Bagaimana bisa, dia yang selama ini aku cinta, malah menusukkan belati tajam atas nama ketidakcocokan?
Bagaimana bisa, dia yang selama ini aku puja, malah mengambinghitamkan semua kesalahanku sebagai penyebab perpisahan?
Bagaimana bisa, dia yang mengaku sayang padaku, malah berpaling hanya karena mengikuti akal pikiran?
Aku bahkan tak percaya pada untaian alasan yang ia cetuskan dalam setiap perdebatan.
Yang aku tahu, selama ini aku sudah tulus menyerahkan seluruh jiwa dan raga tanpa adanya pergulatan pikiran maupun perasaan.
...***...
Sebagai seorang suami atau istri, apa yang akan kalian lakukan ketika pasanganmu menyatakan kata 'PERPISAHAN'?
Tubuhku bahkan mematung setelah mendengar--dia punya pernyataan. Bukan maksud untuk meminta persetujuanku, namun ia sudah memutuskan.
Bisa dibayangkan, pasangan yang selama ini kalian sirami dengan kasih sayang dan kemewahan, malah ingin meninggalkanmu dalam usia pernikahan yang cukup mengejutkan.
Ya, aku bahkan baru menikahinya dalam kurun waktu satu bulan. Singkat sekali bukan?
Namun, menurutnya ada yang lebih parah lagi dari apa yang telah ia lakukan. Katanya, pernah ada seorang istri yang meminta berpisah dari suaminya tepat pada malam pertama pernikahan.
Oh, tidak!
Ia bahkan sempat menyadur kisah orang lain ketika kami bersitegang dalam perdebatan. Sebenarnya apa yang sedang ia pikirkan? Atau mungkin ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan?
Ah, entahlah!
Sebenarnya, aku tak ingin menambah api dalam bara pergelutan. Walaupun dari setiap kalimat yang ia utarakan, mengandung makna--seolah akulah sumber kesalahan. Karena menurutku, apa gunanya membela diri, jika isi kepalanya hanyalah tentang 'PERCERAIAN'.
Agak sulit meredamkan emosi seorang wanita ketika ia sedang dikuasai energi negatif di bawah payung keegoisan. Pantas saja, ayah selalu menasihatiku agar senantiasa mengasah kesabaran. Ternyata begini rasanya jadi bulan-bulanan.
"..., kamu bahkan tidak pernah bertanya--siapa yang menghubungiku? Apa yang mereka katakan padaku? Kamu bahkan hanya peduli dengan dirimu sendiri ...!" pekiknya di depan wajahku ketika tubuh kami sejajar dalam posisi berhadapan.
DEG
Hatiku tercoret tinta merah, seolah sudah diberi nilai buruk oleh guru di sekolahan. Bagaimana bisa ia mengatakan kalimat sarkas seperti itu pada--dia punya pasangan?
Dimana letaknya kelembutan dan penghormatan?
Kurasa ia tak lagi memikirkan hal demikian. Karena aku tahu, yang ia inginkan hanyalah keluar dari istana ini, kemudian melemparkan statusnya sembarangan.
"Pokoknya aku mau kita CERAI ...!" Cetusnya lagi dengan wajah penuh keseriusan.
APA ...?
Aku bahkan belum menuturkan sepatah kata pun untuk mempertahankan. Jujur, aku tak menginginkan perpisahan. Namun, jika itu yang ia inginkan, haruskah aku mengabulkan?
Tidak!
Aku tidak boleh kalah dalam sekali kibasan. Kibasan kemurkaan seorang istri yang saat ini sedang diselimuti emosi kejiwaan. Bisa saja ia hanya menguji aku punya ketahanan. Ketahanan hati akan sebuah ujian yang menerjang biduk pernikahan.
...***...
Tak perlu kuluapkan semua bebanku di awal, karena aku yakin kalian pasti ingin tahu--bagaimana kisah ini bermula. Namun, jangan salahkan aku, jika hati kalian ikut retak bahkan terngaga. Karena aku tidak bisa menjanjikan akhir bahagia pada epilog nantinya. Kecuali ... jika aku mengubah alur ceritanya.
Baiklah!
Aku rasa sampai di sini dulu, anggap saja sebagai ungkapan pembuka sebagai bentuk tegur sapa di antara kita.
Aku harap apa pun yang terkandung dalam tulisanku kali ini, bisa menjadi pembelajaran dan inspirasi positif bagi kalian semua.
Berasal dari keluarga yang kurang beruntung ... itu bukanlah aku. Sejak kecil aku sudah terbiasa hidup mewah dan selalu mudah mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang aku inginkan, bahkan tanpa perlu mengulur waktu untuk menunggu.
Puji syukur selalu kuhaturkan kepada Yang Maha Kuasa!
Sedari belia, impianku hanya satu. Ingin menjadi seorang aparat di negaraku. Dan pencapaian itu dengan mulus datang menghampiriku. Menempatkan aku pada posisi tertinggi dalam salah satu fungsi di satuan kepolisian di kota asalku.
Awal mulanya aku bertugas di ibu kota provinsi. Di sinilah aku memulai karir pertama, yang akan membawaku mengepakkan sayap lebih tinggi lagi. Namun, tak kusangka di sini pula aku turut menemukan seorang pujaan hati.
Arona Maulida ... seorang gadis yang menurut taraf pandangku adalah wanita yang paling cantik di dunia. Sungguh tak ada tandingannya. Aku bahkan tak tahu ini semua termasuk pengaruh silap mata atau lain sebagainya. Namun, bagiku ... Rona memanglah gadis yang bermandikan pesona.
Setiap aku akan berangkat bekerja, gadis itu selalu melintas di jalan depan polresta. Aku jadi penasaran, dimanakah tempat tinggalnya? Menurut kalian, apakah setelah ini aku akan mengintelinya?
Ah, tidak!
Aku rasa belum saatnya. Lagi pula, aku belum mengenalnya. Bahkan saat itu aku bisa mengetahui namanya dari salah satu Anggota Polisi yang memang mengenalnya. Kebetulan pria muda itu sedang piket di penjagaan depan polresta. Jadi, aku memutuskan untuk bertanya padanya. Beruntungnya adalah ... anggota baru itu mengenal si empunya nama.
Hari-hari berikutnya, sudah menjadi kebiasaanku--meluangkan sekelumit waktu hanya untuk melihat senyumannya. Sebelum mobilku memasuki gapura--tempatku bekerja, aku harus memastikan bahwa ia melintas dengan aman dan nyaman di sana.
Gadis ini ... benar-benar telah mencuri hatiku dalam sekali pandangan mata. Barisan giginya yang begitu rapi itu, mampu menciptakan senyuman manis tiada tara. Sehingga sanggup melambungkanku hingga menembus angkasa.
Haha!
Aku mulai bersajak ria. Namun, kurasa tidak apa. Kuharap kalian juga bisa merasakannya. Atau mungkin ikut tersenyum bahkan tertawa.
Ngomong-ngomong, apa kalian penasaran seperti apa visual gadis yang aku puja-puja?
Penasaran gak?
Penasaran gak?
Penasaran dong, masa enggak!
Ah, Penulis maksa!
Baiklah!
Setelah kupikir-pikir tidak baik menyembunyikan kesempurnaannya. Kalian juga berhak untuk melihatnya, agar ke depannya kalian tidak perlu memikirkan wajah lain--selain wajahnya.
Maksudku ... jika sedang membaca--ini aku punya cerita!
Oke, ini dia ...!
Bagaimana? Benarkan yang aku katakan baru saja?
Ah, aku tak berharap kalian memiliki asumsi yang sama. Karena hati dan kepala kita semua jelas berbeda. Hatiku sudah terpaut padanya. Sementara kalian ... baru saja melihatnya. Namun, jika ada beberapa dari kalian yang merasakan tabuan rebana di dalam dada--setelah memandang wajahnya ... Awas!
Aku tak akan pernah membiarkan kalian untuk merebutnya!
Seposesif inikah hatiku terhadapnya?
Ya, memang benar adanya. Aku bahkan sudah jatuh cinta tanpa harus mengenalnya.
Bisukah ia? Tulikah ia? Atau mungkin dua-duanya? Aku bahkan belum bisa menerka. Kecuali ... Tuhan mau mengulurkan tangan-Nya, agar aku bisa berbicara langsung dengan gadis tercantik sejagat jiwa. Jiwaku, maksudnya!
Sepertinya aku terlalu banyak bicara, sehingga lupa untuk memperkenalkan diri sendiri.
Baiklah!
Perkenalkan!
Namaku Zainul Huda. Biasa dipanggil Huda. Namun, jika kalian ingin memanggilku Zain, maka aku tidak akan mempermasalahkannya.
Sekian dulu untuk bab perkenalan kita. Sampai berjumpa lagi di episode selanjutnya!
Sebagai orang baru di kota ini, tak banyak yang aku tahu. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk menyewa sebuah rumah yang terletak tidak jauh dari kantorku.
Kalian tahu?
Tuhan memang Maha Bijak, mengatur semua alur dalam hidup setiap hamba-Nya sesuai dengan harapan kalbu. Satu minggu bertugas di kota ini cukup membuatku sadar bahwa aku adalah manusia yang paling beruntung sedunia halu.
Kenapa bisa begitu?
Akan kuberitahu!
Sore itu aku bertamu ke rumah Pak Haji--pemilik rumah kontrakan yang aku sewa. Tentu saja aku mempunyai beberapa tujuan, sehingga memutuskan untuk menemuinya. Kebetulan beliau juga sedang berada di kediamannya.
"Begini, Pak ... saya masih bingung tentang pembayaran listrik dan airnya," ungkapku setelah Pak Haji menanyakan--hajat apa yang membawaku bertamu ke rumahnya.
"Listrik dan air itu ... satu rekening dengan rumah sebelah, Huda. Kamu bisa menanyakannya kepada mereka. Ada tiga orang mahasiswi yang tinggal di sana," jelas lelaki paruh baya itu dalam sekali tarikan nyawa.
Tolong, jangan dipraktikkan, ya!
Aku tentu saja menanggapinya dengan senyuman, sebelum akhirnya bertanya, "Maksudnya ... rumah yang terletak tepat di belakang tempat tinggal saya, Pak?"
Beliau hanya mengangguk, lalu beranjak dari peraduannya. Aku sedikit bingung, kenapa ia meninggalkanku begitu saja?
"Hira ... Almahira ...!" serunya kemudian, setelah tubuhnya berdiri sempurna di teras rumahnya. Sepertinya ia sedang memanggil salah satu penyewa rumah, yang ia maksud sebelumnya.
Beberapa detik kemudian, bisa kudengar suara seorang gadis--merdu sekali--di telinga. "Iya, Pak Haji ... ada apa?" tanya gadis itu ketika tubuhnya menyembul dari pintu rumah berlantai dua. Aku bisa melihatnya samar-samar dari balik jendela.
"Oh, Rona!"
DEG
RONA ...? Hatiku bergetar seketika mendengar namanya. Apakah dia Rona yang aku cinta?
"Almahira kemana?" Pak Haji masih saja kekeuh menanyakan nama orang yang pertama dipanggilnya.
"Kak Hira sedang pergi, Pak Haji. Sedangkan Lika ... dia sedang menerima tamu di dalam."
Kuharap gadis ini memanglah Rona yang biasa melintas di depan Polresta. Jika benar adanya, maka ... Tuhan memang sedang mengulurkan tangan-Nya.
"Ya, sudah ... kamu aja yang ke sini. Ada tetangga baru yang menempati rumah depan." Pak Haji lantas masuk kembali dan duduk di sofa yang tadi ditempatinya.
"Sebentar ya, Huda. Nanti Rona akan menjelaskannya padamu." Aku merespon beliau dengan anggukan kepala.
...***...
Beberapa menit kemudian
"Assalamu'alaikum ...," tutur gadis itu di saat tubuh idealnya memasuki mulut pintu.
"Wa'alaikumsalam ...." Pak Haji dan Aku kompak sekali menjawab salamnya dalam satu waktu.
DEG DEG DEG
MasyaAllah!
Dia memang gadis yang memenuhi isi kepala dan hatiku dalam satu minggu. Satu minggu pertama yang cukup mampu membuat jantungku menciptakan detakan merdu.
"Rona ... perkenalkan ini Huda. Tetangga baru yang bapak bilang tadi sama kamu," ucap Pak Haji ketika gadis berpipi bening itu duduk sempurna--tepat di hadapanku.
Sungguh, aku tak bisa menafikan pesonanya. Dia benar-benar memiliki kecantikan yang luar biasa. Apalagi, ketika memandangnya dalam jarak pandang seintim rasa.
Oh, Rona!
Ia tersenyum padaku sekaligus mengedikkan dagu tumpulnya yang berbelah itu--tanda penghormatan. Kutangkap senyumannya dalam bayangan tangan, lalu mendekapnya ke dalam pelukan.
Aaaah, sepertinya tubuhku sedang melayang!
Tentu saja, aku juga melakukan hal yang sepadan. Membalas senyumannya dan memadukan pandangan.
"Sudah kerja atau masih kuliah, Mas?" tanyanya padaku kemudian.
Aku agak terkesiap, karena sebelumnya masih tenggelam dalam senyuman bodoh yang hampir saja membawaku dalam kondisi yang memalukan.
"Ehm ... saya ... saya masih kuliah, Mbak."
Bohong!
Aku sedang menipunya. Kenapa?
Lain waktu akan kuberitahu alasannya.
"Oh, dimana? Semester berapa?" Ternyata ia masih melanjutkan interogasinya.
Sebenarnya aku ingin terpingkal-pingkal ketika melihat wajah seriusnya. Namun, tentu saja aku menahannya di dalam sana. "Di Universitas Negeri dekat sini, fakultas ekonomi, semester tiga."
"Oh, berarti kita satu universitas dong." Dia tersenyum lebar, menampilkan ekspresi wajah yang sanggup meluluhkan jiwa para pria. "Tapi ... fakultas kita beda."
Aduuuh, barisan gigi putihnya itu!
Aku sampai melupakan satu hal--jika Pak Haji masih duduk anteng di sana. Namun, sepertinya beliau tidak masalah menjadi racun nyamuk bagi kami berdua.
Haha!
Setelah itu, Pak Haji menimpali dengan beberapa kata. Meminta Rona untuk menjelaskan sesuatu yang ingin aku ketahui sebelumnya. Gadis itu pun menjelaskan bagaimana sistem pembayarannya.
Aku bahkan tak peduli dengan apa yang ia sampaikan. Pandanganku hanya fokus pada ekspresi dan gaya bicaranya yang begitu tegas dan memukau hingga sukses menambat perasaan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!