Hari itu sore menjelang Maghrib, hujan turun tapi tidak terlalu lebat. Namun cukup membasahi jalanan dan membuat cuaca cukup dingin. Gadis penjahit muda itu sedang sibuk menjahit baju yang besok pagi-pagi sekali akan diambil oleh pelanggannya.
Tidak seperti hari biasanya ia selalu pulang tepat waktu, sore sebelum maghrib. Tapi hari ini gadis itu tidak ingin mengecewakan pelanggannya yang akan mengambil baju hasil jahitannya besok.
Setelah dua jam lebih berlalu akhirnya baju dengan bahan berenda yang berwarna tosca itu selesai dijahitnya. Setelah bersiap-siap, ia keluar dari kios jahit peninggalan bapaknya yang berukuran tiga kali empat meter itu, tidak lupa ia mengunci pintu kios.
Sekarang sudah jam delapan lebih tiga puluh menit pasti ibunya akan memarahinya karena pulang malam pikirnya. Bukan marah karena khawatir ia pulang malam, tapi karena tidak ada makanan yang mau dimakan oleh ibu tirinya. Karena biasanya gadis itulah yang memasak untuk orang tuanya.
Mungkin karena malam itu dingin sehabis hujan sehingga orang-orang tidak ada yang keluar rumah. Jadi suasana malam itu tampak sepi. Biasanya ramai warga yang berlalu lalang di gang kecil itu. Tapi malam ini dirinya berjalan sendiri di gang itu.
Ia berjalan di gang yang akan menuju ke rumahnya, gang yang akan menuju rumah gadis itu cukup sempit, hanya bisa dilewati satu mobil saja. Rumah-rumah warga di kiri dan kanan cukup rapat namun malam ini tidak terlihat penghuninya entahlah kemana mereka, padahal jam masih menunjukkan pukul delapan lebih tiga puluh menit.
Tapi rumah warga cukup terang sehingga gadis itu tidak takut meski berjalan sendiri di jalan yang sepi.
Setelah jalan beberapa langkah gadis itu merasa ada yang berjalan di belakangnya. Dia tidak tahu apakah orang di belakangnya mengikutinya atau orang itu juga akan melewati jalan yang sama dengannya.
Setelah di persimpangan, ia belok ke kanan dan jalannya lumayan besar tidak seperti di gang tadi. Dari persimpangan, rumah gadis yang memiliki wajah cantik itu tidak jauh lagi, hanya tinggal jalan beberapa meter saja.
Di jalan itu juga masih sepi. Dan orang yang ada di belakangnya tadi masih tetap ada di belakangnya dan ia merasa memang orang itu mengikuti dirinya.
Akhirnya gadis penjahit cantik itu memberanikan diri untuk melihat ke belakang. Dilihatnya ada seorang laki-laki berbadan tinggi dan besar memakai jaket hoodie menutupi kepalanya berada kira-kira lima langkah di belakangnya.
Namun dia tidak berani untuk menanyakan siapa laki-laki itu dan mau apa mengikuti dirinya. Lalu ia kembali lagi melihat ke depan namun tetap berhenti.
Gadis itu tidak merasa takut sama sekali saat melihat laki-laki di belakangnya. Ia pun tidak tahu mengapa dirinya tidak merasa takut.
Laki-laki itu terus berjalan meski gadis itu sempat berhenti sejenak karena melihatnya tadi. Tapi, laki-laki itu terus menunduk dan tidak sengaja bahu kirinya menabrak punggung gadis itu.
"Aw," pekik gadis itu di keheningan malam.
Gadis muda itu terhuyung ke depan dan hampir saja terjatuh kalau saja laki-laki itu tidak memegang tangannya.
"Lo mabuk juga ya," kata laki-laki itu.
"Hah! juga?" Gadis itu berpikir sejenak, mencerna kata-kata yang diucapkan laki-laki itu.
"Berarti anda sedang mabuk ya?" tanya gadis itu pada laki-laki itu.
"Gue tanya lo, eh! lo malah nanya balik. Tau dari mana lo kalau gue mabuk?"
"Anda bilang tadi, 'lo mabuk juga ya?'. Ada kata juga-nya. Berarti anda mabuk dan saya mabuk, begitu kan maksud anda?" gadis itu berargumen.
Laki-laki itu tidak menjawab.
"Tapi maaf, saya sadar sepenuhnya dan sedang tidak dalam keadaan mabuk," tambah gadis itu.
"Kalau anda mabuk, jangan tuduh-tuduh orang lain mabuk dong," tambah gadis itu lagi.
Kembali laki-laki tadi terdiam. Namun kali ini raut wajahnya terlihat tidak senang dengan argumen gadis itu yang panjang tadi.
Laki-laki berwajah tampan itu pergi tanpa banyak bicara meninggalkan gadis itu sendiri.
Sesaat setelah laki-laki tadi pergi gadis itu memperhatikan ke mana arahnya berjalan.
Kini gadis cantik itu melongo. Menatap punggung kekar milik lelaki berwajah tampan itu melangkah. Dan sepertinya dia tahu kemana laki-laki itu akan pergi.
Rumah kontrakan gandeng tiga yang dari persimpangan sudah terlihat. Ke situlah laki-laki itu melangkah.
Dan tidak lain itu adalah rumah kontrakan di mana gadis itu dan orang tuanya tinggal.
Kening gadis penjahit itu mengkerut, ia tampak berpikir sejenak. Tamu bapaknya kah. Karena rumah kontrakan itu ada tiga, dan sementara hanya dia dan keluarganya yang menempati salah satu rumah itu. Dua rumah lainnya masih kosong, belum ada yg hendak mengisinya.
Laki-laki itu tampak telah sampai di depan salah satu pintu rumah kontrakan, tepat di samping rumah yang ia tinggali bersama keluarganya.
Laki-laki itu mengeluarkan kunci dan membuka pintu rumah itu lalu masuk ke dalamnya.
"Oh! penghuni baru ya ternyata," Gumamnya sendirian.
Setelah hampir setahun akhirnya rumah kontrakan tiga pintu itu bertambah satu penghuninya. Tadinya hanya ia dan keluarganya saja yang menempati satu petak rumah kontrakan itu.
Ia pun melangkah menuju rumahnya.
Di rumah kontrakan kecil itu gadis itu tinggal bersama dengan bapak kandungnya dan ibu tirinya.
Lestari Syafira adalah nama lengkap gadis penjahit itu. Umurnya 21 tahun, masih terbilang muda. Disaat teman sebayanya mengenyam dunia perkuliahan tapi ia sudah bekerja sebagai seorang penjahit muda. Namun ia senang melakukan pekerjaan itu. Tidak ada penyesalan maupun kesedihan saat ia tidak melanjutkan sekolahnya dan hanya tamat sekolah menengah pertama saja.
Ia terlihat cantik alami, karena menuruni wajah ibunya. Badannya tidak terlalu tinggi namun terlihat bagus, Pipi tirus, hidung mancung, bibir kecil yang berwarna merah jambu menghiasi wajahnya.
Keluarga, teman-teman dan orang-orang sekitarnya memanggilnya Tari. Tari berprofesi sebagai penjahit. Ia mewarisi keahlian bapaknya.
Bapaknya sejak dulu adalah seorang penjahit, namanya bapak Syabani. Beliau membuka kios jahit kecil-kecilan. Beliau adalah penjahit handal meskipun hanya memiliki kios kecil, namun hasil jahitannya rapi, tarif yang dikenakan juga terbilang murah. Maka dari itu bapaknya selalu banjir orderan.
Semua bisa dijahit bapaknya, seperti kemeja laki-laki, dress wanita, kebaya, hingga kain penutup pintu dan jendela atau gorden.
Ketika sudah kewalahan seperti itu bapaknya selalu meminta Tari untuk membantu. Awalnya Tari hanya diajarkan menjahit lurus saja, seperti menjahit gorden.
Namun lama kelamaan Tari penasaran dan ingin mempelajari banyak hal tentang pekerjaan bapaknya itu seperti membuat pola, memotong pola dan lainnya. Padahal saat itu usianya masih terbilang sangat muda bahkan bisa dikatakan masih kecil.
***
Sementara di rumah petak sebelah Tari tinggal, laki-laki tampan itu terkekeh.
"Disangka gue ngikutin dia kali ya, hahaha.. KeGRan banget sih jadi cewek. Cantik juga gak."
'Bruk!'
Laki-laki itu merebahkan dirinya di kasur empuk yang baru dibelinya tadi pagi dan langsung diantarkan di rumah kontrakan yang sekarang ditempatinya oleh bawahannya. Lalu ia merogoh kantongnya mengambil benda pipih yang digunakan sebagai alat komunikasi itu.
"Eh! cantik juga sih," gumamnya, menyambung ucapan yang ia lontarkan sendiri.
Ia pun kembali terkekeh..
To Be Continue...
Testing dulu ya..
Semoga suka dengan ceritanya 😊
Tok! Tok! Tok!
Tari mengetuk pintu rumahnya.
Ceklek
Bukannya pintu rumahnya tetapi malah rumah sebelah yang terbuka.
"Ada apa?" tanya si laki-laki tampan tadi setelah membuka pintu.
Ada rasa kaget ketika tahu siapa yang mengetuk pintunya.
Namun di depan pintu luar tepatnya di depan pintu rumahnya Tari pun tak kalah kaget. Pasalnya ia mengetuk pintu rumahnya bukan pintu rumah laki-laki itu.
"Saya berdiri di sini, bukan berdiri di depan pintu anda dan saya mengetuk pintu rumah saya bukan pintu rumah anda," jawab Tari panjang lebar.
Sepertinya gadis ini suka dengan perdebatan.
Tanpa babibu laki-laki tadi menutup pintunya dengan agak kasar sambil menahan malu dan menutupi wajahnya yang seperti kepiting rebus sekarang ini.
Malu. Kenapa dirinya bisa salah mendengar sih! runtuknya dalam hati.
Setelah menutup pintu ia memukul-mukulkan keningnya dengan tangannya sendiri berulang kali, sambil komat-kamit tak jelas memaki dirinya sendiri.
Memang rumah petak kontrakan itu sangat rapat bahkan dindingnya pun tidak ada jarak sehingga bisa saja orang berbicara di sebelah rumahpun bisa terdengar bahkan seperti tadi Tari mengetuk pintu rumahnya namun pikir laki-laki itu pintu rumahnyalah yang diketuk.
Fadly Anggara Dewantara laki-laki tampan itu anak dari seorang pengusaha kaya dan sukses, ia kabur dari rumah karena tidak ingin hidupnya terlalu dikekang oleh sang Mama dan Papa.
Usianya kini 22 tahun, ia lebih tua setahun dari Tari, namun sifatnya seperti kekanakan. Kalau dibilang dia terlalu dimanja tidak juga. Justru Mama dan Papanya selalu bertindak tegas dan mengajarkan kemandirian padanya.
Mama dan Papanya selalu mengatur kehidupannya mulai dari kecil hingga kini setelah ia kuliah pun masih diatur. Karena ia adalah anak laki-laki satu-satunya dikeluarga Dewantara. Sangat besar harapan papanya kepada dirinya untuk menjadi orang sukses seperti yang papanya inginkan.
Bahkan tempat kuliah dan jurusanpun diatur oleh mamanya. Oleh sebab itu ia tidak suka tinggal dirumah.
Ia pernah meminta kepada papanya untuk membelikan apartement agar ia tinggal di apartement supaya lebih mandiri tapi ditolak mentah-mentah oleh papanya.
Alhasil karena terlalu bosan dengan keadaan di rumah dan orang-orang yang selalu mengatur dirinya ia pun kabur meninggalkan rumah megah milik papanya.
Ia kabur lumayan jauh dari tempat tinggalnya agar tidak diketahui oleh keluarganya. Tidak tanggung-tanggung, ia mencari daerah terpencil untuk kabur. Tapi ia tidak bisa menemukan daerah dan tempat tinggal yang pas.
Jadilah kini ia mengontrak rumah kecil gandeng tiga milik salah satu pekerja di rumahnya, tepatnya pekerja itu adalah kepala pelayan dirumah megah milik papanya yang sebelumnya ia paksa untuk tutup mulut agar tidak memberitahukan kepada keluarganya terkhusus pada mama dan papanya.
Daerahnya tidak terlalu terpencil dan pelosok, tapi hanya sedikit kampungan baginya yang sudah terbiasa tinggal di kota besar.
Namun ia sadar selama masih satu kota pasti cepat atau lambat sang mama atau papa akan menemukannya. Karena dia adalah laki-laki dikeluarganya yang sangat diharapkan papanya untuk bisa meneruskan perusahaan besar milik papanya.
Biarlah nanti ia akan terkekang lagi dan mungkin nanti akan menuruti semua permintaan mama dan papanya.
Tapi untuk sekarang ini ia hanya ingin bebas meskipun hanya sementara waktu.
***
Kembali Tari sang gadis penjahit itu mengetuk pintu rumahnya. Setelah adegan si tetangga salah buka pintu tadi.
Sambil terbatuk-batuk bapaknya membukakan pintu untuk Tari. Dari dalam rumah muncullah wajah teduh milik bapaknya yang renta dan sakit-sakitan.
Pak Syabani sudah berumur 56 tahun. Tidak terlalu tua dibanding papa Fadly, namun karena tuntutan kehidupan yang membuat pak Syabani menjadi sakit-sakitan dan tampak lebih tua dari usia seharusnya.
"Assalamu'alaikum," ucap Tari ketika pintu terbuka dan langsung menyalami bapaknya dengan takzim.
"Wa'alaikumsalam, kenapa baru pulang nak, bapak khawatir karena gak biasanya kamu pulang malam begini. Kamu gak kenapa-kenapa kan?" begitulah sambutan hangat untuk Tari.
Tari tersenyum dan menjawab.
"Alhamdulillah, Tari baik-baik aja kok pak. Tadi Bu Hanifa datang ke kios untuk ambil bajunya, padahal bahannya baru dikasih kemarin sore dia bilang tiga hari lagi diambil. Tapi tadi dia bilang lagi kalau besok pagi-pagi dia mau pakai itu baju. Jadi Tari selesaikan bajunya dulu pak sebentar."
"Tapi tadi kamu sholat Maghrib kan nak?" tanya bapaknya.
'Aduh iya tadi gak shalat, Astaghfirullah, jawab apa ya,' gumam Tari dalam hati.
Boleh dikatakan Tari bukanlah wanita yang shaleha bahkan kepalanya pun belum ia tutup dengan hijab namun Tari memang tidak pernah meninggalkan sholat, itulah ajaran bapaknya sedari kecil.
"Tari lupa pak," jawabnya jujur.
"Astaghfirullah nak, kenapa bisa lupa? Seharusnya sesibuk apapun kamu harus tetap shalat lima waktu."
"Iya pak maaf ya, Tari selalu ingat pesan bapak, Insya Allah besok-besok gak lupa shalat lagi."
"Minta maaf sama Allah nak! karena kamu lupa sama Dia. Dan nanti jangan lupa lagi untuk shalat isya."
"Iya pak. Oh iya, kok bapak yang bukain pintu, ibu kemana pak?"
"Ibu tadi lapar katanya jadi dia pergi keluar mau beli makanan. Sudah satu jam lebih, tapi bapak gak tau kenapa belum pulang ibu kamu itu," jawab bapaknya sambil berlalu dan ingin masuk ke kamarnya.
Yang dimaksud ibu adalah ibu tirinya, Ibu Rosita. Ibunya tidak pernah mau memasak. Ia hanya mengandalkan Tari untuk mengisi perutnya yang lapar. Bahkan jika Tari sibuk dan tidak sempat untuk memasak karena banyak jahitan yang harus segera diselesaikan seperti sekarang ini ia tidak peduli.
Biasanya ia menelepon Tari untuk cepat pulang agar cepat memasak atau jika bosan dengan masakan Tari, ia menelepon untuk dibelikan makanan di luar saja.
Ia hanya memikirkan perutnya sendiri. Jika keluar dan akan membeli makan pun ia membeli untuk dirinya sendiri tidak pernah mau untuk membelikan suaminya apalagi untuk Tari anak tirinya.
Tari menutup pintu kembali.
"Jadi udah dari tadi ibu keluar tapi belum pulang?" tanya Tari. Yang hanya dijawab anggukan oleh bapaknya.
"Bapak belum makan?" tanya Tari lagi.
"Belum," jawab bapaknya.
Tanpa berpikir panjang Tari gegas ke dapur. Ia buka kulkas namun ia hanya menemukan empat butir telur saja. Tidak ada apa-apa lagi selain itu.
Ia buka penanak nasi, nasi tadi pagi yang ia masak masih ada.
Karena sudah sangat terlambat makan malam untuk bapaknya maupun dirinya sendiri jadilah ia hanya menggoreng telur itu.
Ia sediakan nasi hangat dari dalam penanak nasi dan telur dadar goreng untuk ia dan bapaknya makan.
"Makan dulu yuk pak," ajaknya pada bapaknya.
Ia tuntun bapaknya dari dalam kamar ke meja makan ala kadarnya yang terletak di rumah kontrakan mereka. Duduk lah mereka berdua makan malam dengan telur dadar dan nasi hangat.
Ketika Tari dan bapaknya sedang makan ibu tirinya, Bu Rosita pulang tanpa mengetuk pintu dan langsung masuk.
Tidak ada sepatah kata pun yang diucapkan Bu Rosita pada dua manusia bapak dan anak itu setelah masuk rumah, Bu Rosita hanya memandang sejenak kemudian melangkah masuk ke kamar.
Dia kini jadi sinis, padahal dahulu ia tidak seperti itu.
Bersambung...
Terimakasih sudah baca
Semoga suka dengan ceritanya 😊
Sejak umurnya sepuluh tahun Tari sudah ditinggal pergi untuk selamanya oleh ibu kandungnya, ibu Aini. Ibu Aini mengidap penyakit kanker payudara.
Kanker itu cukup lama menjalari tubuh Bu Aini bertahun-tahun lamanya. Sehingga dirinya harus bolak-balik ke Rumah sakit untuk menjalankan serangkaian perobatan untuk menyembuhkan penyakitnya, menjalankan operasi, kemoterapi dan itu semua mengeluarkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya.
Oleh karena itu Pak Syabani sebagai suamilah yang kerja keras agar istrinya sehat. Namun, setelah uang habis banyak dikeluarkan Bu Aini tak juga kunjung sembuh namun malah meninggalkan Tari dan bapaknya untuk selamanya.
Lima tahun setelah kepergian Bu Aini, Pak Syabani menikahi Bu Rosita hingga kini.
Dulu Bu Rosita baik terhadap Tari. Tidak semena-mena seperti sekarang. Dulu ia menyayangi Tari seperti anak kandungnya sendiri. Memasak makanan kesukaan Tari, mengajari gadis itu bagaimana cara merawat diri, merias wajah.
Tari pun senang karena ada sosok pengganti ibunya yang juga tidak kalah baik dan memberikan ia kasih sayang layaknya anak kandung sendiri.
Tari sering bercerita tentang kesehariannya di sekolah ketika pulang sekolah. Bercerita tentang teman-temannya, gurunya dan banyak hal yang dikerjakannya di sekolah.
Bu Rosita juga sering membantu Tari mengerjakan tugas sekolah. Mereka juga dulu sering memakai baju couple ibu dan anak perempuan jika pergi kesebuah hajatan.
Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama dirasakan Tari. Hanya berjalan tiga tahun saja. Setelah itu semua berubah.
Bu Rosita hanya mau membereskan rumah saja. Urusan mencuci baju, memasak dan lainnya dia tidak peduli.
Ketika itu usia Tari 18 tahun, ia sebelumnya tidak pernah tahu cara memasak, bahkan bumbu-bumbu dapur juga ia tidak mengenalnya.
Karena sejak kecil ibu kandungnya tidak pernah menyuruhnya memasak. Meskipun hanya menggoreng telur dadar.
Dan ketika ibu kandungnya meninggal, selama lima tahun bapaknya lah yang mengambil alih urusan dapur.
Namun sejak Bu Rosita berubah menjadi tidak sayang lagi terhadapnya Tari dipaksa untuk memasak. Jika makanan yang ia masak tidak enak maka Bu Rosita akan memarahinya, bahkan memasuk-masukkan paksa makanan itu ke dalam mulut Tari.
Banyak sekali perlakuan kasar Bu Rosita terhadapnya. Namun dirinya enggan untuk mengadukan perbuatan ibu tirinya itu kepada bapaknya. Karena Tari mengingat ibu tirinya itu pernah memberikan kebahagiaan kepadanya dan juga mengajarkan banyak hal tentang perawatan diri kepadanya.
Sedangkan ibu kandungnya belum sempat mengajarkan banyak hal kepadanya karena penyakit menahun yang diderita ibunya.
Karena itulah Tari merasa Bu Rosita cukup berjasa padanya. Meskipun hanya beberapa tahun saja.
Semenjak kehadiran Sandilah Bu Rosita jadi berubah galak seperti singa kepada Tari.
Ya, semua itu berawal ketika Sandi seorang pria dewasa berumur 28 tahun datang dan meminta uang kontrakan bulanan ke rumah Tari. Kemudian bertemulah Sandi dengan Tari.
Tari sebelumnya sudah pernah bertemu dan bahkan mengenal Sandi dari cerita sang ibu yang selalu membanggakan anak-anaknya. Tapi Sandi, pria itu tidak pernah bertemu dan mengenal Tari padahal mereka tinggal di kampung yang sama bertahun-tahun.
Sandi adalah anak Ibu Hanifa yang tak lain adalah pemilik rumah kontrakan tiga pintu yang ditempati Tari dan keluarganya.
Bu Hanifa juga dulu sering menjahit baju pada Pak Syabani, bapaknya Tari. Kini Bu Hanifa masih tetap menjadi pelanggan bapaknya meskipun yang menjahit sekarang adalah Tari, namun Bu Hanifa mengaku puas dengan jahitan Tari yang hasilnya hampir sama dengan hasil jahitan bapaknya.
Bu Hanifa lah yang menyebabkan Tari pulang terlambat malam ini, karena harus menyelesaikan baju tempahannya.
Sandi adalah anak bungsu Bu Hanifa. Bu Hanifa memiliki tiga orang anak yang semuanya laki-laki. Sandi baru seminggu pulang ke kampung halamannya setelah dua tahun ia berlayar. Karena pekerjaannya adalah crew kapal pesiar mewah milik majikan ayahnya.
Setelah Sandi bertemu dengan Tari, Sandi merasa tertarik dengan Tari. Ia mencoba mendekati Tari. Beberapa kali ia datang ke rumah untuk berkenalan dengan Tari secara langsung.
Tari pun mempersilahkan, tidak ada yang salah kalau hanya datang untuk berkenalan dan pada saat itu Sandi datang baik-baik.
Awalnya pembicaraan mereka biasa saja, tetapi lama kelamaan pembicaraan Sandi tidak jauh seputar harta dan kemewahan yang ia dan keluarganya miliki, persis seperti Bu Hanifa, ibu dari Sandi.
Pembicaraan mereka tidak lebih hanya menyombongkan diri dengan harta yang mereka miliki disetiap kalimat demi kalimat.
Hal itulah yang membuat Tari tidak suka. Meskipun ia hidup sangat sederhana namun ajaran bapak dan ibunya yang telah membentuk kepribadian gadis itu sehingga ia tidak silau dengan harta.
Setelah menunggu moment yang tepat menurutnya, akhirnya Sandi melamar Tari.
Pada saat itu usia Tari baru 18 tahun, pikir Tari itu adalah usia yang sangat muda untuk menerima lamaran seseorang, dimana teman seusianya saja masih harus menyelesaikan sekolah menengah atas.
Ia menolak lamaran Sandi dengan sopan dan kata-kata yang halus agar tidak menyinggung perasaan Sandi.
Lagi pula pria itu adalah Sandi, yang selalu menyombongkan diri dengan hartanya. Tidak sekali dua kali Tari juga pernah melihat Sandi memaki orang yang datang ke rumahnya untuk meminta-minta.
Dilain waktu Tari juga melihat bagaimana Sandi memarahi pembantu dengan kata-kata kasar di depan rumahnya. Waktu itu Tari disuruh mengantarkan hasil jahitan oleh bapaknya yang dipesan Bu Hanifa ke rumah Sandi.
Pembantunya sudah tua, Tari juga mengenal pembantunya itu yang tak lain adalah Bi Lela, rumahnya di ujung gang kecil yang akan menuju rumah Tari. Mereka sering bertegur sapa.
Bi Lela, dia sudah lama bekerja di rumah keluarga Sandi. Yang seharusnya Sandi bisa lebih mengenal Bi Lela. Bahkan ada majikan yang menganggap pembantu adalah saudaranya sendiri karena pembantu rumah tangga itu sudah membantu meringankan pekerjaan rumah seorang ibu yang tidak ada habisnya, namun tidak bagi Sandi.
Ketika Bi Lela sedang menyapu halaman rumah keluarga Sandi. Tari sudah sampai di depan dibalik pagar tinggi rumah itu. Ia sudah melihat keberadaan Bi Lela dan akan menyapanya, namun detik berikutnya ia terkejut dengan bentakan pria sombong yang ia kenal.
"Heh! pakai mata dong kalau nyapu, saya ada disini."
Sampah dedaunan dan tanah yang ikut tersapu Bi Lela ternyata mengenai kaki Sandi sehinggaa kakinya kotor penuh dengan abu dan tanah. Bi Lela tidak tahu menahu kalau Sandi sedang berjongkok dan mengutak-atik motornya yang tidak jauh dari tempat Bi Lela menyapu.
"Kamu buta atau kamu sengaja mau mengotori saya ha!!!" kembali Sandi memarahi Bi Lela.
Kata-kata itu terlontar begitu saja untuk orang tua yang meskipun dia adalah seorang pembantu tapi tidak pantas dimarahi seperti itu dan memakai panggilan kamu bukan Bibi.
Bi Lela hanya terdiam tertunduk dan hanya mengucapkan maaf.
Tidak sampai situ Sandi belum puas membentak, memarahi, juga menunjuk-nunjuk Bi Lela dan sempat menyentuh kepala Bi Lela dengan telunjuknya sambil mengucapkan kata, "Udah tua gak ada ot*k emang dasar."
Tari melihat Bi Lela menahan tangis sambil mengucapkan maaf dan maaf berulang kali.
Karena sudah melihat kejadian itu Tari jadi enggan untuk menemui Bu Hanifa. Akhirnya ia kembali ke kiosnya dan berbohong kepada bapaknya kalau Bu Hanifa tidak ada di rumah. Ia tidak menyangka perbuatan Sandi seperti itu kepada orang tua.
Semenjak kejadian itu, Tari malas untuk menemui Sandi bila datang ke rumahnya untuk bertamu. Semenjak ia menolak lamaran Sandi, Sandi tidak putus asa, ia masih terus merayu Tari.
Sesekali ia datang ke kios jahit milik bapak Tari. Memperkenalkan dirinya sebagai anak dari Bu Hanifa orang yang paling kaya di kampung mereka. Ia juga mengatakan pekerjaannya bagus dan pendapatannya besar. Maka nanti Tari tidak akan hidup susah jika menerima lamaran dan menikah dengannya.
Pak Syabani tidak langsung mengiyakan ajakan lamaran Sandi. Tapi ia hanya mengatakan itu terserah Tari, karena Tari yang akan menjalani kehidupan pernikahannya nanti bukanlah dirinya.
Sandi berpikir sia-sia berbicara dengan pak Syabani tidak ada hasilnya. Lalu ia mencoba berbicara dan memulai pendekatan dengan Bu Rosita agar Bu Rosita mempengaruhi Tari untuk menerima lamarannya.
#####
Bersambung...
Semoga suka dengan ceritanya ya readers😊😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!