NovelToon NovelToon

Wanita Bergilir

Chapter 1

Dia lebih suka memungkas menjadi dua dari tiga kata nama lengkapnya. Menghilangkan nama 'Blue' pada bagian tengahnya. Pria Amerika berusia 28 tahun dengan wajah tampan yang memikat.

Austin Blue Bennedict!

Atau sesuai kehendaknya ... Austin Bennedict.

Black Country ... entah apa alasan Austin memberikan julukan itu untuk negeri kelahirannya sendiri. Yang ia tekankan, hanya sebait kata membentuk; Aku benci Amerika!

Di negara itu, ia menyandang sikap dingin akut yang membuatnya terkesan suram. Dan sampai detik ini, misteri di balik sikap beku itu hanya dipeluknya seorang diri, tanpa seorang pun diberikannya hak untuk tahu.

Namun ajaibnya, di negara ini--negara yang telah ditinggalinya selama hampir kurang lebih lima tahun lamanya, perangai Austin benar-benar berubah terbalik 180 derajat dari keaslian jati dirinya.

Ia ceria, konyol dan sangat ekspresif.

Untuk alur mengapa perubahan itu terjadi pada Austin Bennedict, akan datang waktu memberi penjelasan.

Agar terdengar lebih akrab, panggil saja si tampan itu ... Austin.

Austin bukan seorang pria naif yang tak pandai mengekspresikan segala hal yang dirasakannya. Seperti--sebut saja si konyol Benny Dalbert, pria tambun yang diam-diam mengagumi sosok ibunya di Amerika sana, ketika Austin berusia remaja.

Selama yang Austin ingat, pria culun itu terlihat damai bersembunyi di balik kacamata bulat berlensa tebal, dengan suspender terkait apik dari pundak hingga ke pinggang celana yang ia naikan cukup tinggi di atas perutnya. Sepotong cupcake selalu dikirimkan Benny diam-diam pada ibunya setiap pagi, berlebel sticker berbentuk hati yang digunting serampangan dari sehelai kertas.

Dan ibu Austin yang selembut sutra, hanya tersenyum setiap kali menerima hadiah rutinan dari Benny tersebut.

Lebih mirip anak TK yang sering ngompol di dalam kelas, Austin mengejek pria itu acapkali. Dan hal itu tentu hanya sebentuk umpatan tanpa siapa pun dapat mendengar.

Namun seperti halnya Benny, Austin juga termasuk pria yang lebih mengandalkan intuisi daripada luasnya imajinasi yang malah terkesan lambat, menurutnya. Ia pria yang cerdas, namun juga terkadang sulit mengontrol emosinya ketika menemukan sesuatu yang tak sejalan dengan pemikirannya.

Sesuai nama akhirnya yang berarti 'diberkati', Austin cukup bahagia dengan kehidupan yang dijalaninya saat ini. Tapi tentu saja bukan lagi di Amerika!

Austin sudah tenggelam dalam pesona negara yang kini dijadikannya naungan.

Indonesia!

Ia tak ingin pergi, atau pun kembali ke negeri Paman Sam--negeri di mana pertama kali ia menatap dunia luas. Toh ibunya telah tak ada lagi. Ia bebas memilih di mana ia ingin menetap.

... ****...

Bibir juga lidah Austin tengah sibuk menyusur mulut manis seorang gadis berkulit eksotis dengan wajah polos kekanak-kanakan. Suara kecap kecup di antaranya terdengar seperti angin topan di tengah hujan--basah dan liar.

Tangan-tangan nakal Austin mulai bergerak mengabsen setiap detail tubuh gadis itu, terutama bagian-bagian yang paling disukainya--si kembar kenyal, bokong aduhay, tak tinggal segitiga bermuda yang terhimpit di bawah sana.

Wanita itu nampak sulit dan terlampau kaku mengimbangi permainan Austin yang tentu saja tak jauh berbeda dengan pria bule kebanyakan.

Gerakan amatir yang kikuk gadis muda itu, tentu membuat Austin semakin ingin menjelajah tubuhnya lebih jauh. Kepolosan mempunyai daya tarik tersendiri untuk seorang untuk seorang player sekelas hiu seperti Austin.

Selanjutnya setelah puas bermain pemanasan di sudut dinding dalam posisi berdiri, kini diseretnya tubuh ramping wanita muda yang hanya menyisakan busana-busana dalam itu ke arah ranjang yang terbaring berdadah-dadah di belakangnya.

Gadis muda itu telah berada dalam posisi telentang dengan raut gelisah--menunggu tak sabar pria itu mengungkung dan melancarkan aksinya. Tubuhnya nampak bergelinjang kecil sembari melakukan remasan gemas di dua tonjolan berpuncak merah muda miliknya. Sangat menuntut!

Di saat bersamaan, Austin dengan gegas memereteli t-shirt dan celananya sendiri--tentu untuk melanjutkan permainannya ke jenjang yang lebih ganas. Terang saja ia sama tak tahannya dengan lawan mainnya yang konyolnya ... gadis itu baru saja melewati masa remajanya. Dan Austin sudah akan mengoyak kegadisannya. Sinting!

Namun sial, baru saja Austin menurunkan celananya sampai ke ujung lutut ....

"Le!! Cepet dong! Lu bisa telat! Udah mo jam satu, nih!" Teriakan disertai gedoran dari balik pintu di luar kamar yang dipijaknya saat ini, sontak menghentikan kegiatan Austin yang katakan saja ... sudah meniti puncak.

"Si Kampret!" Ia mengumpat geram dengan urat-urat wajah menegang.

Dengan kesal, Austin menegakkan tubuhnya seraya menaikan kembali celananya ke pinggang, seperti semula. "Sorry, kita lanjut nanti, ya," katanya pada gadis muda yang terbaring tak tahan di atas ranjang.

Gadis itu menatapnya tak percaya. Namun seperti terkunci, mulutnya bahkan tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Ia memalingkan wajah menyembunyikan kekesalan dan rona merahnya. Bibir dengan lipstik belepotan karena ulah pria itu nampak mengerucut--tentu saja lebih dari kesal.

Hal yang ditunggu-tunggunya gagal begitu saja. Padahal ini adalah moment pertama kalinya melakukan hal memabukkan itu. Dan hanya dengan Austin, ia bisa pasrah begitu saja tanpa sepulas pun aksi penolakan, seperti yang ia lakukan pada kekasihnya sebelumnya.

Ayu Rengganis putri Pak Lurah!

Sayang sekali, puncak gairahnya harus rela terbunuh dalam resah karena teriakan di balik pintu. Lubang berharganya, gagal dibobol pria bule yang tampannya sekelas Orlando Bloom.

Kurang ajar, Austin!

Kini dengan ringannya, setelah memakai lengkap busananya, pria itu melanting pergi begitu saja tanpa basa-basi yang setidaknya bisa membuat wanita yang hampir digarapnya itu tenang.

BRUGG

Suara pintu terbanting dari luar, semakin membuat kepala Ayu Rengganis merayang emosi. Ia bangkit seraya melempar kasar bantal yang direnggut dari belakang tubuhnya hingga benda itu membentur dinding.

"Bule gila!" teriaknya marah-marah.

Aku salah apa, hey?! kata si bantal berdemo tak terima.

....

"Ganggu aja lu, Setan!" Sebelah kaki Austin menendang kasar betis seorang pria yang sedari tadi menggedor-gedor pintu kamarnya--niatnya. Karena sialnya, pria itu dengan sigap berhasil mengelak lebih dulu disertai tawa renyah menjengkelkan.

Namanya Bintara. Tapi ia lebih suka orang lain memanggilnya ... Tara. Lebih enak didengar, menurutnya.

Tara adalah sahabat Austin di segala situasi. Atau untuk lebih mesra--sebut saja julukan itu ... sahabat sejati.

"Melorotin celana cewek mana lagi lu?" tanya Tara seraya berjalan mengimbangi langkah cepat Austin.

Sedangkan yang ditanya, masih nampak menekuk wajahnya--kesal dengan perbuatan Tara yang menggagalkan kegiatan olahraga genjotnya beberapa saat lalu.

Padahal tinggal setepok lagi, batang keras Austin bertemu sarangnya. Bergaya-gaya dalam irama erang bercampur desah yang keluar dari mulut mungil wanita chubby bernama Ayu Rengganis anak Pak Lurah. Entah lurah mana.

Sialan emang si Tara!

Chapter 2

Pada siapa ia harus melontarkan serapah?

Tanah?

Lautan?

Waktu?

Atau Tuhan?

 

Tidak!

Bukan!

Walau telah kelabu dan nyaris pudar, sinar kewarasan masih tersisa di jiwanya yang telah luluh lantak.

Dihadapkan pada kehancuran yang merantai menjadi selaksa lara dan derita. Kebahagiaannya telah direnggut.

Dalam lemah, dalam keputusasaan, dengan hanya busana lusuh yang tersisa satu melekat di badan ... Nastya Jasmine menjatuhkan dirinya di tengah dua pusara yang baru saja menimbun tubuh ayah dan ibunya.

Di seberangnya--berdampingan dengan pusara sang ibu, adik laki-lakinya juga turut dikebumikan.

Bagaimana ia tak akan marah?

Bagaimana relungnya tak berteriak?

Ketika kehidupan terlampau menghakiminya dengan jatuhan hukum yang bahkan ia tak tahu ... apa salahnya!

---

Sebuah pesawat jatuh tanpa diduga menimpa perkampungan yang di mana Nastya Jasmine dan keluarganya tinggal.

Puluhan jiwa melayang membentuk kepedihan--termasuk kedua orang tua Jasmine beserta adik laki-lakinya yang juga turut menjadi korban.

Sekelimpung rumah-rumah hancur merenggut naungan tubuh-tubuh yang bernyawa--yang tersisa.

Jasmine selamat dari bencana, karena saat kejadian, ia tengah bergelut dengan pekerjaannya di sebuah perusahaan yang cukup jauh dari kediamannya.

....

Kaki Gunung Salak, Bogor - Jawa Barat.

Tempat di mana Nastya Jasmine dan keluarganya merangkai kehidupan mereka dari nol--semenjak dua tahun lalu. Setelah toko mebel milik ayahnya di Jakarta, musnah dilalap si jago merah tanpa diketaui apa penyebab pastinya hingga saat ini.

Kerugian besar membuat ekonomi keluarga Jasmine mencapai titik terendah kala itu. Kuliahnya terbelangkalai, sekolah adik laki-lakinya meninggalkan cicilan hutang dari biaya-biaya didik yang tak terbayarkan.

Hutang dan hutang di mana-mana, untuk menutupi kekurangan dan menyumpal lambung mereka yang meraung kelaparan.

Opsi terakhir, rumah sederhana mereka terpaksa dijual sang ayah untuk membayar hutang-hutang dan sisanya mereka gunakan untuk modal bisnis barunya di kota yang berbeda--Bogor.

Kehidupan mereka perlahan membaik di kota itu. Namun Jasmine memilih bekerja terlebih dahulu, sebelum meneruskan kuliahnya yang tertunda. Untuk tambah-tambah biaya pendidikan itu nantinya, agar tak terlalu membebankan orang tuanya, alasan Jasmine.

.....

Satu tahun berlalu ....

Duka kehilangan tak mungkin bisa terhapus di hati Nastya Jasmine begitu saja, semudah menjentik jari. Namun ia tak mungkin terus menerus bergelung dalam luka yang entah kapan akan mengering.

Jasmine harus tetap melanjutkan hidupnya.

PT. Sagarmas Duta Makmur.

Perusahaan berbasis Estate, yang juga menyediakan layanan penginapan berupa villa, hotel, dan suguhan indahnya lapangan golf yang memenuhi hampir di sehamparan bagian yang terdiri dari ratusan hektare tersebut.

Dan Jasmine bertengger di salah satu rantingnya--Hotel, sebagai Office Girl.

Tak mudah mendapatkan posisi bagus saat yang diandalkan hanya sehelai Ijazah SMA.

Jasmine memilih pindah tempat tinggal setelah 40 hari kepergian keluarganya ke alam baka.

Dan yang ia pilih adalah sebuah kamar kost kecil yang letaknya tak jauh dari perusahaan. Hunian mini itu memang kebanyakan diisi oleh para karyawan yang juga bekerja di tempat yang sama dengannya.

Selain menunggu renovasi rumah hasil uluran tangan pemerintah sangatlah lama menurut Jasmine, ia juga tak ingin terus bergumul dalam bayangan keluarganya yang hanya akan menjadi sayatan luka yang mungkin tak akan pernah pulih dalam hatinya--jika harus terus bertahan di tempat yang penuh kenangan itu.

Jasmine cukup bisa meluaskan hatinya setelah hidup seorang diri.

Ia menikmati pekerjaannya, walau hanya berteman dengan kain pel dan sapu setiap harinya. Namun sepertinya ada yang berbeda. Tragedi kehilangan itu membuatnya berubah menjadi sosok tertutup yang tak banyak berinteraksi dengan orang-orang yang dikenalnya di tempatnya bekerja.

Sulit dijelaskan.

.....

Sampai suatu masa ....

Sebuah tragedi kembali menyapanya.

Saat itu tepat pukul 21.00, Jasmine baru akan keluar setelah menghabiskan waktu lemburnya di tempat kerja.

Sebuah tas berukuran 30 x 20 sentimeter, telah apik ia selempangkan di pundaknya. Jasmine mulai berjalan menyusur jalanan sepi menuju bangunan kost yang berjarak sekitar 200 meter dari tempatnya bekerja.

Mulanya biasa-biasa saja. Jalanan cukup tenang dipijaknya. Sampai tiba langkahnya di sebuah kelokan sepi yang jaraknya masih setengah jalan dari arah bangunan kost-nya.

Jasmine memundurkan tubuhnya kaku. Diremasnya tali tas yang melingkar di depan dadanya. Wajahnya menegang ketakutan. Sebuah pemandangan mengerikan ditangkap penglihatannya. Tiga orang pria terlihat tengah menganiaya satu pria lainnya hingga terkapar di bawah kaki mereka.

"Ya, Tuhan, siapa mereka?" gumam Jasmine ketar-ketir. Tubuhnya mendadak gemetar tak terkendali. Buliran keringat menggelinding cepat melewati pelipisnya. Ia berharap orang-orang itu tak sampai melihatnya karena jarak mereka tak terlalu jauh. Jika ia memilih berbalik dan berlari, orang-orang itu pasti akan menangkapnya dengan mudah.

Lalu apa yang harus ia lakukan?

Akhirnya, pandangannya jatuh pada pohon yang berjarak sekitar kurang lebih satu meter di samping kirinya. Dengan hati-hati, agar tak menimbulkan pergerakan yang memancing orang-orang itu menangkap bayangannya, Jasmine menyelipkan tubuhnya ke balik pohon itu. Diameternya hanya setara dirinya, hingga cukup sulit bagi Jasmine untuk mengepaskan posisi bersembunyi di baliknya.

Terdengar erangan menyakitkan dari mulut pria yang dipukuli orang-orang ber-hoodie itu. Jasmine menutupi telinganya menggunakan kedua telapak tangan. Matanya ia pejamkan berpulas ringisan ngeri.

Dan kengerian itu semakin menjadi ketika seseorang menepuk pundaknya.

Mata Jasmine sontak terbuka lalu terbelakak.

Seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan, salah seorang pria berhoodie itu kini telah berdiri tepat di hadapannya. "Hay, Nona," sapa pria bertubuh tinggi itu ringan saja.

"Si-siapa, ka-kamu?"

Pria itu nampak menyeringai menanggapi pertanyaan Jasmine. "Apa pertunjukkan yang Nona liat tadi itu terlalu horor?"

Telapak tangan Jasmine meraba-raba pohon di belakangnya melalui sisian tubuhnya. Ia menggeser tubuhnya dalam gemetar. "Ng-nggak. Pe-permisi, aku mau le-lewat. A-aku mau pulang," tutur Jasmine tergagap.

"Oh, ya? Pulang? Mau kuantar?" Pria itu menawarkan. Sekilas tertangkap Jasmine, senyuman itu ... walaupun dalam keremangan--jujur saja, luar biasa menawan, ia mengakui.

"Ngg-nggak perlu! Rumah aku deket!" tolak Jasmine masih terbata seraya mengarahkan telunjuknya ke arah di mana kost-annya berada.

Si pria mengikuti sekilas arah pandangnya, lalu kembali menatapnya.

Tatapan yang mengerikan, kata hati Jasmine.

Namun tak sempat ia berkata lagi, seseorang membekap mulutnya dari belakang. Jasmine terkejut bukan kepalang. Telapak tangannya menimpal telapak kekar yang menyumpal mulutnya. Ia meronta-ronta dengan teriakan yang tentu saja hanya terdengar seperti orang tercekik.

Sedangkan pria di depannya, hanya diam dengan senyuman ringan. Kedua tangannya nampak tenang tersusup ke dalam saku hoodie yang berada tepat bersejajar dengan perutnya.

Tubuh Jasmine diseret paksa masuk ke dalam sebuah mobil yang dibawa ketiga pria itu. Lalu melaju meninggalkan sosok tubuh bersimbah darah yang terkapar di tepi jalan--hasil aniaya mereka.

Entah kesialan apalagi yang akan menyambut Jasmine di depan sana.

Chapter 3

Suara burung hantu terdengar mengerikan di telinga Jasmine. Sinkron dengan keadaan dirinya yang terlihat amat mengenaskan.

Di sebuah ruangan--boleh disebut ... kamar, yang sebenarnya lebih pantas dijuluki gudang antah berantah daripada tempat manusia melepas penat.

Ragam tumpukan barang bekas berserak di sekitarnya, menciptakan aroma pengap yang menyiksa. Bohlam kuning berdaya lima watt, tergantung asal di atas kepala Jasmine, mendukung suasana suram yang menyelimuti diri wanita muda itu.

Di alas sehelai kasur, yang busanya nyaris sejajar lantai, ditempati Jasmine dengan posisi meringkuk kedinginan.

Ah, tidak! Itu jelas bukan kedinginan karena sergapan udara malam, melainkan ketakutan yang menerjang kejam, hingga membuat tubuhnya gemetaran tak terkendali.

Ia terkurung!

Air matanya tak henti mengalir, mencetak basahan di sekitaran bantal yang menyangga kepalanya.

Hatinya tak henti menghujat nasib. Sebagai wanita dan tentu saja manusia biasa, Jasmine sungguh tak bisa menerima ketidakadilan ini.

Sesaat sebelumnya, pria yang tak lain adalah sosok pria ber-hoodie yang ia temui di jalan menuju pulang ke kosannya beberapa jam lalu, pria yang terlibat dalam kekejaman penganiayaan yang terpaksa ditangkap mata kepala Jasmine, telah mendzoliminya teramat biadab dan tak manusiawi.

Pria-pria itu menyeretnya setelah keluar dari dalam mobil yang terhenti di halaman sebuah bangunan terpencil--entah di mana.

Perasaan ngeri Jasmine semakin meradang saat itu, ketika dilihatnya beberapa pria lain menyambut di depan pintu, melakukan gerak merunduk seolah memberi hormat pada ketiga pria yang baru saja keluar dari dalam mobil yang membawanya tersebut.

Jasmin tak bisa berontak sedikit pun. Tangannya dicekal kuat dua pria--selain dari pria ber-hoodie yang berjalan santai di depannya. Diperparah dengan mulutnya yang terbalut lakban. Ia diseret memasuki bangunan itu.

Selanjutnya setelah berada di dalam, ia dipindahtangankan secara kasar oleh dua pria pencekal pada si pria ber-hoodie. Lantas dengan tanpa ragu-ragu dan malah terkesan kejam, pria itu menghempasnya ke dalam sebuah kamar yang tak bukan adalah kamar yang kini Jasmine tempati dalam kerapuhan.

Setelah mengunci slot di pintu itu, si pria ber-hoodie melanjutkannya dengan membuka helai demi helai pakaiannya, hingga hanya menyisakan bawahan celana panjangnya yang terdapat sedikit percikan darah di bagian lututnya. Itu pasti darah milik orang yang telah disiksanya, pikir Jasmine ngeri.

Ia bahkan tak berani menatap wajah pria itu. Katakutannya bertambah menjadi kengerian yang luar biasa. Teriakannya seolah dianggap nyanyian malam.

"Teriak saja sepuasmu." Pria itu menyeringai seraya terus berjalan pelan bertelanjang dada mendekati Jasmine yang dengan konyolnya menggedor-gedor pintu meminta dibukakan.

Siapa pula yang akan mengabulkan? Ketika yang ada di hadapannya ternyata adalah boss dari para pria yang berada di luar sana. Ironi!

"Mungkin cuma kunang-kunang yang akan mendengar suaramu," lanjut pria itu lagi. Telapak tangannya mulai bergerak membelai pipi basah Jasmine.

"Jangan, aku mohooonn." Jasmine menggeleng-gelengkan kepalanya dengan suara lemah dalam isakan ketakutan. Tubuhnya telah turun memeluk lututnya sendiri. "Lepasin aku ...."

"Semua pasti menyenangkan kalau kamu mau bekerja sama," tutur pria yang tak lagi berhoodie itu. Posisinya telah ia sejajarkan dengan Jasmine--berjongkok. "Kamu manis." Suara beratnya. Kepalanya telah berada tepat di tengkuk polos Jasmine, karena gadis itu mengikat tinggi rambutnya membentuk kuciran kuda. "Juga wangi."

"Nggak ... jangan .... Tolong lepasin akuuu ...." Jasmine mulai meraung. "Aku janji gak bakal bilang siapa pun apalagi polisi soal yang kalian lakuin." Gadis itu mencoba bernego.

Namun sepertinya ....

"NGGAAAAAKKKK!!!" teriakan Jasmine membahana, disusul tawa cekakan para pria di luar ruangan.

Semua sia-sia saja, hanya sekali sergap, pria itu telah memulai aksinya. Mengoyak dan menghancurkan mahkota kehormatan Jasmine tanpa perasaan. Beberapa lama, hingga terpuaskan segala hasratnya. Teriakan wanita itu bahkan tak dipedulikannya. Ia telah tenggelam dalam kuasa libido tanpa akal sehat.

Bejatnya, setelah puas menuntaskan aksi asusilanya, pria itu meninggalkan dan mengurungnya layaknya binatang peliharaan.

Namun seulas yang diingat Jasmine ....

Selain tubuh tingginya, pria laknad itu memiliki warna mata coklat keemasan, berambut pirang, juga memiliki rahang tegas yang sempurna. Begitu yang dilihat Jasmine ketika pria itu mengungkungnya dalam siraman naf-su bejat yang menjijikan.

Dari penggambaran visual semacam itu, Jasmine tahu betul, bahwa pria itu ... bukanlah berasal dari negara ini.

Dia jelas seorang bule. Bule biadab!

Selanjutnya, setelah puas bergelung dalam ratapan kesakitannya, dengan perlahan, Jasmine berusaha mengangkat tubuhnya yang tak terbalut sehelai benang pun untuk terduduk. Wajahnya bengkak memerah karena tangisnya tak kunjung mau berhenti.

Setelah berhasil menetralkan kepalanya yang terasa merayang berputar-putar, telapak tangan Jasmine terjulur gemetar meraih pakaiannya yang tercecer di dua sudut berbeda di ruangan sesak itu, lalu mengenakannya dengan susah payah.

Bagian selangkangannya terasa nyeri untuk dibawanya berdiri tegak. Namun tetap dipaksakannya dengan wajah meringis-ringis. Ia harus keluar dari tempat mengerikan itu sesegera mungkin.

Tapi bagaimana caranya?

Mata Jasmine mulai mengedar mengamati seisi ruangan. Tak ada yang bisa diharapkan. Hanya barang-barang lapuk yang jelas tak lagi digunakan pemiliknya. Ia mendesah putus asa.

Sampai matanya menangkap sebuah bingkai kayu lebar terhalang tumpukkan kardus di satu sisi ruangan. Dan itu mungkin ... sebuah jendela!

Mata Jasmine berbinar seketika. Ia mulai melangkah mendekati sejurus harapannya.

Dan ....

....

....

....

....

"Hey! Wanita itu tidak ada!!" Salah seorang pria yang ditugaskan menjaga Jasmine berteriak terkejut, setelah mendapati ruangan pengap itu telah kosong.

Satu lainnya datang tergopoh. Wajahnya sama terkejutnya, namun belum mengatakan apa-apa, setelah akhirnya matanya menangkap daun jendela yang sedikit berkibar ditiup angin di belakang tumpukkan kardus. "Dia kabur lewat sana."

Pria pertama menarik napas resah. "Gimana, nih? Mana si boss udah balik!" keluhnya kebingungan.

Rekan di sebelahnya membeliak sebal. "Ya, dikejarlah, beggoh!!"

Dengan langkah-langkah terseok berat dan jelas terkesan dipaksakan, Jasmine terus menyusur jalanan sepi itu tanpa henti. Semakin jauh dan jauh. Sesekali wajahnya menengok ke belakang, cemas pria itu akan berhasil mengejar dan menyusulnya.

Dan longokan wajahnya berikutnya, membuat Jasmine ketar-ketir setengah mati.

Benar saja!

Dari kejauhan sana, ia mulai melihat dua orang pria berlarian seraya melongok kiri dan kanan, terlihat jelas mereka tengah mencari sesuatu. Dan Jasmine menerka tepat! Pasti ia yang mereka cari!

Kelabakan, Jasmine menengok sana-sini, mencari tempat untuk sembunyi. Tak ada apa pun! Pintu-pintu kedai bambu sederhana di sekitarnya bahkan telah tertutup. Jika ia sembunyi di belakangnya, mereka pasti berhasil menemukannya.

Tidak!

Sampai jatuhlah pandangannya pada sebuah mobil bak beberapa meter di ujung belokan di depannya. Ia melihat si pengemudi tengah asyik mengeluarkan isi kandung kemihnya di bawah pohon kecil dengan kepala mendongak dan mata terpejam.

Tak menunggu apa pun, Jasmin langsung melangkah cepat mendekati mobil yang mengangkut beberapa jenis sayuran itu lalu menaikinya. Ia merunduk ketakutan setelah tubuhnya mendarat di atas badan mobil itu. Hatinya berharap, semoga mereka tak sampai berhasil mengejarnya.

Mobil ... cepatlah melaju ... bawa aku kemana pun. Asal terhindar dari orang-orang itu!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!