NovelToon NovelToon

Cinderella Gila

Aku tidak ingin mati

"Jangan berenti!" Teriak seorang gadis pada gadis lain di depannya.

Dua orang gadis berlari sekuat tenaga dikejar oleh beberapa orang laki-laki. Melewati gelapnya malam dan sepinya jalanan yang biasanya ramai dipenuhi orang, mereka berdua mempertaruhkan nyawanya.

Waktu menunjukan pukul 2 malam, saat dimana kebanyakan orang sudah tertidur pulas. Disaat orang lain menikmati ketenangannya, orang yang lainnya justru tengah melewati ketegangan. Siklus hidup yang sudah sangat wajar, namun membuat beberapa lainnya iri.

Meski telah mengerahkan seluruh tenaga mereka, kedua gadis itu tetap tidak dapat membuat mereka tertinggal. Jarak orang-orang yang mengejar mereka berdua justru semakin dekat.

"Kiri!" Teriak gadis yang berada dibelakang saat melihat ada sebuah gang atar bangunan di depan mereka.

Cukup beresiko, karena tikungan dapat memperlambat dan mempersempit jarak mereka dengan orang-orang yang mengejar mereka. Ditambah, semakin sepi tempat itu, maka akan semakin berbahaya bagi orang yang diserang.

Tepat setelah memasuki gang, gadis yang berada di belakang berhenti seketika dan mengayunkan tongkatnya keluar gang. Ayunan tongkatnya pun mengenai leher orang yang berada tepat dibelakangnya.

Terkejut sambil merasakan sakit, laki-laki itu berhenti tiba-tiba dan membuat orang yang berada di belakangnya menabraknya satu-persatu.

Gadis itu kemudian memanfaatkan momen tersebut untuk membuat jarak di antara mereka.

Orang-orang yang memiliki cukup waktu untuk menghindar, melewatinya begitu saja tanpa menghiraukan temannya yang kesakitan dan fokus mengejar para gadis itu.

Bukannya tidak peduli, mereka percaya bahwa temannya akan baik-baik saja, dan lagi, jika gadis itu tertangkap, mereka akan lebih leluasa untuk membalasnya.

Cukup lama mereka berlari. Saat gadis yang berada di depan fokus berlari, gadis yang berada di belakangnya melakukan berbagai hal untuk memperlambat pergerakan orang-orang yang mengejarnya.

Nafas gadis itu memendek, tenaganya hampir terkuras habis. Ia khawatir jika terus begini, hanya masalah waktu bagi mereka untuk tertangkap dan ia tidak akan sanggup melakukan perlawanan karena sudah kelelahan.

Cukup dalam mereka memasuki gang itu, namun bukannya jalan keluar, mereka justru disambut oleh tembok-tembok bangunan yang memutup semua akses kecuali jalan mereka masuk.

Tidak ada satu pun persimpangan jalan sejak mereka memasuki gang kecil itu. Sedari awal, gang itu memanglah jalan buntu.

Panik sekaligus putus asa tergambar jelas di raut wajah gadis yang memimpin jalan. Apakah hanya sampai disini pelarian mereka? Rasa sesal yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya mulai bermunculan di benaknya kurang dari 1 detik.

Ia merasa telah menyia-nyiakan waktunya selama ini. Ia sangat tidak puas dengan kehidupannya karena masih belum melakukan yang terbaik. Perasaan menolak kematiannya semakin meningkat setiap milidetik.

Air matanya mengalir di kedua pipi. Batinnya berteriak,

'Aku tidak ingin mati!',

sambil menengok ke belakang seakan ingin membuat orang-orang yang mengejarnya memahami dan mengampuni nyawanya.

Slash!

Darah segar terciprat di sepanjang dinding di sisi kanan gadis yang sedari tadi berada di belakangnya.

Matanya terbelalak menyaksikan kengerian yang terjadi tepat di depan matanya, yang hanya berjarak sekitar 3 meter dari tempatnya berdiri.

Ia dapat menyaksikannya dalam pergerakan lambat, saat dimana pedang itu baru saja menebas seseorang, dan aliran darah yang mengalir ke atas menuju ujung mata pedang kemudian berakhir di dinding.

Bukan darah dari gadis di depannya yang terlukis di sana, melainkan darah dari salah satu orang yang mengejar mereka. Saat kesadaran dirinya kembali, kecepatan matanya juga sudah kembali normal.

Salah seorang yang lain, yang berada di belakang laki-laki yang terluka itu, menghunuskan pisaunya untuk melakukan serangan tiba-tiba dari sela lengan temannya. Namun gadis itu dapat menghindarinya dengan mudah dan mengayunkan kembali pedangnya, memotong tangan yang berada tepat di depannya.

Begitu mudah dan tanpa belas kasih.

Darah tersimbur keluar dari potongan lengannya diiringi dengan teror yang tergambar di wajahnya. Sebelum semburan darah sempat mengenai gadis itu, ia menendang mereka berdua menjauh.

Laki-laki itu berteriak kesakitan sambil memegangi tangannya, membuat teman-teman satu komplotannya merinding.

Mereka langsung mengeluarkan pisau dan pedang mereka. Salah seorang temannya berusaha menghentikan pendarahan mereka berdua dan kemudian mengajaknya pergi untuk mendapatkan perawatan lanjutan.

Gadis itu tidak punya pilihan lain selain membiarkannya pergi karena ada dua orang lain yang menghadangnya.

"Mati kau, s*alan!"

Orang yang membawa pedang mulai melancarkan serangannya, selagi orang yang satunya bergerak kesamping berniat mengepung. Gadis itu melangkah mundur untuk menjaga jarak sembari mengawasi orang yang membawa pisau.

"Kalo harus mati,"

Gadis itu menangkis serangan berikutnya dan mendorong pedangnya menjauh. Dengan cepat gadis itu kemudian mempersempit jarak mereka dalam satu langkah, membuat laki-laki dengan pedang panjang itu tidak bisa menyerang dan langsung menikamkan pisau tepat di leher laki-laki itu. Pisau yang ia ambil saat memotong tangan salah satu temannya.

"Gua mending mati di dunia gua sendiri." Lanjutnya sambil mencabut pisau dari leher orang itu.

"Lo pikir gua mau kejebak disini?"

Namanya Ashley, bukan orang baik-baik dan tidak berniat menjadi orang baik. Karena satu dan beberapa hal, ia terjebak di dunia era kerajaan yang memiliki beberapa kesamaan dengan dunianya.

Namun permasalahannya adalah, jiwanya memasuki tubuh seseorang yang ditakdirkan mati dalam waktu dekat. Lucunya lagi, orang itu adalah salah satu tokoh di dalam novel.

Sebuah novel politik pemberian ibunya, yang bahkan ia tidak ingat judulnya. Novel yang menceritakan mengenai seorang laki-laki bernama Klaus mendapatkan tahta tertinggi dari persatuan kerajaan dengan kelicikan dan kemampuannya. Novel yang sangat tidak dianjurkan untuk dibaca oleh anak dibawah umur.

Dalam novel itu disebutkan bahwa Ashelia, tubuh yang saat ini ia rasuki, akan mati pada usia 21 tahun, yang adalah usianya saat ini, dikarenakan perselisihan antara faksi barat dan timur. Hal itulah yang akhirnya membuat Klaus harus melawan salah satu temannya sendiri.

Tentu Ashley tidak peduli dengan permasalahan Klaus atau antar faksi. Ia hanya ingin kembali ke dunianya.

Masalah lainnya adalah, ia dipanggil melalui sebuah ritual terlarang dimana ia harus membalaskan dendam si pemanggil agar bisa kembali ke dunianya.

Bukan hanya tidak mengetahui siapa target balas dendamnya, ia juga dipojokan oleh waktu. Selagi mencari tahu siapa targetnya, Ashley juga harus berusaha menghindari kematiannya.

Salah satunya adalah kematian Putri Kalia, gadis yang saat ini bersamanya. Karena dugaan balas dendam akibat sering dibuli, kematian Kalia akan membuat Ashelia menjadi tersangka utama dan membuatnya berakhir dijatuhi hukuman mati.

Meski didalam novel Ashelia mati saat melarikan diri dari hukumannya, dieksekusi juga tetap berarti mati. Semua hanya masalah waktu, mana yang lebih dulu ia temui.

Karena itu, meski tidak menyukai Kalia, Ashley harus menolongnya menghindari kematian.

"Nunduk!" Teriak Ashley.

Kalia langsung meringkuk sambil menutup matanya. Kedua tangannya memeluk kepalanya seolah melindungi dirinya dari sesuatu dan membiarkan pedang Ashley menebas kepala orang yang hendak menjadikannya sandra.

"Dengerin kalo gua lagi ngomong, anj*ng."

Kalia membuka matanya saat mendengar suara sesuatu terjatuh di dekatnya. Betapa kagetnya saat ia mendapati potongan kepala tergeletak di depannya.

Seketika Kalia memuntahkan semua isi perutnya. Ia terus mutah hingga kepalanya terasa sangat sakit. Ashley menendang kepala orang itu menjauh, khawatir jika gadis lemah itu akan mati karena muntah berlebihan.

^^^Bersambung...^^^

...Dewi?

Beberapa bulan sebelum prediksi kematian Kalia.

Seorang gadis duduk di kursi rodanya dan berjalan menuju jendela besar yang ada di kamarnya. Ia berhenti dan mengamati sesuatu yang ada di luar jendela. Dari lantai tiga, ia memperhatikan kereta kuda yang beranjak pergi meninggalkan halaman luas kediamannya.

Matanya mengikuti pergerakan kereta itu tanpa berkedip, seakan tidak ingin melewatkan hal apapun. Jantungnya berdegup kencang, ia menjadi sangat gugup karena ini adalah kesempatan yang mungkin tidak akan datang lagi. Ini adalah momen yang sudah ia nantikan sejak lama.

"Ayo."

Bersama dengan pelayan pribadinya, mereka berdua bergegas keluar.

Tangan gadis itu gemetar saat pelayan pribadinya membantu memapahnya menuruni tangga. Tiap langkah kakinya terasa lebih lemah daripada biasanya. Kegelisahannya meningkat seiring dengan berjalannya waktu.

Sesampainya di bawah ia bertumpu pada pegangan tangga namun tangannya masih tidak juga berhenti gemetar.

Setelah semua usaha yang telah ia kerahkan selama 1 tahun terakhir ini, ini adalah langkah terakhir yang harus ia lakukan. Keinginan untuk mencapai keberhasilan dan tidak bisa menerima kegagalanlah yang membuatnya sangat gugup. Seakan tidak akan ada hari esok jika ia tidak berhasil.

Setelah pelayan pribadinya kembali dengan kursi rodanya, mereka pun segera keluar meninggalkan rumah megah itu.

Memang ia berencana pergi diam-diam, namun tidak bisa dipungkiri jika ada beberapa orang yang melihatnya, mengingat matahari masih bersinar terang. Orang-orang itu adalah para pekerja yang bekerja di rumahnya.

Meski begitu, hal itu bukan masalah baginya. Orang yang ia waspadai adalah kedua orang tuanya, bukan mereka. Buktinya saat para pekerja di rumahnya melihat mereka pergi, tidak ada satu pun yang peduli.

Begitu keluar dari pintu utama, kereta kuda keluarga gadis itu sudah menunggu di luar. Dibantu pelayannya, gadis itu masuk ke dalam kereta. Mereka pun berangkat ke tempat tujuan. Bukan tujuan utama, hanya tempat transit untuk sedikit mengelabuhi kusir yang mengantarnya.

Sampailah mereka di sebuah restoran yang baru beberapa waktu lalu dibuka. Ia meminta kusir itu kembali tanpa harus menunggunya karena akan memakan waktu lama. Tanpa basa basi, kusir itu langsung kembali ke kediaman gadis tersebut, seakan tidak ingin bersama dengan mereka sejak awal.

Setelah kusir itu pergi, mereka bergegas pergi ke tempat tujuan mereka yang sebenarnya. Mengenakan jubah dan memesan kereta kuda baru, mereka pun pergi menuju sebuah pegunungan di bagian selatan kota.

Saat gadis itu masih belum bisa menenangkan rasa gugupnya, pelayan pribadinya memiliki kekhawatiran lain. Ia terus mengawasi bagian belakang memastikan bahwa tidak ada yang mengikuti mereka.

"Apakah ini cukup, Nona? Anda yakin tidak ada yang mengikuti kita?"

"Dia tidak akan peduli kemanapun aku pergi. Restoran itu hanya untuk antisipasi agar mereka tidak bergosip dan membuatnya penasaran." Jawab gadis itu.

Sekitar 30 menit kemudian, sampailah mereka di depan sebuah desa yang berada di kaki gunung Halla. Sebelum ada penduduk desa yang melihat, mereka langsung pergi ke arah hutan menuju gunung.

Jalan tanah yang tidak rata karena batu dan akar mempersulit perjalanan mereka. Gadis itu hanya bisa mengandalkan pelayannya yang berusaha keras mengendalikan kursi roda miliknya.

Beberapa kali terselip, tergelincir, bahkan hingga terjatuh, namun mereka tetap melanjutkan perjalanan yang melelahkan itu.

Lebih dari 2 jam mereka berada di dalam hutan namun belum juga sampai ke tujuan. Mereka memilih jalan yang lebih landai agar lebih mudah dilewati namun memakan waktu lebih lama.

Semakin lama, pelayannya semakin meragukan keberadaan tempat yang ingin dicapai gadis itu. Jelas gadis itu belum pernah pergi kesana, bagaimana bisa ia mengetahui keberadaan tempat itu.

"Anda yakin ada tower di sini, Nona?"

"Aku yakin."

"Bagaimana anda tahu ada tower di gunung ini?"

"Aku melihatnya."

Sebuah jawaban yang tidak cukup untuk meyakinkan pelayannya, namun ia sangatlah yakin.

Setelah mempelajari ilmu terlarang, ia diberikan sebuah gambaran di dalam mimpinya. Sebuah tower kosong di dalam hutan di tengah gunung. Sebuah altar yang biasa digunakan orang terdahulu untuk melakukan ritual.

Dalam mimpinya, ia melihat sekerumunan orang berjubah membawa obor melewati hutan menuju sebuah tower. Mereka kemudian melakukan persembahan dan upacara ritual di dalam sana.

Semua terlihat dengan jelas. Meja altar yang dikelilingi lilin-lilin, tembok batu tak bersudut yang juga dihiasi banyak lilin, tangga panjang melingkar yang menghubungkan lantai dasar dan satu-satunya ruangan disana, bahkan jalanan yang mereka tempuh, pepohonan dan sekitarnya.

Jalan yang saat ini ia lewati, sangatlah familiar di matanya. Ia yakin, ia melewati jalan yang sama.

Benar, beberapa saat kemudian, mereka melihatnya, sebuah tower yang tidak terlalu besar.

Dibukalah satu-satunya pintu itu, menampakkan bagian dalam tower yang cukup gelap karena hanya ada 2 jendela tempat masuknya cahaya. Pintunya sengaja dibiarkan terbuka agar pencahayaannya lebih baik.

Tidak ada apapun di sana, hanya tangga yang mengitari ruangan menuju atas sekitar 10 meter tingginya.

Degup jantung gadis itu kembali meningkat, namun kali ini karena antusias dalam dirinya. Semangat yang muncul karena ia seakan melihat kemenangan yang sudah ada di depan matanya.

Ia bangun dari kursi rodanya. Dipapah oleh pelayan pribadinya, selangkah demi selangkah mereka menaiki tangga menuju ruang altar.

Sangat lelah. Pelayan itu dibuatnya sangat kelelahan. Setelah kehabisan tenaga bergelut dengan jalan yang tidak mendukung selama lebih dari 2 jam. Kini ia masih harus memapah gadis itu menaiki ratusan anak tangga.

Tidak ada pegangan atau pagar pembatas pada tangga itu, jika terjatuh akibatnya akan sangat fatal. Pelayan itu berhenti. Kakinya gemetar kehabisan tenaga. Ia tidak ingin mengambil resiko yang dapat membuatnya kehilangan nyawa.

Memahami rasa lelah pelayannya, gadis itu memintanya untuk istirahat sejenak selagi ia merangkak naik melanjukan perjalanannya.

Sampailah ia di atas, disusul oleh pelayannya yang kemudian membantunya berdiri.

"Bantu aku kesana." Ucap gadis itu menunjuk meja altar yang ada di tengah ruangan.

Mereka berjalan perlahan, ruangan itu jauh lebih gelap karena tidak ada jendela sama sekali. Namun, karena mata mereka sudah menyesuaikan dengan minimnya cahaya, mata mereka mampu menangkap cahaya yang dipantulkan dari tangga.

Gadis itu duduk di sana dan meminta pelayannya menjauh dari lilin yang melingkari altar. Ia terdiam sejenak, merapalkan mantra yang telah ia pelajari.

Tiba-tiba satu persatu lilin yang mengelilingi gadis itu menyala. Hal itu membuat pelayan pribadinya takut. Ia berjalan mundur menjauhi gadis itu mendekati tangga, mengantisipasi sewaktu-waktu terjadi sesuatu, ia bisa melarikan diri dengan cepat.

Tak lama kemudian, angin berhembus kencang bergerak memutari ruangan. Anehnya, lilin disana tidaklah mati, justru apinya semakin membesar, perlahan-lahan mengelilingi gadis itu, membuatnya seperti berada di tengah tornado api.

Hanya sedikit yang pelayan itu tahu. Nonanya hendak melakukan sebuah ritual untuk memanggil Dewi Kehancuran. Dengan mempersembahkan jiwanya, ia meminta sang Dewi membalaskan dendamnya dengan memasuki tubuhnya. Kemudian sang Dewi akan kembali setelah mengabulkan permintaannya, meninggalkan tubuh pemohon yang sedari awal sudah tak bernyawa.

Setelah memberitahu apa yang hendak gadis itu lakukan, pelayan itu hanya diberi tugas untuk menyampaikan informasi terkait dunia ini kepada sosok yang akan ia panggil dan pergi dari kediaman, begitulah rencana mereka.

Ia tidak pernah memikirkan jika rutual pemanggilan itu akan terasa semagis ini.

Tanpa aba-aba, api itu pecah menyambar seluruh ruangan. Pelayan itu menutup kedua matanya sambil menyilangkan tangan berusaha menghalau meski tahu hal itu tidak akan berefek banyak. Namun, tidak ada yang ia rasakan selain hembusan angin.

Ia pun membuka matanya karena merasa aneh.

Seluruh lilin diruangan itu kini menyala, dan gadis itu tergeletak tak bergerak di atas meja altar. Lilin-lilin yang mengitarinya sudah terbakar habis, hanya menyisahkan lelehan dilantai.

Gadis itu sebelumnya mengatakan bahwa tidak ada jaminan jika ritualnya akan berhasil, meski begitu ia tetap ingin mencobanya, mempertaruhkan segala hal yang ia punya demi balas dendamnya.

Pelayan itu menjadi sedikit takut setelah melihat keanehan-keanehan tadi. Ia memilih untuk menunggu sejenak, memastikan ritualnya benar-benar sudah berakhir.

Sekitar 1 menit berlalu namun tidak ada hal lain yang terjadi, bahkan gadis itu tidak bergerak sama sekali. Pelayan itu pun mendekat untuk memastikan hasil ritualnya.

Dilihatnya bagian perut dan dada gadis itu, sama sekali tidak bergerak. Apakah berhasil? Ataukah gagal?

Dengan menahan rasa takut, ia memastikan sang Dewi telah bersemayam di dalam tubuh gadis itu.

"...Dewi?"

Ia terkejut dibuatnya. Mata gadis itu tiba-tiba terbuka, dan langsung menatap si pelayan.

Tatapannya tidak seperti biasanya, sangat tajam meski terlihat bingung sekaligus terkejut. Juga, terasa sangat mengintimidasi, seluruh tubuh pelayan itu merinding hanya dengan menatap matanya.

Saat itu pelayan itu sadar, yang berada disana bukanlah nonanya lagi, melainkan sang Dewi Kehancuran.

^^^Bersambung...^^^

Ngomong yang jelas b******

"Karma."

Seorang laki-laki duduk tertunduk menyaksikan ruangan kantornya porak poranda dihancurkan sekumpulan mafia.

"Karma itu nyata, anda cuma perlu inget itu." Ucapnya penuh amarah namun tidak berani menghentikan kebrutalan mereka.

Semua orang di ruangan itu berhenti sejenak membuat ruangan yang sebelumnya penuh dengan suara pecahan kaca dan barang, tiba-tiba sunyi.

Pada detik berikutnya, seorang wanita yang duduk di depannya tertawa lepas sejadi-jadinya. Tawanya kemudian diikuti oleh semua anak buahnya.

"Ga, ga, justru sekarang ini karma buat lo. Nipu orang sana sini, sadar dong!"

Wanita itu kemudian mencondongkan badannya kedepan, bertumpu pada kedua lengannya di lutut.

Hari itu hujan lebat. Gemuruh petir mengiringi aktivitas mereka, memperdalam kengerian yang terjadi disana.

"Kalo Tuhan masih peduli sama orang kaya lo, gua keluar kesamber petir."

Dalam ruangan yang minim pencahayaan itu, wanita tersebut menyeringai. Senyumnya menggambarkan bayangan mengerikan saat cahaya kilat menerangi ruangan itu untuk sesaat. Beberapa orang berdiri tersebar di belakangnya, dengan panorama ruangan yang hancur berantakan.

Dewi Kehancuran,

itulah sebutan yang mereka berikan kepada Ashley Miller, ketua mafia yang menguasai kota tersebut. Kekerasan adalah nama tengahnya dan menghancurkan adalah kegemarannya.

"Lo punya waktu 1 bulan."

Ashley menepuk pipi laki-laki paruh baya itu dan berkata, "Gausah berulah lain kali."

Sambil menyisir rambut hitam pendeknya ke belakang menggunakan jari, ia bejalan meninggalkan ruangan tersebut diikuti oleh para bawahannya.

Salah seorang anak buahnya membukakannya pintu dan sederet orang dengan badan kekar dan wajah garang sudah menunggunya di luar. Mereka kemudian mengikutinya dari belakang, meninggalkan rasa intimidasi mendalam bagi siapapun yang melihatnya.

Melewati tangga menuju lantai 1, mereka berjalan menuju pintu keluar. Beberapa orang dengan jas hitam sudah menunggu di depan pintu. Salah seorang darinya sudah menyiapkan payung untuk menghindarkan wanita itu dari basah.

Baru beberapa langkah menuju mobilnya, Ashley berhenti dan menengok ke arah ruangan yang ia datangi beberapa saat lalu.

Sebuah gedung 4 lantai dengan berbagai macam bisnis yang bahkan tidak memiliki lift. Matanya tertuju pada lantai paling tinggi dan satu-satunya ruangan yang lampunya padam karena dipecahkan oleh anak buahnya.

Bukan hal pertama baginya melakukan hal seperti ini. Dari perusahaan kecil hingga besar, tidak ada yang bisa menghentikan Ashley dan orang-orangnya. Bahkan pemerintahan bekerja sama dengan mereka untuk menertibkan masyarakat.

Benarkah tidak ada yang bisa menghentikannya?

Secara tiba-tiba wanita itu melihat kilatan cahaya menuju ke arahnya. Ia spontan mendorong anak buahnya yang membawa payung menjauh.

Gledar!

Hanya itu hal terakhir yang ia dengar, sebelum kesunyian menyelimutinya.

"...Dewi?"

Seorang gadis memastikan kesadaran orang yang tergeletak di depannya telah kembali setelah terdiam sekitar satu menit.

'...hah?'

Ashley mendengar suara gadis yang sangat asing baginya. Ia langsung membuka matanya dan melihat ke arah sumber suara.

Seorang gadis muda yang terlihat baru saja menginjak usia dewasa menatapnya dengan tatapan takut. Ia mengenakan pakaian pelayan wanita, seperti kostum yang biasa digunakan hanya untuk bermain peran.

Ia bangun dari posisi tidurnya sambil terus menatap gadis itu. Kewaspadaan Ashley sedang berada pada level tinggi. Bukan hanya tiba-tiba melihat orang asing di tempat yang asing, ia juga merasakan hal aneh saat ia hendak duduk.

Ia mengubah fokus pandangannya sejenak untuk mengecek keadaannya. Diatas meja batu dengan coretan-coretan mencurigakan ia duduk mengenakan gaun panjang.

Saat pikirannya dipenuhi dengan hal membingungkan, pendengarannya tetap terbuka lebar. Pergerakan kecil yang dilakukan gadis itu membuat Ashley kembali fokus padanya.

Dengan cepat Ashley meraup lilin yang ada di sebelah kirinya dan melemparkannya ke arah wajah gadis itu. Ashley berguling ke kiri menjauhi gadis itu, menjadikan meja tempatnya tertidur sebagai blokade.

Gadis muda tersebut berteriak saat lelehan panas lilin mengenai kulitnya.

Diantara teriakan gadis itu, pikiran Ashley mencoba menangkap segala informasi yang ada. Termasuk rasa janggal yang ia rasakan saat berguling barusan.

Ia menyingkap gaunnya hingga lutut dan mendapati bahwa setengah dari kaki kirinya menghilang. Pandangannya juga terhalang untaian-untaian rambut pirang yang berakar dari kepalanya.

Saat ia mencoba menelaah semua hal yang tidak masuk akal tersebut, gadis dengan pakai pelayan itu berteriak memohon ampun sambil bersujud.

"Ampuni hamba Dewi! Hamba hanya pelayan utusan nona Ashelia. Tolong jangan-"

Kata-katanya terputus. Bagaimana tidak, saat ia sedikit mengangkat kepalanya karena mendengar suara, ia dikejutkan dengan Ashley yang sudah berguling ke arahnya.

Gadis itu langsung mengagkat kepalanya tegak lurus menghindari kaki Ashley yang mengarah tepat di kepalanya. Suara hentaman tumit Ashley yang semula ditujukan pada dirinya membuatnya merinding.

"Siapa?"

Dengan cepat Ashley menarik kaki kanannya kesamping dan memutarkannya searah jarum jam. Ia menjatuhkan badannya ke kanan dan bertumpu pada kedua lengannya. Sambil memberikan dorongan untuk mengangkat tubuh bagian bawahnya,

"Nona Asheliagh-" Ashley menghantamkan kakinya ke kepala gadis itu.

Serangan Ashley mengenai pelipis kanannya dengan keras, membuatnya pingsan seketika. Ashley menggunakan kesempatan itu untuk menggeledahnya.

Tidak ada senjata api atau senjata lainnya. Mereka hanya berdua di dalam sana, dikelilingi dinding batu dan lilin-lilin.

Ashley menggunakan tali pada jubah yang ia pakai untuk mengikat kedua ibu jari gadis itu kebelakang. Ia juga merobek jubahnya dan menggunakannya untuk mengikat kaki gadis itu.

Sembari menunggu gadis itu bangun, Ashley memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, tidak ada hal masuk akal yang bisa menjawabnya. Satu-satunya orang yang dapat memberinya jawaban adalah gadis yang terbujur lemas di hadapannya.

Ashley mendekatinya dan menamparnya dengan keras. Kesadaran gadis itu pun perlahan kembali.

Sesaat setelah ia membuka mata, tubuhnya gemetar melihat Ashley di depannya, ia semakin ketakutan saat menyadari kedua tangan dan kakinya terikat.

Ia mulai menangis. Gadis itu memohon-mohon agar ia diampuni. Tanpa mengatakan hal lain yang dapat menjawab pertanyaan Ashley, gadis itu terus menangis dan meminta pengampunan.

Geram, Ashley mencengkram mulut gadis itu dan menatapnya tajam.

"Diem atau gua robek mulut lo."

Dengat cepat gadis itu menganggukan kepalanya berkali-kali.

"Lo cuma boleh ngomong kalo gua tanya."

Ia mengangguk sekali lagi.

"Dimana ini?"

"I-ini tower kosong di gunung Halla. Uh- A-anda- kita ada di kerajaan Durman, w-wilayah Lozan. A-anda ada di bumi sekarang."

Ashley mengerutkan dahinya sedikit dan gadis itu langsung meminta maaf. Namun ia tidak mengoreksi jawabannya sebelumnya.

"Siapa Ashelia?" Lanjut Ashley.

"Pu-putri tunggal Count Vincent Faramis Middgraff. N-nona Ashelia yang melakukan perjanjian dengan Anda."

Ashley menatapnya tajam tanpa berkedip. Bukan karna kagum namun lebih ke 'jangan main-main jika masih ingin hidup'. Namun, apakah semua ini masuk akal?

"Kenapa penampilan gua kek gini?"

"Uh- Anda- Anda ada didalam tubuh nona Ashelia."

Dalam sekejap tangan Ashley meraih leher gadis itu dan mencekiknya. Mata gadis itu terbelalak karena serangan Ashley yang begitu tiba-tiba. Ia menangis dan meminta maaf kepada Ashley meski ia tidak tahu apa kesalahan yang telah ia perbuat.

"Ngomong yang jelas b*ngsat."

Gadis itu terus meminta maaf meski kini suaranya tidak lagi terdengar.

Ashley melepaskan cekikannya. Gadis itu terbatuk-batuk seakan tersedak oksigen yang beberapa detik lalu sangat ia inginkan. Rasa cengkraman tangan Ashley di lehernya masih tetap tertinggal, memperdalam teror yang ia rasakan.

"Sa- Hamba- Nona Ashelia dan hamba melalukan ritual pemanggilan untuk memanggil Anda turun ke bumi. Nona Ashelia memberikan tubuhnya sebagai mediator untuk Anda, d-dan saya yang bertugas memberi penjelasan kepada Anda."

Semakin lama mendengar penjelasan yang tidak masuk akal tersebut, Ashley semakin naik darah.

Gerakan sekecil apapun yang dilakukan Ashley mampu membuat gadis itu tersentak. Ia tampak sangat ketakutan. Dan lagi, entah ektingnya sangat bagus atau memang ia terlihat tidak sedang berbohong. Satu hal yang Ashley tahu pasti, tubuhnya saat ini jelas bukan miliknya.

"Jadi, lo sama majikan lo manggil gua pake ritual apalah, trus sekarang gua didalem badan majikan lo? Orang yang bikin perjanjian sama gua?"

"I-iya, Dewi."

Kepalan tangan kanan Ashley melayang ke pipi kiri gadis itu. Tubuh gadis itu gemetar hebat, air matanya mengalir tanpa henti, suara isakan tangis terdengar menggema memenuhi ruangan tak bersudut tersebut.

"Lo ga sadar posisi lo? Ngaco ada batesnya, s*alan."

Ashley menarik rambut gadis itu kebelakang.

"Lo bilang kita di bumi, dan lo paham bahasa gua. Lo pikir gua elien?"

"Ha... hamba... j-juga tidak tahu... kalau Anda juga menggunakan bahasa D-durman." Jawab gadis itu di sela-sela isakannya.

Ashley semakin bingung dibuatnya, karena setiap ucapan dari gadis itu terasa jujur meski sangat tidak masuk akal. Ia menyibak dan menarik rambutnya sendiri kebelakang karena frustasi.

Kulit putih pucat, tangan kurus tanpa otot sedikit pun, tubuh lemah tidak gesit, kelenturannya juga kurang. Setiap pergerakan yang Ashley lakukan, seolah memaksa tubuh yang kurang gerak itu untuk bergerak. Terlebih lagi batasan pergerakan yang bisa ia lakukan karena hanya memiliki satu kaki. Tubuh lemah ini jelas bukan miliknya.

"...anggep aja gua percaya. Trus, apa isi perjanjiannya?" Ashley berdiri dan duduk di meja altar tempatnya terbaring.

"I-itu..." Gadis itu terlihat ragu untuk melanjukan kalimatnya namun juga tidak bisa mengelak.

"...hamba tidak diberi tahu." Lanjutnya.

Tatapan Ashley yang menjadi tajam saat ia memiringkan kepalanya sedikit karena tidak habis pikir membuat gadis itu membenturkan keningnya ke lantai dan meminta maaf.

"N-nona Ashelia hanya berkata jika saya ingin hidup saya harus ikut dengannya ke tempat ini."

"Se-seharusnya Anda yang tahu isi perjanjianya."

Seolah ia pernah mendengar suara permohonan seseorang, Ashley mengingat-ingatnya sejenak. Sekilas, ia samar-samar ingat ia mendengar suara sebelum tersambar petir.

Wahai Dewi Kehancuran-

"Tolong saya?"

"Apa-apaan? Itu? Itu perjanjiannya?" Ucap Ashley heran.

Bukan hanya permintaannya sangat tidak jelas, namun juga tidak ada bukti hitam di atas putih. Ashley merasa ia tidak harus mengikuti keinginan Ashelia.

Ia berpikir bahwa ia hanya perlu mencari tahu bagaiman cara ia kembali ke tubuhnya.

Ashley bertanya pada gadis itu, ritual macam apa yang mereka lakukan. Gadis itu terdiam mendengar pertanyaan Ashley. Ia terkejut karena Dewi yang mereka panggil justru tidak mengetahui apapun.

Menyadari perubahan ekspresi Ashley saat ia tidak menjawab pertanyaan sang Dewi Kehancuran, gadis itu langsung memberikan penjelasan. Cukup singkat dan jelas.

Mereka melakukan ritual terlarang pemanggilan Dewi Kehancuran untuk membalas dendam dengan bayaran jiwa dari si peminta permohonan. Kemudian, sang Dewi akan memasuki tubuh si pemohon untuk membalaskan dendamnya. Setelah dendamnya terbalas, sang Dewi akan kembali ke dunianya.

Ashley hanya diam menatap gadis itu, membuatnya kesulitan, bahkan untuk menelan ludah karena gugup.

"Jadi, maksud lo,"

Gadis itu merinding merasakan ketidak puasan Ashley atas jawaban yang ia berikan.

"Gua harus ngabulin permintaan yang ga jelas targetnya, atau gua ga akan bisa balik?"

"Ah, em, i-iya? Ampun." Ucap gadis itu terbata-bata menyadari bahwa nonanya tidak pernah menyebutkan dengan jelas siapa target balas dendamnya.

"Gua bahkan ga dapet keuntungan apapun?"

Ashley bangkit dari posisi duduknya, dengan senyum di bibir dan mata penuh amarah. Gadis itu mematung, merasakan hawa dingin di sekujur tubuhnya. Ia tahu, hal buruk akan menimpanya dan ia tidak bisa melakukan apapun.

"Orang yang minta tolong harus tau diri, kan?"

"...ampun."

^^^Bersambung...^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!