Kriiing ... jam beker ku berbunyi, aku mulai membuka mata dan menekan tombol off bekerku. Ah ... rupanya sudah pukul 03.40 dini hari.
Beker ini ku setel pukul 03.40 agar aku bergegas untuk mandi dan bersiap pergi ke penata rias, merias wajahku untuk acara wisuda.
Ritual membersihkan diri sudah, beribadah wajib sudah, tinggal bersiap menuju ke MUA (Make Up Artist) langganan mama yang lokasinya hanya beberapa blok dari rumahku.
"Ma ... aku pergi dulu ke tempat Mbak Ayu ya, takut kesiangan!" teriakku terburu-buru.
"Hati-hati!" teriak Mama di dapur.
"Siap, Ma!" Sahutku sambil berlari meninggalkan Mama.
Kunyalakan skuter matic asal Italia yang berwarna hijau tosca kesayanganku tanpa kupanasi terlebih dahulu, aku hanya tancap gas dan langsung meluncur ke tempat Mbak Ayu MUA profesional.
Sampai juga di tempat Mbak Ayu, kutekan tombol yang bertuliskan Bel. Beberapa menit kemudian Asisten Rumah Tangga Mbak Ayu membuka kan pintu gerbangnya.
"Neng Liona? ... silakan masuk, Mbak Ayu nya sudah di ruang Make Up." Tutur Asisten Rumah Tangga (ART) paruh baya itu.
"Iya ... terima kasih." Sahutku.
"Hai ... Liona, cie ... yang mau wisuda ... deg-deg-an kah jadi lulusan terbaik?" Tutur Perempuan muda yang menata rias wajahku.
"Deg-deg-an banget, Mbak! rias sebagus dan se-OK mungkin ya, Mbak!" ucapku sembari mengacungkan jempolku.
"OK, Honey!" jawab Mbak Ayu.
Tak memerlukan waktu yang lama, Mbak Ayu sudah memoles wajahku dengan sangat apik dan terampil, aku sendiri sampai manglingi dengan wajahku. Aku mematut wajahku di cermin, Ya Tuhan! ini aku kan? aku memang tak pernah dandan jadi wajar saja kalau aku kaget melihat wajahku sendiri. Aku harus tampil elegant nanti. "Bismillah ... " gumamku.
"Sudah OK kaan ..." ujar Mbak Ayu melirikku.
"Sudah Mbak, OK banget, pembayarannya sudah ditransfer mama ya, Mbak!" sahutku mendongah ke arah wajahnya.
"Iya Honey, semuanya sudah beres." Jawabnya.
"Aku jalan ya Mbak, jam enam tepat harus sudah ada di aula kampus gladi resik dulu nih hehe." Ucapku tersenyum malu.
"Semoga lancar dan sukses ya ..." ucap Mbak Ayu.
"OK, Thank's." Pungkasku sambil bergegas melangkah ke depan keluar dari ruang make-up.
Kunyalakan kembali skuter kesayanganku, melaju kembali ke rumahku.
"Wow! anak mama pangling ya, Pa!" seru Mama menoleh pada Papa.
"Iya dong ... secara dia itu polos aja, enggak pernah dandan jadi pangling tuh, Ma!" sahut Papa.
"Ah, Mama sama Papa mah bisa aja." Ujarku sedikit GR.
"Ayo kita harus bergegas, takutnya macet, Pa!" Tegas Mama.
"Iya ... ayo." Jawab Papa.
Kami pergi bertiga saja, karena semua kakakku tidak disini, mereka semua sudah menikah. Yang pertama di Batam, yang kedua di Surabaya, dan yang ketiga di Bogor. Tapi mereka semua sudah diberi kabar oleh Mama dan Papa kok, malah ... tadi sebelum berangkat ke tempat make-up, mereka semua video call memberikan selamat padaku.
Aku beruntung memiliki mereka semua yang sayang padaku. Papa menyalakan mobil berwarna putihnya, lalu kami berangkat dan berdoa terlebih dahulu agar lancar bebas hambatan.
Ahh ... tiba juga di aula kampus. Pagi yang cerah nan bersahaja, Mentari bersinar indah seolah mengucapkan "Selamat kamu lulus sarjana Liona" Tuhan ... nikmat mana lagi yang kan kudustakan.
Kulihat sosok laki-laki dengan setelan jaz berwarna abu tua, berambut ikal berkulit putih dan bermata belo. Dia berjalan mendekat ke arah depan aula. Ish! ternyata dia gebetanku.
"Hai, Liona ... selamat ya kamu jadi lulusan terbaik, kamu hebat!" tutur Antony gebetanku.
"Terima kasih kamu juga selamat ya ..." Sahutku melirik Mama dan Papa karena ke-GR-an.
"Siapa ... itu, Li?" tanya Mama.
"Cuma temen, Ma! tepatnya gebetan hihihi." Ungkapku bebisik pada Mama.
Kami semua sudah memasuki ruangan, syukurlah ... sebelumnya aku sudah gladi resik berjalan menuju ke depan bersama Rivan mahasiswa cum laude laki-laki yang tidak sekelas denganku untuk disumpah sebagai sarjana mewakili mahasiswa lainnya, sehingga aku tak begitu nervous.
Prosesi wisuda berlangsung, dan berjalan dengan lancar, aku bahagia lulus dengan predikat cum laude, kami semua mengikuti acara hingga selesai. Sampai kami keluar aula berhamburan saling mencari teman se-frekuensi dan satu circle untuk saling melempar topi wisuda kami ke udara.
Sementara mama dan papa ngobrol asyik dengan orang tua teman-temanku, aku sibuk foto-foto dan berkumpul dengan mereka teman-teman seangkatanku sejenak melepaskan kerinduan karena sebentar lagi kami mungkin akan jarang atau hampir tidak bertemu lagi kecuali sahabat.
Nampak di dekat pintu depan aula, Antony yang sedang bertengkar dengan pacarnya. Aku tidak memedulikan mereka, toh apa urusanku dengannya. Antony memalingkan mukanya lalu netranya memandang ke arahku, sepertinya dia malu dan merasa kalau aku sempat melihatnya bertengkar tadi.
Aku memang naksir padanya, tapi perasaanku ini tidak lantas ingin kuarahkan ke arah yang serius, semua itu hanya perasaan suka saja yang tak mendalam, sehingga melihatnya bertengkar tidak ada pengaruhnya bagiku. Mentalku sudah terlatih untuk itu.
Mely, Dina dan Mila, datang menghampiriku, mengajakku berfoto-foto lagi dengan yang lain. Aku mengikuti ajakannya kami pun larut dalam uforia wisuda.
Sore hari menuju petang telah tiba, senja telah menunjukkan wajah cantiknya, lembayung akan berganti dengan gelapnya malam. Pesta wisuda pun telah usai, kami semua bubar bertebaran, pulang dengan keluarganya masing-masing.
Aku masuk ke dalam mobil, duduk di belakang mama. Kubuka jendela mobil kubuka sampai maksimal, melihat-lihat sekeliling kampus yang sebentar lagi akan kutinggalkan, semua suasana dan cerita tentangnya.
Rasanya aku masih ingin berlama-lama lagi dengan kalian tapi bagaimana lagi, ada pertemuan pasti ada perpisahan, ada awal pasti ada akhir, walaupun ini sebenarnya bukan akhir, melainkan awal yang baru. Selamat menjadi sarjana kalian semua.
"Kalian semua baik-baik ya, jangan lupa berkabar, kalau sudah dapat kerja jangan lupa ajak-ajak ya!" Teriakku di dalam mobil pada teman-temanku yang berada di mobil Mila.
"Siap, Li! Loe juga ya, sukses selalu, bye ..." teriak Dina dan Mila.
Sampai juga aku di rumah ... ahh ... lelahnya ... mama dan papa sibuk menyimpan bunga-bunga dari florist yang dikirimkan seseorang ke rumah, menurut papa sih dari para penggemarku.
"Aduh, Ma! bungsu kita ini rupanya banyak penggemar nih, lihat saja banyak yang kirim bunga ..." tutur Papa melemparkan senyumnya pada Mama.
"Memang, Pa! cuma dianya aja yang cuek, dia sis memang gitu orangnya, Pa! kayaknya dia belum punya pacar deh Pa, dia mana mau pacaran selama kuliah, katanya ganggu!" Tutur Mama menjelaskan.
"Ah ... kalian ini selalu gibahin aku deh, sudah ya ... jangan bahas lagi, anak bungsu kalian ini sudah jadi sarjana dan harus mulai menyusun strategi biar dapat kerjaan yang membidik tepat sasaran, ya kan, Pa!" ujarku sembari mengangkat alis keatas dan kebawah.
"Iya Liona sayang ... Papa doain semoga lekas dapat kerja ya." Sahut Papa mencubit pipiku.
Klik ... klik ... notifikasi dari ponselku.
[Li, Antony titip salam buat loe, kenapa ya kok jadi gue yang seneng, ih] Dina.
[Ah, ngapain juga sih dia, gue keburu gak minat, sama Si Playboy itu] Liona.
[Bener nih! kok bisa?] Dina.
[Bisa ... aja lah, Din! gue keburu Il Fil pas liat dia bentak-bentak ceweknya, masa abis berantem sama ceweknya dia masih sempet lirik-lirik gue. Playboy kampungan!] Liona.
[Begitulah dia, kayak loe gak tahu aja] Dina.
[Memang gue gak tahu, taunya dia tuh cowok cool] Liona.
[Cool, apa kulkas!] Dina.
[Iya! hahahaha ] Liona.
[Serah loe deh] Dina.
[Urus aja tuh Si Arya cowo loe, gak usah ngurusin Si Antony itu, gue udah move on] Liona.
[Cie ... yang mau move on, eh udah move on ...] Dina.
[Udah ya, stop! gue mau rebahan cantik dulu, bye bestie] Liona.
Malam yang dingin, angin nya menusuk meniup pori-pori kulitku, aku yang tak terbiasa membuka jendela kamar, kini sengaja membuka jendela itu lebar-lebar, agar angin menerpa meniup wajahku yang sedang kegerahan.
Aku rebahkan tubuhku di atas ranjang, Mama tiba-tiba masuk ke kamar membawakan jus alpukat home made yang dibuatnya. Hmmm ... jus alpukat buatan mama memang top deh.
Aku nyalakan televisi di kamarku, kutonton drakor yang sedang on going di saluran TV jaring itu. lama-lama bosan juga ... mending aku nyalakan radio saja sambil cari ngantuk.
Pukul 22.00 waktunya dengerin acara Blind Date, acara cari pacar yang nanti dijodohkan gitu sama announcer nya berdasarkan kriteria pilihan pendengar. Enggak tahu kenapa dari sejak SMA aku tuh suka banget dengerin radio ini, sampai mantengin tiap hari. Radio Goodrock ini selalu pas acaranya, seru bikin aku gak pernah bosan dengarnya.
Enggak terasa netraku mulai kelelahan hingga akhirnya tertidur pulas setelah capek seharian di acara wisuda.
-----------
Alarm ayam berkokok bernyanyi dari ponselku, rupanya sudah pukul 02.45 dini hari. Solat malam time ...
Mama mengetuk pintu, "Liona ... ayo solat malam dulu..."
"Iya, Ma!" Sahutku.
Mama, Papa sudah terbiasa bangun di jam- jam ini untuk melaksanakan ritual solat malam, kecuali aku. Mama konsisten solat malam sementara aku? aku jadi malu sendiri dibuatnya. Mama aja yang sudah paruh baya masih rutin dan rajin Tahajud, lah aku? aku mesti termotivasi nih, harus merubah pola tidur.
Aku menghampiri mama dan mengajaknya berbincang.
"Ma, sarjana ekonomi kayak aku cocoknya ngelamar kemana ya?" ucapku sembari tidur di atas paha mama yang sedang duduk di sofa berwarna hitam legam.
"Memangnya, gak ada yang nawarin kerjaan gitu dari kampus? bukankah biasanya lulusan terbaik suka dapat rekomendasi dari kampus kamu?" ujar Mama.
"Belum ada informasinya dari kampus, aku belum baca info di mading, Ma! tapi biasanya pihak perusahaan bakal ngehubungin melalui pihak kampus kalau memang perusahaan itu sudah memilih nama-nama mahasiswa yang direkomendasikan pihak kampus.
"Menurut mama sih kalau ada rekomendasi dari bank, kamu apply aja ke bank." Ucap Mama.
"Kalau ada perusahaan bonafide selain bank gimana, Ma?" Tuturku.
"Intinya apply kerjaan itu kemana aja atuh, yang penting mah kerja tapi jangan asal-asalan juga, harus selektif seperti kamu memilih jodoh." Kata mama sambil tersenyum tipis.
"Ah, Mama! masa disamakan sama cari jodoh ah ada-ada aja nih, Mama." Sahutku tertawa kecil.
"Neng, kenapa sih kamu belum punya pacar? padahal yang antre sama kamu banyak, gak ada yang kamu suka apa gimana? temen-temen kamu semua pada punya pacar lho, malah sebentar lagi ada yang mau tunangan." Ungkap Mama membelai rambutku.
"Mamaku yang cantik dan baik hati, aku enggak mau buang-buang waktu pacaran kalau enggak serius, Ma. Lagian mama kenapa sih bandingin aku sama temen-temen aku. Bukan nya mama sama papa ngelarang pacaran ya. Kenapa tiba-tiba ada pertanyaan itu?" ungkapku menjelaskan panjang lebar.
"Iya juga sih, Mama enggak mau anak mama pacaran, takut hamil ah hahaha, mama cuma penasaran aja sama kamu." Celetuk Mama.
"Mama ... ih! kalau ngomong enggak disaring ah!" tukasku.
"Ma ... emang aku galak ya, terus aku juga judes?" tanyaku mendongah pada Mama.
"Judes juga galak sih, kalau sama cowok!" Sahut Mama.
"Bodo amat ah, Ma. Pusing jadinya, mending aku ke kamar lagi aja dengerin radio," Jawabku.
-----------
Hari ini adalah bulan kedua sejak aku lulus kuliah. Pihak kampus meneleponku memintaku datang untuk apply beberapa loker yang ada di list kampus.
Aku bergegas menuju kampus, setibanya di sana aku berjalan di lorong kampus menuju ruang Tata Usaha (TU) sesuai intruksi dosen yang meneleponku.
"Eh Liona, bagaimana kabarmu?" tanya Dosen Kewirausahaan itu.
"Saya baik Pak, bapak sendiri bagaimana?" sahutku.
"Saya baik Lion ..." jawab Pak Wijaya, begitulah dia selalu memanggilku Lion.
"Oya, ini ada beberapa perusahaan yang bapak rekomendasikan untuk kamu beberapa diantaranya juga ada bank swasta dan bank milik pemerintah." Ungkapnya lagi.
"Terima kasih, Pak. Saya mau coba apply beberapa diantaranya. Saya mau langsung pulang Pak." Ucapku bahagia mendapat loker layaknya mendapat harta karun.
"Iya silakan, mau kamu apply semuanya juga enggak apa-apa, cuma apa kamu kuat, jangan serakah kamu Liona haha!" Canda Pak Wijaya.
"Ya, Bapak ! kebiasaan deh. Mari, Pak! saya pamit." Tukasku mengakhiri pembicaraan Pak Dosen.
Aku berjalan gontai menyusuri lorong kampus yang luas ini, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku pelan.
"Liona!" ucapnya.
Aku menoleh ke belakang, ternyata dia Antony.
"Eh, Kamu!" sahutku.
"Dari mana, kok tumben ada di kampus?" tuturnya.
"Aku ditelepon Pak Wijaya, mau rekomendasikan kerjaan buat aku." Ungkapku sedikit malas menjawab.
"Kamu enggak nanya kenapa aku disini? kebiasaan nih kamu suka cuek." Tutur nya Ke-PD-an.
Dalam hati, ngapain juga nanya-nanya, gak penting banget, IlFil gue.
"Emm, iya kenapa loe ada di kampus, cewek loe mana?" ujarku bertanya terpaksa.
"Aku kan memang suka kesini seminggu sekali ngelatih anak-anak MAPALA dan kamu harus tahu aku enggak punya cewek, udah putus!" katanya ketus.
"Ya udah ya, gue pulang dulu ya bye ... " pungkasku buru-buru pergi meninggalkannya.
"Eh Liona, sebentar, tunggu!" teriaknya mengejarku dan meraih tanganku lalu digenggamnya.
"Eh lepas, loe gimana sih!" bentakku.
"Gitu banget sih Li, jangan galak dong aku jadi takut." Sahutnya.
"Ya sudah biarin aja, mending loe takut aja sama gue, biar loe sopan!" bentakku lagi.
Aku pergi meninggalkan si Playboy Kampung itu, dia pun berlalu dengan mobilnya yang terus-menerus klakson gak jelas mengajak ku pulang bareng, amit-amit. Aku takut sama cowok genit kayak gitu.
"Assalamualaikum ..." salamku membuka pintu rumah yang sedikit terbuka.
Tak ada yang menjawab, kulihat Papa sedang tertidur pulas di sofa. Aku tutup pintu, lantas pergi ke kamarku yang berada di lantai atas.
Aku nyalakan AC di kamarku, ah ... adem sekali rasanya, aku buka dokumen, untuk keperluan lamaran pekerjaanku. Lalu seseorang mengetuk pintu.
Tok ... Tok ... Tok
"Neng Liona ... anu, bajunya sudah selesai disetrika semuanya, beres-beres sudah, cuci piring juga. Bi Ani pulang dulu ya, Neng." Ucap wanita yang bekerja setengah hari di rumahku.
"Sebentar Bi Ani, Mama mana?" tanyaku padanya.
"Mama ke Bogor Neng, katanya ponakan Neng Liona dirawat di Rumah Sakit." Jawab nya.
"Dirawat! oh ... ya sudah Bi Ani gak apa-apa, silakan saja kalau mau pulang, sudah dikasih uangnya kan sama Mama? tanyaku.
"Sudah Neng, terim kasih, Bibi Pulang ya," sahut Bi Ani.
Bi Ani bekerja di rumahku sebagai Asisten Rumah Tangga paruh waktu, dia datang setelah subuh lantas pulang setelah ashar, bayarannya pun langsung hari itu juga.
Lumayan ... lah ada Bi Ani, di rumah terbantu. Mama enggak terlalu capek, begitu juga aku yang tidak selalu ada di rumah sejak sibuk kuliah.
"Neng ... Liona! kamu sudah pulang?" teriak Papa dari lantai bawah.
"Sudah, Pa!" sahutku juga berteriak.
"Kita makan di luar yuk, Mama enggak masak, keburu pergi. Sedangkan kamu mana mau masak, mager-an kamu mah."
"Ih Papa mah, suka gitu deh!" sahutku.
Klik ... klik ... notifikasi pesan berbunyi dari ponselku.
[Hai ... Liona, masih ingat sama aku?] Dion.
[Siapa? tiba-tiba bilang ingat saja, namamu aja gak kamu sebutin!] Liona
[Aku Dion]
[Dion? wait, Dion temen SMA atau temen kuliah nih, ada dua nama Dion yang kukenal, atau gini aja deh, kamu pake dong foto profil kamu biar aku tahu siapa kamu] Liona.
[Mmm ... Oke lah ... susah ngomong sama kamu, pasti aku selalu ngalah jadinya] Dion.
[Dion Dharmendra?] Liona.
[Exactly. Kamu benar, temen sekaligus kakak kelas SMA kamu, Liona] Dion.
[Iya ... aku ingat, masih ingat] Liona.
[Ketemuan yuk, dimana gitu, atau aku ke rumah kamu deh gimana? rumahmu masih di sana kan?] Dion.
[Iya masih, tapi jangan dulu deh, nanti dikira Mama kamu cowok aku. Bisa berabe urusannya] Liona.
[Mau dong dikira cowok kamu hahaha] Dion.
[Ah, kamu ini bisa aja, masih aja kayak dulu. Ya sudah gimana kalau kita meet up lusa jam satu siang di toko kue Marvest Jalan Ir.H .Djuanda sekalian mau beli cake ulang tahun untuk Mama] Liona.
[OK Fix, kita ketemu disana ya jam satu siang] Dion
[Sip] Liona
Hmmm rupanya Dion yang chat aku. Dia kakak kelasku yang sempat naksir padaku semasa SMA, gara-gara kutolak, dia jadi berteman denganku dan bestie-bestieku. Sebenarnya ... dulu aku naksir dia juga, aku menolak bukan karena tidak suka, tapi karena seseorang yang naksir dia kakak kelas juga, dia mohon sama aku untuk menolak Dion karena kakak kelasku yang bernama Rida itu suka sama Dion.
Aku mengalah saja pada Rida, lagi pula aku masih SMA, rasanya pacaran malah bikin gak fokus belajar deh, selain itu Mama dan Papa juga kasih kode keras jangan dulu pacaran, masih sekolah nanti ganggu. Ya begitulah Mama dan Papaku.
Kuakui aku memang kangen sama dia, tapi ... karena aku sudah move on jadi semua rasa itu harus di up-grade dan di refresh kembali.
Dion ... Dion ... gimana penampakan kamu sekarang ya? kita lihat saja lusa.
----------
Keesokan harinya...
Di kamar sembari mendengarkan radio favoritku, aku menunggu Mama pulang ke rumah, besok hari spesial Mama, aku dan papa sudah diskusi untuk kasih kado untuk mama, tugasku membeli cake ulang tahunnya, sementara Papa membeli kado yang aku sendiri gak tahu apa. Itu semua terserah papa.
Pukul 02.30 nampak mini bus yang berhenti di depan rumah, rupanya Mama pulang pakai travel. Kubuka gorden jendela ruang tamu.
"Assalamualaikum." Salam Mama.
"Waalaikumsallam." Sahutku seraya membuka pintu.
"Neng ... ini tolong bawakan tas Mama, Papa mana?"
"Papa sedang solat, Ma! seperti biasa." Jawabku sembari membawakan tas Mama ke dalam kamarnya.
"Mama kenapa, udah pulang aja, cuma sehari doang disana? biasanya kalau ke Bogor suka Lama!" tanyaku.
"Mikail mau dibawa dirawat di Jakarta, biar ada yang nunggu, adik iparnya Teh Novi kan tinggal disana, karena Kang Niko nya juga ada pekerjaan di Jakarta, jadi biar sekalian, lagian Mikail sudah lewat masa kritisnya, jadi Mama pulang dulu aja." Ujar Mama menjelaskan.
"Ya sudah, ini Mama minum dulu teh tawar hangat, duduk dan santai saja. Mama kan capek, istirahat dulu, Ma." Ujarku.
"Ma, baru pulang kamu?" tutur Papa.
"Ia Pa, Mikail, udah lewat masa kritisnya, Novi juga harus ikut suaminya ke Jakarta, jadi Mikail dibawanya ke Jakarta. Tapi Papa tenang aja disana ada yang jagain kok. Novi gantian sama adik iparnya." Ungkap Mama.
"Ya syukurlah kalau gitu ... jadi papa enggak khawatir lagi."
-----------
Hari yang dinanti telah tiba, yaitu hari ulang tahun Mama. Aku dan papa diam saja merahasiakan semuanya.
Aku membereskan PR lamaran kerjaku dulu, aku sudah apply ke beberapa perusahaan dan Bank BUMN di Bandung, aku sudah kirim lewat E-Mail.
Apply lamaran sudah selesai ... tinggal bantuin mama masak di dapur, meskipun pasti bilang tumben, karena biasanya aku mager semager-magernya. Taunya tinggal makan doang ... tapi kali ini, aku sudah berjanji akan bantu mama, sekaligus belajar masak.
Udang goreng tepung, capcay kuah dan tahu goreng sudah siap di meja, kami sarapan pagi, menyambut hari dengan hati yang ceria nan bahagia.
Aku pantau jam berwarna putih berbentuk lingkaran yang menempel di dinding. Rupanya sudah Pukul 12.30, saatnya bersiap ritual membersihkan badan dan solat Zuhur.
"Ma ... aku berangkat dulu ya mau kirim lamaran kerja, mau minta anter Papa, boleh kah?" Tanyaku sedikit memaksa dan pura-pura mau kirim lamaran, padahal mau beliin dia cake ultah.
"Tumben dianter Papa, biasanya mau sendiri aja," sahut Mama.
"Ya enggak apa-apa lah Ma, sekali-kali. Khawatir anak bungsu Mama ini ada yang culik nanti hahaha." Tutur Papa menggoda Mama.
"Yah, Papa kebiasaan aja, iya silakan kalian pergi, hati-hati di jalan, semoga diterima kerja ya ..." sahut Mama.
"Aamiin, terima kasih Mama." Jawabku mencium pipi Mama sambil berlari kecil mengejar Papa.
Sampai di tempat tujuan Papa, wow ... Papa mau belikan Mama kalung emas. Kata Papa, Mama memang pengin kalung itu waktu lihat iklan toko mas ini seliweran di FB. Pas Papa lihat harganya ... ya lumayan lah keinginan mama itu enggak terlalu mahal, apa salahnya papa belikan, toh selama ini mama sudah mendedikasikan dirinya untuk papa dan keluarga, kali ini papa ingin tunjukan rasa sayang dan terima kasihnya pada Mama, semoga Mama suka.
"Nah, Pa! aku sampai sini aja bareng Papa, aku mau ke toko kue sambil ketemu temen. Kadonya mau papa bawa atau titip di aku?" ujarku memastikan kadonya akan baik-baik saja.
"Lebih baik Papa titip di kamu aja ya, biar nanti kasih surprisenya barengan." Tutur Papa.
Papa memang selalu kompak denganku dari dulu, sosok ayah yang akrab dengan anak-anaknya dan penyayang istri semoga kelak aku dapat suami seperti Papa.
Papa mengantarku sampai toko kue yang aku janjikan sama Dion. Ternyata ... Dia sudah menungguku berdiri menyandar ke samping mobilnya sembari memainkan ponselnya.
Pesan chat masuk ke ponselku.
[Aku udah disini Li, di mobil H*V berwarna hitam, tengok deh ke sebelah kiri. Kamu sama Papa ya] Dion
[Iya ... aku udah lihat kamu tadi begitu nyampe disini] Liona.
Dion menghapiriku menuju mobil Papa. Dia meraih tangan papa dan mencium tangan Papa.
"Dion ya, kemana saja baru ketemu lagi, menghilang dari peredaran ya" Ujar Papa tertawa lebar.
"Ada Om, sedang sibuk kuliah biar cepat kelar." Sahutnya.
"Bagus! kuliah yang sungguh-sungguh biar sukses." Sahut Papa.
"Terima kasih Om." Jawab Dion.
"Sip!" Sahut Papa.
"Pa, aku disini dulu ya bareng dia." Ucapku tersenyum manja.
"Iya ... jangan terlalu malam kamu pulang ya, Inget rencana kita buat Mama." Ungkap Papa berbisik padaku.
Aku jawab papa dengan anggukan.
"Jaga Liona ya Dion, jangan sampai kenapa-napa!" Tegas Papa.
"Siap Om." Ujar Dion.
Papa masuk ke mobil, kemudian melaju tancap gas menuju ke rumah.
"Masuk dulu yuk, kita pilihin kue buat Mama, setelah itu acara bebas mau jalan kemana." Ujarku mengajak Dion masuk ke dalam toko kue.
Dion mengangguk, lantas kami berdua masuk memilih cake untuk Mama. Sampai di meja kasir, Dion malah membayarkan cake nya. aku malu baru saja ketemu udah bikin dia mengeluarkan uang.
"Dion ... ini kan aku beliin buat mama kenapa kamu yang bayarin!" tegasku.
"It's OK, gak apa-apa hitung-hitung kasih kado untuk Mama kamu. Please jangan nolak, seperti yang sering kamu lakukan dulu!" Tuturnya menegaskanku.
"Ya ... bukan gitu, itu kan kewajibanku, aku gak mau membebani kamu dengan apa yang sudah seharusnya menjadi tanggunganku." Tukasku sedikit kesal.
"Sudahlah Li, gara-gara cake doang, jangan sampai bikin kita jadi berantem ah. Please." Kata Dion.
"Ya udah iya ... maaf!" sahutku cemberut.
"Nah gitu dong ..." kata Dion mencubit pipiku.
"Ih ... kamu ya, awas lho kalo genit!" tegasku.
Urusan cake untuk mama sudah selesai, Dion mengajakku ke kafe kawasan Dago atas, rupanya sedari tadi dia sudah merencanakan semuanya, sehingga sudah tidak perlu lagi bertanya padaku mau jalan kemana kami.
Tiba di kafe yang Dion pilih. Suasana yang sejuk dan nyaman sekali, aku yang terbawa suasana jadi betah berlama-lama disini bisa melihat view kota Bandung yang sejuk.
Dion menjelaskan maksudnya, menghubungiku kemarin. Masih seperti dulu tak pernah basa-basi, selalu to the point.
"Li, sejak lulus SMA kala itu, aku dengan Rida putus, hubungan Kami enggak berlanjut. Karena jelas aku sukanya kamu, malah Kamu comblangin Rida. Aku ikut tes kedokteran di Universitas negeri di Jakarta, dan aku lulus, sekarang aku ambil spesialisnya udah Dua tahun berjalan. Aku hanya perlu menyelesaikan kuliah kedokteran ku dua tahun lagi." Ungkapnya membeberkan ceritanya padaku.
"Terus hubungannya dengan aku apa, Di?" tanyaku Penasaran.
"Hubungannya adalah ... aku suka sama kamu dari sejak SMA dan perasaan itu enggak pernah berubah sampai saat ini, aku juga enggak tahu kenapa, mau move on dari kamu rasanya kok sulit sekali. Dan aku serius ingin melamar kamu selepas kuliah spesialis kedokteran ku rampung." Ungkapnya.
Aku tertegun dibuatnya, aku seketika menjadi bingung. Enggak tahu harus jawab apa karena bagiku semua ini tiba-tiba, baru ketemu sudah ditodong pernyataan seserius ini.
"Mmmh ... Di ... aku ... gimana ya ...ini semua membingungkan, tiba-tiba saja kamu ajak hubungan yang serius, maksud kamu apa! memangnya semudah itu menjalin hubungan! Kamu enggak mikir Dion, bagaimana perasaanku!" Ketusku.
"Aku mengerti Li, aku juga menduga pasti kamu akan seperti ini, aku kasih kamu waktu seminggu untuk memikirkan semuanya." Ucap Dion menggenggam jemariku.
"Lepas, Di!" aku menghempaskannya merasa belum jadi miliknya.
"Kenapa setelah sekian lama kamu baru muncul lagi di hadapanku Dion? muncul membawa misi yang berbeda!" ujarku ketus pada Dion.
"Aku sedang mengumpulkan kekuatan untuk bertemu lagi denganmu, tidak mudah bagiku tiba-tiba datang dengan seperti ini, padahal sudah sejak lama aku ingin mengungkapkannya. Aku sungguh mencintai kamu Liona, tapi aku juga tahu tidak semudah itu mendapatkanmu, dengan semua prinsip dan keyakinanmu yang kukuh, membuatku berpikir bagaimana cara menjadi bagian dari hidupmu." Ungkap Dion.
"Kini ... aku sudah percaya diri, aku tahu kamu juga mencintaiku ya kan!" ujar Dion.
"Jangan terlalu yakin dan PD!" bentakku.
"OK, terserah kamu, tenangkan diri kamu, pulang ke rumah dan pikirkan baik-baik, OK?" sahut Dion.
"Ya sudah, antar aku pulang, aku ingin ketemu mama, aku sudah janji sama papa mau kasih kado bareng!" Lirihku berkaca-kaca.
"Ayo aku antar kamu pulang sekalian aku pengin ketemu Mama sama Papamu." Tukas Dion.
"Aku memang pernah mencintai kamu Dion, tapi itu dulu, mungkin saat itu cuma cinta monyet, entahlah dengan hari ini, semuanya begitu mengejutkanku." Lirih Liona.
"It's OK santai saja, aku memakluminya, kamu sedang bingung saat ini ... aku enggak akan mendesakmu." Ujar Dion.
Sampai di rumah...
"Assalamualaikum..." salamku dan Dion.
"Waalaikumsallam," sahut Mama dan Papa.
Mama membuka pintu.
"Ini ... siapa ya ... aduh lupa-lupa ingat nih, Mama." Tutur Mama terus mengingat-ingat
"Dion, Ma." Sambungku.
"Nah ... iya bener, dulu sering kan kesini, kerumah bareng temen-temen nya Liona, ya kan?" kata Mama.
"Iya Tante." Ujar Dion.
"Silakan duduk dulu, Di." tuturku.
Dion duduk manis menunggu di ruang tamu ditemani Mama. Sementara aku dan papa sibuk membenahi kado dan cake yang sudah dipersiapkan sejak tadi.
"Ayo Pa, kita action, ini kadonya Papa ... cepet kasih mumpung Mama lagi di ruang tamu bareng Dion." Ajakku.
Papa menghampiri mama yang sedang duduk di ruang tamu, lantas Papa duduk di dekatnya.
"Ma, coba buka ini apa?" ucap Papa menyodorkan kotak perhiasan berudru berwarna hitam.
"Waaah ... ini kalung inceran Mama kan Pa, Kok bisa?" Ujar Mama terkagum-kagum.
"Bisa dong, Ma. Selamat ulang tahun Mama, terima kasih udah setia sama Papa dan mengurus anak-anak dengan baik." Tutur Papa mencium kening Mama.
"Thank's Papa ... Papa memang yang terbaik." Sahut Mama memeluk Papa berderai air mata haru.
"Dan ... ini cake nya Mama, cake pilihanku untuk Mama, hadiah dari Dion lho Ma!" Ucapku menyodorkan cake lembut dan mewah itu.
"Terima kasih Dion baru ketemu udah direpotin ..." sahut Mama tertawa kecil.
"Sama-sama Tante, no problem." Kata Dion.
Dion menatapku, seolah memberi kode, ingin bicara privasi denganku. Aku bawa dia ke teras, dan duduk di kursi rotan yang sepasang itu. Aku bawakan dia secangkir teh manis hambar kesukaannya. Teh celup yang tidak terlalu pekat dengan sedikit gula.
"Teh manis kesukaanmu, Di." Ucapku menyimpan teh nya di meja.
"Makasih, Li." Ucap Dion meminum seteguk teh buatanku, seperti tes rasa.
"Kamu masih bisa bikin Teh manis seenak ini untukku, rasanya enggak berubah." Ujar Dion.
"Kebetulan aja kali, ga usah GR!" bentakku.
"Kamu tuh, masih aja keras kepala dan galak." Ucap Dion tersenyum tipis.
"Terserah aku dong kalau kamu enggak suka ya udah!" sahutku.
"Nah ... kan ngambek, lesung pipit sebelah kamu itu jadi kurang manis kalau cemberut." Jawab Dion.
"Mulai deh gombal!" Ucapku tersenyum menoleh ke arahnya.
"Liona, jawab aku, kenapa saat itu kamu ngalah sama Rida? kenapa kamu enggak pernah tanya perasaanku, aku enggak ada perasaan sama dia, akhirnya hubungan kami berantakan dan putus karena mau dipaksakan seperti apa pun, aku tetap enggak bisa jalan sama dia, padahal kala itu aku berharap kamu jawab 'Ya aku mau jadi someone special kamu Kak Dion'." Sesalnya menyandarkan badannya ke kursi rotan itu sembari melihat cahaya Bintang.
"Mmm, maaf aku udah maksain kamu jalan bareng Rida, soalnya dia memohon sama aku untuk ngalah sama dia, dia bilang aku harus tolak cinta kamu, terdengar klise memang tapi itu kenyataannya, bukan cerita film lho!" sahutku menjelaskan kesalah fahaman di masa lalu.
"Terus giman dong, sekarang ... apa kamu masih kekeuh dengan pendirian kamu?" tanya Dion menoleh padaku yang berada di sebelah kirinya.
"Sebenarnya ... waktu itu, ada rasa takut juga untuk jawab ya sama kamu, pertama... aku takut mama dan papa marah besar, kedua aku merasa masih bocah SMA yang gak mungkin jalanin hubungan beneran, maksudnya serius jadian. Banyak hal yang jadi pertimbangan kala itu. Maafin aku Dion." Ucapku menyodorkan jari kelingkingku untuk kutautkan pada Dion layaknya bocah yang bertengkar terus baikan.
Dion membalas menautkan kelingkingnya padaku, suasana sudah tak horor lagi, gunung es sudah mulai mencair. Aku sudah mulai open minded .
"Aku memang kadang kekanak-kanakan tapi percayalah aku juga sedang berproses. Situasi dan kondisi yang tak lagi sama tidak mungkin berlaku solusi dan tindakan yang sama juga Dion." Ujarku lagi.
"Saat itu aku masih gadis ABG, saat ini aku sudah menjadi seorang perempuan dewasa, yang sedang menjajal karier. Sehingga aku tak ingin suatu hubungan akan merubah tujuanku." Ungkapku lagi.
"Kamu ambisius, Li!" sahut Dion.
"Aku memang punya ambisi, tapi tidak ambisius, apa salah? bukankah setiap orang memiliki ambisi dalam dirinya? aku hanya ingin hidupku tidak membebani kedua orang tuaku dan calon suamiku kelak, aku harus mandiri secara finansial agar tidak menyusahkan orang lain, malah mungkin bisa membantu orang lain." Beberku menjelaskan semua uneg-uneg pada Dion.
"Kamu benar sekali Liona cantik ... tapi menikah juga kewajiban, bagaimana mungkin kamu hidup berkecukupan, kariermu bagus, tapi kamu hidup sendiri tanpa pasangan yang akan support kamu!" Ungkap Dion salah faham.
"Pikiran mu terlalu sempit Dion, aku bukan tidak akan atau tidak mau menikah. Aku hanya sedang fokus mencari pekerjaan, dan kalaupun seseorang ingin menjalani hubungan denganku maka aku harus memastikan hubungan itu serius menuju pernikahan, bukan main-main agar waktuku tidak sia-sia, menghabiskan hidupku untuk meratapi kegagalan cinta." Ungkapku menjelaskan lagi.
"Berarti kamu selama ini defensif, menjaga pertahanan dari ancaman, kamu takut sakit hati? aku tidak ingin menyakitimu Liona." Kesal Dion.
"Kamu benar aku memang defensif, dan ya, aku takut akan sakit hati, aku tidak mau nasibku seperti kakakku yang tiba-tiba ditinggalkan ketika sudah bertunangan. Perlu waktu yang cukup lama baginya menyembuhkan luka itu, dan kamu ... apa kamu bisa menjamin masa depan? kenapa kamu mendahului Tuhan, apa kamu bisa menjamin keadaan tetap sama sehingga sebegitu yakinnya kamu tidak akan menyakiti aku?" Tegasku lagi.
"Iya ... iya ... sudah cukup bicaramu jadi melebar kemana-mana, aku memang tidak tahu alur hidupku kelak tapi aku mencintai kamu dan ingin menikah denganmu, Liona!" Bentaknya memegang pundakku dan menggerakkannya dengan tangannya yang kekar.
"Baiklah, Dion. Jika itu maumu, aku akan memikirkannya mulai saat ini. Aku tidak akan abai lagi dengan semua yang kamu katakan. Syaratnya ... aku yang akan menjawab sendiri tanpa kamu tanyakan!" tegas ku.
"OK ... I'm agree." Jawab Dion bersemangat.
"OK sekarang sudah selesai, anda boleh pulang, sudah larut malam Dokter Dion, enggak baik diam di rumah perempuan lama-lama!" Ucapku menggodanya.
"Iya ... Li, aku pulang sekarang, bawa aku di mimpimu sayang." Ucap Dion membisikkan kata-kata gombalnya.
"Dasar gombal, dari dulu enggak berubah!" Sahutku memukulnya dengan bantal kursi.
Dia hanya tertawa terbahak-bahak, melihat tingkahku. Setelah semua obrolan privasi yang seru dia pamit hendak pulang kembali ke Jakarta. Dia jauh-jauh, sengaja datang kemari hanya ingin berbicara itu saja padaku.
Dion ... semoga kamu adalah laki-laki hebatku yang akan mampu menjadi sosok pelindung seperti Papa, tidak gengsi membantu Mama melakukan pekerjaan rumah, selalu bersahaja, dan tidak pernah kasar pada Mama.
Aku memang tak harus menyamakan calon suamiku layaknya Papa, tapi terus terang Papa adalah Idolaku.
-------
Pagi yang indah ... disambut gerimis hujan yang turun, Pelangi muncul menampakkan wajahnya yang terbentur Matahari.
Ku seduh minuman coklat favoritku, mmmmh ... aroma coklat yang nikmat menggoda indra penciumanku, aku ambil setangkup Roti Jhon ala Mama yang nikmaat sekali.
Terima kasih Tuhan ... atas nikmat yang Kau beri. Kubuka ponselku lalu, kubuka notifikasi yang masuk melalui surat elektronik di akunku.
Senangnya! aku dapat kabar baik. permohonan lamaran kerjaku memenuhi qualifikasi. Aku dipanggil untuk wawancara dan beberapa tes di kantor pusat besok.
"Ma! aku dapat panggilan wawancara dan tes, di Bank BUMN itu. Besok jam 8.00 pagi. Ingetin aku ya, Ma!" kataku.
"Alhamdulillah ... Mama seneng dengernya ... semoga berlanjut diterima ya sayang ..." doa Mama.
"Aamiin ... aamiin, Ma." Sahutku memeluk Mama.
Keesokan harinya ...
Selepas mandi dan solat Subuh, aku bersiap menyambut interview dan tes, aku sibuk memilih pakaian formal mana ya ... yang bagus untuk kukenakan hari ini? hmmm ...
Aku coba semua pakaian formal dari kemeja hingga blazer ... hingga di atas ranjang penuh dengan pakaian-pakaianku yang sudah kucoba.
Pada akhirnya pilihan jatuh di blazer kotak-kotak berbahan wol dan rok plisket berwarna coklat lengkap dengan handbag berwarna senada dengan rok, sepatu boot berwarna cream. Aku mematut diri di cermin, mmmh ... not bad.
"Mau diantar Papa Neng ...?" tanya Mama.
"Enggak Usah Ma, aku pergi sendiri aja pakai Si Skuter andalanku." Sahutku.
"Baiklah ... Neng Liona cantik, sarapan dulu biar enggak gemeteran pas ditanya nanti hehe ..." titah Mama sambil menggodaku.
Emak ... emak satu ini emang suka bercanda, dan sebagai emak ... emak Mamaku ini termasuk emak gaul. Dia selalu aja tahu yang lagi trending topik.
Skuter andalan kupanaskan dulu supaya lancar mengantarku sampai tempat tujuan tanpa hambatan yang berarti.
Bismillah...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!