Hujan mengguyur kota Surabaya dengan derasnya. Seorang pria bermata sipit berjalan dengan seorang asisten pribadinya yang menarik koper di belakangnya.
Mereka berdua baru saja turun dari pesawat, penerbangan Jakarta-Surabaya malam ini.
Artma Aric Mahadev pengusaha sukses berusia tiga puluh lima tahun itu datang ke Surabaya untuk meninjau langsung pembangunan pabrik baru. Dengan ditemani asisten pribadinya, Hakim pria yang berusia terpaut dua tahun lebih tua darinya.
Sebuah mobil mewah sudah di siapkan untuk menjemput Aric dari bandara. Hakim mendahului langkah Aric. Ia kemudian membuka pintu mobil untuk tuannya itu.
"Silahkan, Tuan," ucap Hakim sambil menunduk hormat.
Pria keturunan Indonesia - Pakistan itu hanya mengangguk, ia lalu masuk kedalam mobil, hakim menutup pintunya dengan hati-hati. Pria berambut ikal itu kemudian menaruh koper di bagasi belakang, sebelum masuk ke mobil.
Mobil hitam itu melesat membelah indahnya keheningan di tengah hujan yang mengguyur kota Surabaya. Aric menatap malam yang pekat dari jendela mobil, malam ini begitu pekat rintik hujan yang sertai sedikit angin membawanya larut dalam kenangan masa lalu.
Flashback on
Di malam itu, yang sama persis seperti hari ini, Aric baru saja pulang dari kantor. Dengan membawa sekotak coklat dan sebuket mawar merah ia mengendarai mobilnya dengan penuh semangat. Hatinya berbunga-bunga dengan penuh harapan yang ia ciptakan.
Malam ini ia akan melamar kekasihnya veronica, wanita yang menjalin kasih Dengan selama tiga tahun. Ia sungguh tidak sabar tetapi juga gugup, ia sudah merencanakan hari ini selama beberapa hari, memberikan kejutan termanis untuk sang kekasih.
Mobil yang ia tumpangi berhenti di basemant apartemen mewah. Aric sengaja berbohong pada sang kekasih, kalau ia akan keluar kota hari ini. Ia ingin memberikan kejutan pada Veronica.
Setelah merapikan penampilannya. Aric turun dari mobilnya, tak lupa membawa coklat dan bunga mawar yang telah ia siapkan.
Dengan langkah cepat ia keluar dari lift yang membawanya ke lantai dua puluh. Setelah sampai di depan apartemen Veronica yang ia belikan, Aric segera menekan kode pintu.
Saat pintu terbuka Aric kejutan besar, seorang pria sedang berpacu di atas tubuh kekasihnya di atas sofa. Keduanya mengerang penuh kenikmatan hingga tak sadar dengan pintu yang baru saja terbuka.
"Emh ... kau menikmatinya ?" tanya laki-laki itu.
"Kau yang terbaik ... umh ..."
Mata Aric, ia melemparkan bunga dan coklat yang ia bawa pada dua orang yang sedang bergumul itu dengan panas.
"Ar ... Aric ...!" seru Veronica tergagap. Ia segera mendorong tubuh laki-laki yang ada diatasnya.
Laki-laki itu tersenyum miring, ia turun perlahan dari atas Veronica. Tak sedikitpun rasa bersalah tersirat di wajahnya. Yang ada ia malam menatap kakaknya dengan senyum mengejek. Ia meraih boxer miliknya, lalu segera memakainya.
Veronika gelagapan ia segera memunguti bajunya di lantai untuk menutupi tubuh polosnya. Wajahnya pias, ia terkejut dengan kedatangan Aric.
Aric berusaha mengontrol dirinya, menahan gemuruh yang meletup, seperti lava gunung berapi aktif yang siap meletus.
Ia memejamkan matanya sejenak, kemudian berjalan dengan tenang ke arah sofa, Aric mendudukkan diri berhadapan dengan dua orang paling memuakkan. Ia mengambil sebatang rokok, menyalakannya kemudian menghisapnya perlahan.
"Sayang, aku ...aku bisa menjelaskannya. Ini tidak seperti yang kau pikirkan," ucap Veronica tergagap.
Aric terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sampai ia tidak punya waktu untuk memanjakan kekasihnya. Merasa terabaikan, Veronica menerima dengan baik ahnan yang mulai mendekatinya. Meskipun ia menjalani hubungan gelap dengan ahnan, Veronica juga tidak ingin kehilangan aric.
"Tidak, kau tidak usah menjelaskan apa-apa. Ahnan memang lebih pantas untukmu," mendengar ucapan Aric membuat ahnan tersenyum sinis, bukan ini yang ia inginkan. Ahnan ingin melihat Aric meraung putus asa di hadapannya.
"Aku-
"Sampah memang pantas dengan sampah!" ucap Aric penuh penekanan.
"Kau tidak perlu marah Tuan Aric, kami hanya sedikit bermain," sahut Ahnan dengan santainya.
Ia berdiri melangkah mendekati aric yang sudah mengeratkan rahangnya. Ahnan mendekatkan wajahnya pada Aric.
"Kau sudah kalah, darah perawan miliknya sudah aku nikmati. Shhh .... Aku masih ingat bagaimana dia menggelinjang hebat karena aku, Aric," bisik Ahnan dengan mendesis.
Tubuh Aric menegang, ingin rasanya ia memukul kepala bajingan di hadapannya ini. Namun, aric tak ingin terbawa permainan Ahnan. Ia tahu benar bagaimana rupa asli dari pria itu, kalau masalah Vero. Bisa jadi ia di jebak atau ia yang merentangkan kedua kaki dengan suka rela, ia sudah tidak perduli. Yang Aric tahu Veronica telah mengkhianati kepercayaannya.
"Aku pergi, ambil saja wanita itu. Anggap saja itu sedekah untukmu." Aric meninggalkan apartemen itu, Ia menutup pintu dengan kasar di belakangnya.
Flashback off.
Betapa hancurnya hati Aric untuk kedua kalinya air mata pria itu jatuh, impiannya selama ini untuk membina rumah tangga hancur sudah. Kesetiannya dinodai dengan begitu kejamnya. Ia sangat menjaga Veronica, memperlakukannya bak ratu, menahan dirinya sebelum mereka sah dalam ikatan pernikahan.
Namun, apa ia hanya mendapatkan penghianatan atas cinta sucinya. Hatinya tersayat perih. Luka yang dialami oleh Aric terlalu dalam, tetapi ia berusaha untuk tenang. Ia tidak ingin dunia melihat sisi rapuhnya.
Lima tahun sudah berlalu, tetapi luka itu masih terasa perih. Membuat Aric enggan untuk membuka hatinya lagi.
"Kita sudah sampai, Tuan," tegur Hakim, membuyarkan lamunan Aric.
"Hem," jawab Aric singkat.
Hakim segera turun dari mobil, untuk mengambil koper. Sementara sang sopir membuka pintu untuk Aric.
Hotel mewah, kamar presidential suite. Aric segera membersihkan dirinya, setelah selesai dengan kasar ia menghempaskan tubuh di atas kasur super empuk yang berlapis sprei warna putih.
Kehidupan yang bergelimang harta, tak sesempurna yang terlihat. Seorang pewaris perusahaan Gulfaam corporation, dengan paras yang rupawan dan berwibawa, nyatanya hanya seorang pria rapuh, yang tak bisa sembuh dari patah hati. Bukan ia tidak bisa melupakan Veronica, tetapi ia belum bisa menyembuhkan lukanya.
Aric memejamkan matanya, sebuah senyum getir tersungging di bibir pria itu. Malam itu hatinya sangat terluka, tetapi ia juga menyakiti hati lainnya.
Aric membuka botol wine yang selalu menjadi teman di setiap malamnya. Nyatanya hati pria itu masih begitu rapuh untuk menerima luka hati ini. Bahkan sampai saat ini aric tidak ingin membuka hatinya untuk siapapun, meskipun sang ayah menjodohkannya berkali-kali. Namun, aric selalu menolaknya. Hatinya belum mampu untuk terluka lagi, penghianatan Veronica begitu membekas di hati aric.
Malam semakin larut, bulan purnama masih tersipu di balik awan tipis selepas hujan reda. Kelelahan setelah perjalanan dan perkerjaannya, Aric akhirnya terlelap setelah menghabiskan satu botol wine sebagai pengantar tidurnya.
Seorang wanita jatuh tersungkur di lantai, pipinya memerah dengan derai air mata yang seolah tak ingin berhenti mengalir. Baru saja dia didorong keras hingga jatuh tersungkur, wanita berusia 22 tahun kembali beringsut mendekati pria paruh baya yang tak lain adalah ayahnya.
"Maafkan lily Ayah," ucapnya dengan derai air mata.
Lily gadis berambut panjang itu bersujud di kaki sang ayah tak bergeming. Lily memekik keras saat rambut panjangnya ditarik kuat oleh sang ibu, tubuh Lily yang penuh lebam diseret hingga keluar rumah. Guntur kali ini hanya bisa diam, melihat putri pertamanya diperlakukan seperti itu, ia yang biasanya akan pasang padan saat Lily disakiti, kini terlihat tak perduli. Tak ada seorangpun yang berani menyentuh wanita itu. Namun, hari ini Guntur patah hati oleh anak kesayangannya itu.
"Ibu ... Ibu aku mohon, dengarkan Lily Bu." ujar Lily mengiba.
"Aku bukan ibumu, kamu hanya anak angkat!" hardik Ana.
Bagai disambar petir, Lily menggelengkan kepalanya. Ia tidak bisa percaya dengan apa yang diucapkan oleh wanita yang selama ini ia anggap sebagai ibu kandungnya. Meskipun Ana selalu membedakan ia dan adiknya. Namun, tak sedikitpun Lily mengira ia adalah anak angkat.
"Tidak! ini tidak benarkan Bu. Katakan, Ibu hanya sedang marah saja. Lily anak Ibu kan ... Lily anak ayah dan ibukan," cerca Lily dalam isaknya.
Ana hanya menatap sinis pada anak angkatnya itu.
Buk
Cindy melemparkan tas berisi baju dan barang-barang Sherly. Gadis muda itu menyeringai, menatap kakak angkatnya dengan tatapan jijik.
"Kasihan udah hamil nggak tau yang hamilin, sekarang tau kalau kamu hanya anak angkat di rumah ini. Makanya tahu diri dong, aku nggak nyangka lho anak kesayangan ayah ternyata murahan, sampai hamil gini," cibir Cindy dengan pongah.
Cindy memang selalu tidak suka pada kakaknya, ia merasa Guntur selalu pilih kasih pada mereka. Ayahnya itu selalu memanjakan Lily, sampai sang ibu memberi tahu padanya kalau Lily adalah anak yang di adopsi dari panti asuhan untuk pancingan agar Ana bisa hamil, dan memang Ana hamil setahun setelah mereka mengadopsi Lily.
Lily hanya bisa mencengkeram dadanya yang terasa sesak, sakit. Kenapa semua ini terjadi padanya. Ia menunduk dengan air mata yang mengalir semakin deras.
Guntur melangkah menyusul anak dan istri ke teras, ia ingin bertanya untuk terakhir kalinya pada gadis yang sudah ia anggap sebagai anak kandungnya sendiri. Lily mendongakkan kepalanya saat mendengar derap langkah berat mendekat ke arahnya.
"Ayah ... Lily anak Ayahkan? Lily putri Ayahkan?" tanya Lily dengan harapan semua yang ia dengar dari sang ibu adalah bohong.
"Lily, untuk terakhir kalinya ayah bertanya padamu. Siapa yang meghamilimu? Katakan, siapa ayah dari anak itu?!" tanya Guntur dengan nada tegas dan penuh amarah.
Lily menggelengkan kepalanya, ia benar-benar tidak tahu siapa laki-laki yang malam itu merenggut mahkotanya. Guntur semakin geram, ia tidak menyangka gadis itu akan melindungi bajingan yang sudah mencoreng nama keluarga Wiguna.
"Lily nggak tau, Pa." Gadis itu tertunduk.
"Lily Valencia Wiguna, hari ini papa memutuskan hubungan keluarga denganmu. Kau bukan lagi bagian dari keluarga ini!" tegas Guntur Wiguna penuh penekanan.
Mata Lily melebar mendengar ucapan ayahnya. Cindy menatap kakaknya dengan tatapan mengejek. Guntur membalikkan badannya, ia melangkah cepat masuk kedalam.
"Pergi sana, kamu bukan lagi Kakakku." Cindy pun masuk.
"Pergilah, jangan membuat kami malu, dan jangan gunakan lagi nama Wiguna." Ana mengikuti langkah anak dan suaminya, ia menutup pintu dengan kasar.
Lily masih mematung, dunianya sudah hancur. Malam ini begitu dingin dan sepi, langit hitam pekat tanpa permata, bahkan angin pun tak berhembus. Seolah semua sepakat untuk meninggalkan wanita yang tengah berbadan dua itu.
Apa salah Lily, dia bahkan tidak tahu siapa yang telah menodai malam itu. Lily hanya seorang karyawan magang yang ditugaskan menemani atasannya untuk dinas keluar kota, tepatnya di Jakarta.
Malam yang naas menimpa gadis itu, setelah menyelesaikan perkerjaannya, Sherly memutuskan untuk menginap di hotel tempat ia menemani atasannya untuk meeting. ia menolak untuk menginap di rumah atasannya karena tidak ingin merepotkan. Apalagi atasannya itu adalah seorang duda, Lily tidak ingin ada gosip yang menyebar di kantor. Apa lagi kala itu Lily merasa tubuhnya tidak nyaman.
Ia masuk ke kamarnya, saat laki-laki itu sudah ada di dalam sana. Ia bahkan tidak ingat bagaimana wajah pria yang telah merenggut kehormatannya. Semuanya terjadi begitu cepat, ia seolah tidak sadar dengan apa yang terjadi.
Keesokan paginya, Lily terbangun sendirian di kamar hotel itu, hanya amplop berisi uang yang ada atas nakas. Ia sungguh tidak tahu siapa yang telah merenggut kehormatannya. Dengan hati dan tubuh yang telah hancur, Lily keluar dari kamar itu, setelah membersihkan dirinya. Ia terpaksa memakai jas yang di tinggalkan pria brengsek yang telah memperkosanya, karena bajunya telah koyak tak berbentuk.
Sebulan setelah kejadian itu, sebuah kehidupan tumbuh di rahimnya. Lily berusaha menutupi hal ini, ia ingin mengaborsi janin ini, beberapa kali ia sudah mendatangkan dukun dan tempat aborsi, tetapi ia hanya berdiri tanpa punya keberanian masuk ke tempat yang ia datangi.
Sampai akhirnya malam ini datang, Cindy adiknya menemukan tespeck yang ia gunakan. Saat Lily pulang kerja, sang ayah sudah bersiap untuk mengintrogasi Lily, apa lagi pertunangannya dengan anak dari sahabat sang ayah sudah di tentukan.
Perlahan Lily bangkit, ia mengambil tas yang dilemparkan Cindy padanya. Kemana ia akan pergi malam ini? Lily melangkah dengan tidak pasti.
Malam yang pekat, wanita itu berjalan kemana kakinya menuntunnya. Air matanya jatuh berderai membasahi pipi, tangan dinginnya mengusap lembut perutnya yang masih rata.
"Aku hanya punya kamu sekarang," ucap Lily pada janin yang masih berumur tiga minggu itu.
Air mata menetes dari sudut mata lentiknya, sekian lama berlalu. Namun, kejadian itu seolah baru saja ia alami.
"Bunda ... Bunda, susu Adam mana?" panggil seorang anak berusia hampir empat tahun.
Lily tersentak dari lamunannya, ia kembali mengaduk susu coklat yang ada dihadapannya.
"Iya sebentar Sayang," sahut Lily, wanita itu mengusap jejak air mata di pipinya.
Setelah selesai, ia membawa susu yang di buatnya ke ruang tamu.
"Ini Sayang susunya, di habiskan ya," ucap Lily sambil mengusap lembut rambut putranya.
Adam mengangguk, ia segera menenggak habis susu yang di berikan oleh bundanya.
"Bunda hari ini Adam boleh nggak ikut kak Rafa jualan?" tanya Adam setelah menghabiskan susunya.
"Boleh, tapi Adam harus hati-hati. Harus nurut sama Kak Rafa."
"Hole, Makasih Bunda." Adam memeluk erat tubuh sang bunda.
"Oke, kalau begitu kita kerumah Tante Ayu sekarang, bunda udah telat nih."
"Siap Bos."
Keduanya pun pergi ke rumah kontrakan yang hanya berjarak lima puluh meter, dari rumah yang di kontrak Lily.
Seorang anak laki bersenandung riang, ia melompat kecil tanpa melepaskan pegangan tangannya dari seorang remaja, yang mengandeng tangan mungil Adam.
Tangan lain remaja laki-laki berusia dua belas tahun itu, menjinjing sebuah keranjang berisi gorengan yang masih hangat.
Keduanya berjalan menuju sebuah proyek pembangunan pabrik, Rafa biasanya memang menjajakan gorengan itu di sana. Gorengan yang dibuat oleh sang ibu.
"Adam jangan lompat-lompat terus, kakak capek," Keluh Rafa.
"Kan adam yang lompat, kenapa Kak Rafa yang capek," jawab Adam santai.
Rafa hanya bisa menghela nafasnya mendengar jawaban Adam. Setelah mereka sampai di proyek, pas saat para pekerja beristirahat untuk makan siang. Rafa pun menghampiri para pekerja yang sedang ngaso, untuk menawarkan gorengan yang ia bawa.
"Gorengannya Pak," ujar Rafa menawarkan pada segerombolan orang yang sedang duduk lesehan di tanah, ada yang mengunakan kayu yang di tumpuk sebagai tempat duduk.
"Ada apa aja?" tanya seorang pria paruh baya yang memakai baju kuning yang warnanya sudah pudar.
"Bakwan sayur, tempe, tahu isi sama pisang," jawab Rafa lugas.
"Boleh deh, 3000," jawab pria itu.
"Aku 2000, Fa. Tahu isi aja."
"Aku campur 5000, cabenya banyakin," sahut seorang lainnya.
Rafa tersenyum lebar sambil mengangguk penuh semangat.
"Adam duduk aja ya, Kak Rafa mau melayani pembeli," ujarnya pada Adam.
Adam mengangguk patuh, ia berjongkok di samping Rafa. Rafa membuka keranjang yang ia bawa. Dengan cekatan ia mulai mencapit satu persatu goreng ke dalam plastik sesuai pesanan pembeli, orang-orang mulai mendatangi Rafa dan membeli gorengannya. Adam yang merasa bosan, diam-diam meninggalkan Rafa yang sibuk dengan pembeli.
Anak kecil itu pergi tanpa sepengetahuan Rafa, di umurnya sekarang Adam memang sedang aktif mengeksplorasi apa yang ada di sekelilingnya. Meskipun ini bukan pertama kali ia ikut Rafa berjualan di proyek, tetapi Adam selalu senang menjelajah.
Seekor kucing berwarna oranye menarik perhatian Adam, kucing itu duduk diatas tumpukan sak semen sambil sibuk menjilati tubuhnya.
"Hey kucing, main sama aku yuk," ajak Adam dengan matanya yang berbinar. Adam sangat suka dengan hewan berbulu itu, sayangnya pemilik kontrakan tempat ia dan ibunya tinggal, tidak memperbolehkan memelihara hewan peliharaan.
Kucing itu berhenti menjilati, ia menatap pada Adam dengan malas. Dengan gesit, kucing itu melompat kemudian berlari menjauh. Mungkin dia terganggu dengan Adam, tak tinggal diam Adam pun turut berlari mengejarnya.
.
.
.
.
.
Sebuah mobil mewah warna hitam melesat cepat membawa orang penting di dalamnya, seorang pria yang memiliki kekuasaan untuk melakukan apapun yang ia inginkan. Pria itu duduk dengan begitu tenang dan angkuh, ia memeriksa dengan teliti tiap lembar laporan yang ada di tangannya.
"Percepatan pembangunan pabrik itu, aku ingin tempat selesai dua bulan kedepan," ucapnya seraya menutup map yang ada di tangannya.
"Baik Tuan," jawab Hakim singkat.
Mobil yang mereka tumpangi akhirnya sampai di proyek, dengan sigap sang sopir membelokkan mobil memasuki gerbang yang terbuka. Seorang satpam mengangguk hormat menyambut kedatangan mereka.
Kucing yang dikejar oleh Adam berhenti tepat di tengah jalanan tanah,. melihat itu Adam menyeringai kecil. Tak perduli dengan teriknya panas yang menyengat, dan tubuhnya yang kotor akibat beberapa kali jatuh saat mengejar si kucing.
"Hehehe... mau kemana lagi kamu Pus." Adam berjalan mengendap-endap mendekati kucing itu, sayang. Saat Adam sudah dekat dan melompat untuk menangkap, kucing liar itu malah berlari. Alhasil Adam jatuh tertelungkup.
"Kucing nakal, di ajak main malah kabur lagi," umpatnya kesal. Adam perlahan berdiri tangan Adam terasa panas akibat bergesekan dengan tanah, lututnya berdarah, tetapi Adam tidak menangis.
Ia mencoba melangkah untuk mencari kucing liar itu lagi, meskipun dengan langkah yang tertatih. Saat itu sebuah mobil melaju kearahnya dengan kecepatan cukup tinggi, Adam tidak bisa berlari menghindar karena luka di kakinya.
Braak...
Tabrakan dihindarkan, mobil tidak berhenti tepat waktu.Tubuh mungil Adam terpental, berguling beberapa kali di tanah hingga akhirnya menabrak tumpukan kayu. Darah segar pun mengalir dari tubuhnya.
"Adam!" teriak Rafa, ia melempar keranjang yang dibawanya. laki-laki kecil itu berlari menghampiri tubuh mungil Adam yang terkapar di tanah.
"Apa yang terjadi?!" tanya Aric.
Wajah si sopir pucat pasi, dengan ragu ia menoleh kebelakang. Tatapan Aric tajam menusuk ke jantung, membuat sopir itu semakin ketakutan.
"Jawab! Kenapa kau diam?" tanya hakim kesal.
"A..Anu ...Tuan, saya tidak sengaja menabrak anak kecil," jawab sopir itu tergagap saking takutnya.
"Apa? Anak?!" Hakim memelototkan mata terkejut, di tempat seperti ini seharusnya tidak boleh ada anak kecil.
Sopir itu mengangguk mengiyakan. Tenggorokannya tercekat seperti tercekik, ia menunduk ketakutan.
"Kim, cepat bereskan," titah Aric.
"Baik Tuan."
"Kau! turun denganku," ucap Hakim sambil membuka pintu mobil, sopir itu mengangguk dan cepat mengikuti langkah Hakim.
Beberapa pekerjaan sudah mengerumuni korban, salah satu dari mereka mengangkat tubuh mungil yang bercucuran darah itu.
"Adam ...Adam ...!" Rafa terus memanggil nama anak kecil itu.
Hakim melangkah cepat membelah kerumunan, matanya terbelalak melihat kondisi anak kecil itu. Hakim mendelik tajam pada sopir yang berdiri disampingnya. Sopir itu hanya bisa menunduk dia, ketakutan.
"Siapa anak ini, kenapa dia ada di sini?" tanya Hakim.
"Dia ... Adik saya Pak, dia ikut saya jualan gorengan," jawab Rafa dengan sesegukan.
Hakim melemparkan tatapan pada para pegawai proyek. Mereka mengangguk mengiyakan ucapan Rafa.
"Hubungi ambulans, dan kau ikut denganku!" Hakim menarik tangan Rafa.
Seorang pekerja yang mengendong tubuh Adam, melihat pada teman-temannya. Ia merasa tidak tega jika harus membiarkan Adam menunggu kedatangan ambulans, dengan keadaannya yang sudah banyak kehilangan darah.
"Tuan, bisakah Tuan membawanya ke rumah sakit, saya khawatir dia tidak bisa bertahan," ucapnya takut-takut. Ia tahu, orang yang ada di hadapannya ini adalah orang penting.
Hakim terdiam sejenak, benar apa yang dikatakan pekerja itu benar.
"Kau, gendong dia. Antar kerumah sakit sekarang," ucap Hakim pada si sopir.
"Ba ...Baik Tuan." Sopir itu mengambil Adam yang terlihat pucat dari tangan perkerjaan yang mengendongnya.
Ia kemudian mengikuti langkah Hakim, yang sudah terlebih dahulu berjalan kearah mobil sambil menarik tangan Rafa.
Aric sudah menunggu di luar mobil, dengan
punggung yang ia sandarkan di mobil.
"Tuan, kita harus membawa anak ini ke rumah sakit. Lukanya cukup parah," lapor Hakim. Meskipun Hakim tahu Aric tidak suka dengan hal yang merepotkan seperti ini, akan tetapi ini keadaan yang sangat darurat.
Dengan enggan Aric melihat anak yang ada dalam gendongan sopir, ia cukup terkejut melihat wajah anak itu. Namun, dalam sekejap wajahnya kembali datar.
"Hem, Kenapa masih berdiri cepat masuk."
Hakim terkejut, ia kira sang tuan akan menolak untuk membawa Adam dengan mobil mereka.
"Kenapa masih diam? Cepat masuk," titah Aric. Hakim segera masuk ke mobil, ia duduk di kemudi mobil mengantikan si sopir.
Rafa duduk di depan bersama Hakim, sementara si sopir duduk di belakang dengan Aric. Rafa terus saja menangis, ia ketakutan melihat tubuh Adam yang bersimbah darah. Hakim mulai mengendarai mobilnya menjauh dari proyek, menuju rumah sakit terdekat.
"Hey, siapa namamu? dan siapa anak kecil ini?" tanya Aric tiba-tiba.
"Sa... Saya Rafa, dia Adam anak Tante Lily," jawab Rafa dengan suaranya yang serak, ia berusaha menyusutkan air matanya.
"Dia bukan Adikmu?"
Rafa menggelengkan kepalanya cepat. Hakim terkejut dalam hatinya, Aric yang biasanya tidak perduli dengan urusan orang lain, kenapa tiba-tiba tertarik dengan bocah yang tidak sengaja mereka tabrak itu. Bahkan tatapannya tak lepas dari anak itu.
"Tante Lily berkerja, jadi Adam di titipkan pada ibuku," jawab Rafa, Aric mengangguk mengerti.
Tak berapa lama akhirnya mereka sampai di rumah sakit swasta yang ada di desa itu, Adam segera di bawa ke UGD untuk mendapatkan perawatan.
Sementara itu, Rafa di antara ke tempat kerja ibunda Adam untuk memberitahu apa yang terjadi pada anaknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!