yang sedang berbicara dengannya itu kenapa-napa.
la melonggarkan pegangannya, lalu berkata dingin, "Ya sudah, lakukan saja operasi sesar itu, ini adalah perintahku. Aku akan menyapa' ketua kalian."
Setelah itu, Nadine membungkuk lalu mengenakan sepasang sarung fangan karet. Dengan serius ia berkata pada para penjahat itu, "Tolong kalian semua keluar sebentar, aku mau melakukan operasi."
"Tak bisa! Ia harus ada dalam penjagaan kami. Kau lakukan saja operasinya di depan mata kami!
"Apa dia bisa kabur dengan kondisi seperti ini?" Nadine tak ingin tubuh telanjáng wanita itu dilihat mereka nantinya,
Penjahat itu mengangkat pistol dan mengarahkannya pada Nadine, "Kalau kau bicara lagi, akan kutembak kau!"
Radit langsung maju menghadang di depan Nadine, "Kalaupun kau menembaknya, kalian tetap tak akan bisa kabur!"
Para penjahat itu ragu.
"Dokter, tolonglah, aku tidak tahan lagi, anak ini mau keluar..." Teriak wanita hamil itu.
Mata Radit tangsung bersinar tajam. Berlama lama seperti ini tak ada gunanya. la membuka lemari disana mengeluarkan dari dalamnya sebuah selimut putih dan membentangkannya, menutupi Nadine dan wanita hamil itu di belakangnya.
"Aku tutupi kalian, segeralah lakukan operasi!" Ucap Radit tegas.
Nadine juga ták membuang-buang waktu lagi, dengan pisau medis ia segera melepaskan celana wanita itu. Anak tersebut ternyata sudah keluar, sudah terlambat untuk melakukan operasi sesar. Tak lama lagi, anak itu pasti akan tercekik.
"Bertakanlah sedikit lagi.." Nadine menyuntikkan obat bius pada wanita itu, lalu mulai merobek 'bagian dalam' wanita itu
Tapi öbat bius tersebut belum sepenuhnya bekerja di seluruh tubuhnya sehingga wanita itu berteriak kesakitan, "Kau wanita kurang ajar! Akan ku tuntut kau, akan ku tuntut kau yang kerjanya tak bagus ini!"
"Tunggu hingga anakmu sudah keluar dengan selamat barulah kau boleh menuntutku. Akan ku dengarkan tuntutanmu." Kata Nadine tak peduli.
Akhirnya wanita itu berhasil mengeluarkan anaknya. Nadine segera memotong tali pusar wanita itu.
"Uek. uek. Tangis keras seorang bayi pun terdengar.
Nadine menyunggingkan senýum lega sambil menatap wanita itu. Tapi wanita itu terlihat sangat lemah. Nadine ketakutan, la agera menaruh anak itu di sisi lain, lalu mengecek keadaan wanita itu.
"Hei kamu" teriaknya khawatir.
Radit melihat Nadine. Dahi dan hidung gadis itu basah dengan kéringat. Hatinya langsung siaga. "Ada apa?" Tanya Radit dengan suara berat.
"Tekanan darah wanita ini sekarang sangat rendah. la harus segera dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa dan diinfus" lapor Nadine.
Radit menatap para penjahat itu, tanpa ragu ia berkata, "Biarkan mereka pergi, akulah yang akan menjadi sanderaan kalian."
Ketiga pria tersebut berpandang-pandangan satu sama lain, salah satu dari mereka yang adalah ketua melihat jam tangannya.
"Pesawat akan tiba 40 menit lagi. Kalau kami membiarkan mereka pergi dan kau jadi sanderaan kami, bukannya sama saja dengan bunuh diri!"
"Aku akan tinggal." Ucap Nadine.
Radit ternganga menatap Nadine. Bola matanya yang hitam memancarkan sinar tak mengeti.
Nadine tersenyum, nada bicaranya lembut, ia berkata pada Radit, " Cepat bawa mereka ke rumah sakit, kalau tidak anak dan ibunya ini akan mati."
"Tidak ada satupun dari kalian yang boleh pergi!" teriak ketua itu.
Nadine menatap sang ketua, "Membiarkan wanita dalam keadaan sekarat serta bayinya yang sedang menangis keras ini pergi dengan seorang tentara yang telah terlatih dan çekatan, bukannya suatu pilihan yang bijaksana?"
"Biarkan mereka pergi." Kata salah satu dari pria itu yang kelihatannya lebih berumur dari mereka dan bertubuh tinggi besar.
Sang ketua akhirnya mengangguk, ia pun minggir kensamping. Radit menatap Nadine sekilas tanpa berkata apa-apa. la lalu membungkuk dan membopong wanita itu, sementara tangannya yang satu lagi memeluk bayi si bayi. Dengai cepat ia berjalan keluar.
Orang-orang diúar maşih berkumpul untuk menanti apa yang terjadi. Melihat wanita itu dan bayinya keluar dengan selamat, mereka menghembuskan napas lega.
"Bawa mereka ke rumah sakit!" Radit menyerahkan wanita itu serta bayinya ke para tentara.
Dengan tatapan tajam ia melihat ruangan 801, lalu memberi perintah, "Dodi, bersiaplah untuk beraksi."
"Ketua, mereka sudah berhasil diselamatkan, berarti tugas kita sudah selesai. Kita sudah bisa menyerahkan mereka kepada petugas keamanan pengamanan narkoba biasa untuk dibereskan. Anda istirahat saja dulu." Kata Dodi dengan hormat.
"Masih ada korban lain didalam, bagaimana bisa istirahat!" Ucap Radit keras sambil menatap Dodi.
Dodi tak mengerti kenapa sang ketua semarah ini. la juga tak mengerti kenapa ketua ingin langsung turun tangan untuk melakukan tugas sekecil ini.
Baiklah kalau begitu, aku segera bersiap-siap." Ucap Dodi.
"Jika nyawa wanita di dalam terancam, segera lepaskan para 'harimau'." Tambah Radit.
Dodi makin heran. Ketua yang biasanya bersemangat dan tegas ini, yang selalu punya tenaga ekstra untuk mengalahkan semua musuhnya ini, biasanya tidak akan menyerah sampai titik darah penghabisan. Tapi kenapa kali ini ia sangat aneh?!
......
Menit demi menit berlalu, detik demi dektikpun berlalu. Radit berdiri di muka jendela sambil melihat keluar, pandangan matanya suram tak bisa ditebak.
Tiga tahun lalu, Radit melakukan sebuah misi khusus, tapi misi tersebut berjalan diluar dugaan. la tersesat di daerah pedàlaman, dan ia pun disuntikkan sebuah obat kuat yang sangat kuat efeknya. Saat sudah kehilangan kendali, saat rasanya ingin meledak dan mati, wanita itu muncul. Wanita itu, Nadine. Radit tak tahan, iapun memperkosanya.
Saat kesadarannya pulih, Radit sudah berada di rumah sakit tentara. Dengan berbagai macam cara, dalam waktu dua hari, akhirnya ia berhasil menemukan wanita itu. Nadine saat itu mengenakan gaun pengantin putih, rupanya cantik seperti malaikat. Wanita itu sedang
berjalan di menara gereja, tanpa ragu ia bertukar cinci dengan Angga, yang adalah sang mempelai lelaki.
la awalnya mengira wanita yang disekap didalam itu adalah Nadine, jadi ia datang kemari. Tapi tak disangka, wanita yang hamil itu, ternyata adalah selingkuhan Angga. Ternyata suami Nadine itu telah main di belakang. Şementara Nadine.... memilih untuk menyelamatkan selingkuhan dan anak hasil hubungan gelap mereka. la tak mengerti apa yang ada dalam pikiran Nadine.
PENG. Terdengar suara tembakan dari ruangan 801.
Hati Radit berdegup kencang. la berbalik, dengan bergetar ia bertanya pada Dodi, "Apa yang terjadi di ruangan801?"
"Kami juga tidak tahu." Ucap Dodi hati-hati.
Radit menatap dapur ruangan 802. Dapur tersebut berhadapan dengan dapur ruangan 801, keduanya hanya berjarak 200 meter.
la berjalan ke dapur tersebut, dengan suara berat ia bertanya, "Kapan helikopter akan tiba?"
Dodi yang mengikuti Radit di belakang melapor, "30 menit lagi ia akan sampai."
Radit tak berkata apa-apa lagi. la menaruh sebuah tangga di antara ke dua dapur itu, lalu melompat naik.
"Ketua, akan sangat berbahaya jika anda masuk sendirian." Kata Dodi khawatir.
Radit menatapnya tajam,"Jangan berpikir macam-macam!"
Dodi tak berani berucap lagi. la segera memberi perintah page tentaral ain di depannya, "008, 101, segera naik, sebis mungkin lindungilah ketua!"
'Baik!" Setelah menerima perintah itu, merekapun naik ke atas.
Dodi memandang dengan khawatir kearah dapur itu, keringat membasahi tubuhnya. Masa depan ketua sangat cerah, ada kemungkinan kedepan ia akan menjadi presiden Kalau sampai terjadi apa-apa, wakil presiden tak akan segan segan mematahkan lehernya.
Dengan cepat Radit melompat turun dari tangga, ia merasa kakinya sakit seperti terkena sengatan listrik. lakemudian menyandarkan tubuhnya ke dinding. Dengan tatapan dingin ia mengamati ruang tamu disana. Ketua penjahat itu berada di ruang tamu, dua orang lainnya
masih ada di kamar.
Radit berjongkok, sambil melangkah pelan ia meñatap ketua itu tajam sambil menggenggam sebuah pisau, lalu langsung bergerak maju. Ketua itu melihat Radit,
tapi sudah terlambat. la tak sempat minta bantuan, dirinya tahu-tahu sudah terbaring di lantai.
008 dan 101 segera membereskan TKP. Radit menatap 008 dan 101 sambil mengisyaratkan sesuatu dengan tangannya. 008 dan 101 mengangguk. Dengan hatihati sekali, mereka menurunkan tirai jendela, dan tiba-tiba ruang tamų tersebut jadi terang.
Sementara para tentara lain sedang menunggu perintah. Radit berjalan mengendap endap kearah kamar, punggungnya ia tempelkan erat pada dinding. la lalu mengintip pergerakan dalam kamar tersebut.
Nadine sedang duduk di tempat tidur, ia melamun sambil memadangi langit-langit kamar. suasana disana hening tanpa suara. Nadine seakan terlihat sedih dikurung disàna. Kesedihan dan rasa terluka yang terlihat ini keluar dari dalam dirinya, sehingga orang
yang melihatnya akan merasa kasihan.
"Bos, kenapa diluar tidak ada pergerakan apa-apa?" tanya penjahat berambut kuning tak sabar. la sedang menghisap rokok sambil mengacak-acak rambutnya.
Penjahat yang usianya lebih tua menatap suram wajah Nadıne yang cantik itu Pandangan matanya lalu tertuju ke arah dada Nadine. Sambil menyeringai ia berkata, "Masih ada setengak jam lagi baru pesawat itu sampai. Mau gak kita menikmatinya?"
Penjahat berambut kuning langsung mengerti, ia mengamati-amati Nadine. Dengan kasar ia berkata, "Tubuh wanita ini bagus juga. Sebelum mati, lebih baik kita 'menjelajahinya'."
la memațikan punting rokoknya, lalu berjalan ke arah Nadine. Mata Radit yang melihat ini semua tak berkedip selama beberapa menit, ia lalu bersiap untuk maju menyerang.
Sementata Nadine dengan tenang mengangkat jarum suntik dan mengarahkannya pada lehernya sendiri. Dengan dingin ia berkata, "Kalau kalian berani kesini, aku akan bunuh diri!"
"Memangnya kau berani?" Ejek penjahat berambut kuning itu.
Dengan sikap serius Nadine mendekatkan jarum suntik itu ke kulitnya. Hati Radit serasa ditusuk sesuatu, pandangan matanya bersinar tajam seakan siap untuk membunuh orang. Hatinya terasa gugup.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!