"Sah!" Suara serentak menggema dari sebuah ruangan yang tidak begitu luas. Diperkirakan orang yang hadir di ruang tersebut berjumlah 10 orang.
Beberapa detik berlalu saat seseorang telah menjadi pasangan hidup yang halal bagi orang lain. Mereka sepasang suami istri yang baru saja menikah dengan sangat sederhana. Hanya kerabat dekat saja, para saksi dan pak penghulu.
Disudut lain, masih di ruang yang sama. Seorang gadis menghapus air matanya yang menetes. Apakah dia sedih? Sedih karena ia akan kehilangan sahabat yang sangat berarti baginya. Sahabat seperti saudara kandung, tidak bisa dipisahkan.
Takdir memisahkan mereka, berpisah dikarenakan salah satunya telah berganti status. Status sebagai seorang istri. Namun, ia juga ikut merasakan kebahagiaan sahabatnya itu. Jika orang terdekat sedih atau bahagia, maka kita juga akan merasakannya bukan?
Gadis disudut itu bernama Mayra. Ia menatap sahabatnya sangat anggun dalam balutan baju pengantinnya, walaupun terlihat sederhana. Maklum lah situasi di desa, pakaian pengantin seperti itu sudah wah sekali bagi orang - orang terutama bagi para gadis.
"Ra, sini!" Sang sahabat memanggil.
Mayra menggeleng, tanda ia tidak berani mendekat. Sang pengantin pria ikut memanggil. Ya, mereka saling mengenal. Ketiganya bersahabat sewaktu kecil. Ketika beranjak remaja si pria ikut orang tua pindah ke kampung halaman ibunya.
Kalau jodoh tak akan kemana. Mereka bertemu kembali di sebuah pasar malam, tidak jauh dari desa mereka. Si pria kebetulan baru dari perjalanan hendak singgah kerumah neneknya. Disitulah awal benih cinta tumbuh di antara dua sahabat Mayra. Hanya tiga bulan memantapkan hati, keduanya serius sehidup semati. Manis sekali bukan?
Sang pengantin memanggil lagi, "Sini, cepetan! ihh..Mayra kenapa sih!?"
"Mungkin dia malu? tapi kenapa, kan kita sudah kenal lama ya?" Si pria juga ikut bingung.
"Aduh, Tini memanggilku terus. Bagaimana dengan mereka?" Lirih Mayra.
Matanya dari tadi ke arah luar pintu masuk.
Akhirnya Mayra mendekat.
"Gitu dong, dari tadi kenapa!" Tini, sahabatnya pura - pura ngambek.
"Mayra, kamu lagi nunggu siapa?" Tanya pengantin pria yang tahu Mayra seperti gelisah dari tadi.
"Tidak ada apa - apa, kok." Mayra menjawab sambil tersenyum.
"Betul Ra? Kamu baik - baik saja?" Tini memastikan keadaan sahabatnya.
Mayra hanya mengangguk.
Tini menyuruh lagi pada sepupunya yang jadi juru foto pernikahannya hari ini, supaya memotret mereka bertiga. Satu gambar berhasil diambil. Senyum merekah dari mereka bertiga nampak jelas disana.
Mayra buru - buru berpamitan, ia segera beranjak keluar. Tini dan suaminya melarang, tapi Mayra beralasan takut bapaknya khawatir dirumah. Ia berjanji akan menemui Tini lagi. Entahlah, apa ia bisa menjumpai sahabat baiknya itu.
Mayra berjalan cepat, namun sebuah suara menghentikan langkahnya.
"Buru - buru sekali, Non?" Ada nada mengejek yang bertanya.
Mayra masih diposisinya, membelakangi orang yang memanggil. Dari suaranya, ia mengenali siapa. Mata Mayra terpejam sejenak, sebelum ia berpaling.
"Eh, ada Anjani? ada apa ya?" Mayra menegur sopan. Badannya sedikit merunduk. Sedangkan tangannya meremas ujung kebaya sederhana yang ia kenakan.
"Hmm, langsung saja. Tidak perlu basa basi!" Yang ditegur Mayra menjawab ketus.
Mayra salah tingkah, ia makin merunduk. Badannya sedikit bergetar.
Anjani yang melihat tersenyum senang, 'Dasar kampungan!' ujarnya dalam hati.
Loh..loh dia sendiri kan juga tinggal di kampung?
Yang tinggal di kampung tidak semua kampungan ya? Author bingung nih!
Lanjut!
"Kamu, iya kamu..ah, aku lupa namanya!" Anjani berpura - pura bingung sambil memegang dahinya.
"Aku, Mayra!" Ia dengan cepat memberitahu namanya.
'Aku tahu, ini anak lemot amat!' Umpat Anjani dalam hati.
"Kan, tadi kita juga baru bertemu di nikahan Tini?" Mayra tersenyum ramah, bahkan deretan gigi putihnya hampir nampak semua.
"Iya, aku cepat lupa orangnya. Apalagi dengan orang yang tidak ku anggap penting!" Anjani sinis membalas ucapan ramah Mayra.
"Oh, maaf!" Lagi - lagi Mayra menundukkan wajahnya.
"Aku ingin kamu menjauh dari Tini! aku tidak ingin sialmu ikut mempengaruhi hidupnya!" kata - kata Anjani membuat Mayra sedikit menatap sekilas ke arahnya. Lalu ia menundukkan wajahnya lagi.
Anjani melanjutkan, "Tadi aku sudah melarang mu jangan dekat - dekat mereka lagi. Tapi, kamu malah ikutan berfoto!"
"Maaf, maaf Anjani! Tadi aku dipaksa, serius aku tidak ada niat ingin berfoto dengan mereka!" Mata Mayra berkaca - kaca, ia sungguh nampak menyesali perbuatannya tadi itu.
"Sudahlah, pokoknya jangan pernah aku melihat kau berdekatan dengan Tini lagi, ingat itu!" Anjani mengancam.
Mayra dengan cepat mengangguk tanda mengerti.
Anjani berlalu pergi, pakaian yang dikenakannya nampak mahal. Dengan rambut ia biarkan bebas lepas. Ia berparas cantik, gadis tercantik di desanya. Bahkan hampir semua orang diluar sana juga mengakui kecantikannya. Tapi sayang, sifatnya berkebalikan dengan paras cantiknya. ia mempunyai sifat angkuh, ia ingin selalu disanjung. Semua keinginannya harus dipenuhi, tidak boleh ada yang membantah. Dikeluarganya, ia seperti ratu
Mayra menatap Anjani dari jauh, dari tadi ia tidak beranjak. Ia menghembus nafas beratnya, seperti begitu banyak beban yang tengah ia tanggung. Sambil menyeka air matanya, ia melangkahkan kakinya menuju arah pulang.
Benar, sesampai Mayra dirumah, ibunya sudah menunggu depan pintu. Rumahnya sangat sederhana, berdinding setengah permanen, berlantai semen agak kasar. Hanya di alasi karpet yang nampak sana sini sudah terkelupas.
"Lama sekali, Neng? ibu jadi khawatir. Itu Bapakmu, baru saja ingin menyusul kerumah Tini tapi Ibu larang." Ibunya sangat khawatir pada anak perempuannya ini.
"Tadi aku ada perlu sedikit dijalan pulang, Bu. Jadi terlambat sampainya." Mayra beralasan.
Ia tidak berbohong, memang tadi sedikit ada keperluan karena Anjani menghalangi jalan pulangnya.
"Ya, sudah masuk. Jumpai Bapakmu sana!"
Lalu, ia segera masuk. Berjalan ke arah belakang menjumpai Bapaknya.
Mayra empat bersaudara. Kakak lelakinya telah berkeluarga, tinggal tempat istrinya. Sesekali baru pulang menjenguk. Selebihnya cuma lewat telepon. Ia anak kedua, dibawahnya merupakan adik laki - laki, sedang duduk di sekolah menengah atas kelas XII. Sedangkan yang bungsu perempuan, sekarang kelas akhir tingkat SMP.
Kedua adiknya belum pulang. Ia masuk ke kamar, hendak shalat Zuhur. Kewajiban tetap tidak boleh ditinggalkan. Orang tuanya sangat berpegang teguh pada ajaran agama. Ibadah shalat lima waktu harus dijaga. Untuk apa hidup penuh kemewahan, jika ibadah kurang. Setiap saat Bapaknya memberi nasehat. Kemanapun melangkah, ingat Allah selalu dihari. Insya Allah hatimu tenang, damai.
Mayra melipat kembali mukenanya yang warna putih telah berganti warna krem. Akibat sering dicuci di air sungai mungkin ya.
Ia duduk di tepi tempat tidur yang tidak luas, cuma muat ditiduri dua orang saja. Itupun yang berbadan kecil. Sering Mayra mengalah dari adiknya yang perempuan. Ia memilih tidur beralaskan tikar pandan saja. Yang tiap bangun tidur, badannya pegal - pegal semua. Bahkan terkadang mukanya ada tanda garis - garis silang, ikut menempel sulaman tikar. Bukan adiknya tidak tahu diri, tidak mau berbagi tempat tidur. Mayra sendiri yang ingin tidur dibawah. Biar besok adiknya lebih segar badannya ke sekolah. Seorang kakak yang sangat perhatian.
Tatapan Mayra seperti kosong. Matanya menatap ke arah luar jendela yang menampakkan halaman depan tidak terlalu luas. Tapi ditanami beberapa bunga yang indah dilihat. Dan ada dua pokok jambu di sisi kiri - kanan halaman. Ia menerawang jauh.
"Ra, aku mau kabur saja dari rumah. Aku ingin tinggal berdua saja denganmu." Ucap sahabatnya Tini waktu itu.
Mayra yang bingung menatap lekat pada sahabatnya.
"Aku tidak tahan terus menerus diatur oleh pamanku!"
"Apa maksudmu?" Akhirnya Mayra bertanya.
Tini makin sesenggukan, ia memeluk Mayra erat. Mereka duduk dibawah pohon jambu dihalaman rumah Mayra. Ketika itu orang tua Mayra sedang berada di sawah.
Tini melepaskan pelukannya, ia melihat ke arah Mayra. Ada pancaran memohon dari kedua matanya. Mayra masih diam, ia menunggu Tini supaya lebih tenang.
Tini belum juga mau bicara. Mayra menghela nafasnya sejenak.
"Baiklah, kalau kamu tidak mau cerita. Mungkin ada orang yang lebih tepat untukmu berbagi." Lirih Mayra pelan.
"Tidak! jangan bicara begitu! Hanya kamu sahabatku. Kamu seperti saudara bagiku." Tini dengan cepat berujar.
Mayra tertawa. Ia berhasil membuat sahabatnya buka mulut, walaupun belum bercerita juga masalahnya. Ia tahu Tini, hanya padanya tempatnya mengadu. Mereka berteman sejak kecil. Hal kecil apapun mereka bicarakan berdua. Sehingga orang tua Mayra menganggap Tini seperti anaknya. Kembaran Mayra, sebutan ibunya.
Tini cemberut, Mayra memegang kedua pipi sahabatnya.
"Ceritakan, ada apa?! atau tidak sama sekali!" Mayra pura - pura mengancam. Habisnya dia gemes pada Tini.
Tini melepas pelan tangannya dari genggaman Mayra.
"Aku..aku..aku.." Ucapan Tini tertahan. Ia enggan membahasnya, tapi juga harus menurutnya.
Mayra mengernyitkan kedua alisnya, sebelum Tini melanjutkan.
"Aku dipaksa menikah dengan duda lima anak, jika dalam waktu empat bulan belum ada yang melamar."
Mayra seketika tertegun, ia terkejut. Ia ikut merasakan kegalauan hati sahabatnya. Kalau sudah menyangkut dengan urusan pamannya, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ibu sahabatnya sendiri, cuma bisa diam saja. Pamannya ini adik kandung dari Almarhum ayah Tini. Tepatnya ayah kandung Anjani. Mereka keluarga terpandang dikampung Mayra. Kebutuhan Tini dan Ibunya serta adik - adiknya banyak ditanggung oleh sang paman. Jadi, ketika masalah perjodohan dibicarakan oleh pamannya, Tini tidak bisa berbuat apa - apa.
"Apa memang tidak bisa dibicarakan lagi dengan pamanmu, Tin? atau kau terima saja perjodohannya. Lagipula menurutku nikah muda wajar - wajar saja."
"Menurutmu begitu! baik, bagaimana kalau kita tukeran posisi? Kamu saja yang nikah sama tu kakek?!"
"Apa?? enak saja sembarangan menyuruh orang?!" Mayra mentah - mentah menolak sambil menggoyang - goyangkan kedua tangannya.
Mata Tini tertuju ke arah pergelangan tangan Mayra. Ditariknya tangan Mayra.
"Gelang kamu dimana, Ra?"
"Aku juga bingung. Aku lupa taruh dimana. Apa tidak sengaja terjatuh ya?" Mayra melihat ke tangannya. Di ingat - ingat pun tetap ia lupa.
"Kita kan berjanji tetap sama - sama memakainya." Tini kesal.
"Iya..iya, maaf! aku kan tidak sengaja. Aku janji akan tetap mencarinya walau ke ujung dunia sekalipun."
Mayra mengarahkan jari kelingkingnya ke depan Tini, tanda perjanjian.
Walaupun kesal, Tini juga mengaitkan kelingkingnya. Mereka tertawa bersama. Sejenak masalah yang dialami Tini terlupakan.
_____
Mayra menghembuskan nafasnya, ia merasa kehilangan. Diarahkan matanya ke pergelangan tangannya. Sampai sekarang belum juga ditemukan gelang persahabatan mereka berdua. Ia sedih, takut persahabatannya betul - betul berakhir, seperti gelang yang tanpa sengaja ia hilangkan.
Gelang dari benang woll yang di sulang, terus disematkan inisial nama mereka masing - masing. Warnanya juga langka dirangkai jadi sangat indah. Walaupun sederhana, hanya lima belas ribu dua pasang. Mereka beli di pasar ramai yang diadakan sesekali itu di kecamatan. Gelangnya berwarna sama, hampir mirip warna pelangi. Sangat kontras dikulit mereka yang putih.
Mayra juga mengingat kembali ancaman dari keluarga pamannya Tini. Namanya Paman Munir, beliau terakhir menjumpai Mayra seorang diri ketika ia baru pulang dari sawah.
Tiba - tiba sekelebat bayangan terlintas di kepala Mayra. Ia menggeleng - gelengkan kepalanya.
"Astaghfirullahal'adhim!" Mayra seraya istighfar sambil mengusap wajahnya. Sering sekali bayangan itu terlintas.
Ia beranjak keluar tatkala mendengar suara salam dari adiknya yang baru pulang sekolah.
_____
Bersambung
Assalamualaikum, hai.. ini karyaku yang pertama ya. Harap dikoreksi, masih banyak belajar nih. Nantikan lanjutannya ya, Rahasia Mayra, mengapa ia disebut pembawa sial. Seru deh!
Hari terus berganti. Sudah tiga Minggu sejak pernikahan Tini, Mayra belum juga menemui sahabatnya sesuai janjinya waktu itu.
Ia ingin sekali pergi ke rumahnya. Tapi, ancaman Anjani membuat ia urungkan niatnya. Terakhir Tini menelponnya empat hari yang lalu, katanya ia akan pindah ikut suaminya.
"Mayra, aku akan pindah. Awal bulan ini Mas Indra mulai masuk kerja lagi." Tini mengutarakan maksudnya.
"Iya, Tin. Sekarang kamu sudah jadi istrinya, ya harus ikut suami kan." Mayra menyemangati sahabatnya, walau ia sendiri sungguh sangat kehilangan.
"Kamu kapan ke rumahku?"
"Mmm..aku..aku kabari nanti ya, Tin." Mayra tidak bisa memastikan waktunya. Pun belum tentu ia bisa datang.
"Ya udah, aku tutup dulu ya. Mas Indra udah pulang dari jum'atan."
Setelah hari itu mereka belum saling menghubungi. Terakhir Tini menelpon pada hari Jum'at. Ini sudah empat hari berlalu. Berarti tinggal dua hari lagi sebelum keberangkatan Tini dan suaminya.
Mayra tidak tahu harus bagaimana. Jika ia nekat, pasti ketahuan keluarga pamannya Tini. Di raihnya ponsel di atas meja yang ada di kamar, meja bekas tetangga yang dijadikan meja belajar oleh adiknya.
Mayra mengirim pesan saja pada Tini. Kalau menelpon ia tidak dapat mengelak paksaan Tini nanti. Satu kalimat sudah terkirim. Lama ia tunggu tidak ada balasan dari sahabatnya. Di taruhnya kembali ponselnya, lalu ia beranjak keluar. Hari sudah sore, ia hendak menyiapkan makan malam. Ibu bapaknya belum pulang dari sawah.
Masakan sederhana rumahan telah terhidang di meja sebelah kompor. Tempe goreng campur terong ungu, dilalap sambal terasi. Ada sisa tiga potong ikan lele di kulkas satu pintu mereka, lalu digorengnya saja. Sedangkan untuk kuahnya, masih ada sisa sayur asem tadi siang.
Nanti setelah ibadah magrib akan ditata di lantai yang di alasi tikar. Makan secara lesehan, tidak mengurangi rasa syukur mereka pada Yang Maha Kuasa. Diluar sana bahkan tempat tinggal pun tidak punya.
Setelah membersihkan diri, ia ganti baju di kamar. Di rumah cuma ia sendiri. Terdengar orang memberi salam dari luar. Itu bukan suara adik laki-lakinya. Tapi siapa, pikirnya. Bergegas ia kenakan kerudung bulat warna hitam.
Pintu depan selalu ia kunci, jika ia sendiri di rumah. Bapaknya berpesan seperti itu. Mayra mengintip dari celah gorden jendela samping pintu. Ia sangat terkejut ketika tahu siapa yang datang. Ia ragu ingin membukanya, tapi jika dibiarkan tidak mungkin juga. Karena tadi ia pun sempat menjawab salam dari arah dalam. Ah, Mayra betul-betul ceroboh, rutuknya dalam hati.
Dengan berat hati dibuka juga pintunya.
"Wa - Waalaikumsalam, Indra?" dengan agak terbata, Mayra menjawab sekali lagi salamnya.
Ternyata yang datang Indra, suaminya Tini. Mayra tidak tenang, matanya melihat ke kanan ke kiri. Kalau-kalau ada yang melihat mereka berdua depan rumah. Ia tidak ingin ada fitnah.
Indra tahu saat ini Mayra sedang gelisah.
"Maaf, Mayra. Aku datang hanya ingin memberikan ini." Ia keluarkan amplop warna putih yang diberi perekat diluarnya.
"Tini yang menyuruh aku kesini." Indra melanjutkan lagi.
Mayra menyambut amplop dari tangan Indra. Ia ingin supaya Indra segera pulang. Ia sungguh sangat takut, kedua adiknya pun belum pulang. Yang laki-laki sedang memberi les pada anak dikampung sebelah. Lumayan bisa menghemat pengeluaran orang tuanya buat keperluan sekolah. Sedangkan yang bungsu membantu bibinya buat kue pesanan orang yang mengadakan hajatan.
Itulah mereka, sangat mengerti akan orang tuanya. Mereka tidak manja, apapun ingin mereka kerjakan asal itu baik. Walaupun orang tuanya tidak pernah menyuruh mereka bekerja.
"Oh iya, maaf aku tidak bisa menyuruhmu buat mampir." Mayra berharap Indra bisa memakluminya.
"Gak apa-apa, aku pun harus segera pulang. Tidak enak juga sama tetangga." Sahut Indra cepat.
Indra langsung pamit, buru-buru ia berjalan keluar dari pekarangan rumah Mayra. Tanpa mereka ketahui, tadi disaat Indra memberikan amplop pada Mayra, ada seorang laki-laki yang memergoki mereka dari jauh. Usia orang tersebut hampir seumuran bapaknya Mayra.
Ketika Indra hendak keluar, orang itu langsung berbalik arah cepat. Lalu menghilang di antara jalan sempit dekat jalan lintas desa. Rumah Mayra letaknya agak ke dalam, harus melalui gang sempit baru sampai ke rumahnya.
Mayra segera menutup pintu. Sesaat setelah itu orang tuanya pulang, beriringan dengan kedua adiknya.
Azan magrib berkumandang, mereka bergegas berwudhu. Dan harus antri, karena sumur yang dipagari terpal warna biru itu dijadikan kamar mandi sekaligus tempat wudhu. Dan tentu saja tempat buang air besar terletak terpisah disebelahnya.
Mereka shalat berjamaah. Adik laki-laki Mayra yang bernama Arman menjadi imam. Bacaan surah adiknya sangat fasih dan suaranya pun merdu. Siapapun yang mendengarnya akan tersentuh, begitu syahdu alunannya. Teringat akan Sang Pencipta, tanpa daya upaya selain atas KuasaNya.
Selesai shalat dan berdoa yang diikuti petuah-petuah dari bapaknya, Mayra beranjak ke dapur. Ia siapkan makan malam segera yang dibantu oleh adik perempuannya. Bapaknya datang langsung duduk, ibunya dan adik laki-laki menyusul.
Tidak ada pembicaraan yang serius, hanya obrolan ringan saja. Selesai makan, Mayra membawa piring kotor ke tempat cucian. Kebiasaannya langsung mencucinya jika selesai makan. Ia tidak suka melihat peralatan makan atau masakan menumpuk di ember.
"Mbak, biar aku saja yang cuci piring. Mbak udah capek masak tadi." adik perempuannya menawarkan diri membantu.
"Apa kamu enggak capek juga? pesanan kue nya banyak ya?"
Mayra tetap melanjutkan kerjaannya, ia yang menyabun dan adiknya giliran membilasnya.
"Iya Mbak, banyak. Kapan ya kita bisa juga adakan hajatan gitu?!"
"Insya Allah, kalau ada rejeki pasti kita sanggup. Yang penting usaha dan doa itu harus seiring jalan!" Mayra menjawab dengan lembut.
Adiknya mengangguk setuju.
Tiba-tiba terdengar pintu yang diketuk keras dari luar. Mereka semua terkejut. Mayra dan adiknya saling pandang. Bapak dan ibunya sedang istirahat santai, sambil menonton berita di TV yang bentuknya mirip kubus itu. Tv yang ada tonjolannya dibelakang.
Bapak Mayra bangkit menuju pintu. Setelah tahu siapa yang mengetuk, pintu segera dibuka.
"Tuan Munir!" Sapa bapaknya Mayra.
Ibunya juga mendekat ke pintu, adik laki-lakinya juga ikut keluar dari kamarnya.
"Mari masuk, Tuan!" Bapak Mayra mempersilahkan masuk.
Orang-orang desa memanggil dengan sebutan Tuan, karena orang terkaya di desa dan berkuasa walaupun jabatannya bukan sebagai kepala desa. Tapi cukup disegani orang-orang.
"Aku tidak mau masuk, cukup panggilkan saja anak gadismu itu!" Tuan Munir berkata dengan suara sedikit tinggi. Matanya memerah.
Mereka bertiga bingung siapa yang dimaksud,
Mayra atau adiknya yang bernama Mirna.
"Tuan, sebaiknya kita bicarakan di dalam saja, mari!" Bapak Mayra masuk terlebih dulu. Tuan Munir serta satu orang lagi mungkin orang kepercayaannya ikut masuk dan duduk. Hanya digelari tikar pandan yang pinggirannya warna-warni.
Wajah tidak bersahabat tuan Munir membuat bapak Mayra langsung menanyakan maksud kedatangannya. Beliau tidak ingin anaknya bermasalah.
"Tuan ingin menjumpai putri saya yang mana? Saya mempunyai dua orang putri." Bapak Mayra ingin memastikan.
"Itu, yang jadi temannya Tini."
Bapak Mayra mengerti yang dimaksud. Berpaling ke arah anak laki-lakinya yang langsung bangkit memanggil kakaknya di dapur.
"Mbak, ada tuan Munir di depan. Katanya ingin menjumpai Mbak. Wajahnya serem gitu."
Mayra sangat terkejut, hampir gelas ditangannya terjatuh. Ia teringat kedatangan Indra tadi sore ke rumah. Bahkan surat dari Tini pun belum di bacanya.
Ia lalu beranjak ke depan. Tak lupa dengan mengenakan kerudungnya.
"Assalamualaikum," Mayra memberi salam.
"Waalaikumsalam." Yang di ruang tamu menjawab serentak.
Wajah tuan Munir seperti saat tiba tadi, tidak ada kesan ramah. Padahal yang jadi tamu disini siapa.
"Nak, tuan Munir ini ada keperluan denganmu." Bapak Mayra berucap, tatapannya ingin tahu sesuatu.
Mayra mengangguk, ia duduk berdampingan dengan ibunya. Ia menundukkan kepala, ibunya tahu putrinya seperti sedang gelisah.
"Aku sudah pernah katakan padamu, jangan dekati Tini lagi!" tuan Munir melihat ke arah Mayra dengan tatapan tajam.
Mayra tidak berani melihat ke atas. Bapak ibunya bingung, adik perempuannya yang juga ikut duduk, melihat ke arah kakak laki-lakinya. Arman mengangkat kedua bahunya, tanda ia tidak tahu apa-apa.
Tuan Munir menjadi sangat marah, karena Mayra tidak menjawab. Ia hanya terus menundukkan kepalanya. Ia seperti tidak menghargai dirinya, tuan Munir berpikir seperti itu.
"Atau kamu ingin aku..."
"Baik Tuan, baik. Saya akan menjauhi Tini. Saya tidak akan mengunjunginya lagi di rumahnya." Mayra memotong perkataan tuan Munir dengan cepat. Bapaknya mengerutkan dahinya, kenapa Mayra tidak sopan begitu.
"Mmm, baik. Dan kamu juga harus tahu diri, ada batasan dengan orang yang telah beristri!"
Ternyata tuan Munir tidak mempermasalahkan soal Mayra yang langsung memotong perkataannya tadi. Mungkin karena terlalu terbawa emosi, jadi tidak memperhatikan hal-hal kesopanan atau tidak.
Ucapan tuan Munir barusan membuat sorot mata Mayra seperti orang melotot, padahal bukan. Tidak ada yang memperhatikannya, karena hanya se perkian detik saja. Setelah itu ia kembali menundukkan kepalanya.
Mata tuan Munir masih menatap orang-orang di depannya dengan tajam. Setelah melihat ke arah orang bawahannya itu, tuan Munir bangkit berdiri. Langsung pamit, tanpa salam atau basa basi lainnya, kedua orang itu segera keluar dari pintu halaman.
"Aku bahkan lupa buatkan minum." adiknya, Mirna menepuk dahinya. Tidak ada yang berkomentar atas celetukannya,semua mata tertuju pada Mayra.
Banyak yang ingin diketahui bapaknya, anak sulungnya selama ini ternyata memiliki masalah, tapi dipendamnya sendiri.
Bersambung
Nantikan bab berikutnya ya, makin seru loh! Tolong juga beri sarannya ya!
Setelah kejadian malam ketika Tuan Munir datang memperingatkan Mayra, ia menjadi lebih diam. Apalagi isi surat dari Tini, walaupun tidak secara langsung ia tulis, jika keluarga Tuan Munir ikut mengancam Tini juga.
Malam itu juga tatkala adiknya sudah tidur pulas, ia bangkit menuju lemari. Ia ambil surat Tini yang di simpan di bawah lipatan baju. Ia baca dengan seksama.
Teruntuk
Sahabatku, saudaraku Mayra
Maaf, jika aku tidak melalui telpon mengabarimu. Aku tidak sanggup menahan jika tidak menangis. Aku juga tidak sanggup mendengar suara mu. Aku tahu, kau sangat menderita. Mungkin maaf ku, tidak akan membuat masalahmu selesai. Tapi aku tetap harus minta maaf, semua karena ku! (Mayra dengan cepat menggelengkan kepalanya, air matanya menetes) aku bukan sahabat yang baik bagimu.
Aku harus pergi, aku harus ikut suami. Aku tidak ada di sampingmu ketika kamu butuh tempat berbagi. Aku pergi, setelah meninggalkan begitu banyak beban untukmu. Sahabat seperti apa aku ini, tapi Mayra tolong jangan membenciku, aku tidak sanggup!! Di dunia ini, selain ibuku cuma kamu tempatku bersandar.
Oh ya, Mayra besok aku berangkat, tepatnya aku pindah. Kalau kamu masih di desa, aku ingin minta tolong sekali lagi. Jenguk lah ibuku, mungkin kehadiran mu bisa menghilangkan rasa rindunya padaku.
Kamu jangan menemui ku, karena kini aku mengerti kenapa kamu sering menghindari ku.
Sekali lagi, dalam hidupku cuma kamu sahabat terbaikku!
Salam sayang,
Tini
_____
Hari ini kepindahan Tini. Mayra ingin sekali menemui sahabatnya itu. Jam dinding berwarna biru, yang ada gambar bunga di pojok arah jarum dua belas menunjukkan jam 9 pagi. Ia mengikuti kata hatinya, ingin melihat keberangkatan Tini.
Ditapaki gang sempit di persimpangan depan rumahnya. Ia melihat dari jauh, rumah Tini nampak penuh dengan tetangga. Mungkin hanya sekedar melihat atau juga sekalian Tini mohon pamit. Di depan pintu berdiri tuan Munir, dan Anjani duduk santai di kursi plastik di teras mungil rumah Tini.
Ada sekitar tiga orang pria mungkin itu bawahan tuan Munir, mengangkut koper dan tiga buah kardus ke arah mobil yang terparkir di pinggir jalan depan. Dibelakang nya diikuti Tini, ibunya dan dua ibu-ibu tetangganya. Sedangkan suaminya masih berbincang sebentar dengan tuan Munir, lalu ikut menyusul.
Tini terlihat melihat ke jalan tempat Mayra bersembunyi di samping sebuah kios kecil. Lama ia melihat, hingga suaminya dibelakang menepuk pelan bahunya. Pandangan Tini teralihkan pada ibunya. Mayra ingin berlari, memanggil keras nama sahabatnya. Ia ingin memeluk yang terakhir kali, sahabat sedari kecil tidak pernah berpisah.
'Tanpamu, aku bisa apa?' tangis Mayra tertahan, inginnya ia berteriak.
'Tiniiiiiiii ...' dirinya terus memanggil dalam diam seiring mobil yang ditumpangi Tini dan suaminya menghilang dibelokkan jalan.
Matanya mulai berkunang-kunang, pandangannya kabur, kepalanya berat, tiba-tiba 'bruk' Mayra terjatuh di samping kursi kayu kios.
_____
Mayra sedang menemani ibunya ke sawah. Bapaknya tidak bisa pergi karena menghadiri acara rapat yang diadakan di balai desa. Sekarang musim menanam, jadi harus dibersihkan dulu sisa-sisa panen padi bulan lalu, supaya bisa terus ditanami lagi. Sawah yang tidak luas itu merupakan warisan dari kakek Mayra, ayah dari bapaknya. Sedangkan ada dua sawah lagi yang letaknya bersisian itu, kepunyaan saudara sepupu bapaknya juga.
Mereka meminta orang tua Mayra yang menggarap.
Sekarang saat ia istirahat sejenak di gubuk kecil, yang hanya muat empat orang saja, ia jadi teringat tawaran pamannya itu saat mereka berkunjung tiga bulan lalu.
'Ada baiknya jika aku ke kota, kasihan ibu sama bapak. Aku ingin membantu mereka dengan bekerja disana.' Mayra berucap dalam hati.
"Jangan terus melamun, nanti jodohmu orang jauh loh Nak!" Ibunya menegur ketika mendekat ikut istirahat.
"Ah, ibu bisa aja. Siapa sih bu yang melamun?"
"Itu kamu sendiri, matanya melihat ke arah ibu tapi hatimu ke arah lain."
Mayra tersenyum, "Bu, jika aku ingin mencari pekerjaan ke kota, apa ibu sama bapak mengizinkan?" Mayra dengan hati-hati berucap.
Ibunya yang tengah memperhatikan lantai gubuk yang papannya sudah dimakan rayap itu, dengan cepat menoleh.
"Kamu ingin ke kota?" Tanya ibunya memastikan lagi.
Mayra mengangguk, lalu menunduk melihat ke arah kakinya yang terkena lumpur sawah. Ia tidak sanggup bertatapan dengan mata ibunya.
"Kamu tahu 'kan kehidupan disana bagaimana? tidak, jika dari ibu tidak ada izin!"
Mata ibunya agak berkilat tatkala berkata begitu. Ia tidak mau anak perempuannya itu tinggal jauh dari mereka. Cukup putrinya itu tinggal dirumah atau membantu di sawah saja. Tidak perlu cari kerja, toh nanti jika ada jodoh akan menikah dan ikut suami.
"Itu sahabatmu Tini, tidak pusing-pusing mencari kerjaan. Tiba-tiba ada yang melamar langsung menikah." Ibunya melanjutkan lagi.
Pemikiran ibunya yang masih awam atau ada alasan lain, entahlah. Kita pun semua tahu, ibu mana yang ingin berpisah dengan anaknya?
"Sebenarnya bibi Siti dan paman Mail pernah nawarin ikut ke kota." Mayra akhirnya jujur juga.
"Hidup mereka 'kan pas-pasan, Nak. Anaknya masih sekolah juga." Ibunya tetap beralasan.
"Ya, 'kan cuma sementara aja tinggal disitu. Kalau udah ada kerjaan, nanti aku cari kost-an Bu."
Ibunya diam saja, ia tidak ingin membahasnya.
"Ayo, kita pulang. sudah mau masuk dhuhur."
Mayra sementara mengalah saja dari ibunya, ia akan membicarakan dengan bapaknya nanti dirumah. Mudah mudahan bapaknya setuju, dan tidak ada pemikiran seperti ibunya itu.
Ibunya sudah melangkah ke depan. Mayra segera bangkit tapi tanpa di sengaja, matanya melihat warna mengkilat di rerumputan dekat gubuk. Tangannya terulur mengambil, sebuah liontin berwarna perak sangat indah. Mayra tidak tahu itu mahal atau bukan. Buru-buru ia masukkan ke dalam tas segipanjang yang tergantung dipundaknya. Tas dari bahan kain batik murah, dibeli ibunya seharga tiga puluh ribu di pasar malam.
_____
Di sebuah rumah mewah klasik modern, yang terletak di antara perumahan elit. Rumah yang cat nya dominan berwarna putih gading dengan atap berwarna coklat tua, sangat megah terpampang dari arah luar. Rumah bergaya Eropa itu memiliki dua lantai yang sangat luas. Di halaman belakang terdapat kolam renang, dengan disisi kiri-kanan berupa taman yang ditanami bunga-bunga cantik.
Seorang wanita berusia sekitar empat puluhan tahun, namun masih terlihat bugar dan kecantikannya sungguh mempesona. Disampingnya seorang gadis yang tidak kalah juga cantik, ia adalah putri bungsunya. Yang wanita dewasa tengah menelusuri sebuah majalah tentang tata boga. Sedangkan sang gadis asyik dengan ponselnya.
"Mama heran sama kamu, tiap libur kampus selalu dirumah." Sang mama sekilas melihat anak gadisnya.
"Jadi Mama maunya aku kelayapan gitu? ntar juga Mama yang ngomel-ngomel." Ujar sang gadis.
"Setidaknya bawa teman kamu ke rumah, 'kan Mama pengin tahu temanmu siapa."
"Nanti deh, kalau ada yang pas."
"Jadi, kamu nggak ada teman atau sahabat dekat?" Mamanya agak terkejut.
Anak gadisnya mengangguk santai, sedangkan mulutnya mengunyah cemilan.
"Kamu ini!" Mamanya menepuk pelan paha sang anak.
"Mama ...?" mulutnya mengerucut lucu.
"Liatin Mama, jangan gitu!" Mamanya gemes sendiri sambil memegang kedua pipi anaknya.
"Kenapa kamu nggak punya teman? kamu cantik, pinter, mau gabung-gabung sama temen juga bisa kok, Mama bisa ngasih kamu uang." Mamanya melanjutkan.
"Ih, Mama jadi sombong deh ngaku banyak uang."
"Mama nggak suka menyombongkan diri, nggak baik. Tapi 'kan bener apa yang Mama bilang. Kamu sendiri tuh, anak gadis temennya nggak punya."
Mama sama anak asyik berdebat soal sang anak tidak ada teman, dari arah pintu menuju ke taman datang seorang pemuda gagah tinggi, tampan, berbadan atletis. Dengan ditubuhnya terbalut setelan jas warna hitam dan celana berwarna serupa, makin menambah nilai ketampanannya. Jika para wanita yang melihat, pasti akan tergila-gila.
Mama memalingkan wajahnya, ketika merasa ada bayangan orang menghampiri.
"Kesayangan Mama udah pulang?" Mama menyambut kepulangan putranya dengan senang.
"Giliran kakak dipanggil kesayangan, aku kena ngomel-ngomel terus dari tadi."
Pemuda yang dipanggil kakak oleh gadis tersebut tersenyum lebar, sambil mencium pipi kiri kanan mamanya, ia mengacak-acak rambut hitam panjang adiknya.
"Emang kakak kesayangan Mama kok." sahut sang kakak.
"Tau ah!" mulutnya mengerucut.
Mama dan kakaknya tertawa melihat tingkahnya. Sebuah keluarga yang harmonis, walaupun hidup bergelimang harta, tapi mereka bukan keluarga yang angkuh. Saling menyayangi sesama, dengan para pekerja dirumah kompak, sang majikan tidak membeda-bedakan mereka.
Apakah hidup mereka terus bahagia seperti ini? Ikuti terus ya dear!
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!