" Asma, letakkan kembali pisau itu. Nanti kamu bisa terluka oleh pisau itu.!" teriak Syafrie di tengah riuhnya alunan musik yang memeriahkan suasana pesta pernikahan yang berlangsung di tempat itu.
Yah....pesta pernikahan suamiku yang bernama Syafrie Mahmud Alamsyah dengan seorang perempuan dari desa sebelah yang bernama Marina.
Aku meradang terluka. Pernikahan yang tanpa sepengetahuanku dan tidak dengan izinku itu sedang berlangsung meriah dan mewah.
Seketika, musik yang mengalun pun mendadak berhenti. Suasana menjadi hening. Semua mata fokus tertuju padaku. Tak ada yang bersuara. Hanya
suara piring dan gelas beradu saja yang sesekali terdengar.
Pandanganku beredar ke sekeliling ruangan pelaminan yang di dekor dengan warna emas dan merah. Kain - kain berwarna putih dan merah memberi kesan mewah ala pernikahan masa kini lengkap dengan para pengiring pengantin yang memakai busana lengkap senada dengan busana yang dipakai oleh suamiku dan juga istrinya.
Tak ketinggalan juga hiasan bunga - bunga berwarna hijau dan putih yang turut memeriahkan suasana pesta tersebut.
Aku terhenyak. Sakit menusuk dadaku. Bagaimana mereka begitu sempurna menyiapkan pesta pernikahan ini tanpa sepengetahuanku.
Mereka sudah menusukku dari belakang. TEGANYA!!
Pandanganku beralih menatap mempelai wanita yang berdiri mematung di belakang suamiku. Baju bodoh berwarna hijau yang dikenakannya senada dengan baju yang dikenakan oleh Syafrie, suamiku.
Dia meremas kedua tangannya sambil sesekali melirik ke arahku. Pandangannya seakan mengejekku. Mengejek ketidakmampuanku untuk menjaga suamiku agar tak berpindah ke lain hati.
"Dasar pelakor..!" desisku dengan penuh kebencian.
" Asma, jaga bicaramu. Dia tidak seperti yang kau tuduhkan! " bentak Syafrie padaku. Aku mendelik, tersenyum sinis pada dirinya dan Syafrie suamiku.
" Mengapa, apa aku salah? Wanita ini tidak akan bersuami jika dia tidak merebut suamiku. Lalu apa namanya jika bukan pelakor? "
" Asma, sekali lagi ku bilang. Jaga bicaramu. Atau aku...! " sekali lagi Syafrie membentakku.
" Atau apa? Kamu akan memukulku? " tanyaku. Aku tertawa pahit.
Ku lirik mata lelaki yang juga telah menatapku. Tangannya memperbaiki jas hitam yang di padu dengan sarung sutra warna senada dengan baju mempelai wanita.
Dia melirik ke arah tanganku yang sesekali memainkan pisau di tanganku ke dadanya.
Hah... Dia Cemas atau takut mati.
" Mengapa diam, atau kau takut aku menusukkan pisau ini ke dadamu atau ke dada mempelai wanitamu. Amboi.... kalau masih takut mati, kenapa berani beristri dua, Syafrie? " ejekku pada Syafrie. Kini pisau di genggamanku terarah pada mempelai wanita.
Muka Syafrie merah padam mendengar ejekanku. Sedangkan mempelai wanita menatap ngeri ke arah pisau yang ada di genggamanku.
"Kau jangan bodoh, Asma! Aku ini masih tetap suamimu. Tak ada yang berubah. Aku masih tetap mencintaimu. Jangan bertindak yang nanti merugikan diri sendiri! " ucapan Syafrie di angguki oleh semua yang hadir di sana.
" Cuih... mudah bagimu bicara seperti itu, bajingan. Bukan kamu yang berada di posisi aku. Bukan kamu yang merasakan sakitnya dikhianati. Aku..... aku yang merasakan nyeri itu di sini.... disini..! " kataku seraya menunjuk dadaku dengan ujung pisau. Sesak dan nafasku memburu. Bibirku bergetar menahan tangis. Duh...... mengapa sakit sekali, ya Tuhan. Mengapa tak sekalian saja Kau cabut nyawaku ini.
" Aaahhh! " semua menjerit tertahan. Ngeri dengan pisau yang terarah tepat di jantung.
" Asma, dengarkan aku! Sampai kapanpun kau tetap yang utama. Aku akan tetap memilihmu. Percayalah, sayang. Aku hanya membantunya saja." Syafrie menoleh pada mempelai wanita di sebelahnya. Memohon maaf dan pengertian agar wanita tersebut tak tersinggung atas ucapannya.
" Hmm, membantunya menghangatkan ranjangnya, itu maksudmu? Enak saja, Aku sedang berjuang mempertahankan rumah tanggaku, sedang kamu enak - enakan ingin menikah dan membangun rumah tangga lagi dengan wanita lain tanpa mengakhiri dulu hubunganmu denganku, Cuih.... ceraikan aku dulu, pengecut! "
"Jaga bicaramu, Asma. Perkataanmu tadi telah menyinggung hati dan melukai harga diri keluarga ini! " bentak suamiku.
Aku terperangah. Seumur hidup ini adalah kali pertama suami yang ku puja dan ku sanjung dengan cintanya yang katanya setinggi nirwana membentakku.
Sakit.... sakit sekali. Seperti ditusuk pedang lalu di koyak-koyak kemudian dihempaskan secara paksa ke bumi.
"Kau kejam sekali, Syafrie! " aku membathin dalam hati.
" Ayo pulang, nak. Malu dilihat orang! " ajak Bapak, menarik pelan tanganku berusaha untuk membujukku agar meninggalkan tempat ini.
" Tidak, pak. Aku tidak mau pulang tanpa suamiku! Aku masih bertahan, menatap tajam ke pupil hitam suamiku yang dulu pernah membuatku selalu berdebar-debar bila bertatapan dengannya. Entah mengapa, sekarang semua terasa hampa. Debaran cinta di hatiku tiba-tiba hilang begitu saja, berganti gejolak kebencian dan rasa muak. Cinta di hatiku berubah menjadi hitam. Sehitam bara kebencian dan keangkaramurkaan di hatiku.
" Jangan keras kepala, Asma. Percayalah kau masih memiliki aku. Kita akan hidup bersama. Aku, kamu, dan Marina akan hidup bahagia. Percayalah... Aku akan berlaku adil pada kalian semua! Tolong .. Asma, pahami posisiku! " ucapnya memelas mencoba membujukku.
" Mengapa kamu berpikir bahwa kita akan bahagia. Oh yah... Kamu dan dia yang akan bahagia, tetapi aku tidak! " sentakku.
" Tapi bapakmu sudah memberi izin padaku untuk menikah lagi, sayang! " kata Syafrie meraih jemariku yang satunya. Aku menepisnya dengan kasar.
" Oh, yah? Tapi sayangnya aku tidak! " jawabku sambil mempermainkan pisau di tanganku ke wajahnya. Ingin sekali ku cabik-cabik mulut itu dengan pisau ini sampai halus tak berbentuk.
" Pria bisa menikah lagi walau tanpa persetujuan Sang istri, sayang. Jika dia merasa mampu secara fisik, materi dan bisa berbuat adil. Semua itu diperbolehkan dalam agama kita." katanya sambil melirik pisau di tanganku yang kini sudah berubah posisi tepat di depan dadanya.
Aku menatap murka ke arah suamiku. Secinta dan sesayang itukah dia pada wanita yang kini sudah menangis tersedu di atas pelaminan sana.
Kemana dia buang semua ucapan - ucapan cinta dan janjinya padaku. Janji yang terucap bahwa akan hanya ada satu wanita dalam hidupnya. Yang akan bertahta di hatinya selama-lamanya.
" Cuih... Syafrie.Lelaki penghianat sepertimu memang sangatlah mudah mengumbar janji. Kau pikir semua wanita bisa kau perlakukan seperti itu. Ingatlah, Aku Asma, bersumpah bahwa sampai matipun aku tak akan pernah ridha dan memberi izin padamu untuk menikah lagi. Dan aku katakan juga, bahwa hari ini, jika sampai kau menikah lagi, maka putuslah talakmu untukku! " Aku menjatuhkan talak gantung pada Syafrie suamiku karena pada dasarnya hatiku sakit jika ada ' penomoran' istri dalam catatan pernikahanku dan Syafrie.
Wajah Syafrie suamiku pucat pasi mendengar Ultimatum dariku. Yah.... aku merasa menang. Kau harus menceraikan aku dulu baru bisa menikah dengan wanita itu. Enak saja kau menginjak - nginjak harga diriku dan berani mempermainkan cintaku.
" Tapi Asma, abang sudah menikah!" kata Syafrie dengan wajah memelas.
" Baguslah.. kalau begitu, maka jatuhlah talak abang padaku! " kataku tersenyum, namun pahit.
" Mana bisa begitu, Asma. Kamu sedang hamil anak kita. Mana bisa aku menalak istri yang sedang hamil! " serunya.
" Gampang saja. Begitu anak ini lahir, kita resmi bercerai."
" Asma, jaga bicaramu. Aku tak akan menceraikan kamu! Kamu pulanglah dulu, nanti aku menyusul dan menjelaskan semuanya padamu! Aku tak ingin berpisah darimu. Aku mohon, dengarkan aku! Jangan gegabah memutuskan sesuatu! "
" Maaf, Syafrie. Keputusanku telah bulat. Kau sudah menjatuhkan talak padaku dengan perkawinan ini. Maka mulai detik ini, kamu dan aku sudah tak ada ikatan. Kita bukan suami istri lagi. Dan nanti pada saat anak ini lahir, segera akan kuurus surat cerai kita."
" Asma, jangan begitu, nak! Syafrie masih suamimu. Lihatlah, disini banyak orang yang menonton drama keluarga kalian! " bapak sekali lagi mencoba membujukku. Namun aku menepis lengan bapak dengan kasar.
" Tidak, Asma. Aku tidak akan menceraikan kamu. Kamu tetap istri abang sampai kapanpun! kata syafrie dengan gusar.
" Tapi aku jijik padamu, Syafrie. Aku jijik pada penghianat seperti dirimu. Jadi aku haramkan kamu menyentuhku! " teriakku kasar sambil menangis. Pisau di tanganku ku tuding - tudingan di wajahnya. Syafrie yang melihat hal itu memegang tanganku, bermaksud ingin merebut pisau itu dari tanganku. Namun aku memberontak hingga tanpa sengaja pisau itu melukai tangannya.
Darah segar mengalir membasahi pakaian pengantin yang dikenakannya.
Aku mundur dan tersenyum mengejek.
" Sakit? bagaimana rasanya luka terkena sayatan pisau, hah? Itu belum sepadan dengan luka di hatiku. Kau tahu? sakitnya tak bisa terungkapkan...! " isakku sambil menangis. Sakit.... hatiku benar-benar sakit.
" Astaghfirullah, Asma! Istighfar, nak! kamu sudah di rasuki Iblis. Ayo kita pulang, nak! Tak baik untuk kesehatan bayi dalam kandunganmu! " kali ini ibu yang berusaha membujukku.
" Iya, Asma. Pulanglah, nanti tiga hari lagi aku akan menyusul. Aku akan menjelaskan semuanya. Percayalah, kita akan bahagia bersama. Jangan lagi berpikir tentang perceraian. Karena sampai kapan pun aku tak akan menceraikan kamu. Kamu adalah prioritasku. Aku akan berlaku adil pada kalian se..! "
" Hei, penghianat. Cukup bicaranya! Siapa yang bilang aku mau tinggal bersamamu! Kau pikir aku mau? Baiklah.... kamu memang tak mengerti perasaanku. Dengar..! Aku tak sudi hidup bersama laki-laki penghianat seperti dirimu, lebih baik aku mati. Ingatkan aku untuk memaafkanmu, bila nanti Tuhan bermurah hati menjodohkan kita kembali di kehidupan berikutnya, karena di kehidupan ini aku tak bisa memaafkanmu! " Selesai berkata demikian, dengan satu ayunan aku menancapkan pisau di tanganku sekuat tenaga ke jantung Syafrie... bukan...tapi jantungku.
Aku memejamkan mataku tak ingin membayangkan benda tajam itu menembus bajuku dan mengoyak kulit tubuhku dan menusuk tepat di jantung.
Namun sebelum pisau menancap di jantungku, seseorang mendorong tubuhku hingga terhempas ke belakang pagar pembatas pelaminan membuatku jatuh terguling melewati anak tangga hingga terlempar ke bawah.
Aahhhh! Jerit kengerian bercampur dengan isak tangis wanita dan anak-anak masih sempat ku dengar.
Sakit, nyeri, dan sesak di dada kurasakan. Tubuhku terasa kebas dan mati rasa.
" Darah! " jerit seseorang
" Ya, Allah. Kandungannya. Asma..!!! "
" Pak..! Pak Basri.. Ya Allah! Pak Basri bertahanlah Pak..! Asma... Ya Allah! "
Seseorang, aku mohon tolong jelaskan apa yang terjadi. Aku yang sedang merintih kesakitan namun mengapa mereka menyebut nama bapakku. Sesuatu yang buruk pasti telah terjadi.
" Astaghfirullah.... Ya Allah, apa yang kau sudah kau lakukan, asma! teriak Syafrie.
" Asma, bertahanlah, nak. Ya, Allah tolong selamatkan suami , anak dan cucuku." kudengar isak tangis seorang wanita menyebut namaku, Ibuku! Kesadaranku perlahan-lahan memudar seiring dengan gelapnya penglihatanku.
Aku turun dari taksi sewaan pribadi yang mengantarku sampai ke ujung jalan di tapal batas yang memisahkan desa tempat tinggalku, desa Suka Rahmat dengan jalan poros yang menghubungkan Kota Samarinda dan Sangatta.
Aku terpaku menatap gapura yang berdiri kokoh dan dingin, seakan menyambut kedatanganku kembali ke desa ini.
Tak ada yang berubah dari wajah desa kelahiranku ini. Selama kurang lebih sepuluh tahun aku tidak menginjakkan kaki ke desa ini. Semuanya masih tetap sama seperti dulu.
Kebanyakan rumah - rumah penduduk di desa ini berdinding kayu meranti. Bahkan beberapa diantaranya sudah banyak lapuk dimakan usia.
Aku berjalan perlahan-lahan menyusuri jalanan yang belum di aspal dengan menunduk. Jujur saja, agak aneh rasanya setelah sekian lama, aku berjalan lagi di jalanan yang sama seperti dulu biasa aku lalui.
Sehelai daun jati jatuh tepat di atas kepalaku. Aku mendongak ke atas memandang langit sore yang perlahan-lahan berubah warna menjadi gelap. Mungkin karena sudah mulai masuk waktu magrib, di tambah lagi cuaca mendung dan mungkin saja sebentar lagi hujan akan segera turun, membuat suasana di sekelilingku menjadi gelap.
Aku mempercepat langkahku berharap agar bisa segera sampai sebelum hujan.
Sesekali menoleh ke belakang berharap bertemu dengan seseorang yang ku kenal. Tapi.... aku menggigit bibir, kecewa.
Apa yang bisa aku harapkan. Setelah sepuluh tahun kepergianku dari desa, rasanya aku tak mengenal lagi orang - orang yang lalu lalang melewatiku. Langkah kakiku terasa semakin berat saja akibat lelah yang kurasakan.
" Huh, tahu begini. Lebih baik aku tak usah kembali ke sini lagi! " Aku menggerutu kesal karena merasa cape menarik koper yang berisi pakaian di tambah lagi harus menenteng tas jinjing yang isinya barang- barang kebutuhanku.
Aneh sekali, dulu aku dan saudara - saudaraku, tak pernah merasa lelah walaupun harus bolak balik melewati jalan ini untuk sampai ke sekolah.
Walaupun jarak sekolah dengan rumah kami lumayan jauh, namun aku dan saudara - saudaraku selalu bersemangat pergi ke sekolah tanpa pernah mengeluh. Meskipun turun hujan deras sekalipun.
Bagi Bapakku, pendidikan itu penting. Tak peduli anaknya laki-laki atau perempuan. Bapak selalu mengutamakan pendidikan bagi kami.
" Bapak tidak bisa mewariskan kepada kalian harta, karena harta bisa habis sewaktu-waktu, tetapi ilmu tidak." kata bapak kepada kami, Anak-anaknya.
Aku menatap ke arah rimbun pohon akasia yang berjejer di sepanjang jalan ke arah penggilingan padi di sana. Dulu, aku dan bapak biasa berjalan melewati jalan ini sambil membawa gabah kering hasil panen kami untuk di giling.
Panen padi dari sawah kami yang luasnya tak lebih hanya dua petak saja, setahun dua kali.
Sebagian hasil panen di jual ayah untuk membiayai berbagai macam kebutuhan kami. Sedangkan sebagian lagi di gunakan untuk makan.
Bapakku adalah seorang lelaki yang sederhana dan suka bekerja keras. Dari pagi hingga petang, waktunya lebih banyak dia habiskan di sawah atau kebun. Kadang-kadang, bapak juga bekerja di sawah milik tetangga. Kata bapak, lumayan buat tambahan belanja dapur.
Meskipun suka bekerja keras, bapak juga adalah sosok yang sangat taat beribadah. Lima waktu tak pernah lepas, betapa sesibuk apapun beliau.
Satu lagi yang sangat kusukai dari sifat bapakku adalah beliau merupakan sosok laki-laki yang penyayang. Tak pernah sekalipun bapak memarahi kami anak-anaknya. Beliau tetap sabar tak peduli sebesar apa kesalahan kami.
Mengingat bapak, membuat hatiku sedih. Aku sangat menyayangi bapak. Andai saja waktu bisa terulang kembali. Maka aku berjanji dalam hati bahwa aku akan lebih mencintai lagi laki-laki itu dan berusaha agar bisa lebih berbakti lagi untuk bisa membahagiakannya.
Begitu banyak kenangan indah yang aku lalui bersama bapak, namun semua itu terhapus begitu saja oleh luka yang diukir oleh seorang di masa lalu.
Aku menghela nafas berat, seberat beban di kedua tanganku yang kini sedang menarik koper dan menjinjing tas bawaanku
Di sinilah sekarang aku, terpaksa harus kembali lagi hanya demi untuk sebuah restu dari mama dan keluargaku. Selain itu ada sebuah urusan dari masa laluku yang belum aku tuntaskan.
Aku akan mengurus perceraianku secara resmi dengan Syafrie dan memulai hidup baru bersama Mas Haris, lelaki yang sudah hadir mengisi hari-hari dalam hidupku.
Setelah sepuluh tahun aku menutup diri dan juga hatiku. Berusaha mengubur habis semua rasa cinta yang ada. Aku juga membakar habis semua rasa di hatiku dengan api dendam karena sebuah penghianatan.
Sosok itu hadir. Perlahan namun pasti berhasil mengikis bekas luka yang meropeng, menempel di sebuah daging dalam tubuhku yang bernama hati.
Kelembutan dan perhatian yang diberikan oleh sosok mas Haris, demikian aku memanggil lelaki itu, mampu membuat seorang Asma, wanita yang tak percaya pada sebuah kata yang bernama cinta karena pernah terbakar oleh sebuah penghianatan, mulai menemukan lagi akan makna dari sebuah kepercayaan dan cinta.
Kedatanganku kembali adalah karena aku ingin meminta restu dari mama dan menyampaikan keinginan mas Haris untuk menjadikan diriku sebagai pendamping hidupnya.
Sebenarnya, aku sempat menolak keras keinginan Mas Haris agar aku kembali lagi ke desa kelahiranku ini dan menemui mama. Meminta restu pada wanita yang sudah melahirkan aku ke dunia ini dan juga seluruh keluarga.
Namun, lelaki itu keras kepala. Dia ingin agar aku menjalin kembali silaturahmi dengan seluruh keluarga yang selama ini sudah terputus. Lebih tepatnya aku yang memutuskan.
" Nak Asma!" sapa seorang Bapak tua dengan ragu. Dia menaiki sebuah motor Suzuki keluaran tahun 1990.
" Iya, Pak! " jawabku sambil tersenyum.
" Loh, ini benar kamu, Asma? " tanya Bapak itu seakan tak percaya.
" Iya, pak. Ini Asma, Asma anaknya Bu Syariah."
" Wah, nak Asma. Mengapa baru pulang sekarang. Fadil sudah besar sekarang. Gagah dan tampan seperti bapaknya. Kalau tidak salah sudah duduk di kelas empat, sekarang."
" Oh, iya.!" Aku menjawab sekenanya karena jujur saja aku tak mengenal nama - nama yang barusan bapak itu sebutkan.
" Kamu mau pulang ke rumahmu, kan?" Aku menjawab dengan anggukan kepala.
" Ya, sudah. Naiklah di belakang. Hari sudah menjelang magrib dan sebentar lagi turun hujan! " Bapak tua itu menawarkan tumpangan.
" Bolehkah, pak? " tanyaku.
" Cepatlah, bapak mau buru - buru ke musalla. Sebentar lagi waktunya solat magrib! " Tanpa berkata lagi, aku segera naik ke jok belakang sambil menggendong koper di pangkuanku.
" Seperti yang kau lihat, sudah banyak yang berubah dari kampung kita, Asma. Kau harus tahu. Jangan kelamaan tinggal di kota. Akibatnya kau telah melupakan kampung tempat kelahiranmu! " kata bapak itu.
" Iya, pak. Ngomong - ngomong, bapak ini siapa, ya? Soalnya saya lupa, pak!"
" Apakah waktu sepuluh tahun sudah membuatmu melupakan tetahmu , Asma? " tanya bapak itu.
Aku mengingat - ingat sosok bapak itu dalam memori ingatanku.
" Ya Allah, Tah Sappe.! " seruku tertahan. Aku mengutuk diri, bagaimana aku bisa lupa dengan laki-laki yang kini tengah membonceng diriku. Dia adalah guru mengajiku saat masih kecil dulu.
Tah Sappe tersenyum.
" Waktu sepuluh tahun rupanya telah mengubahmu menjadi dewasa, Asma. Kamu semakin cantik dengan jilbab itu"
" Terima kasih, tetah!" Aku tersipu malu mendengar pujian itu.
" Bagaimana kabar tetah Nure? " tanyaku. Tetah Nure adalah istri dari Tetah Sappe. Wanita yang sangat baik sekali serta penyayang. Aku ingat, dulu tetah Nure selalu membuat kue - kue untuk kemudian dibagikan kepada anak - anak yang datang mengaji pada Tetah Sappe.
" Dia selalu seperti itu, tetap cerewet. Hanya saja kini keadaannya sering sakit- sakitan. Maklum, sudah tua. " jawab tetah Sappe sambil terkekeh bercerita tentang istrinya.
" Mengapa kamu baru pulang sekarang, Asma?" tanya Tetah Sappe memecah keheningan yang terjadi beberapa saat diantara kami.
" Terlalu banyak luka yang tertoreh di dada ini, tah. Aku tak tahu, bagaimana cara merawatnya agar bisa sembuh kembali!" jawabku getir.
" Waktu telah berubah banyak hal, Asma. Syafrie telah menebus semua luka yang dia torehkan padamu dengan harga yang mahal. Kamu harusnya mencari tahu semuanya. Karena begitu banyak hal yang telah kamu lewatkan selama ini." kata Tetah Sappe. Aku tersenyum getir.
Kata Tetah Sappe, Syafrie sudah menebus semua luka yang dia torehkan atas diriku dengan harga yang mahal. Nyatanya sampai detik ini, tak ada sesenpun dari harga itu yang sudah aku nikmati.
Aku menatap hutan bakau yang kami lalui saat melewati jalan setapak yang berbatu - batu. Dulu, Syafrie sering mengajakku ke pantai yang letaknya di ujung jalan ini. Pantai itu tidak terlalu indah, namun cukup bersih.
Semasa berpacaran dan setelah resmi menikah, beberapa kali kami telah menghabiskan waktu bersama di sana. Duduk berdua sambil bercerita di antara rimbunan pohon bakau yang berjejer di sepanjang pantai atau berjalan - jalan santai sekedar menghirup udara segar.
Aku menyesali pertemuanku dengan Syafrie. Aku juga menyesali pernikahanku dengan lelaki itu. Lelaki yang dulu begitu ku puja - puja. Cintanya begitu ku agung- agungkan. Aku begitu mempercayainya. Hingga aku serahkan segenap rasa cinta dan kesetiaanku padanya. Aku jatuh cinta, sejatuh - jatuhnya pada Syafrie. Namun ironisnya, semua itu berakhir dengan sebuah penghianatan.
Rasa cinta di hatiku seketika berubah menjadi kebencian yang menghanguskan seluruh urat - urat di seluruh aliran darahku.
Rasa sakit akibat penghianatan nya membuat seluruh rasa di hatiku berubah hitam. Aku meradang, murka dan diliputi dendam. Dendam juga yang akhirnya membawaku pergi jauh dari kampung halamanku ini dengan luka yang berdarah - darah.
Aku menghela nafas, sesak terasa menggumpal di dada. Oh..Perihnya. Luka yang kukira sudah sembuh, ternyata belum, masih berdarah. Dan sakitnya ternyata masih sama seperti saat pertama kali. Aku kembali meradang.
Andai waktu bisa diulang kembali, aku lebih memilih untuk tidak kembali ke tempat ini. Bodohnya aku tak pernah tahu bahwa luka yang kurawat, ternyata masih sakit dan berdarah.
Aku membuang nafas kasar saat ingatanku pada si penoreh luka kembali hadir mengoyak dinding hati dan jiwaku yang paling dalam.
Tidak.... aku tak boleh lemah. Aku harus kuat, bathinku menyemangati jiwaku yang kini mulai rapuh digerogoti luka masa lalu.
Asma istrinya Syafrie sudah lama mati. Aku sendiri yang sudah membunuhnya dan menguburnya bersama dengan jasad seseorang yang terkubur di halaman samping rumahku. Menguburnya bersama dengan seluruh cinta dan juga segala kebencianku. Semuanya hilang, luruh bersama dengan gugurnya bunga Kamboja yang jatuh di atas tanah makam itu.
Hari ini, aku memang pulang. Tapi kepulanganku kali ini bukan untuk kembali ke masa lalumu, tapi untuk melepasnya dan memulai lagi hidup baru bersama seseorang yang kucintai.
" Nah, kita sudah sampai, Asma! " kata Tah Sappe membuyarkan semua lamunanku.
"Jangan pulang dulu sebelum habis rasa kangenmu sama kampung ini. Oh.. iya. Fadil pasti senang kalau tahu kamu sudah datang. Anak itu sangat merindukanmu." kata tah Sappe kembali menyebutkan nama anak yang sama padaku.
" Iya, Tah, Terima kasih karena sudah mengantar Asma. Sampaikan salamku pada Tah Nure, nanti kalo ada waktu, saya akan sempatkan jalan - jalan ke rumah kita." Aku mencium tangan Tetah Sappe sebagai bentuk salam takjimku kepada beliau sebagai pengganti ayahku.
" Iya, nanti Tetah sampaikan. Assalamu'alaikum! " katanya sambil berlalu melewatiku yang masih berdiri terpaku.
" Waalaikum salam. " aku tersenyum menatap kepergian Tetah Sappe yang makin menjauh.
Lembayung senja telah menghilang berganti dengan pekatnya malam. Aku masih berdiri terpaku di pinggir jalan. Ada keengganan menghinggapi diriku saat mata ini berbalik dan menatap nanar ke sebuah rumah yang seluruhnya di cat dengan warna kuning telur muda.
" Apakah keputusanku untuk pulang ini sudah benar? " aku bermonolog dalam hati.
Langkah kakiku terseok-seok melewati jalan ke rumah mama yang dilapisi batu kerikil kecil - kecil. Aku menyeret koper dan tasku dengan susah payah.
Sialnya..... sepatu high heels yang kupakai beberapa kali tersangkut, membuat aku meringis ketika kakiku terpelecok. Dulu.... halaman rumah kami hanyalah tanah liat yang becek dan basah saat hujan turun. Keadaan memang sudah banyak berubah.
Sepuluh tahun yang lalu, parit kecil didepan rumah kami hanyalah parit biasa yang lebarnya hanya seukuran dua puluh sentimeter. Sekarang, parit itu sudah menjelma menjadi parit besar yang di lapisi semen di kanan kirinya.
Juga tanah lapang di depan rumah yang dulu sering dipakai sebagai tempat kami bermain, kini sudah penuh oleh rumah - rumah penduduk. Tak ada lagi rimbun pepohonan di sana. Hanya yang tersisa pohon kelapa di depan rumah kami saja yang seakan menjadi saksi sejarah akan goresan cerita waktu dalam sejarah kehidupan anak-anak mama.
Aku melihat sekarang di depan rumah kami ada bola lampu yang menerangi jalan depan rumah. Rupanya PLN sudah menyapa desa tempat tinggalku. Memberikan sedikit warna pada peradaban desaku yang suram.
" Brrrr, dinginnya! " aku merapatkan cardigan panjang yang melapisi tubuhku agar dinginnya angin laut malam hari yang mulai hadir menyapa melalui celah pepohonan di belakang rumahku sedikit berkurang.
Aku berdiri persis di depan rumah mama. Terhenyak menatap bangunan rumah mungil itu. Tak ada lagi tiang kayu penyangga rumah, juga dinding - dinding kayu bakau yang melapisi rumah kami dari terpaan panas dan tempias hujan. Semuanya telah berganti menjadi tiang yang terbuat dari cor - coran semen dan pasir, dan dinding rumah yang terbuat dari batako. Rumah gubuk kami telah berubah menjadi rumah beton.
Mama adalah wanita yang sederhana. Beliau menyukai kesederhanaan. Wajar saja kalau rumah ini di cat dengan warna kuning. Bingkai jendela yang berwarna coklat adalah perpaduan warna yang pas sehingga memberi kesan sederhana dan tenteram. Tambahan dua buah kursi rotan di teras depan rumah melengkapi keasrian rumah ini.
Tetah Sappe benar, banyak sekali perubahan yang terjadi dalam kurun waktu satu dasawarsa yang terlewatkan di desa ini. Aku saja tak akan pernah tahu yang mana rumah mama, seandainya saja tah Sappe tidak mengantarkan aku sampai kemari.
Dengan tangan gemetar, aku mencoba memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah yang juga di cat dengan warna coklat itu.
" Assalamu'alaikum... "
" ..................... "
" Assalamu'alaikum.... " aku kembali mengulang mengucapkan salam untuk yang kedua kalinya.
Dadaku berdebar - debar membayangkan ada seseorang yang akan membukakan pintu. Tanganku terasa kebas. Aku memegangi dadaku. Rasanya aku...
" Assalamu'alaikum! " aku mengeraskan suara dari yang semula pelan kini agak keras.
" ......... "
" Ibu syariah tidak ada. Beliau pergi ke kampung sebelah, ada hajatan di rumah anaknya. Cucunya mau di sunat." Tetangga di depan rumah ibuku berteriak memberitahuku. Aku terpaku menatap ke arah seorang pria paruh baya yang memakai peci dan sarung. Sepertinya dia baru saja pulang dari musalla yang letaknya tak jauh dari rumah mama.
" Kampung sebelah? " tanyaku bingung.
" Iya, mbak. Mungkin malam ini nggak pulang kali! " jawabnya.
" Oh, gitu. Tapi kampung sebelah mana? " Sejenak Aku menjadi panik. Aku benar - benar tak tahu harus bagaimana.
" Iya, kampung sebelah, Teluk Pandan. Menantunya baru saja melahirkan, dan salah seorang cucunya juga ada yang mau di sunat." kata orang itu.
" Aduh.... bagaimana ini? " aku berguman pada diri sendiri. Masa aku harus berdiam diri di teras ini sampai besok.
" Mbak nggak usah khawatir. Menantunya yang lain sebentar lagi pasti pulang dari bekerja. Mbaknya nanti sama dia bisa sama-sama pergi menyusul ke sana. Paling juga setengah jam lagi, pasti sudah datang! " katanya lagi.
" Terima kasih, pak! " aku menghadiahinya sebuah senyum. Tak apa, setengah jam lagi tak akan lama, kataku dalam hati.
" Sama - sama, mbak. Kalau mbaknya ada kesulitan, silahkan datang saja ke rumah. Rumah saya yang ini. " katanya sambil menunjuk ke arah rumah di seberang rumah Ibuku.
Aku menganggukkan kepala. " Iya, pak. Terima kasih sekali lagi. Saya akan di sini saja menunggu." jawabku.
" Kalau begitu, bapak tinggal masuk dulu, mbak. " kata pria paruh baya itu seraya meninggalkan halaman rumah mama dan melangkah memasuki halaman rumahnya yang terletak di seberang rumah mama.
Aku mengangguk sopan seraya kembali lagi melempar senyum mengiring kepergiannya.
Kesal karena harus menunggu aku memilih menghempaskan bokongku di kursi rotan yang ada di teras rumah.
Aku mengeluarkan handphone dan earphones dari dalam tasku. Membunuh waktu setengah jam dengan mendengarkan musik tidaklah lama.
Aku membuka aplikasi whatsApp dan membuka chat yang masuk. Ada lebih dari tiga puluh pesan yang masuk ke handphone aku. Sebagian besar dari teman - teman sekantor aku yang menanyakan kapan aku pulang. Hadeuh... baru juga pergi sehari sudah ditanya kapan pulangnya.
Ada juga pesan dari mas Haris, yang menanyakan apakah aku sudah bertemu mama dan keluargaku. Jujur saja, saat ini aku sangat merindukan lelaki dengan tatapan lembut itu.
Aku membalas pesan dari Mas Haris. Aku tersipu malu sendiri saat menyadari kata- kataku mirip anak gadis yang terserang virus cinta. Aku lalu memutar musik dan memasang headset di telingaku. Ingatanku kembali berpendar ke masa lalu.
" Asma, kapan kamu memakai jilbab?" Kak Mansyah, kakak tertuaku menegur diriku yang tidak mau memakai jilbab.
Hanya aku, adik perempuan satu - satunya dalam keluarga ini, yang paling sulit di atur di antara semua saudara - saudara kami.
Anak tertua di keluarga kami adalah kak Mansyah, lalu yang kedua kak Lela, dan ketiga kak Darre. Aku adalah anak ke empat. Sedangkan seorang lagi adik kami adalah si bungsu Alif.
Mama memiliki tiga anak perempuan dan diantara ketiganya, hanya akulah saja saat itu yang tidak mau berhijab.
" Sudah kebal api neraka dia! " kata kak Darre pada kak Mansyah.
" Kau tahu Asma, nanti di akhirat kelak, Bapak, aku, alif, dan juga suamimu yang akan dimintai oleh Allah pertanggung jawaban atas semua kelakuanmu ini!" nasihat kakakku itu dengan wajah gusar.
Aku mendelik kesal. Bukan apa - apa. Aku terlalu sayang untuk tidak memamerkan keindahan mahkotaku yang panjang, hitam, dan bergelombang sampai ke pinggul.
Wajahku lumayan cantik. Manis kata orang. Dengan body semampai dan kulit kuning langsat, membuat aku menjadi salah satu primadona desa di kampung ini. Banyak pemuda yang memilih aku sebagai target incaran mereka.
Namun pilihanku justru jatuh pada pemuda berkulit sawo matang, berhidung mancung dan bermata lentik, Syafrie. Aku tersentak kasar saat ingatanku kembali lagi pada sosok lelaki itu. Ada kemarahan yang membuncah di dadaku.
Aku membuang nafas kasar. Entah mengapa setiap mengingat nama itu, perasaan benci dan dendamku yang lama terkubur mencuat kembali.
Mas Haris, hanya mas Haris seorang saja, lelaki yang bisa mengobati luka hati ini. Aku tak menyangka bahwa hubunganku dengan mas Haris bisa sampai di tahap ini.
Mas Haris membuka mataku, bahwa aku harus menghadapi semuanya. Bukan malah bersembunyi di balik lumpur dendam yang menenggelamkan jati diriku selama ini.
" Dendam tak akan membuat hati kita tentram." itu kata mas Haris ketika memintaku untuk pulang dan aku yang bersikeras tak ingin pulang karena merasa masih sakit hati.
" Belajarlah untuk berdamai dengan masa lalu dan segala penderitaan. Karena apa yang tidak bisa membunuhmu walaupun itu terasa menyakitkan, biasanya akan membuatmu menjadi kuat."
Rasanya aku sudah sangat merindukan lelaki itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!