NovelToon NovelToon

Karna Iman Dan Cinta

Bab. Satu

Hujan yang lumayan deras mengguyur beberapa kota di Filipina kala itu. Tampak seorang anak perempuan berusia lima tahun berambut terurai sedang bersorak ria sembari meloncat-loncat penuh rasa gembira

Seorang bocah laki-laki yang tengah bersamanya hanya tersenyum dan mengambil sebuah payung kemudian berjalan menghampiri anak perempuan pemilik nama Zivanyalia Natasha itu. "Kamu nggak boleh hujan-hujanan terus, Vanya. Nanti sakit," ucap si bocah laki-laki seraya memayungi Vanya.

Anak perempuan yang mempunyai panggilan khusus dari bocah laki-laki itupun hanya tersenyum, sangat manis. "Kak Eon nggak usah khawatir, selama ada Kakak aku nggak akan sakit kok," katanya.

Bocah lelaki yang bernama lengkap Leonardo Davidson itu hanya tersenyum tipis sembari menggelengkan kepalanya.

"Kak, Eon. Kakak sayang nggak sama aku?"

"Sayang," jawabnya.

"Berarti Kak Eon nggak akan pernah ninggalin aku, kan?" Bocah laki-laki itu mengangguk.

"Janji?" Vanya mengulurkan jari kelingkingnya tepat di depan wajah sahabatnya.

"Janji!" Leon mengangguk sambil menautkan jarinya pada jari kelingking milik Vanya.

Flashback off

Mengingat masa lalu indah itu membuat seorang perempuan yang kini telah tumbuh remaja tersebut meneteskan air matanya. "Kamu bohong, semua perkataan mu itu bohong!"

Ya. Anak perempuan bernama Zivanyalia Natasha itu kini telah berumur sembilas belas tahun dan ia duduk di bangku sekolah menengah akhir kelas tiga semester ganjil. Perempuan yang sekarang lebih akrab disapa Natasha itu tumbuh menjadi perempuan manis dan sangat menjaga dirinya sebagai perempuan. Menjaga auratnya, pergaulannya, bahkan pandangannya.

Malam yang terasa sunyi nan sepi sama seperti keadaan hati Natasha kala mengingat masa lalunya bersama pangeran kecilnya Eon di negara kelahirannya. Perempuan berdarah Indonesia-Filipina itu hanya bisa memandangi foto sepasang anak kecil tengah saling merangkul dengan wajah menunjukkan kebahagiaan.

Dadanya sangat sesak menahan rindu ini. Hingga buliran bening berhasil lolos dari sudut pelupuk matanya.

"Aku harap Tuhan kembali mempertemukan kita."

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Pagi ini Natasha telah siap dengan seragam dan segala perlengkapan sekolahnya. Ia menuruni anak tangga satu per satu dengan langkah santai. Sementara Riana yang merupakan Ibu Natasha malah semakin kesal karena melihat lagak santai dari anak satu-satunya itu.

"Ya allah, Sha. Ini udah jam berapa? Buruan ih!"

Natasha malah menarik kursi saat ia telah berada di ruang makan, bersiap untuk ikut bergabung sarapan.

"Apaan sih, Ma. Ini masih jam setengah tujuh kok masih lama. Natasha sarapan dulu, laper!" ujar Natasha. Namun, Riana menarik tangan Natasha agar berdiri.

"Udah sarapannya nanti aja di sekolah. Ini kamu 15 menit lagi masuk lho, " ujar Riana.

Bukannya terkejut, Natasha malah mengibaskan satu tangannya sambil terkekeh. "Udah deh, Mam. Nggak usah sok ngeprank gitu. Aku mah nggak mempan! " kekeh Natasha.

"Ck, ngeprank apaan sih, tuh lihat jam itu!" ujar Riana sembari menunjuk jam dinding di ruang tamu.

Natasha mengikuti arah jari telunjuk Riana dan seketika kedua matanya membulat sempurna. Wajahnya terlihat tegang, ia mengingat satu fakta yang mungkin akan menjadi masalah buat Natasha.

"Astagfirullah, Mama. Kenapa Mama baru bilang. Aduh gimana ini bakal telat beneran, ya udah Natasha berangkat dulu ya, assalamu'alaikum!" Ia berlari terburu-buru bahkan sampai lupa menyalami Riana.

Saat di perjalanan Natasha mengendarai mobilnya di atas rata-rata. Ia kembali melirik arlojinya yang menunjukkan sepuluh menit lagi akan masuk, dan hari ini adalah hari Senin, di mana upacara bendera akan dilaksanakan. "Ya allah semoga nggak telat," gumamnya cemas.

Dan saking terburu-burunya, Natasha tidak melihat jika di depannya ada genangan air, ia langsung melintasinya begitu saja dengan kencang sampai tak sengaja air kotor itu mengenai seorang pengendara yang berhasil ia lewati.

"WOY KURANGAJAR! BERHENTI LO!" pekik orang tersebut yang memberhentikan motornya.

Natasha berhenti, melihat pengendara itu dari kaca spionnya.

"Ya allah ada aja halangan nya, duh gimana ini? Turun, nggak, turun, nggak, turun, hah? Masa turun sih?"

Iapun kembali melihat arlojinya yang waktu sudah berjalan lima menit lagi. Waktunya semakin menipis. "Astagfirullah telat nih aku, terpaksa deh. Ya Allah maafkan hamba!"

Natasha dengan berat hati melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu.

Sedangkan pria muda nan tampan tadi hanya mampu mengumpat kesal karena pemilik mobil tersebut tak bertanggung jawab. "Untung gue udah foto platnya. Kalau ketemu awas aja nggak bakal gue kasih ampun!"

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Di sisi lain Natasha telah sampai di sekolahnya, untung saja gerbangnya belum tertutup. Namun, sebuah pemandangan buruk itu membuat dirinya menelan ludah berkali-kali. Pasalnya upacara bendera telah dimulai, dan pasti ia akan dihukum.

Natasha pun keluar dari mobilnya tetapi, suara seseorang membuat langkahnya terhenti. "Woy tunggu!" pekik orang tersebut.

Pria berjaket itu menghampiri Natasha dengan motor ninja nya. Sesaat telah berada tepat di depan Natasha, ia membuka helm nya, melihat itu Natasha langsung menundukkan pandangannya, tak mau terlalu berlebihan mengagumi ketampanan yang dimiliki pria tersebut.

"Jadi Lo yang punya mobil ini?"

"Iya emang kenapa?" tanya Natasha bernada ketus, ia memang seperti itu jika dengan lelaki yang tidak terlalu ia kenal.

"Lo pura-pura lupa apa emang amnesia, hah? Lo nggak lihat jaket gue ini?" tanyanya lagi sembari menunjukkan jaket kotornya.

Seketika mata Natasha membulat saat mengingat kesalahannya. "Ah itu, eum ... maaf aku bener-bener nggak sengaja, aku-"

"Gue nggak mau tau. Lo harus tanggung jawab lah!" potong pria itu.

"Oke-oke, aku bakal tanggung jawab tapi nanti, aku udah tel-"

"LEVIN! NATASHA!" pekik seseorang dari balik gerbang. Keduanya pun mengalihkan pandangannya ke arah suara itu.

Seketika wajah Natasha kembali menegang. Ia yakin hari ini akan mendapat masalah. Apalagi saat guru killer itu mendekat ke arah mereka. "Kalian ini ya udah telat masih aja ngobrol di sini! Kamu juga Levin, kamu itu harusnya sebagai murid baru nggak usah cari masalah. Dan Natasha, kenapa telat? Kamu murid teladan lho di sini," cerca guru itu.

"Eum ... maaf, Bu. Saya kesiangan dan tadi ada masalah sedikit di jalan," jawab Natasha.

"Iya, Bu. Masalah sama saya, nih jaket saya jadi kotor gini gara-gara dia bawa mobilnya ugal ugalan!" Sela Levin.

Natasha menoleh tak terima. "Apa kamu bilang? Ugal-ugalan?Aku itu buru-buru bukan ugal-ugalan. Lagian aku sudah minta maaf," ujar Natasha.

"Itu sama aja lo ugal-ugalan."

"Enggaklah itu beda! "

"Sama!"

"Beda!"

"Sam-"

"STOP! Kalian berdua ini malah buat Ibu pusing. Udah sana kalian bersihin kamar mandi! Kalau udah selesai langsung ke ruangan Ibu!" tegas guru itu yang langsung berlalu meninggalkan mereka.

"Tuh kan dihukum!" kesal Natasha sembari mendelik tajam ke arah Levin.

"Ini salah Lo tau nggak, kalau Lo nggak nyipratin air ke gue, gue nggak bakal berhenti dan telat gini!"

"Apaan sih kamu kok dari tadi nyudutin aku terus? Salah siapa  berhenti?"

"Lo itu-"

"Udah diem berisik deh! Bersihin tuh wc!"

Natasha berlalu setelah melempar kain pel dan ember ke arah Levin dengan kasar.

Bab. Dua

Saat ini Natasha beserta Levin sedang sibuk membersihkan kamar mandi siswa dan guru. Namun, sepertinya kesibukan itu hanya berlaku pada Natasha saja, sementara Levin hanya duduk santai sembari memainkan handphonenya.

Saat Natasha telah selesai membersihan kamar mandi perempuan, ia akan beralih membersihkan kamar mandi guru. Namun, sesaat ia baru saja melangkahkan kaki di ambang pintu, pandangannya teralih pada pel serta ember yang masih berada di tempat yang sama.

"Kamu nggak bersihin kamar mandinya?" tanya Natasha.

Levin hanya acuh dan menggeser ember itu dengan kakinya kearah Natasha. "Eh kok digeser ke sini, sih?"

"Kerjain!" jawab Levin dengan pandangan masih terarah pada benda pipih keluaran China itu.

"Kerjain? Enak aja kamu nyuruh-nyuruh aku gitu. Kamu itu laki-laki, harus bertanggung jawab, laki-laki apaan kalau gitu aja nggak bisa!" cerca Natasha.

"Gue kan murid baru di sini, dan Lo harus mencontohkan hal yang baik dengan rajin membersihkan semuanya, kan? Entar kalau gue udah paham baru gue yang ngerjain." ujar Levin.

"Apaan sih, nggak ada hubungannya kali. Lagian masa iya kamu ngepel aja nggak paham. Udah aku nggak mau, kalau dimarahin sama Bu Reni aku nggak mau ikutan!" ucap Natasha yang ingin berniat meninggalkan Levin.

Mendengar itu Levin langsung mencegah Natasha dengan mencekal tangannya. "Astagfirullah, lepasin! Kamu apaan sih nggak sopan banget?!" omel Natasha tak terima tangannya disentuh.

"Nggak sopan apanya? Gue kan cuma megang tangan Lo doang."

"Ya itu kamu nggak sopan. Aku sama kamu itu bukan muhrim, jadi jangan sentuh-sentuh. Udah lah kamu cepat bersihin, aku udah selesai nih, aku tunggu kamu di kamar mandi guru."

"Eh eh tunggu bentar napa sih, ke sananya bareng aja," ujar Levin.

"Manja banget sih! Enggak aku nggak mau terus berduaan sama kamu," tolak Natasha.

"Tapi ini gue beneran nggak bisa ngepel." keluh Levin.

"Ih nggak usah bohong deh. Tinggal maju mundur gitu doang, udah ya aku duluan," ucap Natasha yang kali ini benar-benar meninggalkan Levin sendiri.

"Ck, tuh cewek ngeselin banget sih!" cibirnya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Setelah selesai mengepel dan membersihkan kamar mandi guru, Natasha pun memilih melihat pekerjaan Levin tetapi, tiba-tiba ....

Bruk!

"Arghhh!" pekik Natasha yang merasakan tubuhnya terbentur dinding cukup kuat.

Byurr!

Ember berisi air itu ditendang oleh seseorang hingga membuat lantainya yang tadinya sudah bersih bahkan hampir kering kini kembali basah. "Ups, nggak sengaja nih," ujar orang tersebut sembari menutup mulutnya.

"Bianca kamu apa apaan, sih?! Aku udah bersihin dari tadi dan kamu seenaknya numpahin air ini?" kesalnya.

"Kok Lo nyalahin gue, sih? Gue kan udah bilang nggak sengaja."

"Terus ngapain kamu di sini?" tanya Natasha.

"Gue mau ketemu Lo!"

"Maaf aku nggak ada waktu, aku harus bersihin ini dulu," tutur Natasha yang kini mulai kembali mengepel.

Namun, Bianca justru merebut pel itu dan membantingnya. "Gue nggak suka diabaikan!" tegas Bianca.

"Dan aku nggak suka diganggu!" tekan Natasha balik.

"Apa Lo bilang? Nggak suka diganggu? Tapi Lo yang ngebuat gue pengen ganggu Lo!"

"Maksudnya apa? Aku nggak paham."

"Lo yang udah mancing amarah gue dengan Lo deketin Levin."

"Levin?" Perjelas Natasha dengan dahi yang tampak berkerut.

"Iya, murid baru itu!"

"Aku nggak deketin dia, dan aku nggak kenal sama dia. Lagipula kamu nggak ada hubungan sama dia, ngapain sih ngomong kaya gini ke aku?"

"Dia pacar gue, Nat! Gue nyuruh dia pindah ke sini buat deket sama gue bukan deket sama Lo!" tegas Bianca.

"Oh, oke!" balas Natasha cuek dan ketus sambil mengambil kembali pel itu seolah tak menghiraukan Bianca.

Merasa geram Bianca menumpahkan kembali ember dengan sisa air itu lagi. "Heh! Gue udah bilang gue nggak suka diabaikan."

"Mau kamu apa sih? Aku kan udah jawab, aku nggak kenal dan nggak dekat sama Levin itu. Aku berdua sama dia karna kami dihukum," jelas Natasha.

"Tapi gue nggak suka Lo kecentilan sama Levin! "

"Astagfirullah, Bianca. Maksud kamu apa ngomong gitu? Aku nggak pernah punya niatan kaya gitu, mungkin kamu kali," balas Natasha yang sudah muak dengan sikap Bianca.

Merasa tersinggung dengan perkataan Natasha, Bianca tak tinggal diam ia mendorong bahu perempuan itu hingga jatuh.

"Arghh!" ringisnya saat Natasha merasakan sakit pada tulang ekornya.

"Ingat baik-baik, jangan pernah deketin Levin, gue bakal ngelakuin hal lebih dari ini kalau Lo masih aja deketin dia!" tegas Bianca sembari menunjuk wajah Natasha.

"Bianca!" panggil seseorang dari arah belakang.

Keduanya pun mengalihkan pandangannya ke belakang. Dan kedua bola mata cokelat terang Natasha bertemu dengan bola mata hitam legam milik Levin. "Apa yang lo lakuin sama dia?" tanya Levin, suaranya terdengar dingin dan ketus.

Bianca tampak gugup sekaligus takut jika tatapan Levin telah berubah dingin seperti itu. "Aku nggak ngapa-ngapain, kok. Aku cuma mau ngasih pelajaran sama dia aja karna deketin kamu!" jawab Bianca.

"Tapi aku nggak suka kamu gini. Kamu tau kan aku nggak suka sama cewe yang bertingkah rendahan!" ujar Levin.

"Tapi-"

"Aku tunggu di taman. Aku mau ngomong sama kamu!" tegas Levin yang kini lebih dulu meninggalkan tempat itu lalu di susul oleh Bianca.

...****************...

Saat Natasha berada di kelas, terdengar suara nyaring sudah menyambut kedatangan Natasha. Ya, dialah Tasya Deviana Putri yang sering disapa Ana itu adalah sahabat Natasha sejak mereka menginjak sekolah menengah pertama.

"Ya Allah, Nat. Ini kok rok kamu basah gini kenapa?"

Natasha duduk di samping Ana dengan masih setia mengusap roknya dengan tisu. "Jatuh tadi di kamar mandi," jawabnya.

"Kok bisa sih?" tanya Ana lagi.

"Nggak papa kok. Kurang hati-hati aja tadi," jawab Natasha.

"Makanya dong kalau jalan itu hati-hati. Mikirin apa sih.?"

"Iya-iya, udah ah jangan berisik, sakit nih bokong."

Setelah perbincangan tadi, tak lama kemudian pandangan mereka terarah pada seorang guru yang masuk dengan seorang lelaki tampan mengekori nya di belakang.

"Selamat pagi anak-anak!" sapa guru itu.

"Pagi, Bu."

"Baiklah hari ini, di kelas ini akan kedatangan murid baru, silahkan perkenalkan diri kamu."

"Nama gue Levin, gue pindahan dari SMA Garuda Putih."

"Sudah cukup, Levin?" Levin mengangguk dengan pandangan mata terarah pada Natasha yang memilih menunduk fokus pada bukunya, sebenarnya Natasha sudah malas melihat tampang Levin lagi. Bahkan mendengar Levin akan satu kelas dengannya itu membuatnya ingin sekali pergi.

"Baiklah, silahkan duduk di bangku kosong itu!" ujar Bu Reni.

Levin pun dengan santai duduk di bangku yang tak dekat dengan Natasha. "Baiklah semuanya buka buku kimia kalian kita lanjutkan mencatat kemarin," ujar Bu Reni.

Saat Bu Reni mencatat di papan tulis, Levin secara diam-diam berdiri dan menghampiri perempuan berkaca mata yang duduk di belakang Natasha. "Eh Lo pindah dong ke belakang. Gue mau duduk di sini!" bisik Levin.

Perempuan itu pun hanya mengangguk dan Levin dengan senyum senangnya segera menduduki tempat tersebut. Sementara banyak murid perempuan yang melihatnya seakan iri karena Levin lebih memilihi duduk di dekat Natasha.

Natasha yang mulai mencatat, merasa dirinya seperti diperhatikan. Saat ia mendongak melihat ke kanan dan kiri, benar saja ia melihat hampir semua murid perempuan menatapnya tak suka.

Kenapa sama mereka? Batin Natasha heran.

Saat ia menoleh ke Ana, ia hanya mengangkat bahunya tidak tahu. "Ada apa sih, Ana?" bisik Natasha.

"Gue nggak tau. Tapi kayanya gara-gara itu deh," ujar Ana sambil menunjuk ke arah belakang Natasha menggunakan dagunya.

Saat Natasha ikut menoleh ke belakang, seketika ia terkejut melihat wajah Levin yang malah menopang dagunya dengan tangan serta melemparkan senyum manis pada Natasha.

"Kamu kok duduk di sini?" tanya Natasha berbisik.

"Kenapa?" tanya balik Levin.

Natasha hanya diam dan memilih kembali memperhatikan ke arah depan disertai dengusan kesal. "Ngeselin banget sih!" gumam Natasha.

Mendengar samar-samar gumaman Natasha, seketika Levin tersenyum dan menulis sesuatu di kertas kecil, kemudian ia lemparkan ke arah Natasha.

"Baca!" bisik Levin.

Natasha pun mengambil kertas itu dan membukanya.

Setelah membaca tersebut, lagi-lagi Natasha hanya mendengus kesal, ingin sekali ia pindah tempat sekarang juga. Namun, sepertinya tidak mungkin.

...****************...

Disiang yang terik itu Natasha hanya bisa beristigfar dengan pandangan memandang mobil putihnya yang tiba-tiba mogok. "Ya Allah ini kenapa lagi sih mobil? Apa karna udah lama nggak diservis, ya?" gumamnya.

Ia jadi menyesali karena menolak ajakan Ana untuk pulang bersamanya saja tadi. Namun, saat ia memegang bagian-bagian mobil depannya yang telah ia buka itu suara klakson motor dari seseorang membuat Natasha terkejut.

"Astagfirullah, siapa sih?" cibir Natasha.

Dan saat orang tersebut membuka helmnya, Natasha hanya mengalihkan pandangannya kesal. "Kenapa? Mobilnya mogok?" tanya Levin.

"Nggak!"

"Judes banget sih. Gue betulin ya, gue bisa kok benerin mobil," tawar Levin sembari turun dari motornya bersiap menolong Natasha.

"Nggak usah deh. Aku nggak mau cari masalah lagi sama Bianca. Kamu belum puas lihat aku dijatuhin sama dia?" kesal Natasha.

"Ya gue tau makanya gue mau nebus kesalahan Bianca sama Lo. Lagian Lo juga punya salah sama gue, Lo belum tanggung jawab soal jaket gue yang Lo kotorin, kan? " tutur Levin.

"Iya-iya aku bakal tanggung jawab. Sini jaketnya, aku cuciin!"

"Beneran?" tanya Levin.

"Iyalah udah sini!"

Levin pun menyerahkan jaketnya. "Ya udah gue benerin ya mobil Lo."

"Eh nggak usah kamu pulang aja. Aku bisa suruh Papa jemput," tolak Natasha.

"Lo kepala batu banget sih. Udah sono minggir ,gue benerin!" ucap Levin sembari mendorong pelan lengan Natasha.

"Ish, aku kan udah bilang jangan pernah sentuh-sentuh!" omel Natasha yang terlihat sangat kesal.

Sedangkan Levin mengerutkan dahinya bingung. "Dasar cewek aneh. Di mana-mana mana cewek pasti seneng disentuh sama cowok ganteng kaya gue!" celetuk Levin yang mulai mengotak-atik atik mesin mobil Natasha.

"Astagfirullah," gumamnya.

"Ngapain istighfar?" tanya Levin yang masih tak mengalihkan perhatiannya.

"Kamu pernah dengar hadits ini : Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda, Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.

( HR. Thabrani dalam mu'jam al kabir 20: 211, syaikh al albani mengatakan bahwa hadist ini shahih )."

Pandangan Levin memang masih setia menatap mesin-mesin itu. Namun, indera pendengarannya terfokus pada apa yang diucapkan Natasha. Selama hidupnya jujur ia tak pernah mendapatkan nasihat seperti ini, bahkan cara Natasha memberikannya dengan selembut dan seperlahan itu. Seketika sudut bibir Levin tertarik membentuk senyuman tipis.

"Kamu paham nggak?" tanya Natasha.

Levin terkekeh. "Iya-iya paham. Lo menarik juga ya," lontar Levin yang membuat Natasha tergelak bahkan sampai menolehkan pandangannya ke Levin.

"Menarik? Maksud kamu?" tanya Natasha.

"Ya Lo beda aja dari cewek lainnya. Gue boleh minta nomor telepon Lo?"

"Nggak! Dan maaf di sini tidak melayani pria modus!" tegas Natasha.

Levin kembali terkekeh, entah apa yang lucu. "Lucu banget sih Lo. Tapi kita bisa temenan kan?"

"Eum, boleh. Tapi saran aku sih kamu nggak usah terlalu dekat sama aku."

"Lho kenapa?" tanya Levin.

"Satu, aku sama kamu itu nggak saling kenal, bahkan kamu itu anak baru. Dua, aku harus menjaga pergaulanku dan tidak boleh terlalu bebas. Tiga, aku nggak mau cari masalah sama Bianca lagi. Aku capek sama dia yang selalu nuduh macem-macem," jelas Natasha.

"Oke-oke, aku terima itu. Nih dah siap mobilnya, coba Lo nyalain!"

Natasha mengangguk dan masuk ke mobilnya untuk menghidupkannya. Dan teryata berhasil yang membuat Natasha akhirnya bernapas lega sembari mengulas senyum manisnya.  "Makasih ya, Vin. Ya udah kalau gitu aku duluan keburu sore. Assalamualaikum," pamitnya.

"Wa'alaikumu'sallam."

Bab. Tiga

Setelah menyelesaikan bacaannya, Natasha menutup mushaf Al-Qur'an itu lalu menciumnya. Saat ia meletakkannya di atas nakas pandangannya teralih pada sebuah bingkai foto yang di sana terdapat foto seorang anak perempuan yaitu dirinya sendiri dengan bocah laki-laki tengah tersenyum dan merangkulnya.

Untuk kesekian kalinya ia selalu meneteskan air mata jika mengingat semua tentang pangeran kecilnya. Sungguh, ia sangat merindukannya.

"Vanya, jangan sedih lagi, aku janji bakal balik lagi untuk kamu, terus kita bakal hidup bersama."

Seketika perkataan itu kembali terngiang di kepala dan telinga Natasha. Ia bukan hanya merindukan sosok pangeran kecilnya tetapi, ia memendam perasaan lebih untuk orang tersebut yang tak lain adalah Leon, pangeran kecilnya.

"Aku harap Allah masih mempertemukan kita, Leon."

...****************...

Di sisi lain seorang pria tampan dengan karismanya yang menawan baru saja keluar dari sebuah rumah sakit besar di Jakarta. Lelaki berumur dua puluh satu tahun itu telah menyelesaikan masa SMA-nya dan kini ia kuliah disalah satu Universitas di Jakarta mengambil Fakultas Kedokteran.

Ia baru saja bertemu Papanya di rumah sakit milik keluarganya membahas tentang penyerahan rumah sakit itu yang akan diserahkan pada dirinya sendiri.

Saat di mobil ia merogoh kantung jasnya mengambil handphone untuk menghubungi seseorang.

Tut ... tut ... tut ....

"..."

"Ya bagaimana pencarian kalian? Apakah kalian sudah menemukan keberadaan vanya?"

"..."

"Maksudnya Vanya sudah tidak tinggal di Filipina?"

"..."

"Baiklah, pesan tiket sekarang dan lakukan penerbangan ke sini, aku ada tugas lain!"

"..."

"Temui aku besok pagi di Kafe dekat kampus!"

"..."

Lelaki itu menutup sambungannya. Lelaki itu adalah Leon, seseorang yang menjadi sahabat serta pelindung bagi gadis kecil bernama Natasha di masa lalu. Dialah Leon, pangeran kecilnya Vanya. Saat Leon berusia tujuh tahun, ia harus meninggalkan negara kelahirannya Filipina karena pekerjaan kedua orang tuanya.

Bahkan karena orang tuanya, ia rela meninggalkan gadis kecilnya. Dan kini sudah beberapa tahun tinggal di Jakarta, sudah minggu lalu ia mengerahkan anak buahnya untuk mencari keberadaan Natasha di Filipina.

Namun, ia harus merasakan rasa kecewa saat anak buahnya mengatakan Natasha sudah tidak menetap di Filipina. Leon membuka dashboard mobilnya dan mengambil sebuah foto seorang anak perempuan tengah tersenyum manis, senyum yang sangat ia rindukan, bahkan Leon tidak tahu bagaimana rupa gadis kecilnya itu sekarang.

"Aku kangen sama kamu," gumam Leon tersenyum pedih dengan tatapan lurus ke arah foto itu.

Ting!

Suara notifikasi yang berasal dari handphonenya itu berhasil mengalihkan pandangan Leon. Awalnya ia semangat, karena ia mengira itu Andre anak buahnya. Namun, ternyata itu Yasmine, Maminya.

Ia pun membuka aplikasi WhatsApp dan menekan pesan tersebut.

"Leon, where are you? Mami capek nunggu kamu nggak pulang-pulang. Selama itukah Papi kamu ngajak ngobrol sampai tak kenal waktu, hah?

Cepat pulang! Mami ada kejutan buat kamu."

Leon menghembuskan napasnya dan melempar benda itu ke sampingnya. Maminya memang seperti itu, selalu saja menganggap Leon masih berumur lima belas tahun.

Leon pun melajukan mobilnya untuk segera pulang.

...****************...

Mata elang Leon memicing saat ia telah tiba di pekarangan rumah mewah itu. "Mobil siapa? Apa ada tamu?" gumamnya.

Leon mengangkat bahunya acuh tak mau ambil pusing dan segera masuk tanpa mengetuk pintunya.

"Hei, Leon. Akhirnya kamu pulang juga. Mami nunggu kamu lho." Suara yang seakan sangat menyebalkan ditelinga Leon itu langsung menyambutnya.

"Apaan sih, Mi. Lagian Leon juga udah biasa pulang malem," ujar Leon tanpa menyadari seorang perempuan yang duduk membelakanginya.

"Oke-oke, eum ... Mami ada kejutan buat kamu. Mami jamin kamu pasti senang," ucap Yasmine.

Leon sama sekali tak heboh dan hanya memutar bola matanya malas.

"Please deh, Mi. Langsung aja. Leon capek, mau istirahat!" kesalnya.

"Lihat, siapa yang duduk di sana."

Leon mengikuti arah tunjuk Yasmine, awalnya Leon telihat bingung tetapi, saat perempuan tersebut berbalik badan sembari berdiri, seketika Leon terkejut, tapi dengan cepat raut wajahnya berubah dingin.

"Hai, Leon. How are you? I miss you. You're more handsome, honey." Leon spontan menghempaskan tangan perempuan itu ketika ia mulai disentuh tidak sopan pada area lengannya.

"Jangan sentuh gue dengan tangan menjijikan Lo itu, *****!" tegas Leon dengan penuh penekanan dan menatap perempuan itu tajam.

Bukannya takut atau apa, perempuan itu malah tersenyum.

"Kamu kenapa sih, sayang? Kamu nggak kangen sama aku, hm? Aku udah bela-belain ke sini buat kam-"

"GUE MINTA LO DIEM!" bentak Leon yang sudah sangat muak dengan perempuan di hadapannya.

"Astaga Leon, kamu apa apaan, sih? Siapa yang ngajarin kamu bentak-bentak perempuan gitu? Apalagi sama Carry, Mami nggak suka!" tegur Yasmine.

Leon terkekeh. "Mami nggak suka, kan? Ya udah, biarin aku tidur! Aku udah muak dan eneg lihat muka ****** ini, urusin aja sendiri," sarkas Leon yang langsung pergi kelantai dua kamarnya.

Carry Alexandra. Seorang perempuan berdarah Amerika-Indo. Ia merupakan mantan pacar Leon, mereka pacaran saat umur delapan belas tahun sampai sembilan belas tahun. Keduanya bertemu saat Leon liburan di bali, dan kebetulan Carry pun sama.

Leon menjadikan Carry kekasihnya bukan semata mata ia mencintainya, sebab Leon tetap mencintai Vanya atau Natasha. Ia terpaksa, sebab saat umur tujuh belas tahun, entah darimana Yasmine berpikir akan menjodohkannya dengan perempuan lain.

Dan saat itu dia terpaksa menyuruh Carry untuk menjadi kekasihnya selama setahun, saat tiga hari sebelum berakhirnya hubungan itu. Leon sudah tak tahan jika tetap menjalin hubungan dengan Carry, pasalnya ia sempat tak sengaja memergoki Carry berhubungan intim dengan seorang lelaki bule di hotel milik Pamannya.

Dan akhirnya Leon mengakhiri hubungan itu tanpa persetujuan Carry dan pergi ke Jakarta mengikuti kedua orang tuanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!