Tinggal di kota besar dengan berbagai permasalahan di dalamnya kadang membuatku pusing tujuh keliling. Pekerjaan yang aku geluti sungguh menguras tenaga dan fikiran. Perkenalkan namaku Sarah Ayunda,aku anak perempuan pertama di keluargaku. Apakah ada yang bertanya apakah aku tulang punggung??yupp benar sekali.
Lupakan tentang itu.. sekarang aku sedang dikejar deadline yang membuatku ingin muntah rasanya.
"Ayu..." aku memutar bola mata malas sekali rasanya.
Seorang pria paruh baya tersenyum lebar melihat raut wajahku.
"Nama saya Sarah...S-A-R-A-H"sahutku kesal.
"Nama panjang kamu siapa??"ujarnya lagi.
"Sarah ayu..."aku menggantungkan ucapanku karena telah salah menjawab pertanyaan yang tidak penting itu.
Pria 37 tahun itu kembali tertawa seperti sengaja mengejekku.
"Mana berkas yang saya minta"ujarnya dingin.
Panji Gumilang pria paruh baya yang menyebalkan. Andai saja dia bukan bos di kantor ini mungkin sudah ku tendang sampai ke kutub Utara, tanpa sadar aku tersenyum sendiri.
"Kenapa kamu senyum-senyum,udah gila"
Aku tersadar dari lamunan dan segera memberikan berkas yang sedari tadi membuat kepalaku pusing tujuh keliling.
"Kalau sampai salah lagi,kamu keterlaluan.."ujarnya sembari berlalu.
Sumpah serapah keluar dari mulutku walaupun tanpa suara. Walau bagaimanapun aku masih butuh pekerjaan ini karena aku bukan anak orang kaya.
"Sarah....ayo makan siang"
Suara bariton Dimas mampir di gendang telingaku.
Tanpa berpikir panjang aku pun segera mengikuti pria manis itu.
Bukan bestie..Dimas bukan pacarku dia hanya.. entahlah apa sebutannya. Yang jelas kami tidak berpacaran.
"Kamu mau makan apa??"ujarnya sembari menggenggam tanganku.
"Aku ingin makanan yang berkuah dan pedas.."
Dia tertawa dan mengacak rambutku.
"Kita makan bakso kalau begitu"
Aku mengangguk dan tersenyum sembari membalas genggaman tangannya.
Dimas putera Anggara.. laki-laki yang sudah dua tahun ini menemani ku menjalani hari-hari yang melelahkan. Tidak ada ajakan pacaran ataupun ajakan yang lainnya dari pria jangkung itu. Tapi dia selalu ada di sisiku dalam kondisi apapun.
(Kapan kamu transfer, adikmu sudah minta uang lagi)
Sebaris kalimat yang membuat siangku semakin badmood.
Semangkok bakso dan segelas es jeruk sudah tersedia di depanku. Tapi rasa lapar itu menguap entah kemana.
"Kenapa..?ada yang kurang"
Aku menggeleng dan menunjukkan isi pesan padanya.
"Aku harus secepatnya punya sugar Daddy"..ujarku sambil tertawa.
Dimas ikut tertawa dan kembali mengunyah bakso yang dia pesan.
"Kenapa kamu gak pacarin aja si Panji"ujarnya lagi.
"Dih..kamu pikir dia mau sama aku"
Kami sama-sama tertawa, entah apa yang kami tertawakan. Tapi setidaknya itu mengobati sedikit rasa kesal di dalam hatiku.
"Kamu butuh berapa..? pakai saja dulu uangku"ujar Dimas menatap mataku.
Aku mengibaskan tangan sembari menyeruput es jeruk yang sisa setengah.
"Besok juga udah gajian,jadi jangan repot-repot"
Dimas sepertinya ingin mengatakan sesuatu tapi tidak jadi karena melihat duo bucin berjalan ke arah kami berdua.
"Heran gue sama elu berdua,makan siang gak ngajak-ngajak"ujar perempuan berkemeja putih berbelahan dada rendah.
Pria disampingnya hanya tersenyum dan menarik dua kursi untuk bergabung bersama kami.
Niken dan Ardi..duo sejoli di kantor yang kerjaannya nempel terus seperti pakai lem Korea.
"Sayang..pesen dulu sana,aku tunggu disini"ujar Niken dengan suara yang terdengar seperti sedang mendesah.
Aku terkekeh geli mendengarnya,Dimas hanya menggelengkan kepala tanpa berbicara sepatah katapun.
Setelah mandi dan keramas rasanya beban di kepalaku sedikit berkurang. Aku menolak tawaran Dimas dan kawan-kawan untuk ngopi di cafe ternama di kota ini. Bukan karena tak ada uang tapi aku hanya ingin segera merebahkan tubuh setelah melewati hari yang panjang.
Aku berniat membalas pesan dari ibuku, setelah tadi aku mengabaikan pesannya. Belum sempat aku mengirimkan pesan ke nomor ibu,sebuah pesan masuk dari tante Tiara adik bungsunya ibu.
(Tante harap kamu mau membantu ibu mu untuk menyekolahkan adik-adikmu nduk)
{apa kabar tante?? maaf maksud tante bagaimana ya?}
(Kabar tante baik nduk,kamu sendiri bagaimana?? Tante sangat sedih mendengar ibu mu membicarakan hidupnya, betapa susahnya beliau mencari uang untuk menyekolahkan Sasha dan Tora)
(Kamu sudah dua tahun bekerja tapi tak pernah sepeserpun mengirimkan uang pada ibumu,maaf ya nduk tante gak berniat ikut campur tapi sebagai seorang anak alangkah baiknya kita membantu sebisa kita)
Mataku berkaca-kaca membaca pesan itu,apa yang sudah ibu bicarakan di belakangku sehingga sekelas tante Tiara saja sampai menegurku seperti itu.
(ibumu sering sekali mengatakan kamu anak durhaka nduk..tante sedih mendengarnya. karena tante tahu kamu anak yang baik)
{Iya Tante..Sarah akan ingat ucapan tante}
Setelah balasan pesan berbasa-basi aku pun pamit untuk tidur. Padahal mataku benar-benar tidak mengantuk. Aku menangis sejadi-jadinya, benarkah ibu selama ini berbicara buruk tentangku.
Aku terbangun dengan mata sembab, sepertinya semalam aku tertidur setelah menangis. Dengan cepat aku mengambil beberapa butir es batu supaya aku bisa mengompres mataku.
Nada dering handphone terdengar nyaring,aku membuka mata dan melihat nama yang tertulis.
"Iya Dim...kenapa??"
"Udah bangun? cepet mandi nanti aku jemput"
Panggilan itu berakhir tanpa menunggu jawaban dariku.
Aku masuk ke dalam kamar mandi dengan malas,mata ku sedikit lebih baik dari setelah bangun tadi.
Dengan polesan make up yang sangat tipis aku mematut wajahku di cermin. Pagi ini sengaja aku memakai kacamata untuk menutupi sembab yang masih sedikit terlihat.
Motor merah menyala sudah terparkir di depan pagar. Dimas melambaikan tangannya,aku hanya tersenyum sambil berjalan ke arahnya.
Dengan hati-hati Dimas memakaikan helm di kepalaku. Aku hanya berdiri mematung tanpa ekspresi.
"Mau sarapan apa tuan putri?"
"Aku mau bubur ayam"jawabku cepat.
Dia tertawa dan segera memintaku untuk naik ke atas kuda besinya itu.
Sepanjang perjalanan tak ada percakapan di antara kami. Dimas pun hanya memegang lututku dengan sebelah tangannya.
"Aku bubur gak di aduk,by the way"ucapku saat Dimas mengaduk buburnya menjadi satu.
Pria itu hanya tertawa geli melihat ekspresi di wajahku.
"Ada apa..?"ujarnya tiba-tiba.
Aku berhenti menyuapkan bubur ke dalam mulutku.
"Tak ada ..."
"Terus matamu yang bengkak itu.."
"Hanya kurang tidur.."ku iringi kebohonganku dengan tertawa.
Nada dering pesan terdengar dari ponselku. Aku melihatnya dengan malas .
(Jangan lupa segera transfer ibu)
Aku tidak berniat untuk membalasnya,biar saja nanti saat sudah akan transfer baru aku akan membalas pesan dari ibu.
"Hari ini gak jadi gajian.."
Aku terbatuk mendengar penuturan Dimas.. Pria itu memberikan minum sambil mengusap punggungku.
"Kenapa.."
"Ada beberapa masalah yang harus di selesaikan dulu, mungkin besok atau lusa gaji baru turun.."
Tanpa sadar air mataku lolos begitu saja..Rutin di transfer saja ibuku melabeli aku anak durhaka, apalagi nanti saat tahu aku belum juga mentransfer uang saat tanggal gajian sudah datang..
Saat pertama kali menjadi anak satu-satunya aku begitu di manja. Ayahku adalah seorang pria yang bertanggung jawab walaupun pekerjaan yang di tekuninya kadang hanya cukup untuk kami makan.
Ibuku hidup bahagia bersama ayah dan aku. Hingga lahirlah adik-adik ku yang membuat ayah tidak betah tinggal di rumah kami. Ayah sering menghabiskan waktunya dengan teman-teman atau dengan keluarganya. Meninggalkan ibu dengan tiga anak yang masih kecil-kecil.
Semakin hari Ibu menjadi sosok pemarah bagi kami anak-anaknya. Tak ada lagi tawa dan canda dari bibirnya. Hanya teriakan dan umpatan terdengar dari rumah sederhana kami.
Bertahun-tahun ibu hidup seperti itu walaupun ayah masih bertanggung jawab memberi ibu nafkah tapi hidup hanya bukan nafkah saja bukan..! Sampai pada akhirnya ayahku meninggal dunia. Mobil yang di kendarainya menabrak pembatas jalan dan ayah meninggal di tempat.
Aku dan kedua adikku menangisi kepergian ayah yang begitu mendadak. Sedangkan Ibu tak ada setetes pun air mata jatuh di pipinya. Ibu begitu tegar mengurus semua keperluan pemakaman dan mengurus kami yang tak bisa menerima kepergian ayah.
Setelah kepergian ayah, Ibu bekerja sebagai Asisten rumah tangga di sebuah rumah mewah yang jauh dari rumah. Ibu pulang setiap hari sabtu sore menemui kami yang hidup bertiga saja dirumah. Waktu itu usiaku sebelas tahun jadi ibu memintaku untuk mengurus kedua adikku yang berusia tujuh dan enam tahun.
Apakah kalian bertanya-tanya tentang keluarga kami yang lain..Kami tak punya siapa-siapa selain ibu, karena ibu dan ayahku menikah tanpa restu kedua orang tua mereka. Bahkan saat ayah meninggal tak ada satupun keluarga yang datang, baik dari pihak ibu atau ayahku.
Pernah sekali aku bertemu dengan adik bungsu ayahku. Dengan congkaknya dia berkata :
"Ketika ayahmu masih hidup saja kami tidak ingin menganggap kalian keluarga apalagi ayahmu sudah mati"
Anak usia sebelas tahun sudah mengerti rasanya sakit hati dan itu akan selalu ku ingat hingga aku dewasa kelak,batinku.
Sifat pemarah ibu semakin menjadi bahkan ibu sering memukul adik-adikku karena kelakuan nakal mereka. Tapi itu tidak pernah berlaku padaku. Ibu tidak pernah memukuliku walaupun umpatan kasar masih mampir di gendang telingaku.
Demi kedua adikku tetap mengenyam pendidikan aku rela hanya tamat sekolah menengah atas. Aku tidak ingin menambah beban ibu ku. Dari dulu sampai sekarang hanya aku anaknya ibu yang tidak pernah sedikitpun membantah ucapannya. Walaupun menurut hatiku diri ini benar aku tetap diam demi menjaga perasaan ibu.
Setelah aku bekerja ibu berhenti bekerja. Akulah yang meminta ibu untuk tetap tinggal di rumah supaya adik-adik ku ada yang mengawasi.
Setiap bulan aku mengirimkan semua gajiku,aku hanya mengambil uang lemburan yang tidak seberapa. Bahkan bisa berhari-hari aku hanya makan mie instan supaya uangku tetap cukup sampai akhir bulan.
Aku tidak pernah mengeluh karena aku tahu semua yang ku lakukan tidak sebanding dengan pengorbanan ibu yang membanting tulang untuk kami anak-anaknya.
Dua tahun merantau aku tidak pernah pulang bahkan saat hari raya. Karena masuk kerja ketika hari raya uangnya bisa menambah transferan untuk ibu.
Apakah ibu atau adik-adikku tidak komplain..? Tidak... mereka tidak pernah menanyakan apapun padaku. Pesan masuk hanya sebatas kapan mentransfer uang.
Jujur saja terkadang aku berfikir aku hanya sebatang kara di dunia ini. Tak ada tempat untuk sekedar merebahkan kepala saat hati tidak baik-baik saja..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!