Sepulangnya dari mansion Winter, Magma kembali ke rumah Benjamin. Ia tiduran di sofa dengan menggerak-gerakan kakinya dengan santai sambil bersiul.
Ponsel di tangannya di pakai untuk main game. Benjamin yang melihat itu mendengus kasar lalu duduk di hadapan Magma.
"Kapan kau akan menikah?" tanya Benjamin kemudian.
"Kau akan mendapatkan cucu dari Yura, Dad." Magma menjawab tanpa menoleh ke arah Benjamin.
"Apa maksudmu?"
"Kau bertanya soal pernikahan karena ingin cucu kan?"
Benjamin berdecak. "Bukan cucu, tapi Dad ingin kau menikah ... Semua orang tua ingin melihat anak-anaknya menikah."
"Kecuali aku! aku tidak akan menikah," sahut Magma dengan fokus ke ponselnya.
Benjamin menghela nafas panjang. "Magma ... kalau kau tidak mau menikah dengan alasan tidak percaya dengan pernikahan karena dari kecil kau sering melihat Rhea dan Aberto bertengkar setiap hari. Maka lihat lah Dad dan Mommy Bayuni, kau akan percaya bahwa cinta bisa mengalahkan pertengkaran dalam Rumah tangga. Orang tuamu dulu karena tidak benar-benar saling mencintai ..."
"Lihat lah Yura dan Winter. Rumah tangga mereka di uji tapi karena cinta mereka kembali bersama."
"Salah, mereka kembali bersama karena aku yang merawat Yura. Si kep*rat De Willson itu malah melempariku telur ayam."
"Dad juga ..." Magma mendelik ke arah Benjamin.
"Maaf ... hiburan saja tadi," sahut Benjamin dengan menyengir.
Magma berdecak kembali main game.
"Magma kita serius dulu membahas masa depanmu."
"Masa depanku di klab, satu malam satu wanita sudah cukup."
"Menjijikan!" pekik Bayuni yang berjalan ke arah mereka. Lalu duduk di samping suaminya, Magma masih saja dalam posisi tiduran.
"Laki-laki celup sana, celup sini. Kau tidak takut ada penyakit menular di tubuh wanita ****** itu Magma," ucap Bayuni.
"Aku punya banyak stok perempuan virgin yang bisa aku tiduri, mereka biasanya harus melakukan tes darah dulu dengan Lail sebelum tidur denganku. Bukankah itu cukup aman?"
Benjamin dan Bayuni saling menoleh, tak habis pikir dengan isi otak Magma.
"Dia mirip si jal*ng Rhea," ucap Bayuni pelan yang di jawab anggukan setuju dari Benjamin.
"Jangan bilang seperti itu, Mom. Dia tetap Ibuku." Magma membela Rhea.
Kemudian Magma bangun dan duduk menghadap mereka.
"Aku pergi dulu ya ..."
"Kau mau kemana?" teriak Benjamin karena Magma langsung melengos begitu saja.
"Paling ke klab lagi." Bayuni yang menjawab.
Benjamin menggelengkan kepala. "Bagaimana ya cara menyembuhkan dia yang suka main wanita."
"Di jodohkan juga pasti menolak," sambung Bayuni. "Sudahlah, biarkan saja dulu. Kita doakan saja semoga ada perempuan yang menganggu hidup Magma dan membuat dia jatuh cinta sampai mau menikah."
"Semoga saja," ucap Benjamin penuh harap.
*
Klab seperti rumah kedua untuk Magma. Jika dia berlibur ke setiap Negara maka tempat pertama yang akan dia kunjungi adalah Klab di Negara tersebut.
Lail akan mencari mucikari di klab tersebut dan menanyakan apa ada perempuan virgin atau tidak. Jika mucikari tersebut mempunyai wanita virg*n yang bersedia melayani Magma maka mereka akan di bawa ke Rumah Sakit terlebih dahulu untuk di tes kesehatan. Siapa tau salah satu dari mereka mengidap HIV yang merugikan Magma.
Magma duduk di minibar seorang diri dengan meminul alcohol. Dia menunggu telpon dari Lail.
Sepuluh menit kemudian Lail menelpon.
"Kamar sudah siap Tuan."
"Hm."
Magma mematikan panggilan telpon nya lalu beranjak dari duduknya masuk ke salah satu kamar yang ada di klab.
Lail berdiri di depan pintu kamar agar Magma tidak salah masuk kamar.
Ketika Magma sudah masuk, Lail pun pergi dari sana.
Seorang perempuan duduk di ranjang dengan rambut terurai panjang ke satu sisi memperlihatkan punggung nya yang terbuka, ia memakai dress di atas lutut berwarna hitam.
Matanya terlihat takut menatap Magma. Magma mendekat dan berdiri di depan gadis yang terlihat masih muda itu.
Sontak gadis itu menunduk dengan merem*s ujung dress nya.
"Kalau takut keluar dari sini!"
Gadis itu pun mendongak lalu menggeleng pelan. "T-tidak Tuan ..."
"Jangan menjual harga diri kalau tidak mau!!" pekik Magma.
"S-saya ---"
"Berapa yang kau butuhkan dan untuk apa?" potong Magma dengan tangan bersedekap dada di hadapan gadis yang duduk di ranjang itu.
"S-saya ... Ibu saya sakit, Tuan." Mata gadis itu berkaca-kaca.
"Kau menjual diri untuk Ibumu?"
Gadis itu mengangguk pelan membuat Magma menghela nafas kasar.
"Kenapa kau tidak mengatakannya kepada Lail tadi, buang-buang waktu saja!!" bentak Magma.
"M-maaf Tuan ... hiks ..." gadis itu menangis membuat Magma merasa bersalah kini.
Magma mengacak-ngacak rambutnya. Dia benci sekali dengan perempuan yang menangis ketika hendak di tiduri.
"Sudah-sudah, keluarlah cari Lail di luar!!"
Gadis itu menyeka air matanya lalu beranjak dari ranjang, pergi dari kamar setelah membungkuan badan kepada Magma.
Magma langsung merebahkan dirinya di kasur. Menatap langit-langit kamar klab dengan memijat keningnya, mood nya hancur sudah kalau seperti ini.
Sementara gadis tadi menemui Lail dan mengatakan kalau dia tidak bisa tidur dengan Magma. Gadis itu juga mengatakan alasannya, akhirnya Lail membantu Ibu dari gadis itu yang sedang sakit.
*
Magma menggeliat ketika mendengar ponselnya berdering, ia mengambil ponselnya di bawah bantal lalu melihat nomor tidak di kenal menelponnya.
Magma berdecak lalu kembali memasukan ponselnya ke bawah bantal.
Belum jarak satu menit ponselnya kembali berbunyi dan ketika Magma melihat lagi, nomor asing yang berbeda dari nomor pertama.
Magma merijek panggilan tersebut, kembali memasukan ponselnya ke bawah bantal. Dan lagi, belum jarak satu menit ponselnya kembali berbunyi.
Magma mengerang marah. Di ambilnya ponsel itu lalu pria itu mencoba mengangkatnya.
"Apa? siapa?"
"Hallo Tuan ... apa saya orang pertama yang menghubungimu di jam 12 malam? apa saya pemenangnya Tuan?" Tanya seorang pria di telpon terdengar semangat dan begitu senang.
"Orang gila!!" pekik Magma lalu melempar ponselnya ke dinding sampai ponselnya mati total kemudian ia kembali tidur.
Keesokan harinya ia menyuruh Lail membeli ponsel baru dan juga menceritakan kejadian semalam kepada Lail ketika mereka di mobil hendak pergi ke rumah Benjamin setelah tidur di klab semalaman.
"Siapa yang berani menyebarkan nomormu Tuan," ucap Lail seraya menyetir.
"Tidak tau, kalau mereka masih menelponku aku harus ganti nomor," sahut Magma. "Mereka bilang hadiah, tidak tahu hadiah apa."
"Apa Yura sudah pulang?"
"Belum, Tuan. Masih di Italy."
Magma mengangguk-ngangguk.
"Si anak curut itu ikut?"
"Siapa Tuan." Lail menoleh.
"Anak si musim panas itu ..."
"Oh ... maksudmu Reagan. Dia tidak ikut Tuan, ada di mansion Ayahnya."
Bersambung
Bahkan ketika Magma tidur di rumah Benjamin pun tengah malam ia terus terganggu lagi dengan ponselnya yang berdering. Ponsel Magma sudah di ganti dengan yang baru.
Magma awalnya membiarkan ponselnya itu berdering sampai mati sendiri tapi belum satu menit ponselnya kembali berdering.
Magma berdecak mengambil ponselnya di nakas dan lagi-lagi nomor asing yang menelponnya.
Magma mencoba mengangkat panggilan tersebut dan lagi-lagi ucapannya sama dengan kemarin malam.
"Tuan ... apa saya orang pertama yang menghubungi anda di jam 12 malam. Apa saya pemenangnya, Tuan?"
Magma menghela nafas kasar dan mematikan panggilan tersebut lalu menonaktifkan ponselnya agar tidurnya bisa nyenyak.
Di pagi harinya ketika ia mengaktifkan kembali ponselnya ribuan pesan masuk ke ponsel Magma sampai membuat ponselnya itu error karena terlalu banyak notif pesan baru.
Magma hanya diam di meja makan seraya menatap ponselnya di meja yang terus memunculkan pesan-pesan semalam.
Tuan apa saya pemenangnya.
Tuan saya bergadang untuk mendapatkan undian tersebut.
Ibu saya sedang sakit. Kalau saya menang, uang itu untuk pengobatan Ibu dan juga untuk merenovasi rumah.
Tuan, saya harap saya pemenangnya.
Tuan kenapa nomornya tidak aktif, saya akan mencoba menelpon lagi besok.
Kemarin saya menelpon anda Tuan tapi malah tidak aktif. Sekarang tidak aktif lagi, apa undian itu penipuan?
Berbagai notif pesan di ponselnya itu benar-benar membuat kesal. Undian apa, Magma tidak mengadakan undian apapun bagi siapapun.
Bisa saja setiap malam Magma menonaktifkan ponselnya tapi pagi hari ia pasti akan mendapatkan ribuan pesan. Setelah di pikir-pikir mengganti nomor ponselnya juga bukan ide yang baik karena banyak nomor teman-teman Magma di sana.
"Magma, kenapa?" tanya Bayuni berjalan membawa roti yang sudah di olesi selai di nampan. Ia memberikannya kepada Magma. "Sarapan dulu ..."
"Tidak apa-apa Mom." Magma mengantungi ponselnya lalu melahap roti dari Ibunya.
"Kau seperti sedang banyak pikiran."
"Tidak, Mom. Hanya saja banyak nomor asing yang menelponku akhir-akhir ini."
"Nomormu tersebar?"
Magma mengangguk seraya mengunyah roti di mulutnya.
"Astaga ... siapa orang yang tidak sopan yang menyebarkan nomormu."
"Tidak tau, Mom." Magma meminum kopi.
"Ganti saja nomormu."
"Banyak nomor penting juga di sini, kalau aku ganti nomor temanku di Spanyol akan sulit menghubungi ku, malas juga aku harus menelpon mereka satu persatu dengan nomor baru."
"Suruh saja Lail memberitahu teman-temanmu, apa susahnya."
Magma terdiam menatap Ibunya. Benar juga apa kata Bayuni, suruh saja Lail dia kan sekretarisnya.
Bayuni menggelengkan kepala, pasti Magma lupa kalau dia bisa mengandalkan Lail.
*
Bukan hanya ponsel yang di ganti, sekarang nomornya juga di ganti. Selama satu jam Lail menelpon teman-teman Magma dan memberitahu nomor baru pria itu.
Mereka berada di balkon rumah Benjamin. Setelah selesai menelpon teman-teman Magma, Lail yang semula berdiri di dekat pagar balkon pun berbalik menghampiri Tuan nya yang sedang duduk di sofa.
"Ini Tuan, sudah."
"Menelpon Yura juga kan?" tanya Magma.
"Iya Tuan."
Magma mengangguk.
"Apa kita akan kembali ke Spanyol, Tuan. Tidak baik terus-menerus mengandalkan Adrian mengurus perusahaan, Tuan."
Adrian adalah salah satu teman Magma di Spanyol. Semenjak Magma lebih banyak tinggal di Indonesia bersama Lail, perusahaan nya di kendalikan oleh Adrian, jika ada hal darurat maka Adrian akan menelpon Lail atau Magma langsung.
"Mungkin satu minggu lagi di sini, aku baru pulang kesini Lail, aku tidak mau mendengar mulut Dad yang berbusa ketika marah lagi kepadaku karena kembali ke Spanyol."
Lail mengangguk paham.
*
Seorang perempuan berjalan dengan heels tinggi, rambut curly yang terurai panjangx dia memakai pakain casual, pinggangnya bergerak ke kanan ke kiri, walaupun tidak sedang berjalan di atas catwalk profesinya sebagai model membuat cara jalan nya berbeda dari yang lain.
Perempuan itu berjalan di trotoar hendak pergi ke pasar untuk mencari target. Dia memakai kaca mata dan masker karena bau pasar yang tidak terbiasa di hidung nya selalu menusuk indra penciumannya itu.
Dia menghampiri tukang becak yang sedang menunggu penumpang.
"Mau kemana, Non?" tanya pria paruh baya pemilik becak tersebut.
"Antar saya ke apartemen anggrek," sahut perempuan itu.
"Siap, Non. Silahkan masuk."
Pria itu menggayuh becaknya mengantar model terkenal tersebut, tidak ada yang mengenali model itu karena dia memakai kaca mata dan masker.
"Cantik-cantik kok naik becak ya, emang dia tidak punya mobil," gumam si bapak pemilik becak.
Ketika model itu menghampirinya, parfum nya saja tercium sangat wangi, harga parfum nya saja pasti sangat mahal, kulitnya sangat mulus dan bersih, pakaian dan tas nya juga terlihat mewah. Hal itu membuat si bapak bertanya-tanya dalam benaknya tentang penumpang nya kali ini.
Sesampainya di depan apartemen anggrek, perempuan itu keluar, ia mengambil uang di dompet dan memberikannya kepada si bapak.
"Loh, Non. Ini kebanyakan." Bapak tersebut menatap beberapa lembar uang di tangannya.
"Ambil saja." Kemudian model tersebut masuk ke apartemen meninggalkan si Bapak yang masih ternganga dengan lembaran uang di tangannya.
Ia mencoba menghitung jumlah uang tersebut tapi ada salah satu uang yang di coret-coret dengan pulpen.
Ia mengernyitkan dahi lalu membaca tulisan di uang tersebut.
Undian tengah malam. Siapapun yang berhasil menelpon nomor ini tepat pukul 12 malam. Maka akan mendapatkan uang satu milyar.
Mulut si Bapak sampai terbuka setengah membaca tulisan di uang tersebut.
"I-ini beneran ..." gumam si Bapak pemilik becak.
*
Setelah mengganti nomornya, ia pikir malam ini Magma akan tidur dengan nyenyak karena nomor baru, tapi ternyata dugaannya salah.
Ponselnya kembali berdering panjang, Magma berpikir itu Lail atau teman nya jadi ia tidak mengangkat atau melihat nomor tersebut.
Tapi setiap ponselnya mati karena panggilan berakhir, ada lagi nomor baru yang terus menelpon Magma sampai tidak bisa membiarkan ponselnya diam selama satu menit saja.
Magma mencoba melihat siapa yang menelpon tengah malam lagi, ia mengambil ponselnya di sisi bantal.
Magma menautkan kedua alisnya, nomor asing lagi yang menelpon Magma. Padahal ini nomor baru tapi kenapa ada orang lain yang tahu.
Magma memperhatikan ponsel di tangannya yang berdering sampai panggilan berakhir. Dan lagi, nomor yang lain kembali menelpon Magma.
Magma mendengus kasar, mencengkram kuat ponselnya dengan gigi menggertak.
"Siapa yang menyebarkan nomorku!!"
Alhasil ponsel kembali melayang ke dinding dengan keras sampai mati total.
Magma kembali tidur dengan menutupi tubuhnya dengan selimut. Besok pasti dia harus ganti ponsel lagi karena ponselnya saja di lempar sampai retak.
Bersambung
Magma yang seharusnya pergi menemui Lail harus terganggu dengan adanya anak kecil yang sedang bermain mobil-mobilan duduk di samping Magma. Ini gara-gara Maxime yang menitipkan Reagan kepada dirinya yang tidak suka anak kecil.
Mbbemmm ... Mbemmm
Mbem mbem mbem ...
Magma menghela nafas kasar. Soal menjaga anak kecil dia tidak pintar sama sekali.
Mbemmmmm ...
Reagan semakin meninggikan suaranya dengan melajukan mobil mainan nya di jendela.
"Om mau ais kim om ..." pintanya.
"Apa?" tanya Magma tidak mengerti.
"Ais kim."
"Hah?"
"Ais kim, om. Ais kim ..." ulang Reagan.
"Oh ... ice cream?"
Reagan mengangguk cepat.
"Tidak ada!!"
Seketika wajah Reagan berubah sedih. Magma melihat tanda-tanda anak itu akan menangis.
"Huaaa ..."
"Eh, iya .. iya ... diam-diam!! kita beli ice cream sekarang.
"Yeayyy ..." Reagan menyengir senang membuat Magma menggelengkan kepala beberapa kali.
"Om lambut om sama ya, sama aku."
"Hah?"
"Lambut om sama ya ama aku." Reagan memegang rambutnya sendiri.
"Oh ... rambut ..." Magma berasa main tebak kata dengan anak kecil ini. Reagan mengatakan itu karena rambut Magma sedikit gondrong sama seperti rambut mangkuk Reagan.
"Tidak, rambutku lebih bagus dari pada rambutmu. Rambutmu jelek dan tidak terawat, cih."
Mendengar itu Reagan memanyunkan bibirnya membuat Magma lagi-lagi menghela nafas.
"Oke ... oke ... rambutmu bagus, sangat bagus!!"
"Hehe." Reagan cengengesan tidak jelas mendengat ucapan Magma barusan.
"Menyebalkan sekali anak ini!" gumam Magma pelan.
*
"Sok ... gosok ... gosok ... sok ... gosok ... gosok ... Daddy kuwal!" Reagan berteriak seraya menggosok guci abu di kamar Winter.
Sementara Magma hanya duduk bersila di lantai dengan memegang ice cream milik anak itu sambil menonton anak curut yang tidak jelas di depannya. Dari tadi terus menggosok guci, di pikir itu teko ajaib.
"Sudah belum?" tanya Magma dengan malam.
"Bental, om. Daddy belum kuwal."
"Sok ... gosok ... gosok ... Daddy, Yula kuwal!!"
"Berapa kali aku harus bilang mereka tidak ada di guci," gumam Magma yang sudah lelah berbicara dengan Reagan kalau Winter dan Yura sedang jalan-jalan bukan tidur di guci.
Beberapa menit kemudian Reagan kembali menangis histeris karena merasa gagal mengeluarkan Winter dan Yura dari guci.
Magma berdecak lalu menyumpal mulut kecil Reagan yang terbuka dengan ice cream.
"Makan ice cream saja, jangan menangis."
Reagan mengambil ice cream di mulutnya lalu kembali menangis. Magma menggaruk kepalanya frustasi, dia tidak pintar membujuk anak kecil.
"Aku harus apa agar kau berhenti menangis ..."
"Mau Daddy huaaaa ..."
Tangisnya semakin keras, Magma benar-benar bingung. Dia tidak bisa menelpon Yura karena ponselnya rusak, dia juga tidak tahu nomor Lail, Yura atau Winter. Walaupun ada telpon rumah.
Alhasil pria itu menggendong Reagan dan membawanya keluar, dia berkeliling ke halaman belakang mansion Winter seraya terus membujuk Reagan agar berhenti menangis.
Dan di halaman belakang ia menemukan bola.
"Mau main bola tidak?" tanya Magma.
"Tidak ..." sahut Reagan sambil menangis sesengukan.
"Kau bisa main bola tidak?"
"Tidak ..." sahut Reagan lagi tanpa menghentikan tangisnya.
"Yasudah coba dulu kalau tidak bisa, om akan mengajarkanmu oke ..."
Magma menurunkan Reagan lalu mengambil bola di dekat pohon. Magma menyuruh Reagan mengejar bola tersebut, Reagan yang tadi nangis terlihat bersemangat ketika mengejar Magma. Dia tertawa sambil berusaha mendapatkan bola itu.
*
Selesai main bola mereka duduk di kursi, Magma meneguk minuman kaleng sementara Reagan hanya meminum air putih biasa.
Tiba-tiba satpam datang menghampiri mereka. Dia satpam yang menjaga mansion Winter, Magma berpikir untuk satpam itu menghampirinya.
"Tuan Magma ya ..."
Magma mengangguk.
"Saya dapat nomor Tuan dari uang seribu, benar lagi ngadain undian berhadiah Tuan?" tanya nya.
Magma mengerutkan dahinya. "Apa maksudmu?"
"Ini Tuan ..." Satpam memberikan uang seribu kepada Magma.
Magma merasa tidak ada harga dirinya, nomor dirinya di sebarkan di uang seribu. Ia membaca tulisan di nomor itu.
Undian berhadiah bagi siapapun yang menghubungi Magma Mahavir Kakak dari Ayura Aletta dan Kakak ipar dari Winter Louis De Willson. Menghubungi Magma tepat di jam 12 malam akan memenangkan uang satu milyar rupiah.
Magma melebarkan mata melihat nomor dirinya di tulis di sana dengan kalimat panjang lebar seperti itu.
"Benar Tuan?" tanya Satpam kembali.
"Tidak, ini bohong. Kau dapat uang ini darimana? ini nomor baruku, seharusnya tidak di sebarkan seperti ini ..."
"Saya dapat dari penjual gorengan Tuan, tidak tahu dia dapat darimana. Sepertinya sudah banyak orang yang tahu nomormu Tuan."
Magma menghembuskan nafas kesal. "Itu penipuan, aku tidak mengadakan undian apapun. Pergilah!"
Satpam itu pergi karena nada bicara Magma sudah terdengar sangat jengkel. Ekspresi wajahnya tiba-tiba menakutkan.
*
Setelah mengantar Reagan kembali pulang ke mansion Summer. Ia langsung pergi ke apartemen tempat Lail tinggal.
Magma memberikan uang seribu itu kepada Lail. Lail menerima dan membacanya kemudian menggeleng pelan.
"Aneh-aneh saja manusia jaman sekarang, suka sekali menganggu privasi orang."
Lail kembali menyimpan uang itu di meja kemudian menatap Magma.
"Lebih baik untuk beberapa hari kedepan, anda tidak perlu memakai ponsel Tuan. Urusan pekerjaan masih ada saya yang bisa menghendel Adrian di Spanyol, untuk menghubungi temanmu anda bisa pakai ponsel saya ..."
Magma mengangguk setuju. Ada hal lain yang lebih penting dari tersebarnya nomor Magma.
"Aku berencana membuat cabang perusahaan kita di sini ..."
"Benarkah?"
Magma mengangguk.
"Itu bagus Tuan, saya sangat setuju. Bulan ini ada mobil baru yang segera launching, skincare dan juga tas. Kita bisa memakai model perempuan untuk menjadi brand ambassadornya di sini Tuan ..."
"Seperti?" tanya Magma.
"Laura ... sepupu Winter. Kebetulan dia kan model terkenal."
Magma terlihat berpikir sejenak lalu menganggukan kepala. "Atur kerjasama dengan Laura ..."
"Baik Tuan."
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!