Sepanjang perjalanan dari Bandara Adi Sucipto, wajah Gus Umar nampak selalu murung. Pemuda berbadan tinggi tegap, berkulit putih, berhidung mancung, dan berambut ikal panjang sebahu itu hanya diam membisu. Dia sama sekali tidak menanggapi pembicaraan kang santri yang menjemputnya ke bandara.
Tatapan Gus Umar tertuju jauh ke depan dan tanpa ekspresi, seperti ada ketidak relaan dengan kepulangannya ke tanah air kali ini. Hingga sepanjang perjalanan yang dilalui selama lebih dari satu jam itu, hanya kebisuan yang tercipta di dalam kuda besi yang melaju pelan membawa Gus Umar pulang ke kampung halamannya.
Ya, gus Umar baru saja menyelesaikan studi S1 di Madinah. Awalnya, putra sulung Kyai Abdullah itu ingin melanjutkan studi hingga pasca sarjana. Namun, sang kakek menyuruh untuk segera pulang karena Gus Umar telah dijodohkan dengan seorang gadis yang merupakan cucu dari sahabat kakeknya tersebut.
Setelah beberapa lama melandas di jalan raya beraspal, mobil yang dikendarai kang santri itu pun tiba di kediaman Kyai Abdullah. Kang santri segera memarkir mobil dan setelah terparkir dengan sempurna, kang santri tersebut segera turun, kemudian membukakan pintu mobil untuk putra sang kyai.
"Gus, kita sudah sampai," ucapnya pelan seraya menepuk lembut lengan Gus Umar, tatkala dia mendapati putra sang kyai masih terdiam, dan nampak tengah melamun di tempat duduknya di jok belakang.
"Hmm ...." Gus Umar segera tersadar dari lamunan dan menanggapi kang santri hanya dengan gumaman. Putra sulung Kyai Abdullah itu kemudian turun dari mobil dengan malas.
Gus Umar berdiri terpaku dan menatap kosong ke depan. Padahal di teras kediaman Kyai Abdullah, para santri telah berdiri dengan takdzim menyambut kedatangannya. Namun, Gus Umar seperti tidak melihat keberadaan mereka.
"Monggo, Gus." Kang santri segera menuntun Gus Umar untuk masuk ke ndalem sang kyai.
Kyai Abdullah dan Nyai Robi'ah berjalan tergopoh-gopoh menyongsong kehadiran sang putra di ruang tamu.
"Alhamdulillah... akhirnya sampean pulang juga, Gus. Umi kangen sama sampean," sambut nyai Robi'ah dengan merentangkan kedua tangan, merengkuh tubuh sang putra, dan memeluk putranya dengan penuh kerinduan.
Seketika wajah Gus Umar yang tadinya dingin, kini mengulas senyum menyambut pelukan sang umi. Hati Gus Umar seketika menghangat, mendapatkan pelukan dari wanita hebat yang telah melahirkan dirinya ke dunia.
"Umar juga kangen sama Umi," balas Gus Umar seraya melepaskan pelukan uminya. "Umi sehat?" tanya gus Umar kemudian, sambil menatap penuh rindu netra teduh Nyai Robi'ah.
Nyai Robi'ah mengangguk. "Alhamdulillah, Gus. Seperti yang sampean lihat, umi sehat wal-afiat," balas sang umi dengan tersenyum hangat, seraya menepuk lembut punggung kokoh putra sulungnya.
"Apa kamu tidak kangen sama abah, Gus?" sindir Kyai Abdullah yang nampak cemburu, melihat kehangatan sang putra dan istrinya.
Gus Umar tersenyum lebar pada sang abah, yang masih terlihat ganteng di usia senjanya. Wajah tua itu semakin berwibawa dan tatapan matanya begitu teduh hingga dapat membuat tenang siapa saja yang melihat.
"Tentu saja Umar kangen dengan laki-laki sepuh kesayangan Umi," balas gus Umar dengan bercanda dan kemudian memeluk abahnya dengan begitu erat.
"Sampean mengatakan, abah ini sepuh?" protes sang abah setelah melerai pelukan. "Ya, usia abah memang sudah sepuh, Gus, tetapi abah masih sanggup menggendong Umimu untuk mengelilingi ka'bah," gurau sang abah seraya mengerlingkan sebelah mata, pada sang istri.
Ya. Kyai Abdullah dan sang istri berniat untuk menjalankan ibadah umroh kembali bersama kedua putra putrinya jika sang putra sulung sudah pulang kembali ke tanah air. Rencananya, mereka akan berangkat sebelum Gus Umar menikah dengan gadis yang telah dijodohkan.
"Gus, ayo kita masuk ke dalam!" ajak sang umi seraya menggandeng putra kesayangannya. Mereka berdua kemudian masuk ke dalam ruang keluarga.
Kyai Abdullah hanya bisa mengikuti keduanya dari belakang seraya bergumam, "Wah, abah bakalan kalah saing sama kamu, Gus."
"Umi masih bisa mendengar perkataan Abah," ucap nyai Robi'ah, seraya menoleh pada sang suami. Mereka bertiga kemudian duduk dengan nyaman di sofa, di ruang keluarga kediaman Kyai Abdullah.
"Ah, Abah. Paling Umi bersikap seperti ini pada Umar juga hanya sampai nanti sore. Malam harinya, Umi bakalan melupakan Umar demi suami tercinta," balas gus Umar, seraya tersenyum jahil pada sang umi yang duduk tepat di sampingnya.
"Kamu ini lho Gus, malah ngeledek umi." Nyai Robi'ah menjewer pelan telinga sang putra, pura-pura marah. Padahal dalam hati, ibu dari dua anak itu sangat bahagia karena memiliki dua laki-laki berbeda generasi yang sangat menyayangi dan mengerti dirinya.
Kyai Abdullah terkekeh kecil, mendengar candaan putranya yang membuat wajah sang istri yang nampak awet muda itu menjadi merona merah.
Tengah asyik mereka bertiga bercengkrama dengan hangat, terdengar suara salam yang diucapkan dengan riang gembira dari arah luar, "Assalamu'alaikum ...."
"Wa'alaikumsalam," balas mereka, kompak.
"Abah, Umi, Kak Umar!" Disusul dengan seruan manja seorang gadis, yang mengabsen satu per satu anggota keluarganya. Tidak lama kemudian, muncul dua gadis cantik dengan seragam putih abu-abu memasuki ruang keluarga.
Kedua gadis itu segera menyalami Kyai Abdullah dan sang istri, seraya mencium punggung tangan kedua orang tua tersebut dengan takdzim. Salah seorang gadis kemudian mendekati Gus Umar, menyalami pemuda tampan yang selalu tersenyum itu lalu segera memeluknya.
"Kak Umar jahat, mau pulang enggak kasih kabar dulu sama Laila," protes gadis itu dengan manja, yang ternyata adalah adik kandung Gus Umar.
Gus Umar melepaskan pelukan sang adik yang selalu manja pada dirinya itu. Dia kemudian mengacak lembut puncak kepala Laila yang tertutup hijab putih.
"Maaf Dik, kakak pulangnya dadakan. Jadi, enggak sempat membelikan kamu oleh-oleh," ucap gus Umar sendu, mengingat kembali kepulangannya yang sangat terpaksa. Sebab, perjodohan yang sama sekali tidak dia kehendaki.
Apalagi dihadapannya kini, berdiri seorang gadis yang terus menundukkan pandangan, dan menyembunyikan senyum manisnya. Seorang gadis belia, yang diam-diam disukai oleh Gus Umar, dan selalu disebut namanya dalam setiap do'a yang di langitkan putra sulung Kyai Abdullah tersebut.
Gus Umar hanya bisa menatap gadis itu dengan segala kesedihan hatinya. Musnah sudah harapan yang selama ini selalu dia pupuk. Keinginan untuk menyatakan perasaannya yang mendalam kepada teman sang adik, ketika nanti gus Umar sudah menyandang gelar sarjana, dan sudah bisa bekerja.
Laila yang belum tahu rencana perjodohan sang kakak, cemberut. "Lain waktu kalau kakak mau pulang lagi, kasih kabar sama Laila, ya? Soalnya Laila pengin dibeliin hijab yang kembaran sama Aida," pinta gadis itu manja, dengan sorot mata memohon pada satu-satunya kakak yang dia miliki.
Merasa disebut namanya, gadis yang sedari tadi menunduk itu pun mengangkat wajah dan sedetik kemudian Aida tersipu malu tatkala pandangan matanya tanpa sengaja, terpaut pada netra hazel milik Gus Umar. Untuk beberapa saat, kedua insan berlainan jenis itu saling tatap, dan seolah bercengkrama dalam diam.
Suara nyai Robi'ah kemudian, membuyarkan lamunan keduanya. "Kakakmu tidak akan kembali lagi ke Madinah, Ning, karena Gus Umar akan segera menikah."
"Apa? Menikah? Dengan siapa, Umi?" cecar Laila pada sang umi, yang sangat terkejut mendengar berita bahwa sang kakak akan dijodohkan.
Laila sekilas menatap tajam kearah sang kakak dan kemudian menatap Aida, sahabat baiknya dengan tatapan yang sulit diartikan. 'Maafkan aku Da,' bisik nya dalam hati.
Sementara Aida, gadis berseragam putih abu-abu itu langsung menundukkan wajahnya dengan dalam.
bersambung...
🌟🌟🌟🌟🌟
Buat kalian yang sudah mampir ke novel keempat ini, aku ucapkan terimakasih banyak 🤗🤗
Meski karya ini sudah TAMAT, tapi tetep,,, tolong tinggal kan jejak kalian di sini 😉😉
Dengan Like, komen, vote dan hadiah yang banyak dan jangan lupa klik tombol hati/ masukkan favorit 🥰🥰
Dan jika kalian suka dengan jalan ceritanya, jangan lupa berikan rating bintang lima dan katakanlah sesuatu untuk menyemangati ku 😊🙏
Happy Reading bestie ....
Gus Umar hanya dapat menarik napas panjang lalu mengembuskan dengan kasar, seolah pemuda itu ingin membuang semua beban berat yang menghimpit dada, dan membuat pernapasannya menjadi sangat sesak.
"Kakakmu akan segera menikah dengan Ning Zahra," balas nyai Robi'ah, yang mengatakan kepada putrinya dengan sangat hati-hati.
Nyai Robi'ah kemudian menatap sang putra, yang nampak sangat kecewa dengan keputusan sepihak dari kakeknya itu. Sementara kyai Abdullah hanya bisa prihatin, melihat kesedihan di mata putra sulungnya.
Mendengar jawaban dari sang umi, Laila kembali terkejut. Laila menatap sahabatnya yang masih tertunduk itu, dengan perasaan bersalah.
'Maafkan aku Da, aku enggak tahu kalau akan begini jadi nya?' gumam Laila dalam hati. Laila nampak sangat sedih dan seakan ikut merasakan kesedihan hati Aida.
'Harusnya dari awal aku sadar, siapa diriku hingga aku tak perlu merasakan kekecewaan seperti ini,' bisik Aida dalam hatinya. Gadis berseragam putih abu-abu itu semakin menundukkan kepala. Ingin rasanya Aida menghilang dari peredaran bumi, tapi gadis manis itu tidak tahu bagaimana caranya.
Menyadari bahwa sang sahabat sudah tidak nyaman berada diantara keluarganya saat ini, Laila langsung mengajak Aida masuk kedalam kamar. "Maaf, Abah, Umi. Laila dan Aida ada tugas akhir yang harus segera kami selesaikan karena minggu depan kami sudah mulai ujian akhir sekolah," pamit Laila pada kedua orang tuanya.
"Da, yuk kita masuk!" ajak Laila seraya menyeret pelan lengan sang sahabat.
Aida hanya bisa nurut dan pasrah, mengikuti langkah kaki sahabatnya untuk meninggalkan ruang keluarga itu dengan menahan rasa nyeri di hati. Kyai Abdullah dan nyai Robi'ah yang tidak mengetahui apa-apa itu pun hanya mengangguk.
Sementara gus Umar menjadi merasa sangat bersalah pada Aida. Meski Gus Umar belum pernah menyatakan perasaannya secara langsung pada Aida, tetapi gus Umar yakin bahwa Aida sudah mengetahui jika dirinya menyimpan perasaan pada gadis belia, sahabat dari sang adik itu. Apalagi, sang adik sering bercanda menjodoh-jodohkan Gus Umar dengan Aida, dan sahabat Laila itu juga terlihat nyaman-nyaman saja dengan candaan adiknya.
Seringkali pula ketika Gus Umar melakukan panggilan video pada sang adik, Laila akan mengarahkan kamera ponselnya pada Aida seraya meledek sang kakak. "Kakak pasti kangen 'kan sama Aida, pakai pura-pura telpon Laila, dan nanyain gimana sekolah Laila?" Begitulah seringkali Laila meledek sang kakak dan Aida hanya akan tersenyum manis pada Gus Umar.
"Abah, Umi. Umar mohon izin istirahat di kamar," pamit Gus Umar pada abah dan uminya. Gus Umar merasa perlu untuk segera mengetahui apa yang terjadi pada Aida di kamar Laila, setelah Aida mendengar kabar bahwa kepulangannya kali ini karena perjodohan.
"Iya, Gus. Istirahatlah, sampean pasti lelah," tutur nyai Robi'ah dengan lembut.
Kyai Abdullah hanya mengangguk dan tersenyum pada putranya.
Gus Umar kemudian beranjak dari tempat duduknya dan segera melangkah menuju ke kamar. Putra sulung kyai Abdullah itu sudah tidak sabar ingin segera menghubungi sang adik dan menanyakan keadaaan Aida pada adiknya.
Sesampainya di dalam kamar, Gus Umar segera mengirimkan pesan pada Laila.
[Dik, lagi apa?]
Gus Umar berbasa-basi terlebih dahulu karena, dia merasa malu jika harus menanyakan secara langsung kepada Laila, bagaimana kondisi Aida saat ini.
Setelah menunggu beberapa saat, terdengar notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Buru-buru Gus Umar membuka pesan balasan dari sang adik.
[Kami sedang mengerjakan tugas.]
Balasan Laila yang pendek, sama sekali tidak seperti yang diharapkan Gus Umar. Pemuda berambut sebahu itu pun mengetikkan pesan kembali.
[Apa kalian baik-baik saja?]
Pertanyaan yang ambigu dia kirimkan pada sang adik. Sebab, tadi Gus Umar sudah bertemu dengan adik dan juga sahabatnya, dan kedua gadis itu baik-baik saja. Namun, merasa bingung, dan tidak memiliki ide pertanyaan lain untuk mengetahui bagaimana keadaan Aida, membuat Gus Umar bertanya demikian.
Cukup lama gus Umar menatap ponselnya dengan perasaan was-was, menanti jawaban dari sang adik. Beberapa saat kemudian, sebuah pesan dari Laila masuk. Gus Umar pun segera membukanya.
[Jangan khawatir kak, Aida bukan gadis cengeng yang akan nangis darah ketika tahu bahwa pemuda pujaan hatinya, ternyata sudah memiliki calon istri!]
Balasan dari Laila serasa menghakiminya. Adiknya itu juga menyertakan emoticon tertawa mengejek. Laila juga menyertakan foto Aida, yang tengah khusyuk mengerjakan tugas.
Gus Umar sejenak dapat bernapas dengan lega karena apa yang dikhawatirkan tidak terjadi. Namun kini, dia malah menjadi bingung sendiri.
'Kok, Aida santai banget, ya? Apa aku yang ke-geeran dan salah mengartikan senyum serta tatapannya padaku?' Gus Umar mengusap kasar wajahnya.
Pemuda tampan itu merasa sedikit kecewa karena ternyata, Aida tidak menyimpan perasaan apa-apa terhadap dirinya. Namun, Gus Umar sekaligus merasa lega karena setidaknya, perjodohan antara dia dengan gadis pilihan sang kakek tidak melukai hati gadis lain.
Gus Umar sejenak mengamati foto Aida yang barusan dikirimkan sang adik, seraya membaringkan tubuh lelahnya di atas ranjang yang empuk. "Memang tidak terlihat ada gurat kesedihan di wajah kamu, dik, dan itu artinya, aku telah salah menilaimu selama ini," gumam Gus Umar pada dirinya sendiri dan putra sulung kyai Abdullah tersebut kemudian menghapus foto Aida yang baru saja dikirimkan oleh Laila.
Sebelum memejamkan mata, Gus Umar membuka galeri ponselnya, dan mencari folder 'gadis impian'. Gus Umar membuka folder tersebut dan muncullah foto-foto Aida yang diambil secara candit, yang dikirimkan oleh sang adik kepada Gus Umar selama ini.
Gus Umar menghela napas berat. "Aku harus menghapus foto-foto Dik Aida karena aku tidak mau melukai hati wanita yang telah di jodohkan denganku jika aku masih menyimpan foto wanita lain di ponselku." Dengan perasaan kecewa, Gus Umar menghapus semua foto-foto Aida dari galeri ponselnya.
Memakan waktu cukup lama bagi Gus Umar untuk menghapus semua foto Aida dari galeri ponselnya hingga membuat gus Umar yang memang kelelahan karena habis melakukan perjalanan jauh, menjadi tertidur.
Sementara itu di kamar Laila, Aida masih berkutat dengan tugas-tugas sekolah yang diberikan oleh guru. Sedangkan Laila, usai berkirim pesan dengan sang kakak, gadis itu masih terus menatap sahabatnya dengan perasaan bersalah.
"Da, maafkan aku ya?" pinta Laila tiba-tiba dengan suara tercekat.
Aida mengalihkan perhatian dari buku-buku pelajaran di hadapannya pada Laila. "Maaf? Untuk apa, La? Kamu tidak melakukan kesalahan apapun Laila. Kenapa harus minta maaf?" Aida pura-pura tidak mengerti maksud Laila dan menatap heran netra sahabatnya yang mulai nampak berkaca-kaca.
Laila menghambur memeluk Aida dan menangis dalam pelukan sahabatnya itu. Cukup lama Laila menangis seraya memeluk Aida dan Aida sengaja membiarkan saja. Sudah menjadi kebiasaan jika Laila gundah dan bersedih, Aida-lah yang akan menjadi tempat bagi gadis itu untuk mencurahkan segala kesedihan hatinya.
"La. Udah, ya, nangisnya. Nanti kamu jadi jelek, loh. Mata kamu akan terlihat besar dan jika umi tahu kamu habis nangis, umi pasti ikut sedih," bujuk Aida, setelah membiarkan Laila menumpahkan air mata beberapa saat lamanya.
Laila merenggangkan pelukan dan menatap Aida dengan tatapan dalam. "Jangan berpura-pura seolah kamu baik-baik saja, Da. Aku tahu hatimu bersedih 'kan?"
Aida tersenyum kecut, seraya menggeleng. Sikap sahabat Laila itu, sangat kontras dengan isi hatinya yang pedih, dan perih tetapi tidak berdarah.
bersambung ...
Aida kemudian mengerutkan keningnya, masih berpura-pura tidak tahu kemana arah pembicaraan Laila.
"Aku tahu kamu mencintai kak Umar, Da. Aku juga tahu pasti bahwa kamu terkejut mendengar kabar perjodohan kakak ku, kan? Kamu sengaja menyembunyikan rasa kecewa mu dengan tenggelam dalam tugas-tugas itu kan, Da? Kalau benar kamu juga mencintai kak Umar, kenapa kalian berdua tadi diam saja? Kenapa kalian tidak mau memperjuangkan cinta kalian, Da ... kenapa?" cecar Laila dengan banyak pertanyaan, yang membuat Aida sedikit gelagapan.
Untuk sesaat Aida terdiam, gadis manis itu mencoba untuk menetralkan kegugupannya. Aida kemudian tersenyum manis pada Laila, "La, gadis mana coba yang tidak terpesona melihat gus Umar? Jika kamu bukan adik kandung kak Umar, aku pastikan bahwa kamu juga akan tergila-gila pada pemuda tampan itu bukan?"
"Kekaguman pada seseorang, tepatnya seorang idola, tidak lantas bisa disimpulkan bahwa kita mencintainya bukan?" Aida membalas pertanyaan Laila, dengan pertanyaan pula. Gadis itu masih berpura-pura tidak bersedih, atas kabar yang baru saja dia dengar dari nyai Robi'ah.
Laila menggeleng, "yang kamu katakan barusan memang benar, Da. Tetapi aku tahu, kamu tidak memandang kakak ku sebagai idola. Aku tahu bagaimana perasaan mu, Da... dan kamu enggak perlu mengelak atau menyembunyikan kekecewaan dan kesedihan mu pada ku?" lirih Laila, dengan berurai air mata.
Aida menghapus air mata sahabatnya itu dengan lembut, "sstt... jangan menangisi hal yang tidak mungkin, Laila. Jujur saja, aku terkejut dengan berita perjodohan gus Umar." sejenak Aida menjeda ucapannya dan menatap Laila seraya tersenyum.
"Tetapi sejak awal, aku sudah menanamkan pada hati dan pikiranku ... bahwa kita boleh saja punya pengharapan dan meminta pada Allah agar apa yang kita ingin kan terkabul, namun kita juga harus tetap tawakkal dengan takdir yang telah Allah tetapkan pada kita, karena aku yakin bahwa rencana Allah itu lebih indah untuk hamba-Nya," lanjut Aida dengan penuh keyakinan.
Untuk sesaat kedua gadis seusia itu terdiam dan suasana kamar Laila menjadi hening, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri.
"Jadi, kamu rela kalau kak Umar menikah dengan gadis lain?" tanya Laila memecah keheningan.
Aida menghela nafas panjang, "jika itu adalah takdir terbaik untuk kami semua," balas Aida dengan suara bergetar namun tetap tersenyum tulus, mencoba sekuat tenaga menyembunyikan luka yang menganga di hatinya.
Aida tidak munafik, sejak lama dia sudah menyimpan perasaan pada gus Umar. Bahkan jauh sebelum gus Umar melanjutkan studinya ke Madinah dan sebelum Laila gencar menjodoh-jodohkan dirinya dengan kakak dari sahabatnya tersebut.
Aida mengenal gus Umar sejak dia masih kanak-kanak, karena almarhum ayahnya sering mengajak Aida sowan ke ndalem kyai Abdullah. Aida kecil kemudian bersahabat dengan Laila dan keduanya sering main bersama. Dari situlah kedekatan Aida dan gus Umar terjalin, meski awalnya hanya sebagai kakak-adik.
Namun seiring berjalannya waktu dan keduanya tumbuh remaja, Aida mulai bersikap malu-malu pada gus Umar. Baru setelah kepergian gus Umar ke Madinah, Aida menyadari bahwa dirinya menyukai gus Umar lebih dari seorang kakak.
"La, aku pamit ya. Aku mau pulang ke rumah," pamit Aida pada sahabatnya, seraya membereskan buku-buku pelajaran yang berserak.
"Kok, tiba-tiba pulang? Ini kan baru hari Rabu? Biasanya juga kamu pulang pas hari kamis?" tanya Laila penuh selidik.
"Tadi pagi waktu mau berangkat sekolah, mbak Ning kasih kabar kalau ibu masuk angin lagi," balas Aida apa adanya, seraya menunjukkan chat dari mbak Ning orang yang selama ini membantu sang ibu di warung makan.
Laila hanya bisa mengangguk, "balik kesini kapan? Sabtu ya? Biar kita bisa belajar bareng?" tanya dan pinta Laila penuh harap, dia malas belajar kalau tidak ada temannya. Sedangkan senin depan, mereka sudah menjalani ujian akhir sekolah.
Aida mengangguk, mengiyakan permintaan sahabat baiknya itu. "Udah, jangan mewek lagi. Nanti cantiknya ilang." Aida mencubit pipi cabi Laila.
"Aku mau pamit dulu sama umi, assalamu'alaikum, La," Aida segera meninggalkan kamar Laila dengan perasaan yang tidak menentu.
Ya, Aida adalah santri di pesantren kyai Abdullah semenjak dia masuk Madrasah Aliyah. Tetapi seminggu sekali, Aida diijinkan pulang atas permintaan bu Aini, ibu nya Aida, yang merupakan istri dari sahabat kyai Abdullah.
Rumah Aida tidak terlalu jauh dari pesantren dan masih berada di kota yang sama, hanya sekitar dua puluh menit perjalanan dengan menaiki angkot. Aida tinggal berdua dengan sang ibu semenjak kepergian ayahnya, ketika Aida baru berusia sepuluh tahun. Dan baru-baru ini, sang ibu ada yang menemani sekaligus membantu di warung.
Bu Aini, ibunya Aida membuka usaha warung makan sederhana untuk melanjutkan hidup bersama putri semata wayangnya itu. Bu Aini menyuruh Aida belajar di pesantren, karena beliau ingin mewujudkan harapan sang suami, yang menginginkan Aida menjadi penghafal Alqur'an tiga puluh juz.
Sebagai anak yang di didik di lingkungan agamis, Aida merasa tidak keberatan dengan keinginan orang tuanya dan selama hampir tiga tahun ini, Aida bersungguh-sungguh mempelajari dan menghafal Alqur'an.
Setelah Aida meninggalkan kamarnya, Laila segera berganti pakaian dan kemudian keluar dari kamar.
Laila berjalan menuju kamar sang kakak, seraya menoleh ke kanan dan ke kiri... khawatir kalau-kalau abah atau uminya melihat. Setelah dirasa aman, Laila langsung menerobos masuk ke dalam kamar sang kakak.
Laila mendapati sang kakak tengah tertidur seraya menggenggam ponsel, dengan perlahan Laila mendekati kakaknya dan mengambil ponsel gus Umar dengan sangat hati-hati.
Namun, gerakan kecil Laila mampu membangunkan sang kakak dari tidur lelapnya. Hingga Laila buru-buru melepaskan ponsel yang sudah hampir dia dapatkan tersebut.
"Dik, kok kamu di sini?" tanya gus Umar seraya memicingkan mata, berusaha beradaptasi dengan silaunya cahaya. Gus Umar segera beralih posisi menjadi duduk dan bersandar pada head board.
"Kak, ada yang mau Laila tanyakan." ucap Laila seraya cemberut dan gadis itu kemudian mendudukkan dirinya di tepi ranjang menghadap sang kakak.
"Ada apa? Kok wajahnya cemberut gitu? Adik jelek tahu kalau wajahnya di tekuk kayak gitu?" ledek gus Umar mencoba mencairkan suasana, pasalnya sang adik kini tengah memasang tampang serius.
"Kak, katakan sejujurnya pada Laila. Sebenarnya, Kakak suka kan pada Aida?" tanya Laila dengan menatap tajam pada sang kakak yang baru saja terbangun, bahkan kesadaran gus Umar belum seratus persen pulih.
Gus Umar tersenyum, "kamu ini ngomong apa sih, Dik?" Gus Umar masih berusaha untuk menutupi perasaannya dan pura-pura tidak mengerti maksud pertanyaan sang adik.
"Asal Kak Umar tahu, Aida tuh beneran suka sama Kakak dan dia tadi sangat sedih ketika mendengar kabar bahwa ternyata Kakak sudah dijodohkan sama ustadzah Zahra," ucap Laila seraya menyodorkan ponselnya pada gus Umar.
Gus Umar mengernyit, tak langsung menerima ponsel sang adik.
"Buka aja Kak dan putar rekaman percakapan Laila sama Aida barusan," Laila menjawab kebingungan sang kakak.
Gus Umar segera menerima ponsel Laila dan membuka rekaman yang dimaksudkan sang adik. Dengan seksama gus Umar mendengarkan rekaman percakapan antara Laila dan Aida, ternyata Laila merekam semua obrolannya dengan Aida sejak awal saat mereka berdua berada di kamar Laila tadi.
Gus Umar menghela nafas panjang, ketika mendengar jawaban Aida atas pertanyaan Laila, "jadi, kamu rela kak Umar menikah dengan gadis lain?"
"Jika itu adalah takdir terbaik untuk kami semua," suara Aida yang menjawab pertanyaan dari Laila, yang terdengar bergetar dan itu membuat gus Umar menjadi merasa dilema.
Di satu sisi, gus Umar ingin bisa hidup bahagia dengan gadis yang dicintai dan juga mencintainya. Sedangkan di sisi yang lain, kepatuhan gus Umar sebagai santri sekaligus cucu laki-laki satu-satunya, tidak memungkinkan baginya untuk menolak perjodohan dari kyai sepuh, yang sudah direncanakan sejak lama.
bersambung,,,
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!