Harap baca: Sepenggal kisah nyata yang saya rangkai menjadi novel, dimana nama dan kota saya palsukan untuk****menjaga identitas tokoh. Terjadi sudah beberapa tahun lalu tapi saya bumbui dengan era sekarang agar tak terlalu kuno, seperti lagu juga taksi online. Terimakasih banyak.
JANGAN MENYAMAKAN NOVEL INI DENGAN NOVEL LAIN SEBELUM MEMBACA PENUH! DAMPAKNYA SANGAT BESAR PADA AUTHORNYA! INI MURNI PEMIKIRAN SENDIRI! KESAMAAN TOKOH, LATAR BELAKANG, ITU HAL WAJAR DALAM SEBUAH KARYA ATAU DUNIA PERFILMAN! JANGAN ASAL KETIK DAN MENIMBULKAN MASALAH! TANGGUNG AKHIRATKU DENGAN FITNAHMU!
Rena, Andin dan Sonya adalah sahabat yang tinggal di satu kost dan juga belajar di sebuah Kampus dan mengambil jurusan sama. Mereka berasal dari beberapa Daerah berbeda, namun tidak menyulitkan mereka untuk beradaptasi dengan kebiasaan dan bahasa Daerah masing masing.
Suatu sore ketika kelas telah bubar, Andin dan Sonya memutuskan untuk pergi ke sebuah Cafe di Kota "A" dengan menggunakan jasa taksi online yang mereka pesan melalui sebuah aplikasi. Sedangkan Rena, memilih untuk menyusul mereka karena harus menghadap ke ruang Dosen untuk beberapa hal.
Beberapa waktu menyelesaikan beberapa hal dengan Dosen, Rena memutuskan untuk beranjak menyusul kedua sahabatnya di Cafe yang sudah disepakati bersama ketika bubar kelas tadi. Pergi seorang diri, Ia memilih menggunakan jasa ojek online saja, karena dinilai terlalu sayang jika harus membayar lebih. Lagipula, Rena merasa tak nyaman jika harus berada satu mobil bersama orang tidak dikenal.
Di pertengahan jalan, Rena meminta Abang ojek untuk berhenti di sebuah taman Kota. Ia melihat seorang gadis kecil tengah duduk menangis di taman tersebut seorang diri. Merasa iba, dengan cepat Rena turun dari motor dan bergegas menuju anak perempuan tengah menangis.
"Hai, Kamu kenapa nangis dek?" tanya Rena dengan halus sambil membelai ujung kepala anak tersebut.
"Aku mau pulang Tante," ucap bocah kecil tengah menatap ke arah wajah cantik disampingnya..
"Adik tadi kesini sama siapa sayang?" tanya kembali perempuan pemilik suara lembut itu seraya menaikkan bocah disamping ke atas pangkuan.
Mengajak berbicara dengan sangat lembut, mengusap setiap bulir air mata keluar dari wajah polosnya. Rena menoleh ke arah lain tengah berteriak seraya berlari mendekat.
"Non, Non Aulia!" suara itu menggelegar dalam kekhawatiran, langkah terus berlari mendekat.
"Bibi!" jawab Aulia menoleh ke arah sumber suara, tak kalah berteriak dari orang yang memanggilnya.
Rena masih menoleh ke arah perempuan paruh baya berbalut pakaian baby sitter dengan rambut terikat dibelakang. Aulia yang telah memaksa turun lebih dulu, mendekati ke arah pengasuhnya dengan diikuti oleh Rena dari belakang.
"Non Aulia, Bibi khawatir banget sama Non. Non, baik baik saja kan?" khawatir perempuan paruh baya tersebut berjongkok di tanah dan memeluk erat putri majikannya.
"Maaf, Bu. Saya tadi tidak sengaja lewat sini dan melihat Adik ini menangis, makanya Saya menghampiri takut jika ada apa apa." Tutur Rena pada seseorang tetap berekspesi khawatir sembari memeluk tubuh kecil di depannya.
"Iya, Neng tidak apa apa. Saya yang teledor tadi, kurang memperhatikan Non Aulia sampai terlepas dari tangan Saya. Terima kasih banyak karena Neng mau untuk menjaga Non Aulia, kalau Neng tidak ada.." kata Bi Lastri tak melanjutkan perkataan, tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi.
"Iya, Bi sama sama. Lagipula Saya seneng kok ketemu sama Aulia, dia lucu banget, Bi." Rena tersenyum, mencubit kecil pipi bocah kecil tersenyum menggemaskan ke arahnya.
Mereka pun mulai saling berbincang di sebuah kursi taman, karena Aulia masih ingin di pangku oleh penyelamat cantiknya. Namun tiba tiba Rena teringat dengan janji yang telah dibuat dengan kedua sahabatnya, Ia pun bergegas dan mohon pamit kepada perempuan paruh baya masih duduk di bangku taman bersama Aulia, seraya mencium pipi kiri dan kanan bocah kecil berbisik ucapan terima kasih.
Rena memilih untuk berjalan dari arah taman menuju Cafe, karena memang jaraknya tidak terlalu jauh. Terlalu sayang kalau harus panggil ojek dan bayar lagi, sementara uang masih dapat dipergunakan untuki kebutuhan lain.
Setibanya di Cafe, Rena mengambil posisi di dekat Andin yang di depan terdapat Sonya tengah asik menikmati makanan. Seperti biasanya, Sonya memang tak pernah bisa diam mengunyah, seakan dirinya terlahir sebagai penikmat makanan saja ke dunia ini.
"Sorry, Gue telat." Rena berucap dalam sesal, meneguk minuman dingin di atas meja tanpa bertanya lebih dulu siapa pemiliknya.
"Lo tuh kebiasaan ya ngaret kalau janjian, gak suka Gue!" protes kesal Andin, menunjukkan sorot mata malas.
"Iya maaf, Gue tahu kok kalau salah. Maafin ya?" sesal Rena kembali, memeasang wajah dibuat imut yang menjadi senjata andalan selama ini.
"Gini nih kalau lagi ada salah, selalu aja senjata terampuh keluar. Kesel Gue!" gerutu Andin seraya membuang napas kasar, dibalas senyum sahabat meraih tangan disampingnya.
"Ih, baik deh! makin cinta sama kamu," goda Rena mengedipkan mata berulang, hingga Andin bergidik jijik sendiri mendengar juga melihat sahabat dengan wajah dibuat imut.
Rena dan Andin terus berbincang membahas ini dan itu tanpa tahu arah pembicaraan, sementara Sonya masih terlalu asik dengan makanannya sendiri. Terus memasukkan makanan meski mult masih begitu penuh, seperti seseorang lama tak makan.
Dengan jahil, Rena menyeret piring berisi makanan di depan sahabatnya, agar berhenti mengunyah. Namun apa yang dilakukan justru membuat Sonya memasang wajah melas seketika.
"Lo iru, makan terus tapi engga gendut gendut. Makanan Lo masuk kemana sih?" kata Andin disam[ih tawa Rena, semakin membuat wajah melas di depannya menjadi kesal dan memajukan bibir kearah dua orang suka meledek.
Makanan coba di ambil kembali Sonya, tanpa menjawab sahabatnya. Namun dengan jahilnya, Rena dan Andin justru menggeser berulang piring berisi makanan di atas meja dan seketika wajah Sonya berubah hendak menangis. Wajah sukses membuat dua sahabatnya tak tega dan mengembalikan piring ke arahnya, ditangkup oleh Sonya untuk di sembunyikan dan dinikmati sendiri.
Waktu dilalui mereka dengan canda tawa juga perbincangan ringa, hingga memutuskan kembali pulang ke kost karena merasa bosan berlama lama duduk. Lagipula, hari juga sudah hampir gelap, yang membuat ketiganya akan takut saat berjalan ke arah kost.
Melewati dua makan untuk bisa sampai di tempat kost, ketiga sahabat karib tersebut tak jarang merasa merinding dan berlari ketika terpaksa kembali dalam keadaan gelap. Mereka pun bergegas pergi meninggalkan cafe, taksi yang dipesan pun sudah tiba di depan cafe siap mengantar ketiganya kembali.
Butuh sekitar 45 menit untuk mereka tiba di kost, dan membersihkan diri sebelum akhirnya berkumpul bersama. Andin, Sonya dan Rena memang memiliki kamar masing masing, namun lebih sering tidur bersama setiap harinya. Tidak hanya satu kamar saja, tapi mereka bergantian kamar tergantung mood yang ada untuk saling bergosip hingga ketiduran.
Meskipun tanpa adanya keluarga di antara mereka, tak membuat kesepian sama sekali karena mampu saling mengisi dan melengkapi satu sama lain. Perhatian, cinta dan kasih sayang dicurahkan tanpa membedakan satu sama lain dan selalu ada ketika dibutuhkan.
**STOP PLAGIAT KARYA SAYA! MAU DI YOUTUBE ATAU DIMANAPUN TOLONG LAPOR KARENA SUDAH****DITEMUKAN BEBERAPA YANG HANYA MENGGANTI JUDUL JUGA NAMA TOKOH. **
BUAT PLAGIAT TOLONG HARGAI KARYA SAYA JUGA KISAH HIDUP KELUARGA SAYA!
Esok hari...
Tidak adanya kelas pagi, diputuskan ketiga sahabat itu untuk melakukan jogging bersama. Hanya disekitar tempat kost mereka tinggal saja, sudah cukup membuat terengah dan kelaparan. Terutama Sonya yang tak pernah sanggup menahan rasa lapar.
Kruyuk..kruyuk..
Terdengar keras suara protes dari perut Sonya, menandakan cacing tengah kelaparan dan membutuhkan asupan makanan. Rena dan Andin saling tatap mendengar suara terdengar lucu tersebut, dan mulai terbahak bersama. Mereka memutuskan menyudahi joging dan pergi ke sebuah warung langganan untuk membeli sarapan, selain harganya murah tentu saja rasanya juga sangat enak.
Walaupun hanya warung kecil yang cukup sesak diisi satu meja dan kursi kayu panjang, namun warung yang dijaga oleh seorang Ibu juga anak perempuannya itu sangat ramai dikunjungi. Hampir tiap pagi selalu saja ramai orang orang menyantap sarapan di warung berdinding anyaman bambu tersebut, menikmati rawon juga nasi pecel terkenal enak.
Setibanya di warung dengan banyak kendaraan terparkir di depan, Andin memesan tiga bungkus nasi pecel untuk dinikmati di tempat kost. Selama menunggu pesanan siap, mereka seperti biasa berbincang juga tertawa untuk menyingkat waktu menjenuhkan ketika menunggu.
Menunggu beberapa menit, pesanan pun di antarkan oleh putri pemilik warung dan segera dibayar oleh Rena dari uang dikumpulkan bersama. Mereka berjalan kembali menyusuri jalanan kompleks untuk menuju kost, dan menikmati sarapan yang membuat Sonya menelan salivanya.
"Sabar ya cacing cacing, Sonya." Rena meledek seraya mengusap perut sahabatnya dan tertawa bersama Andin.
"Apaan sih?!" kesal Sonya menepis tangan sahabatnya, makin membuat Rena dan Andin terpingkal mencubit gemas pipi Sonya.
Berjalan tanpa menghentikan ledekan pada Sonya, mereka pun tiba di tempat kost lalu masuk kedalam dapur umum dan keluar kembali untuk menikmati sarapan di teras. Lebih menyukai makan di teras, karena dirasa akan menyebabkan bau ketika harus menikmati makan di dalam kamar.
Dengan lahapnya mereka menyantap nasi pecel dalam bungkusan kertas minyak, sejenak melegakan perut sebelum akhirnya melakukan aktifitas lain. Rutinitas harian yang tak pernah absen, yaitu membersihkan kamar serta mencuci baju lalu membersihkan diri sebelum datang ke kampus untuk kelas siang mereka bersama.
****
"Hm, gila ya tuh Dosen. Masa iya kita di bagi tugas segini banyaknya cuma dalam waktu satu minggu harus selesai?" gerutu Sonya, mendapat anggukan dari dua sahabat juga merasa kesal akan tugas diberikan.
"Eh, Cafe yuk! ada Cafe baru buka tuh, ada live musiknya juga. Denger denger disana juga ada diskon 50% selama opening loh," kata Andin menghentikan langkah dan menghadang dua sahabatnya.
"Serius,Lo?!" tanya Sonya berwajah ceria dengan mata berbinar.
"Lo itu salah kasih info kali, info masalah Cafe ada diskon kok di depan Sonya, ya langsung deh cacing diperutnya berdisko saking senengnya." Rena melirik ke arah perut Sonya, terpingkal kemudian bersama Andin karena selalu berhasil membuat sahabatnya itu manyun.
Cafe tak terlalu jauh dari Kampus, membuat ketiganya memutuskan untuk berjalan saja tanpa memperdulikan terik matahari siang membuat kulit mereka kecoklatan.
Setibanya di Cafe mereka mulai mencari tempat kosnong dengan menatap sekitar dan menemukan tempat di dekat jendela, segera Andin berlari agar tak sampai keduluan orang karena memang sangat ramai saat ini. Duduk santai usai memesan pada pelayan langsung menghampiri, mata ketiganya tertuju pada seorang di balik piano.
Mata mereka berbinar bersama mengamati lelaki tampan tersebut, lelaki yang memang sedari tadi cukup mencuri pandangan setiap kaum hawa yang datang. Decak kagum tak sanggup ditutupi dari ekspresi mereka, terus mengamati hingga air liur hampir tumpah.
"Gila nih suara main piano syahdu banget," gumam Andin memuji.
"Meleleh hati adek, Bang.." seru Rena memegang dada dengan mata berbinar serta telinga terpasang.
"Tuh orang manusia apa maequin hidup?!" kata Sonya dengan nada sedikit meninggi, dibungkam cepat kedua sahabatnya agar tak berlanjut membuat malu.
Tampak sosok lelaki dengan gaya rambut ala oppa korea, berwajah bule. Kemeja putih tergulung hingga lengan, ekspresi penghayatan semua tampak begitu sempurna. Senyumnya indah menghiasi ketika ia menyapa pengunjung Cafe dengan tetap memainkan piano.
Matanya terlihat tajam mempesona, siap membius siapapun yang dipandang, Tak mampu berkata apa apa lagi, Semuanya tampak seperti sebuah keindahan yang tercipta sempurna pada sosok lelaki pemilik jari jari mahir tersebut.
Rena hendak meraih minum di meja, namun matanya tertuju ke arah pintu Cafe. Segera ia bangkit dari duduk dan keluar menghampiri dua orang tampak familiar. Tanpa pamitan dan berucap kata, Ia meninggalkan meja dimana sahabatnya langsung menoleh tajam.
"Eh, mau kemana Lo?!" teriak spontan Andin dan Sonya tanpa menyadari tempat, tak dihiraukan oleh Rena terus menuju arah pintu Cafe. Kedua sahabatnya pun menaikkan kedua bahu bersamaan dengan sorot mata berhadapan tersirat ketidaktahuan.
"Eh, sayang kita ketemu lagi." Rena berucap pada seorang anak kecil tengah dipegangi oleh perempuan tersenyum mengenal juga.
"Aku mau ketemu Papi, Tante." jawab Aulia tersenyum dengan suara manja.
"Papi kamu kerja disini ya, sayang?" tanya lembut Rena, mendapat anggukan dari bocah kecil berikat rambut dua tersebut.
Memberikan senyuman manis dalam ketulusan, Rena meraih tubuh Aulia untuk digendong dan dibawa masuk kedalam Cafe. Mereka menuju ke meja dimana tadi ditempati Rena juga sahabatnya diikuti Bi Lastri dibelakang membawa tas kecil berwarna pink.
"Sepertinya sudah penuh, Bi. Kita duduk di meja sana aja ya? kasian kalau Aulia harus nunggu sama berdiri," ucap Rena menunjuk ke arah meja dekat jendela.
"Anak siapa Lo colong?" tanya Andin terkejut melihat Rena membawa seorang gadis kecil dalam gendongan.
"Anaka Gue lah, Lo aja engga tau kalau Gue udah punya anak." Rena menjawab santai, duduk di tempatnya tadi dan meminta Sonya untuk bergeeser agar Bi Lastri bisa duduk.
Mereka duduk bersama memulai obrolan ringan, dengan Aulia duduk nyaman di atas pangkuan seseorang pernah menyelamatkannya dulu. Terlihat seorang pelayang tinggi kurus menghampiri meja, menyapa dengan nada sopan seraya sedikit membungkuk.
"Nona kecil, mau pesan apa?" tanya pe;ayan tersebut sopan, dibalas gelengan kepala oleh Aulia menandakan jika dirinya tak menginginkan apapun.
"Tidak usah, Mas. Kita cuma mau tunggu Bapak sebentar kok," sahut Bi Lastri mewakili majikan kecilnya.
"Baik, kalau begitu Saya permisi dulu." Tersenyum pelayan lelaki berseragam hitam serta celemek melingkar pada pinggang lalu pergi.
Itulah awal pernikahan yang begitu berat bagi Vania, namun ia masih bertahan hingga dua setengah bulan berlalu, dengan sikap dingin suaminya juga kata-kata pedas menembus hati.
Dari hari itu pula, Daffa tak pernah lagi tinggal satu kamar dengan Vania. Perempuan itu yang bersedia pergi ke kamar lain, tepat di samping kamar pribadi Daffa yang tak pernah lagi dimasuki.
Menyiapkan makan dan minum masih terus dilakukan Vania, meski itu tak pernah disentuh sama sekali. Ya, tetap perempuan berkulit putih yang sudah kembali mengajarii anak-anak panti itu tak menyerah, walau terus diacuhkan.
Sore ini, Vania duduk diam di sebuah kursi depan panti asuhan. Hujan baru saja mengguyur dengan sangat deras, tak bisa bagi Vania kembali pulang. Tidak ada sopir, karena Vania menolak merepotkan.
Dia menggunakan motor untuk menunjang setiap kegiatan, di mana ia juga harus mengajar di sebuah taman kanak-kanak ketika pagi hari, lalu melanjutkan ke panti asuhan untuk membantu di sana sebelum mengajari semua anak dalam pendidikan masing-masing yang tak dipahami.
Sinta mengizinkan menantunya, yang jelas ia juga meminta agar Vania meminta izin pada Daffa lebih dulu sebelum memulai kembali aktivitasnya di luar rumah.
Jawaban acuh pun diberikan oleh sang suami, membebaskan perempuan yang kini menghirup segarnya udara usai hujan itu, melakukan apa diinginkan.
"Kamu udah hubungi suamimu, Nak?" terdengar suara wanita, beriringan dengan tangan menyentuh pundak. "Hubungi dulu, bilang kalau hujan biar gak ada salah paham."
"Udah, Bu. Tadi pas hujan, Nia udah hubungin mas Daffa kok." Senyum merekah darinya yang memang telah coba menelepon, hingga SMS yang dikirimkan karena panggilan tak dijawab.
Bu Rina duduk pada kursi samping Vania, menatap ke arah rerumputan yang juga dihiasi beberapa genangan air. "Nak, sebelumnya ibu minta maaf. Tapi, ibu mau nanya sesuatu ke kamu, boleh?"
"Tanya aja, Bu. Nia pasti jawab kok kalau emang bisa," tatap Vania.
"Nak, apa kamu gak bahagia sama pernikahanmu? Kenapa ibu ngerasa, kalau kamu gak bahagia?"
Vania tersentak, tapi dia mengulas senyuman. "Nia bahagia kok, Bu. Mas Daffa sama keluarganya baik sama Nia, mama juga perlakuin Nia kayak anak kandung sendiri. Kenapa ibu bisa ngerasa gitu?"
Wanita berusia empat puluh lima tahun itu memegang punggung tangan Vania, terasa begitu hangat di tengah dinginnya udara. "Mata kamu, Nak."
Vania menundukkan pandangan, tapi senyum masih tak luntur menghiasi wajah cantiknya. Ingin sekali-kali menumpahkan apa dirasakan dalam hati yang terluka, tapi Vania tidak ingin mengatakan dan menjadikan sang suami ternilai buruk.
Bagaimanapun sikap Daffa, ia tak ingin mengumbar pada siapa pun dan terus menutupi. Ibu kepala panti mengusap lembut punggung tangan Vania, dia tidak ingin melanjutkan dan cukup tahu melalui binar mata sendu diamati setiap kali bertemu.
Senyumnya terpasang, namun mata tak sanggup menipu dan telah begitu lantang menceritakan suasana hati. Telah lama bu Rina memendam, hingga akhirnya berani mempertanyakan.
Hening tercipta dari keduanya, sampai suara mobil berhenti memancing perhatian. Vania mengetahui siapa pemilik mobil mewah hitam itu, dia berdiri dan berjalan beberapa langkah. Bu Rina pun turut berdiri dari tempatnya, menatap lelaki yang baru turun dari mobil masih menggunakan setelan kerja.
Daffa membungkuk dan mencium tangan ibu kepala panti, lalu menegapkan tubuhnya menatap Vania. "Pulang bareng sama aku, di rumah hujan petir. Tadi Alya telfon."
"Iya, Mas. Aku ambil tas dulu di dalam," jawab Vania menundukkan pandangan tanpa berani menatap.
"Ibu buatin minum dulu," kata bu Rina.
"Enggak usah, Bu. Tadi udah minum teh di kantor," cegah lelaki berkemeja hitam panjang itu.
Bu Rina tidak tahu harus membahas apa, Daffa pun tak memulai percakapan hingga Vania datang menenteng tasnya. "Nia pulang dulu ya, Bu. Besok Nia ke sini lagi," pamitnya mencium tangan.
"Iya, Nak. Hati-hati," sahut bu Rina membelai ujung kepala Vania.
Mengangguk dan tersenyum, dia pergi bersama lelaki yang turut berpamitan setelah dirinya. Bu Rina tak beranjak dari teras panti, dia memata-matai kedua orang yang masuk ke dalam mobil sendiri-sendiri.
Tuhan, Engkau mengetahui apa yang tidak aku ketahui, jaga Nia di sana dan buatlah dia bahagia.
Hati memanjat doa tanpa rencana, berharap akan kebahagiaan menyentuh perjalanan hidup Vania. Jika ingin membandingkan, semua memang terasa jauh berbeda, tentang sikap Daffa pada Vania dan juga sikapnya pada istri pertama yang sering membuat ibu panti turut merasa senang.
Seakan tak ada perhatian, bahkan tangan yang dulu sering menggenggam Nessa untuk berjalan, membukakan pintu kendaraan, itu tak didapati oleh seorang wanita yang telah menganggap Vania seperti anak kandung sendiri.
Hatinya tergores perih, melihat pernikahan yang berlangsung mendadak tanpa persiapan juga perkenalan itu tak menyiratkan bahagia. Bahkan saat ia mendapati Vania mengalihkan pandangan mata, tersirat ketakutan dari ekspresi wajahnya.
Ya, itu memang yang terjadi dan bukan hanya perasaan dari bu Rina saja. Karena sekarang, Vania masih menurunkan kelopak matanya. Tangan di atas pangkuan memegangi tas, dia tidak berani menegur meski sangat ingin.
Peringatan dari sabuk pengaman terdengar berisik, Daffa melihat ke arah perempuan di sampingnya. "Pakai sabuk pengamannya!" tegas Daffa, tersentak Vania.
"I-iya, Mas!" jawabnya, celingukan mencari-cari. Daffa mengembuskan napas kasar, lalu menepi.
Tak menggunakan kata-kata lagi yang pasti tak akan dipahami dan membuang lebih banyak waktu, Daffa langsung mencondongkan tubuh ke arah Vania dan menarik seat belt tersedia.
Terkejut bukan main Vania, napasnya seakan terhenti seketika, meski jantung berdetak begitu cepat. Menegapkan tubuh duduknya, tapi hidung mancung dimiliki masih sanggup mencium aroma maskulin dari lelaki yang terlalu dekat dengannya untuk pertama kali.
Daffa menoleh ke arah Vania, kedua mata mereka saling beradu dalam jarak sangat dekat, bahkan ujung hidung Daffa hampir sanggup menyentuh sisi wajah mulus yang juga baru kali ini diamati dalam jarak dekat.
Cepat ia menjauhkan diri, memulai kembali untuk melanjutkan perjalanan. Vania masih tertahan dengan napasnya, sengaja Daffa menginjak rem untuk menyadarkan agar perempuan itu bisa bernapas.
"Mama yang minta aku jemput!" kata Daffa segera, agar tak ada kesalahpahaman dan pengembangan pikiran dari perempuan yang sangat terkejut hingga tubuh maju.
"I-iya, Mas." Jawabnya gugup. "Ter-terima kasih banyak."
"Gak usah makasih! Kalau bukan mama yang minta, aku juga gak mau ngelakuin! Aku gak pengen mama mikir aneh-aneh terus sakit lagi!" sinisnya.
Daffa menoleh tatkala mendengar nada gugup terlontar padanya, menelisik pada Vania yang memainkan kedua tangan di atas pangkuan. Wajah bersemu merah pun sanggup ditemui olehnya dengan sangat jelas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!