Suara ban yang berdecit menggesek aspal membuat seketika mobil itu berputar tak terarah hingga menimbulkan asap yang mengepul dari kup depannya. Pengemudi lainya, untuk menghindari tabrakan bahkan oleng ke semak-semak pinggir jalan.
Kompak, keduanya keluar dari mobil dengan raut muka kesal yang siap memuntahkan isi hatinya. Berjalan cepat menghampiri satu sama lain.
"Heh! Bisa nyetir nggak sih! Bikin simnya di kelurahan ya, nggak bisa bawa mobil? Nyetir yang bener dong, situ membahayakan nyawa orang lain!" bentak gadis berparas ayu itu penuh amarah.
"Maaf, saya buru-buru, tetapi seharusnya saya yang marah, bawa mobil nggak pakai rambu-rambu lalu lintas, Anda sengaja mencari keuntungan di jalan ya?" jawabnya dingin. Lengkap dengan tatapan tajam mematikan.
"Astaga! Kamu pikir ini sirkuit balap apa? Jelas-jelas mobil saya tuh mau belok, kok situ nyolot, pokoknya saya nggak mau tahu ganti rugi mobil saya lecet-lecet."
"Kamu pikir kamu doang yang buru-buru, saya juga! Enak aja mau memeras saya, kamu nggak lihat mobil saya sampai nabrak, untung kepala saya aman," jawabnya kesal.
"Wah nyolot nih orang, ayo kita sama-sama menyelesaikan di kantor polisi, biar jelas!"
"Ayo, siapa takut, terus kita ke bengkel kita hitung biaya mobil masing-masing. Kamu bayarin kerugian mobil aku dan sebaliknya aku bayarin kerugian mobilmu!"
Rania melirik mobil pajero sport yang sepertinya juga rusak. Perempuan itu akhirnya berpikir ulang untuk menuntutnya.
"Ya ampun ... ini sih parah!" batin Rania menggerutu kesal.
Di tengah perdebatan mereka, vibrasi ponsel pria itu memekik, membuat Rania bertambah kesal melihat mukanya yang datar saja.
"Sorry, saya tidak ada waktu untuk berdebat, kamu bisa hitung saja kerugiannya berapa, nanti bisa konfirmasi ke nomor yang tertulis di kartu nama."
Rania menatap kesal kepergian cowok yang cukup menyebalkan itu. Diamati kartu nama yang ada di tangannya. Membaca dengan teliti dan benar.
"Hmm. dr. Rayyan Akfarazel Wirawan, Sp. B. Owh ... dia seorang dokter?" gumamnya seraya berpikir untuk menghubungi bengkel. Mengedikkan bahunya acuh lalu segera menyambungkan ponselnya dengan bengkel untuk datang ke lokasi mengecek mobilnya.
Rania memasukan kartu nama itu ke dalam tasnya asal, lalu memesan ojek on-line. Rayyan juga nampak sibuk melakukan hal yang sama. Memesan ojek online untuk menjemput dirinya. Waktu bergulir semakin siang, jelas Rayyan semakin gusar.
"Ini kenapa nggak dapat-dapat juga sih, bikin kesel aja," gerutu Rayyan gusar. Menatap jam di tangannya hampir jam sembilan, ada nyawa pasien yang dipertaruhkan.
"Yes, pesanan gue datang," pekiknya girang. Rania melangkah cepat, namun lebih gesit dari pemuda yang dengan sembrononya main nikung saja.
"Pak jalan Pak, cepet ke RS Medika, cepet Pak saya harus menangani pasien darurat," ucapnya horor bin menyakinkan.
"Eh, astaga itu pesanan gue, woe!" pekik Rania kesal.
"Sialan tuh orang!" gerutu Rania sembari menendang ban mobil yang tidak berdosa.
Gadis itu nampak sibuk dengan ponselnya, lalu menghubungi seseorang. Dalam sekejap, suara khas cowok bersahaja di sebrang sana langsung menyahut, sebenarnya Rania sedang mode kesal, tetapi namanya juga butuh, ya sudahlah, marahnya mbok pending tahun depan.
"Jo, bisa jemput aku nggak? Masih di jalan mobil aku kena apes, kamu datang bisa? Alamat aku share," ujar perempuan itu menutup teleponnya.
Rania mendesah resah menunggu jemputan Jo. Lumayan, dalam waktu kurang dari tujuh belas menit, pria itu datang lengkap dengan helmnya.
"Ra, mobil kamu kenapa?" tanya Jovan seraya menyodorkan helmnya.
"Kan tadi udah dijelasin, bisa jalan sekarang?" jawabnya ketus bin datar.
"Judes amad neng, kesel sama siapa marah sama siapa?"
Sementara Rayyan, begitu sampai di parkiran langsung melakukan pembayaran, setengah berlari menuju ruangnya. Pria itu akan melakukan operasi pagi ini, dengan gesit melakukan persiapan dan segera menuju ruang operasi.
Setelah beberapa jam usai operasi, Rayyan kembali ke ruangannya. Pria itu mendaratkan bokongnya pada kursi kebesarannya dengan santai, sembari menyambar ponselnya. Netranya melebar mendapati banyaknya panggilan di ponselnya dari nomor tidak dikenalinya.
"Siapa?" gumam Rayyan cuek, tak minat untuk menghubungi balik. Pria itu bergegas mengemas meja, hari ini akan pulang ke rumah mama untuk menghadiri makan malam.
Sebenarnya pria itu cukup malas pulang ke rumah, karena orang tuanya terus mendesak agar segera menikah.
"Malam Ma," sapa pria itu mencium punggung tangan mamanya, lalu pipinya, menyusul menyapa Pak Wira di sebelahnya lalu melakukan hal yang sama.
"Malam ini menginap di rumah ya? Ada banyak hal yang pingin Mama obrolin," ujar Bu Wira seraya menyiapkan hidangan di meja makan.
"Lihat nanti Ma," jawab Rayyan datar.
Usai merampungkan makan malam, Bu Wira mengutarakan keinginannya. Rayyan sudah hafal betul dengan kegundahan hati kedua orang tuanya yang menginginkan anaknya segera berumah tangga.
"Ray, umur kamu itu sudah kepala tiga, Mama sama Papa juga sudah tua dan sakit-sakitan begini, siapa yang akan meneruskan harapan keluarga kalau kamu tak kunjung menikah," bujuk Bu Wira sedikit mendesak.
Gagal beberapa kali dalam urusan asmara, membuat pria itu tidak percaya lagi dengan cinta dan setia. Bahkan, pria itu sedikit tidak minat dengan perempuan, membuatnya benar-benar trauma berat.
"Nanti kalau sudah ketemu dengan orang yang tepat, Rayyan pasti menikah, Ma," jawab pria itu tenang.
"Nanti kapan? Nunggu kamu sampai tua, kamu masih mengharapkan anaknya Pak Asher? Ayolah sayang, biarkan Bintang bahagia dengan pilihan keluarganya, begitupun denganmu, Mama mohon kamu mau move on, banyak wanita yang mau sama kamu, jangan menutup diri terus hanya karena pernah gagal. Mama tahu semua prosesnya sakit."
"Beri aku waktu, Ma, Rayyan akan membawa calon mantu untuk Mama," ucapnya menyakinkan.
Rayyan sangat jarang pulang ke rumah, dan lebih memilih tinggal di rumahnya sendiri. Lebih nyaman tentunya, walaupun dalam kesendiriannya suka merasa kesepian, Rayyan sudah mulai akrab dengan yang namanya kesepian.
"Jo, cepetan dikit napa, aku beneran telat!" gerutu Rania kesal.
"Sabar dong, Ra, itu di depan macet," jawabnya santai bin datar.
"Astaga, pasrah lah hari ini aku beneran kesel, itu gara-gara cowok tadi tuh," omelnya dengan kecepatan delapan koma lima kata perdetik.
Jovan langsung ngebut begitu menemukan jalan lengang. Meski sudah berkendara ala-ala pembalap handal, Rania tetap ketinggalan teman-temannya. Ia sedikit berlari menuju ruang Dekan yang sialnya Pak Wardana sudah tidak ada di ruangannya.
"Pak, Pak Dana ke mana ya?" tanya Rania gusar. Menemukan staf lain di sana.
"Beliau 'kan hari ini cuma bimbingan sebentar, hari ini ada seminar sampai sore," jelasnya membuat Rania menganga.
"What! Jadi maksudnya saya harus nunggu sampai beliau pulang gitu."
"Kalau mau menunggu ya begitu prosedurnya, tetapi saya sarankan kamu pulang saja, kembali besok di ruangannya, semoga beruntung," ucapnya lalu.
"Sial!" batin Rania kesal meninju udara. Perempuan itu harus menunggu Pak Wardana sampai selesai kegiatan. Bahkan gadis itu sebelumnya sudah menyiapkan hari ini dengan seabrek kesiapan.
Berjalan lesu sembari mencangklong tas punggungnya. Menuju lift yang akan mengantar ke lobby depan.
"Terus gue ngapain di sini?" gumamnya kesal sendiri.
Mojok di kantin sembari memikirkan langkah paling mutahir untuk menemui Pak Wardana di rumahnya. Biarpun malu, tetap harus dikubur demi surat tembusan yang harus ia dapat untuk tugas di Rumah Sakit yang telah ditunjuk fakultas.
Rania pun memutuskan pulang ke kost-kostan. Ia juga berencana pindah kost, mencari tempat yang lebih dekat dengan rumah sakit nantinya tempat ia koas.
"Mobil di bengkel, wifi loading mulu, di kost pengangguran, gue ngapain dong, ya ampun ... stress berat nih hidup!" Rania menggerutu kesal sepanjang hari.
Akhirnya perempuan itu pun memutuskan untuk pulang ke rumah. Mengambil motor lebih tepatnya, sekalian pamit untuk jarang pulang karena minggu depan sudah mulai koas.
"Tumben sempat pulang anak Mama," tegur Mama Inggit merasa anaknya semakin menjauh saja.
"Ayolah Ma, jangan mulai, Rania benar-benar sibuk, mungkin besok Mama bakalan jarang dapat notif pesan dari Rania," ujarnya menggoda.
"Jaga kesehatan Ra, calon dokter nggak boleh sakit, nanti siapa yang ngobatin," pesan Mama Inggit penuh perhatian.
"Papa mana, Ma? Aku mau sekalian pamit, minta tambahan uang saku dan pastinya nyerahin kunci mobil, aku mau bawa motor."
"Mobil kamu di mana? Jangan bilang kamu nakal lagi di jalan bikin rusuh lalu kena tilang."
"Nggak Ma, suer, kemarin cuma terjadi kecelakaan kecil, dan sudah diatasi kok, cuma ada sedikit perbaikan di bengkel, makanya tolong bilangin ke papa minta saku tambahan," rengek Rania yang membuat mamanya tak bisa banyak komentar.
Disisi lain Rayyan baru saja sampai di rumahnya. Pria itu pulang ke rumah setelah sesi makan malam usai di rumah mamanya. Beginilah suasana hatinya, sepi, menggenggam rindu yang tak pernah tergapai. Beberapa kali sempat bertemu dengan pujaan hatinya tak mampu membuat keduanya menemukan kata sepakat. Hanya sepaket harapan yang mulai terkikis, karena kini Bintang memilih langkahnya sendiri.
Penantian panjang yang sia-sia, menjadikan dirinya penuh luka dan amarah. Kendati demikian, selalu terbesit rasa ingin hadir di sana walaupun sudah tidak diterima.
Menatap langit sembari menghela napas sepenuh dada, rasanya terlalu berat untuk datang di acara sakral mereka.
"Aku bisa apa sih, jika kamu lebih memilih Alan dari pada aku," gumamnya kecewa.
Kertas akasia berbalut pita rapih dengan tulisan 'the wedding Bintang dan Alan' pria itu lempar begitu saja.
Ternyata ucapan tante Gea menyandingkan dengan anak sahabatnya itu benar adanya. Walaupun berkali-kali Alan merasa tak enak dengan keluarga Wirawan nyatanya pernikahan mereka akan tetap dilangsungkan.
"Oke, hidup masih tetap berjalan, dan aku menikmati kesendirian ini," gumamnya nelangsa.
Tak terasa ia sudah menghabiskan beberapa botol minuman kaleng yang bahkan selalu menjadi kenangan saat ketimpuk di taman.
"Aahrgghhh ... sial, sial!" Pria itu tampak marah dan kesal.
Bu Wira yang selalu menjadi cerewet saat anaknya dalam keterpurukan. Tetapi Rayyan kali ini memilih untuk tetap tegar.
Menyibukkan diri dengan segudang aktifitas pekerjaan di rumah sakit, membuatnya sedikit terhibur.
"Ray, nanti kalau ada peserta koas cari tanda tangan Papa, kamu wakilkan, sudah semua tinggal satu orang dan Papa tidak mau menunggu," ujar Pak Wira memberi pesan.
"Kenapa saya Pa, dilimpahkan ke kepala bagian saja, aku hari ini sibuk," ucapnya menyela.
"Tinggal disetujui aja apa susahnya, kasihan mereka yang mau belajar. Kamu kenapa sih nggak semangat terus, ambil cuti saja kalau tidak fokus, pekerjaan kamu berat dan tanggung jawab kamu besar," protes Pak Wira sengit.
"Iya Pa iya," jawabnya santai.
Sementara Rania pagi ini bangun lebih awal, hari kemarin cukup membuatnya gagal, tetapi hari ini ia berdiri tegak dengan surat tembusan di tangannya yang ia dapat dengan penuh perjuangan. Berjalan gontai menemui kepala bagian rumah sakit untuk menyerahkan surat tembusan dari dekan.
Sebelum mengetuk pintu entah mengapa ia sudah gugup sendiri, padahal semuanya akan menjadi mudah bila sudah ditandatangani. Prosesnya lah yang bikin deg degan.
"Selamat pagi menjelang siang, Dok—" Mulutnya menganga mendapati seseorang yang duduk di kursi singgasana.
"Owh ... jadi kamu mahasiswa yang mau koas di sini?" tanya Rayyan sembari meneliti perempuan itu dari ujung kepala sampai kaki.
"Mati aku!! Mama, maaf ma, sepertinya aku gagal jadi dokter," batin Rania putus asa.
"Hehe ... iya Pak, kok Pak Dokter bisa di sini?" Rania keki sendiri.
Jangan bilang nih orang kerja di sini juga, bisa apes hidup gue kalau harus sering ketemu nih orang.
"Sayangnya iya, saya kepala bagian rumah sakit ini, wakil direktur rumah sakit, dan sekaligus satu-satunya pewaris dari Medika Hospital," paparnya cukup membuat gadis itu menelan ludah gugup.
Seperti bisa membaca pikiran Rania, Rayyan menjawab lugas dan cukup santai.
Poor you Rania Isyana
"Oke, terus kaitanya dengan sederet apa yang Bapak punya adakah hubungannya dengan saya? Mohon maaf Pak Dokter yang budiman, saya di sini karena sudah ditentukan dari pihak kampus untuk program profesi di rumah sakit ini, mohon izin dan bimbingannya," ujar Rania penuh doa dan harapan.
Pertemuan pertama keduanya cukup frontal jadi masih menyisakan getaran sengit diantara mereka.
"Kamu tahu gara-gara kelakuan berkendara kamu yang seperti bocah, kamu hampir membuat saya celaka, dan juga saya hampir terlambat menangani pasien operasi yang sudah dijadwalkan. Gara-gara kamu hari saya menjadi semrawut dan mobil kesayangan saya harus bertamu ke bengkel. Bukan hanya itu, mobil saya terancam opname di sana karena mengalami kerusakan yang cukup signifikan dengan total rincian yang tidak sedikit, jadi— saudara—" Rayyan membaca biodata dan surat pengantar dari dekan yang Rania sodorkan.
"Rania Isyana Rasdan, Pak, nama saya," jawab Rania percaya diri.
"Ya kamu, akan saya setujui koas di sini dengan syarat khusus yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan yang akan dilakoni."
"What! Maksudnya?" Rania menyorot penuh tanda tanya.
"Kamu harus ganti rugi," jawab Rayyan yakin.
"Owh ... itu? Ya ... mobil saya juga rusak, tetapi saya mampu bayar bengkel sendiri, jadi kita impas 'kan?"
Ini orang cari gara-gara nih, sebenarnya niat nerima nggak sih, emang ada gitu ya sejarahnya rumah sakit menolak mahasiswa yang mau mengikuti program profesi. Ngadi-ngadi nih orang!
Rayyan berdiri dari kursi, melepas jas kebesarannya, dan hanya menyisakan kemeja yang cukup pas di tubuhnya. Sedikit menggulung lengan kemejanya sampai bawah siku, lalu duduk di meja tepat di depan Rania duduk. Pria itu sedikit merunduk, menatap lekat wajah gadis di depannya dengan begitu mengintimidasi, sontak membuat Rania gelagapan sendiri.
"B-bapak ngapain?" tanyanya gugup dengan membuang muka.
"Mau ganti rugi, atau sama sekali tidak mendapat rekomendasi apa pun dari saya, saya bisa saja bilang ke dosen kamu Pak Wardana itu, bahwa kamu sangat tidak berkompeten dan bersungguh-sungguh menjalaninya sehingga memilih mundur!"
"Wah ... Bapak ngancam saya, yang ada saya ini yang bisa tuntut Bapak, karena mencampurkan urusan pribadi Bapak dengan pekerjaan," sela Rania tak terima.
"Kamu tahu, salah satu yang menyebabkan kegagalan seseorang dalam bidang tertentu karena dia tidak pro, melainkan kontra dengan kenyataan. Nyatanya semua bisa berjalan dengan mudah dan mulus kalau sejalan. Terserah! Pilihan ada di tangan kamu, silahkan pertimbangkan, dan bawa surat pengantar ini kembali, jangan pernah datang lagi karena saya paling tidak suka merepetisi apa pun!"
Mati aku! Gegara minta duit tambahan saja aku sudah kena ceramah tiga hari tiga malam, ini malah aku disuruh ganti rugi biaya mobil orang, duit dari mana. Duit nyokap mah banyak, tapi apa ya aku nggak digiling duluan. Hua ...
Rania bergeming, mendadak ia mumet sendiri, padahal teman-temannya cukup mudah tanpa hambatan apa pun orang cuma mengantar surat pengantar dari dekan kepada kepala bagian terkait rumah sakit terus mulai koas, ini kenapa jadi ribet? Sungguh ujian baru bagi Rania. Cita-cita jadi dokter semenjak kecil terancam kandas, alias gagal total ketikung sama oknum paling menjengkelkan.
"Pak, saya 'kan belum kerja, bisa nggak saya ngutang, nanti kalau saya udah lulus terus jadi dokter muda beneran, saya ganti semua kerugian Bapak, gimana?" Rania mencoba bernego dengan jurus rayuan tiga ratus enam puluh lima.
Rasanya Rayyan pingin ngakak guling-guling mendengar betapa bar-barnya gadis di depannya. Ia bahkan sampai lupa sejenak kalau punya masalah dan beban percintaan yang berat menimpanya. Rupanya ia sedikit mempunyai hiburan tak terduga yang datang tanpa sengaja. Ya walaupun sedikit menyalahi aturan atas kuasa dirinya. Namun, begitulah hidup, realitanya yang punya wewenang yang bakalan menang.
"Kamu boleh mengganti rugi dengan yang lainnya," ucap Rayyan mengamati tubuh gadis itu dengan jeli.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!