NovelToon NovelToon

Duka Dua Garis Merah

Ketidaksengajaan

🔊 Hallo. Ini cerita pertama kali yang aku tulis. Masih banyak banget kekurangannya. Harap dimaklumi, ya. Semoga penulis bisa terus mengembangkan tulisan yang lebih baik dan mudah dimengerti. Novel ini bersifat Alur Mundur (Flashback Novel). Terimakasih😊

...*...

Kriiiiiinnggggg..!!!

Bunyi alarm di tengah keheningan memaksa kelopak mata Zaira terbuka. Melihat jam kecil itu menunjukkan pukul 5 pagi membuatnya langsung memadamkan bunyi alarm.

Ia membalikkan badan dan memandang lelaki yang tengah terlelap di sebelahnya. Tak bergerak meski bunyi alarm memekik di telinga.

Ah.. dia pasti kelelahan karena harus begadang akibat pekerjaannya. Pikir Zaira.

Ia mengelus pipi suaminya yang terasa agak kasar karena bulu halus di sekitar rahangnya yang membuat suaminya itu terlihat tegas dan berwibawa.

"Sayang, bangun.." ucapnya dengan suara lemah lembut. Zaira kenal betul dengan suaminya. Takkan ampuh membangunkannya hanya dengan ucapan dan perlakuan lemah lembut.

Ia pun sedikit mengguncangkan tubuh suaminya yang hanya memakai kaus tanpa lengan hingga menunjukkan sedikit lekukan yang keras. 

"Bangun sayang.. katanya mau jogging"

"Hmm..." matanya kini mulai sedikit membuka. Jari telunjuknya mengacung di depan wajahnya. Menujukkan angka satu.

Zaira paham betul maksudnya. "Ya sudah. Satu jam lagi aku bangunin, ya.." katanya sambil beranjak dari tempat tidur untuk mulai memasak.

Ia pun memulai aktivitasnya seperti biasa. Sebenarnya dirumah sudah ada asisten rumah tangga. Namun untuk urusan masak, ia tak memberikan itu kepada Mbok Inah. Karena menurutnya, ia harus memanjakan lidah suaminya dengan masakannya sendiri. Karena suaminya sangat menyukai masakannya.

Satu jam berlalu. Zaira menuju kamar untuk membangunkan suaminya. Tetapi suaminya tidak ada di tempat tidur. Namun sayup-sayup terdengar suara air di kamar mandi.

Pintu kamar mandi pun terbuka. Suaminya keluar dengan hanya memakai handuk dari pinggangnya hingga menunjukkan bentuk tubuh yang atletis.

"Loh kok cepat bangun?"

"Iya sayang. Andre telfon katanya pagi ini klienku mau langsung masukkan gugatan ke pengadilan. Gak tahan lagi katanya" jawabnya sambil memakai bajunya.

Zaira mengerutkan dahi. "Gugatan cerai? Kenapa?"

"Aku belum cerita, ya? Istrinya udah 3 tahun tidak hamil-hamil. Katanya sih, dia sangat ingin punya anak. Padahal ya, menurutku itu cuma alasannya saja. Punya selingkuhan sih kayanya." Kata Brian yang tiba-tiba berhenti menyisir rambutnya dan memandang istrinya yang terdiam menunduk.

Brian merasa sudah mengatakan sesuatu yang menyinggung istrinya. "Ah sayang.. maafkan aku." Brian mendekati istrinya. "Aku gak bermaksud..."

"Tidak apa sayang" Ucap Zaira sambil tersenyum. "Ayo, cepat. Nanti nasi gorengnya dingin. Aku buatin spesial kesukaanmu biar semangat hari ini." Katanya sambil menarik lengan suaminya.

Namun Brian menahan dan memeluk istrinya.

"Aku benar-benar minta maaf sayang. Demi Tuhan aku tidak bermaksud apa-apa."

"Tidak apa-apa Mas, Bian. Aku tahu kok.." Kata Zaira sambil membalas pelukan suaminya.

Zaira telah menikah dengan Brian selama 7 tahun. Namun selama itu pula mereka belum dikaruniai anak. Brian berulang kali mengatakan kepada istrinya bahwa ia sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Karena perasaannya pada Zaira yang tulus. Mengingat bukan gampang ia mengejar cinta Zaira yang berulang kali jatuh bangun demi menyematkan namanya di hati Zaira.

Baginya, Zaira bersamanya saja sudah lebih dari cukup. Walau tak dipungkiri dalam hati kecilnya menginginkan buah hati.

Zaira pun menyadari itu. Ia tahu suaminya sangat senang dengan anak-anak. Walau berulang kali bibirnya mengatakan tidak masalah, namun Zaira bisa melihat mata Brian yang menginginkan sosok anak hadir di kehidupan mereka.

Zaira pernah meminta izin untuk mengadopsi anak. Namun Brian menolak dan mengatakan jika tidak ada anak, mereka tidak perlu mengadopsi. Tapi jika Zaira benar-benar ingin anak, Brian memberikan opsi Bayi tabung. Karena Briyan ingin anak hasil dari darah dagingnya.

Satu jam setelah itu, mereka pun siap-siap berangkat kerja.

"Sayang. Kamu hari ini naik mobil sendiri aja ya. Soalnya aku buru-buru banget" ucap Brian sesaat setelah menenggak air putihnya dan mengecup kening istrinya.

"Iya. Hati-hati kamu mas." ucap Zaira sambil menatap suaminya sampai sosoknya hilang dari padangannya.

Agaknya ucapan spontanitas Brian tadi membekas dihatinya. Sedih dan senang beradu. Sedih karena sulitnya ia mendapatkan anak. Senang karena sampai detik ini suaminya tidak berubah kepadanya. Namun terbesit di benaknya, bagaimana bila Brian meninggalkannya sama seperti kasus yang tengah di hadapi suaminya ini? Ah.. Zaira bahkan tidak bisa membayangkannya. Ia memijit-mijit kepalanya.

"Kenapa Non? Non Ira sakit?" Tanya Mbok Inah tiba-tiba.

"Oh, Tidak Mbok. Tidak apa-apa. Hmm.. Mbok, saya.. mau tanya sesuatu.. boleh?" Zaira merasa ingin mendengar pendapat orang lain perihal kesedihannya ini.

"Silakan Non, tanya saja.."

Sebenarnya ia agak ragu. Namun karena Mbok Inah sudah bersamanya bahkan dr ia masih lajang, ia pun bertanya.

"Mbok, kalau saya tiba-tiba memang tidak bisa punya anak, bagaimana ya, Mbok?"

"Walah Non.. gak boleh ngomong gitu. Tuhan cuma menunda saja. Non harus banyak sabar dan berusaha." Ucap Mbok Inah yang agak kaget mendengar pernyataan Zaira. "Non, mohon maaf Mbok nanya. Apa Non belum pernah periksa kesuburan?"

Zaira menggelengkan kepalanya pelan. Banyak yang menyarankan dia untuk cek kesuburan dengan suaminya. Namun Zaira sangat takut kalau dokter memvonisnya infertil dan membuatnya semakin tertekan.

"Non, bukannya Non Hani itu dokter kandungan ya?" Tanya Mbok Inah lagi. Hani adalah sahabatnya. Sebenarnya ia sering konsultasi dengan Hani tapi Hani enggan banyak komentar karena Zaira sendiri tidak mau periksa kesuburan.

Zaira mengangguk-angguk. "Makasih Mbok. Saya siap-siap dulu". Ia pun segera ke kamar dan bersiap.

*****

Zaira kini tengah berada di kantornya. Ia duduk bersandar di kursi beroda berwarna hitam pekat. Memejamkan matanya sambil menimbang-nimbang sesuatu. Di atas mejanya ada plang bertuliskan namanya. dr. Zaira Bastany, Sp.BTKV., FIHA.

Ya, Zaira adalah seorang dokter bedah Thorax & Kardiovaskular atau biasanya orang menyebutnya dokter bedah jantung. Zaira dikenal hebat oleh teman-teman juga pasien-pasiennya. Pasalnya, ia belum pernah kehilangan nyawa pasiennya. Semua pasien yang ia tangani selalu berhasil. Oleh sebab itulah Zaira mendapat banyak permintaan bedah dan Kepala rumah sakit pun kerap memberikan apresiasi besar kepada Zaira.

Sekitar 30 menit lagi Zaira akan melakukan operasi. Sebelumnya di mobil, ia menelfon sahabatnya, Hani, untuk datang ke ruangannya.

Tok..tok..tok

Pintu langsung terbuka tanpa aba-aba dari Zaira. Hani pun langsung duduk di depan mejanya.

"Ada berita apa, nih?" Tanya Hani kepo. Jarang-jarang Hani di telfon dan disuruh datang. Biasanya Hani sendiri yang datang kalau sedang jam istirahat atau tidak ada pasien.

"Han..  menurutmu, aku harus cek kesuburan, tidak?"

Hani membuang napasnya dengan kasar. Ia membayangkan mungkin  sudah berjuta kalimat yang keluar dari mulutnya untuk menyarankan sahabatnya ini tes kesuburan.

"Ra, berapa kali sih harus aku kasih tau. Ini tuh penting dan memang harus. Biar kita tau apa penghalangnya. Dan lagipun ya, tahun lalu, kasus ketidaksuburan itu paling banyak di alami pria, malah. Jadi jangan takut." Jelas Hani.

"Serius? Aku takut kalau memang aku infertil malah mas Bian kecewa sama aku. Dia selalu bilang Tuhan menunda dan menunggu di waktu yang tepat." Ungkap Zaira atas kesedihannya. Selama ini ia hanya konsultasi cara-cara agar cepat hamil dan mengkonsumsi makanan-makanan yang menyuburkan kandungan.

"Ra, nanti setelah di cek, aku akan bantu kedepannya bagaimana. Kalau cuma tanya-tanya posisi **** dan makanan biar cepat hamil, ya tidak cukup" terang Hani kepada Zaira berulang kali sampai Hani yakin Zaira hafal kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya sekarang.

Zaira hanya diam. Dia takut mengecewakan dirinya sendiri dan juga Brian. Satu sisi, ia juga ingin tahu hasil dari kesuburannya. Tapi, bagaimana jika mas Brian yang infertil? Apa Brian bisa menerima kenyataannya?

"Ya sudah, aku tunggu kabar darimu. Aku ada janji dengan pasien." Kata Hani sambil beranjak dari duduknya. "Ingat loh, bentar lagi ada operasi. Jangan galau-galau, nanti malah salah potong. Hahahaa" canda Hani sambil keluar dan menutup pintu dan membuat Zaira mengerutkan dahinya.

Pada sore harinya ...

Zaira tengah beristirahat dengan masih memakai jas dokternya. Sedari tadi pasien silih berganti menemuinya juga adanya operasi dadakan.

Ia mengambil teleponnya dan menelpon suaminya.

"Iya sayang.." suara berat khas Brian diseberang menyahut begitu telepon di angkatnya.

"Kamu sibuk mas?"

"Udah hampir selesai kok. Kamu udah makan? Mau makan bareng?" Tanya Brian perhatian.

"Iya boleh. Sekalian ada yang mau aku bicarain mas."

"Apa itu?"

"Nanti aku kasih tau. Kita pulang dulu, ganti baju terus pergi bareng" jelas Zaira kepada suaminya itu. Setelah menimbang-nimbang ia memutuskan akan tes kesuburan bersama Brian.

Malam Harinya di Sebuah Restoran

Makanan sudah tersedia di atas meja. Sepertinya sudah siap untuk di santap. Tanpa babibu Brian yang sedari tadi menahan lapar langsung menyantap steak sapi didepannya. Zaira yang melihat suaminya kelaparan itu tersenyum dan pelan-pelan menyantap Steak Ayam miliknya.

"Mas.." panggil Zaira memulai percakapan.

"Iya sayang" lirik Brian sekilas dan fokus lagi pada makanannya.

Zaira meletakkan pisau dan garpunya. "Bagaimana kalau besok kita cek kesuburan. Supaya kita tau apa penyebabnya dan kita program lagi dari dokter kandungan"

Brian menghentikan aktivitasnya dan menatap istrinya.

"Sayang, apa kamu seharian ini memikirkan perkataanku tadi pagi?"

"Bukan begitu, Mas. Aku pikir kita memang perlu cek kesuburan dan..."

"Sayang aku minta maaf.." Brian memotong kalimat Zaira. "Aku benar-benar minta maaf" katanya sambil menggenggam tangan istrinya.

"Iya mas, aku udah bilang kan aku gak papa. Aku cuma.. ingin punya anak mas". Kata Zaira sambil tangannya membalas genggaman suaminya. "Kamu mau kan, mas?"

"Aku takut kamu tertekan dengan hasilnya nanti. Aku ga mau kamu semakin stres."

"Enggak mas, aku janji..." ucap Zaira meyakinkan Brian. "Mau ya?"

Brian mengangguk. "Iya. Apapun yang buat kamu tenang, sayang. Tapi apapun hasilnya nanti, kamu harus tau kalau aku tetap cinta sama kamu dan itu ga akan mempengaruhi perasaanku."

Senyum Zaira mengembang dan menggenggam erat tangan suaminya. "Makasih sayang.."  Zaira merasa sedikit lega, juga bahagia mendengar kalimat tulus yang keluar dari mulut suaminya. Betapa ia menjadi istri yang sangat beruntung...

*****

Pagi ini Zaira telah membuat janji dengan Hani. Ia datang bersama Brian untuk menjalankan serangkaian tes pagi ini.

"Halo, Kak Brian" sapa Hani kepada Brian yang sudah duduk di depannya bersama Zaira.

"Kita langsung aja yuk. Ra, kamu ikut aku ya. Kak Brian ikut Iwan". Kata Hani sambil menunjuk perawat laki-laki yang berdiri di belakang mereka.

"Silakan, Pak, ikut saya" kata Iwan sopan

Brian pun mengikuti perawat itu.

Setelah Brian pergi, Zaira membuka suara. " Han, ingat ya, apapun hasilnya kamu gak boleh kasih tau mas Bian."

Hani mengernyitkan dahinya. "Loh, kenapa?"

"Pokoknya jangan" terang Zaira sambil menandakan X pada tangannya.

"Bagaimana kalau hasilnya ternyata Kak Brian yang infertil?" Tanya hani.

"Bagaimana kalau aku yang mandul?" Tanya Zaira balik.

"Aku yakin Brian menerimamu. Apalagi dia cinta mati sama kamu. Tau lah aku, dari dulu dia ngejar-ngejar kamu setengah mati" kata Hani agak terkekeh. "Hm?" Tanya nya lagi sambil mengangkat dagu dan alisnya.

"Aku menerima dia apa adanya. Sebagaimana dia selama ini mau menerimaku."

"Ya sudah, aku berharap semoga kalian berdua baik-baik aja. Yuk mulai". Mereka pun memulai satu demi satu serangkaian tes untuk melihat tingkat kesuburan keduanya.

Beberapa Hari Kemudian...

Tok..tok..tok..

Pintu langsung dibuka. Hani masuk membawa sebuah berkas.

Zaira yang sedang menulis berhenti sejenak. "Oh, udah keluar?"

Hani mengangguk dan menyerahkan berkasnya untuk dilihat Zaira.

"Za.." Hani menahan tangan Zaira yang sedang membuka berkasnya. "Aku cuma mau bilang, keputusan apapun yang kau ambil, aku mendukung penuh."

Mendengar ucapan Hani, Zaira tahu bahwa ada yang tidak beres dari hasilnya. Namun dengan hati yang lapang, ia berusaha ikhlas apapun hasilnya. Toh, mau Zaira ataupun Brian yang tidak subur, mereka akan tetap bersama. Selama beberapa hari ini, Zaira maupun Brian telah memantapkan hati mereka.

Zaira menatap lembaran kertas yang ia pegang. mengamati tulisan satu persatu. Matanya kini mulai basah. Ia menelan ludah. Hani mengelus pelan pundaknya. Ia paham betul apa yang dirasakan sahabatnya itu.

Langsung air mata Zaira tumpah. Ia menangis sejadinya. Sesegukan karena ada perasaan sedih. Ternyata ia tak sekuat itu.

Hani langsung memeluk Zaira yang sudah terisak-isak.

Walau apapun hasilnya, bukankah mereka telah berjanji untuk tetap bersama?

Bersambung....

Bantu dan dukung Author ya..

jangan lupa Like dan Komennya. Terimakasih~

Hasil Tes

Genangan air masih menyisakan sedikit di ujung mata Zaira. Sahabatnya, Hani, baru saja keluar setelah menenangkannya beberapa saat. Untungnya, tidak ada jadwal hari ini.

Zaira mengeluarkan HP-nya. Ia mengetik-ketik sebentar kemudian meletakkannya di telinga kanannya.

"Halo. Sayang, ada apa?" Sahut suara di seberang sesaat setelah tersambung.

"Apa aku mengganggu, Mas?" Tanya Zaira sedikit cemas. Masih menimbang apakah ia harus mengatakannya?

"Sama sekali enggak. Sudah makan? Mau makan siang bareng nanti?" Tanya mas Bian penuh perhatian.

"Aku rindu.."

Yang d seberang tertawa. "Lucunya istriku. Nanti malam kita makan diluar, bagaimana?"

"Iya. Aku tunggu dirumah". Zaira meletakkan hp nya. Masih menimbang apakah menyampaikan kepada suaminya. Walaupun ia yakin pastilah Brian akan menerima keadaan. Namun tetap, hati Zaira gundah.

****

Udara dingin di malam hari ini tetap menampakkan taburan bintang di atasnya. Membuat suasana di luar kafe terasa semakin manis.

Bian duduk berhadapan dengan istrinya. Tidak pernah bosan walau usia rumah tangga mereka terbilang cukup lama.

Di genggamnya jari-jemari Zaira. Seperti tahu bahwa sang istri sedang tidak baik-baik saja.

"Katakanlah" Brian memulai percakapannya. "Pasti ada yang mau dikatakan, kan?"

Zaira mengangguk lambat. Padahal hatinya mantap, tapi didepan suaminya sekarang hatinya agak ciut. Takut melihat wajah sedih Brian.

"Aku... akan kabarkan hasil tes kita kemarin, Mas". Zaira menunggu respon suaminya. Namun Brian menunggu.

"Kita.. sedang tidak baik-baik saja. Aku benar-benar minta maaf..."

"Sayang.." Brian memotong ucapan Zaira. "Aku sama sekali gak mempermasalahkan itu. Aku udah bilang berkali-kali." Di genggamnya erat tangan istrinya yang tertunduk dalam-dalam. Dia tidak mau istrinya larut dalam kesedihannya. Brian benar-benar menunjukkan sikap hangatnya sebagai suami.

Zaira menangis terisak-isak. Brian pindah posisi ke sebelah Zaira. Di peluknya sambil mengusap-usap punggung Zaira. Ia paham betul kesedihan Zaira. Padahal berulang kali Brian mengatakan tidak masalah tentang anak. Namun dilihatnya Zaira merasa gagal.

Setelah tenang, mereka pulang. Terlebih Zaira yang wajahnya masih sembab.

Setelah membersihkan diri, mereka merebahkan diri di atas tempat tidur.

Brian mengusap pelan rambut istrinya.

"Sudah ya sayang. Aku mohon.." pinta Brian sambil memeluk istrinya. Pelukannya di balas Zaira yang memendamkan wajahnya ke dada Brian. Air mata masih terasa menetes. Namun Brian membiarkannya. Biarlah Zaira menyelesaikan kesedihannya, batin Brian. Ia mengelus lembut punggung istrinya sampai mereka terlelap.

****

Pagi hari berjalan seperti biasa. Brian sedang lari pagi, sedangkan Zaira memasak di dapur.

Mbok Inah yang sedang beres-beres memperhatikan Zaira.

"Non, nasi gorengnya hampir gosong".

"Oh.." Zaira tersentak dan buru-buru mengaduk-aduk nasi goreng kemudian mematikan kompor.

"Non kalau capek, kasih Mbok aja. Biar Mbok yang terusin. Non Ira istirahat aja". Mbok Inah melihat wajah Zaira tak secerah biasanya.

Zaira hanya diam. Seperti menimbang-nimbang sesuatu.

"Mbok, mau saya kasih tahu sesuatu?"

"Apa itu, Non?" Tanya si Mbok antusias.

Zaira pelan-pelan menceritakan apa yang terjadi kemarin. Mbok Inah terperanjat hingga menjatuhkan sapu yang sedari tadi di genggamnya.

"Mbok, tolong jaga rahasia ini ya. Saya hanya butuh teman cerita". Ucap Zaira sambil mengaduk lagi nasi gorengnya.

Mbok Inah masih shock mendengar pengakuan majikannya itu.

"Non... " suara Mbok Inah parau. Terlihat kesedihan dari suaranya. "Bagaimana ini Non.. apakah Non baik-baik saja?"

Zaira menghela napasnya. "Saya gak apa-apa, Mbok. Saya cuma terus kepikiran Mas Bian. Tolong di rahasiakan ya, Mbok". Pinta Zaira sekali lagi.

Mbok Inah mengangguk cepat. Tatapannya belum beralih dari Zaira. Rasanya ia sangat ingin memeluk Zaira yang sudah bertahun-tahun di ikutinya. Selama ini hanya keceriaan di wajah Ira. Namun sekarang, wajah majikannya itu benar-benar murung. Apalagi saat mendengar ceritanya, membuat Mbok Inah semakin ikut bersedih.

****

Di kantor, Brian sedang duduk di meja panjang tempat dia dan teman-temannya biasa rapat. Sambil menyandarkan kepalanya, dia melamun. Sebenarnya dia agak kepikiran. Tapi dia berhasil menyembunyikannya dari istrinya.

Teman kantornya mendengar napas Brian yang sengaja di buangnya dengan kasar untuk meredakan pikirannya.

"Seserius apa, sih, kasusmu sampai pusing begitu kayanya?" Revan bertanya sambil tetap menatap layar hpnya.

Brian diam sebentar.

"Ehem.. " Brian berdehem. Ragu, apakah Revan bisa membantunya memberi wejangan supaya ia sedikit tenang. setelah menimbang, ia pun bertanya.

"Van. Kau kan, sudah nikah. Anak juga sudah 3. Menurutmu, kondisiku sekarang bagaimana ya?"

"Bagaimana apanya?" Tanya Revan tak paham.

Brian menarik napas dan membuangnya perlahan. "Misalnya. Misal,nih, ya.. istrimu tidak bisa kasih keturunan. Kau... bagaimana?"

Ceklek! Pintu terbuka.

Andre masuk dengan membawa segelas kopi.

"Serius benar wajah kalian." Katanya sambil duduk di depan Brian.

" Brian curhat. Katanya bagaimana kalau istriku tidak bisa hamil, Aduh..."

Brian menendang kaki Revan dari bawah meja.

Andre memandang ke arah Brian. Yang di pandang, menunduk lesu.

"Bukannya ku lihat kalian baik-baik aja, ya?" Tanya Andre yang selama ini tahu bagaimana bucinnya Brian kepada istrinya.

Brian menceritakan kejadian kemarin. Mulai dari tes kesuburan hingga hasilnya yang membuat Zaira tersedu-sedu.

"Terus terang, Yan. Aku sangat mengharapkan keturunan. Untuk melanjutkan generasi dan margaku. Jadi, kalau istriku tidak bisa hamil, aku mungkin akan menikah lagi." Pengakuan Revan sedikit mengejutkan bagi Brian. Karena selama ini dia memang tidak memikirkan soal penerus keturunannya. "Bagaimana denganmu, apa juga mementingkan soal keturunan?"

Brian terdiam sejenak. Pikirannya penuh dengan wajah murung Zaira.

"Aku dari awal tidak terlalu mempermasalahkan, sebenarnya. Tapi benar katamu. Ini soal garis keturunan."

"Tapi, Yan. Bukankah kalian sudah sepakat untuk gak memusingkan itu?" Tanya Andre serius.

Brian diam namun bibirnya seperti akan mengatakan sesuatu.

"Sebenarnya saat lari pagi tadi, aku ketemu Rina, mantanku yang pernah aku ceritakan waktu itu".

"Apa!!" Dua orang di hadapan Brian menggebrak meja.

Bersambung....

Pengagum Zaira

"Kau serius?" Tanya Andre yang terkejut karena tahu bagaimana kisah mereka sebelumnya.

Brian mengangguk. "Kami hanya mengobrol dan entah bagaimana dia bisa tahu kalau aku belum dikaruniai anak."

"Kenapa dia bisa ada di sini?" Tanya Revan. "Bukannya dari ceritamu, dia jauh dari kota ini dan tidak akan dekat denganmu lagi?"

"Dia cuma bilang ada urusan disini dan hanya beberapa hari. Setelah urusannya selesai, dia akan kembali lagi." Brian menjelaskan kepada temannya.

"Jangan ketemu lagi, Yan. Ingat, bahkan Zaira sendiri tidak pernah mau tahu masa lalumu. Istrimu itu benar-benar percaya padamu." Kata Andre mengingatkan Brian. Andre yang teman Brian dari masa sekolah tahu benar kisah Brian. Dia benar-benar mewanti-wanti agar Brian selalu berhati-hati. Apalagi saat tadi Brian berjumpa dengan Rina, mantan calon istrinya dulu. Menurut Andre, bertemunya Brian dan Rina bukanlah suatu kebetulan belaka.

"Iya aku tahu kok". Brian terlihat sedikit agak tidak suka dengan pernyataan Andre. Entah bagaimana, walau ia tahu bahwa yang dikatakan Andre benar adanya.

"Jadi apa yang dia katakan? Kenapa kau sampai berubah pikiran tentang keturunan?" Tanya Andre penasaran. Dia yakin ada sesuatu yang terjadi.

Brian sejenak diam. "Tidak ada".

Andre melongos. "Kau benar-benar, ya. Bisa-bisanya hanya karena seseorang kau merubah pikiranmu yang sudah 7 tahun itu. Aku tidak tahu apa yang dikatakan Rina, tapi yang pasti, itulah yang mengubah cara pikirmu saat ini. Iya, kan?" Andre tidak percaya, bahkan setelah bertahun-tahun bersama Zaira, sebentar saja bertemu Rina ternyata masih bisa merubah pikiran Brian.

"Sudahlah. Aku pun hanya tidak sengaja bertemu tadi pagi. Tidak akan ada pertemuan selanjutnya." Ucap Brian sambil beranjak dari duduknya.

"Aku hanya mewanti-wanti supaya kau berhati-hati. Zaira, istrimu itu wanita yang cantik, bertubuh langsing, karirnya bagus, kau juga tahu sampai sekarang dia masih di lirik orang. Dia wanita sempurna. Kau, kan yang selalu memuji istrimu seperti itu?"  Ucap Andre lagi.

"Sempurna". Kata itu di ulang Brian. Matanya menunduk. "Iya, aku sangat tahu itu. Terimakasih, Ndre". Brian pun melangkah keluar ruangan. Sebenarnya Brian agak kesal. Tapi ia sendiri bingung apa yang terjadi pada dirinya sendiri.

"Aku penasaran, seperti apa mantannya itu sampai bisa merubah pikirannya". Tanya Revan penasaran. Ia juga tahu bahwa hampir setiap hari Brian memuji istrinya yang begini, begitu, hingga ia kadang bosan mendengarnya. Tapi melihat perubahan Brian harini, membuat tanda tanya besar.

"Dia perempuan yang biasa-biasa saja. Masih kalah dari Zaira. Tapi memang, dia punya lidah yang bagus". Ucap Andre sambil menyusun berkas-berkasnya yang menumpuk di ujung meja.

"Apa itu maksudnya?" Pikiran Revan mulai tidak stabil.

Andre pun enggan menjawab.

****

Zaira memutar-mutar pena di tangannya. Layar laptop di depannya menampilkan dua insan yang berpelukan mesra. Zaira memandang ke wajah Brian di layar yang tersenyum lebar. Dia mengingat-ingat kejadian tadi pagi saat suaminya pulang setelah olahraga pagi.

Pagi tadi, wajah Brian agak tegang. Padahal biasanya setelah olahraga tubuhnya berpeluh. Tapi tadi pagi, baju yang ia kenakan hampir tidak basah. Hanya titik-titik keringat kecil di dahi.

"Sudah selesai, Mas? Mandi dulu ya, sudah aku siapkan semuanya." Kata Zaira sambil menata piring di atas meja makan.

Suaminya hanya berdiam diri sambil memandang Zaira.

"Kamu kenapa, Mas?" Tanya Zaira mendekat.

"Ah.. tidak apa-apa, sayang. Aku mandi dulu ya. Jangan di sentuh, aku berkeringat." Kata Brian tersenyum sambil mengelak saat Zaira akan menyentuh dahinya. Ia langsung beranjak ke kamar mandi.

Zaira memandang suaminya sampai menghilang dari pandangan.

Saat sarapan pun begitu. Zaira melihat Brian makan dengan tenang. Biasanya Brian mengunyah sambil cerita apa yang akan ia hadapi hari ini. Pekerjaan yang membuatnya kadang semangat, sebal, atau sedih dengan hasilnya.

"Mas..."

"Ah sayang, aku hari ini buru-buru. Apa kamu mau aku antar?" Tanya Brian menyudahi sarapannya.

"Tidak, Mas. Aku berangkat sebentar lagi".

"Baiklah". Brian beranjak. Kemudian mengecup kening istrinya seperti biasa.

"Aku pergi dulu, sayang".

"Hati-hati, Mas". kata Zaira setengah berteriak.

Kenapa ya? Ah mungkin hari ini ada kasus berat, batinnya.

Zaira mengambil Hp nya yang berada di saku jas dokter yang menggantung di kursinya.

Mengetik-ngetik...

'Mas, lagi sibuk? Mau makan siang bareng?'

.....

Lama menunggu balasan, Zaira meletakkan hp nya. Ia mulai berpikir, apa mungkin karena hasil tes? Ah tidak mungkin. Tadi malam bahkan Brian benar-benar menunjukkan kasih sayangnya saat Zaira menangis di pekukannya. Ia menepis prasangka buruknya.

Biarlah, mungkin benar-benar sibuk. Zaira mengerakkan batinnya dengan positif. Padahal balasan Brian selalu kurang dari 2 menit.

Ah, Zaira menepuk dahinya. Bisa-bisanya dia lupa. Tadi suster jaga bilang, bahwa ia di panggil Kepala Rumah Sakit. Zaira beranjak sambil memakai jas dokternya dan menutup pintu. Ia berjalan agak cepat ke ruangan kepala.

Setelah mengetuk pintu, ia di persilahkan masuk.

"Dokter Zaira, silakan duduk."

Dokter Winda. Wanita yang baru saja menginjak usia 60 tahun, berprestasi di bidangnya. Dokter spesialis yang mirip dengan Zaira. Dipilih menjadi kepala rumah sakit dua tahun lalu karena prestasinya. Bahkan banyak yang menyebut-nyebut Zaira juga mungkin akan menjadi kepala Rumah sakit setelah dokter Winda yang sama-sama berprestasi sejak usia muda.

"Terimakasih, dok." Zaira duduk tersenyum menghadap dokter Winda yang terkenal kurang ramah. Zaira termasuk orang yang beruntung karena sering bertegur sapa dengannya. Itu karena Zaira sendiri banyak mendapatkan perhatian dari pasien-pasien kalangan atas.

"Zaira, mohon maaf ya kalau saya mengganggu. saya memanggil karena anak saya, dia ingin berkenalan dengan dokter."

"Tidak apa-apa, dok, saya sedang senggang".

"Sebentar ya". Dokter Winda meraih Hp nya, menelfon. "Dia baru saja keluar tadi". Kemudian pintu ruangannya terbuka. "Ah ini dia" katanya sambil melihat ke arah pintu. Zaira mengikuti, melihat ke arah pintu.

Seorang wanita bertubuh kurus tinggi, berkulit bersih, rambut sepunggungnya yang sedikit bergelombang. Ia memakai rok maroon selutut dan blouse putih lengan panjang berbunga-bunga kecil berwarna senada dengan roknya. Manisnya, batin Zaira.

Zaira berdiri. Wanita itu mendekat dan menjulurkan tangannya memberi salam.

"Kenalkan, saya Nada." Kata wanita itu penuh senyum.

"Zaira". Ia menyambut tangan mulus Nada.

"Duduklah" ucap dokter Winda.

Mereka duduk di sofa coklat.

"Ini anak saya, dia ingin sekali berkenalan dengan dokter Zaira. Tapi mohon maaf ya, saya tinggal dulu. Karena saya ada urusan sebentar. Apakah tidak apa-apa, dok?" Tanya dokter Winda sambil berdiri mengambil tasnya.

"Ah iya, tidak apa-apa dok, silakan". Jawab Zaira sambil berdiri mempersilahkan dokter Winda pergi.

Setelah ibunya menutup pintu, Nada mulai berbicara.

"Dokter Zaira. Saya sangat mengagumi dokter". Katanya penuh senyuman.

"Benarkah?" Tanya Zaira sambil duduk kembali.

"Benar, dok. Saya akan menjadi ahli kardiovaskular dan melanjutkannya di Amerika". Katanya tersenyum lebar. "Makanya saya ingin sekali ketemu dokter".

"Ah. Kenapa saya? Saya belum apa-apa." Zaira merendah. Ia bahkan tahu yang ia capai belum sebanding dengan dokter Winda, ibunda Nada sendiri.

"Saya dengar dokterlah yang terbaik disini. Bahkan dokter sudah senior dan banyak dari kalangan tertentu yang meminta dokter untuk meriksa mereka, dokter VIP". Kata Nada sambil tertawa dengan julukan yang ia berikan.

Zaira hanya tersenyum.

"Dokter pasti banyak yang naksir, kan? Hahaa. Sudah pasti. Karena dokter, kan, cantik dan pintar pula". Nada tertawa lepas. "Atau jangan-jangan dokter sudah punya pacar ya? Yah.. sayang sekali, padahal saya mau kenalkan dengan kakak saya yang seorang direktur di rumah sakit kota B". Celoteh Nada. Terlihat sangat bersemangat.

"Saya sudah menikah". Zaira menjawab santai sambil tersenyum.

"Ah.. sayang sekali". Nada terlihat kecewa

"Saya ingin belajar banyak dari dokter. Mohon bantuannya."

"Ah..iya". Zaira terlihat bingung. Belajar apa ya? Kan, Nada sedang tidak koas disini. Batinnya.

"Dokter sudah lama menikah?" Nada benar-benar seperti reporter.

"Sekitar 7 tahun". Jawab Zaira singkat mulai tidak nyaman.

"Wah, sudah lama sekali. Padahal dokter masih seperti anak gadis. Hahaha. Ah dokter, pasti suaminya tampan, kan? Saya yakin anaknya juga pasti cantik-cantik". Nada tersenyum lebar. Kalimat pujian yang ia berikan pasti sangat bernilai di mata dokter yang ia kagumi, batinnya.

Zaira hanya tersenyum. 'Ah anak ini...' batinnya. "Baiklah, Nada. Saya permisi dulu karena sebentar lagi ada jadwal dengan pasien". Zaira berdiri. Ia sengaja mencari alasan agar bisa keluar dari ruangan ini.

"Ah, iya. Maaf mengganggu, dokter. Kalau ada waktu boleh saya berjumpa dokter lagi, kan? Mohon tulis nomor dokter disini". Nada menyerahkan Hp nya sambil tersenyum senang.

Zaira mengetik nomornya dan menyerahkannya ke Nada.

'Hah.. kalau saja kau bukan anak kepala rumah sakit..' batinnya.

"Terimakasih, dok". Nada tersenyum lebar.

Zaira berjalan dan membuka pintu. Saat akan menutupnya, Ia melihat sebentar ke arah Nada yang menyandarkan kepalanya ke sofa dan mengangkat Hp nya ke depan wajanya. Sambil tertawa kecil melihat ke layar Hp nya, dia mengatakan "ah.. Lucunya.. haha ini juga lucu sekali".

Zaira langsung menutup pintu dan berjalan meninggalkan ruangan kepala.

Bersambung...

Jangan Lupa Like, masukan, Komentar membangunnya ya..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!