NovelToon NovelToon

Si Gadis Dingin

Melisa

Pagi itu hujan turun di kota A, kota tempat Melisa tinggal seorang diri di rumah mewahnya. Rumah yang ia tempati sejak ia lahir. Dulu di rumah itu juga ada kedua orang tuanya. Namun saat Melisa berusia 12 tahun ibunya memilih untuk tinggal bersama pria lain. Dan 1 tahun kemudian ayahnya juga pergi meninggalkannya, hidup bersama dengan wanita yang juga pernah dicintainya sebelum ia menikah dengan ibu Melisa.

Kedua orang tua Melisa memutuskan untuk tidak bercerai, mereka hanya tidak tinggal bersama, sesekali mereka terlihat bersama saat acara makan malam perusahaan ayah Melisa, dan ayahnya juga tak pernah absen untuk hadir di acara-acara amal dari Yayasan yang dikelola ibu Melisa.

Melisa tak pernah mengerti, mengapa kedua orang tuanya tak bercerai saja dan hidup bahagia bersama dengan orang yang mereka cintai? Melisa hanya tau, keduanya menikah karna dijodohkan. Meski begitu keduanya masih berkomunikasi dengan baik, terutama untuk kepentingan Melisa, putri semata wayang mereka.

Meskipun hujan turun sangat deras pagi itu, tak mengurungkan langkah Melisa untuk melakukan aktivitasnya seperti biasa. Berolahraga, membersihkan rumah, bahkan menyiapkan sarapannya seorang diri. Terlahir di keluarga yang kaya raya, tak membuat Melisa malas untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Sekalipun ia mampu membayar puluhan asisten rumah tangga, namun ia memilih untuk melakukannya seorang diri.

Lebih tepatnya Melisa merasa tak nyaman apabila ada orang asing di rumahnya. Dulu saat orang tuanya masih tinggal bersama, ada beberapa asisten rumah tangga di rumahnya. Namun saat ayahnya memutuskan tak lagi tinggal di rumah itu, Melisa memecat semuanya. Ia tak ingin ada orang yang kasihan padanya karena ditinggal oleh kedua orang tuanya. Sekalipun dari seorang pelayan, ia tak mau melihat tatapan iba yang ditujukan padanya.

Di sekolahpun Melisa selalu bersikap dingin. Ia tak ingin berteman dengan siapapun. Ia tak ingin ada orang yang tau tentang hidupnya yang menyedihkan, ditinggal kedua orang tuanya.

Setelah selesai dengan pekerjaan rumahnya, Melisa memutuskan untuk segera mandi dan bersiap untuk pergi ke Sekolah. Melisa bersekolah di salah satu SMA swasta di Kota A. Sekolah itu adalah sekolah yang didirikan oleh kakeknya, ayah dari ibunya. Dan kini sekolah itu dikelola oleh ibunya.

Yayasan Puspa Tunggal, adalah Yayasan milik keluarga ibunya. Saat ini ibunya adalah direktur utama dari Yayasan tersebut. Tak hanya SMA dimana Melisa belajar di sana, Yayasan Puspa Tunggal juga memiliki sekolah lainnya, mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA bahkan perguruan tinggi. Tak hanya berada di kota A, sekolah-sekolah dari Yayasan Puspa Tunggal pun juga memiliki cabang sekolah di kota-kota lain.

Semua orang di sekolah Melisa tau, bahwa Melisa adalah pewaris tunggal Yayasan Puspa Tunggal. Maka dari itu, meski selalu menyendiri Melisa tak pernah ada yang berani mengganggu. Bahkan guru-guru di sekolah pun selalu membantu Melisa saat ada pelajaran yang membuat Melisa mendapat nilai rendah. Ada juga beberapa orang yang berusaha untuk mendekati Melisa demi keuntungan mereka sendiri, namun dengan perangai Melisa yang dingin dan angkuh, tak mudah bagi mereka untuk menjalankan aksi mereka.

Melisa bukanlah murid yang berprestasi, tapi ia juga tidak bodoh. Ia masih bisa mengikuti pelajaran di sekolahnya, meski dibeberapa pelajaran hanya dapat nilai pas-pasan. Ibu Melisa melarang para guru untuk memberikan hak istimewa pada Melisa. Ibunya ingin Melisa mendapat nilai apa adanya. sehingga tidak timbul kecemburuan dari murid-murid lain, yang mayoritas juga dari kalangan VIP.

Sebenarnya Melisa sangat pintar, hanya saja ia tak begitu peduli dengan pelajaran akademik. Melisa hanya akan fokus pada hal-hal yang dia sukai. Dan hal ini diketahui oleh kedua orang tuanya. Sehingga membuat orang tuanya tak pernah memaksakan untuk berprestasi di bidang akademik. Bagi mereka, asal Melisa senang melakukannya, maka tak masalah bagi mereka.

Di tengah derasnya hujan, Melisa melajukan mobil sport miliknya. Mobil mewah berwarna merah itu ia dapat saat ulang tahunnya yang ke 17 lalu. Ia juga sudah mendapat lisensi mengemudi dari Om Bob, adik dari ayahnya yang merupakan seorang kepala kepolisian di Kota A. Sebelumnya Om Bob sudah mengajari Melisa mengemudi, sejak usia 16 tahun. Om Bob sudah tahu kelihaian keponakannya dalam mengemudi, sehingga saat Melisa tepat berusia 17 tahun Om Bob tanpa ragu menghadiahinya sebuah Lisensi Mengemudi.

Melisa memarkirkan mobilnya di parkiran sekolah, seorang penjaga sekolah berlari ke arahnya sambil membawa sebuah payung. Setelah sampai di samping kursi kemudi, penjaga sekolah itu mengetuk kaca mobil perlahan.

tok, tok, tok

Melisa membuka kacanya sedikit, dan melirik ke arah penjaga sekolah itu, Pak Dedi namanya. Usianya 55 tahun. Pak Dedi sudah menjadi bagian dari sekolah itu sejak sekolah itu baru dibangun. Pak Dedi jugalah orang yang selalu menjaga Melisa di sekolah.

"ayo non, mau masuk ga? udah bapak bawain payung," ucap pak Dedi.

"siniin aja payungnya, aku masuk nanti aja kalau bel sudah bunyi," jawab Melisa. Ia pun membuka kaca mobil lebih lebar, dan menjulurkan tangannya keluar, meminta payung yang masih dipegang pak Dedi.

"oh, iya non." Pak Dedi menyerahkan payung yang dipegangnya kepada Melisa. "saya duluan ya non," pamit pak Dedi kepada Melisa. Melisa hanya mengangguk dan menutup kembali kaca mobilnya setelah menerima payung dari pak Dedi.

Di dalam mobil Melisa melihat dari kaca spionnya, beberapa teman sekolahnya yang baru datang, ada yang diantar oleh mobil, ada yang juga membawa mobil sendiri seperti dirinya, ada yang diantar oleh orang tuanya dengan menggunakan sepeda motor, ada juga yang membawa sepeda motor sendiri sambil menggunakan jas hujan. Beberapa ada yang berjalan kaki dari arah gerbang masuk sambil memegang payung.

Melisa hanya memandang mereka dengan tatapan kosong. Memperhatikan setiap gerak gerik dari teman-temannya. Satu per satu memasuki gedung sekolah.

Saat bel berbunyi, akhirnya Melisa turun dari mobilnya, berjalan ke arah gedung sekolah menggunakan payung yang tadi diberikan oleh pak Dedi. Sesampainya di depan Gedung, Melisa melipat payungnya dan meletakkan di meja tempat penjaga sekolah yang saat itu sedang kosong.

Melisa tak melihat keberadaan pak Dedi di sana. Mungkin saat ini pak Dedi sedang menutup pintu gerbang sekolah dan menghukum beberapa murid-murid yang datang terlambat. Karena itulah rutinitas pagi yang biasa dilakukan pak Dedi. Apalagi saat ini hujan belum juga reda, banyak sekali murid-murid yang pastinya akan datang terlambat.

Melisa berjalan menyusuri lorong-lorong dan menaiki beberapa anak tangga menuju kelasnya. XI IPA 1, kelas Melisa berada dilantai 3, tepat di samping tangga gedung. Melisa sampai di kelasnya, dan mendapati kelas yang masih sepi. Mungkin karena hujan, banyak dari teman sekelasnya yang belum datang. Beberapa yang sudah datang sedang asik berbincang-bincang di sudut kelas, beberapa lagi tengah sibuk menyalin pekerjaan rumah milik temannya, ada juga yang sibuk memainkan gawai, dan ada juga yang membaca buku.

Melisa duduk di bangku paling belakang, berdekatan dengan beberapa temannya yang sedang asik ngerumpi. Ia sama sekali tak memperdulikan mereka. Teman-temannya pun juga seperti sudah biasa dengan sikap Melisa. Merekapun seolah tak peduli dengan kehadiran Melisa, dan tetap melanjutkan obrolannya.

Murid Baru

Setelah sekian menit, seorang guru datang bersama beberapa murid yang sepertinya habis menerima hukuman karna datang terlambat. Guru itu mempersilahkan para murid yang datang bersamanya untuk duduk. Namun, di antara mereka ada seorang murid yang tetap berdiri di samping Bu Rosa.

"untuk kalian yang terlambat hari ini, ibu harap kalian tidak mengulanginya lagi. Hujan bukan alasan kalian bisa datang terlambat. Teman-teman kalian yang lain juga bisa datang tepat waktu meskipun hujan. Termasuk teman baru kalian yang satu ini," bu Rosa mengarahkan tangannya ke murid yang ada di sebelahnya. "meskipun hujan, dia datang sangat pagi. Bahkan sebelum kantor guru dibuka, dia sudah menunggu di sana."

"silahkan perkenalkan dirimu," pinta bu Rosa kepada murid itu.

Murid itu terkesiap untuk memperkenalkan diri.

"nama saya Satria Pratama, panggil aja Satria. Saya pindahan dari SMA Negeri 1 kota B, saya pindah ke kota ini karena ayah saya dipindah tugaskan ke kota ini."

"baik Satria," bu Rosa tersenyum pada Satria, lalu melemparkan pandangan ke murid-murid lain yang sedang memperhatikan murid baru itu. "apa kalian penasaran dengan murid ini?"

"iya bu..." jawab murid-murid serentak.

"baiklah, tanya beberapa pertanyaan padanya."

Lalu seorang murid dengan semangat mengangkat tangannya, dia adalah Stella, murid paling glamor dan sombong di kelas itu. Dari gayanya bisa terlihat bahwa dia adalah murid VIP di sekolah itu.

"ya, Stella..." bu Rosa mempersilahkan Stella bertanya.

"kamu sebelumnya sekolah di negeri, kenapa tiba-tiba pindah ke sekolah ini?" tanya Stella dengan nada sedikit mengejek.

"saya dapat beasiswa dari kantor ayah saya," jawab Satria tenang.

"ayah kamu kerja dimana?" Dion tak kalah penasaran dengan murid baru itu.

"di Harpa Jaya," jawab Satria.

"owh Laksmana Grup? jabatannya apa?" kali ini Reynold yang bertanya.

"saat ini ayah saya dipercaya sebagai kepala divisi marketing." Lagi-lagi Satria menjawab dengan santai.

"owh, cuma kepala divisi... sayang padahal manis tapi cuma anak kepala divisi," gerutu Stella. "heh, Melisa... anak buah lu nih." Stella melirik ke arah Melisa yang sejak tadi diam seolah tak memperhatikan acara perkenalan murid baru itu. Melisa yang namanya dipanggil hanya melirik ke arah Stella sesaat, kemudian kembali menatap meja di depannya, tak peduli sama sekali.

Mengetahui dirinya yang tak digubris oleh Melisa, Stella melanjutnya ucapannya "tuh anaknya bos Laksmana Grup," ucap Stella sambil menunjuk Melisa sementara matanya tetap menatap Satria.

Satria hanya tersenyum, dan kemudian mengangguk.

"udah tau?" lanjut Stella.

"baru tau," jawab Satria sambil tersenyum, kemudian matanya menatap Melisa yang tetap melihat ke meja di depannya.

"oke, sudah dulu perkelannya. Yang masih penasaran kalian tanya saja nanti saat jam istirahat, oke." potong bu Rosa melihat ada beberapa anak lagi yang sepertinya masih ingin bertanya pada Satria. "kamu duduk di kusi kosong samping Melisa ya, ga apa-apa kan duduk di pojok?" tanya bu Rosa pada Satria.

Satria tersenyum dan berkata "tak apa bu, lagi pula hanya itu kursi kosong yang tersisa."

"ya sudah, duduk sana." Pinta bu Rosa pada Satria.

Satria pun berjalan menuju kursi kosong yang dimaksud. Setelah sampai di kursinya, Satria menyapa Melisa yang hanya dibalas lirikan oleh Melisa.

...***...

Saat jam istirahat tiba, beberapa murid berlari keluar kelas. Mereka sudah tak sabar untuk mengisi amunisi setelah menghabiskan energi untuk berfikir. Beberapa ada yang melanjutkan menyalin tugas untuk jam pelajaran terakhir yang belum mereka kerjakan. Sebagian lagi berkerumun di meja Satria, si murid baru.

Melisa yang tau akan ada diskusi panjang di dekat tempat duduknya memilih untuk beranjak pergi meninggalkan teman-temannya. Ia berjalan ke atap. Tempat beberapa murid laki-laki biasa berkumpul, membuli murid yang bagi mereka kastanya lebih rendah. Di tempat itu juga ada beberapa murid yang diam-diam merokok.

Melisa sama sekali tidak peduli dengan pemandangan itu, dan murid-murid yang ada di sana pun tak ambil pusing dengan kehadiran Melisa di sana. Mereka tahu bahwa Melisa bukanlah murid yang akan mengadukan kepada guru-guru tentang kenakalan mereka. Melisa berjalan ke salah satu kursi yang ada di sudut atap. Ia melihat kelakuan anak-anak berandalan itu dengan tatapan kosong. Seolah tak peduli, dan hanya ingin menjadi penonton saja.

Sementara di dalam kelas, Satria sudah dikerumuni oleh banyak orang.

"jadi elu sekolah di sini karena beasiswa dari Harpa Jaya?" Stella membuka percakapan.

"iya," jawab Satria sambil tersenyum.

"beasiswa apa? prestasi?" tanya Reynold kali ini.

"mungkin," jawab Satria ragu-ragu.

"elu sebelum dapet beasiswa di tes dulu ga?" tanya Reynold lagi.

"iya," jawab Satria sambil mengangguk yakin.

"ya itu namanya beasiswa prestasi," ucap Reynold sambil menunjuk Satria. "di keluarga elu doank yang dapet atau adalagi?".

"aku aja yang dapet, adik aku ga lolos jadi dia ga ikut pindah ke sini." jawab Satria.

"jadi lu di sini sama bokap lu doank?" tanya Stella.

"engga, kita sekeluarga pindah ke sini. Cuma adik aku masuk ke sekolah negeri," jawab Satria.

"berarti otak lu encer," ucap Dion seraya bertepuk tangan. "wah kasian si Mia ada saingan dia." Dion melirik Mia yang asik dengan buku pelajarannya.

Mia adalah murid berprestasi di sekolah ini. Dia selalu menjadi juara umum di sekolah dan juga sering memenangkan perlombaan-perlombaan SAINS di tingkat Kota maupun Provinsi. Mia juga pernah mengikuti olimpiade SAINS tingkat nasional, namun sayang ia harus puas dengan hanya sebagai juara 3.

Meskipun Mia adalah juara kelas, namun karna statusnya yang mendapat beasiswa di sekolah itu, dan juga kehidupan orang tuanya yang hanya menjadi cleaning service di salah satu anak perusahaan Laksmana Grup. Mia seringkali diperlakukan tak adil oleh teman-temannya. Mia selalu diminta untuk mengerjakan tugas para murid VIP di kelas itu.

"tapi elu mending sih, bokap lu paling engga punya jabatan kepala divisi. Kalau engga, mungkin bakal punya nasib sama kaya dia," Dion melanjutkan sambil melirik Mia.

"emang kenapa?" tanya Satria penasaran.

"ga apa-apa, udah ga usah dibahas. Kita ke kantin yuk." Stella memotong obrolan mereka dan menarik tangan Satria, mengajaknya ke kantin sekolah.

Reynold dan Dion pun mengikuti mereka menuju ke kantin sekolah.

Awal Interaksi

Bel masuk sudah berbunyi, sebagian murid sudah masuk kelas dan duduk di kursinya masing-masing. Begitu juga dengan Melisa yang sudah kembali ke tempat duduknya di kelas. Terlihat Satria, Stella, Reynold, dan Dion baru saja memasuki kelas dan berjalan ke kursinya masing-masing.

Satria duduk tepat di samping Melisa, kelas mereka memiliki meja dan kursi yang terpisah untuk tiap murid. Sehingga tidak mengganggu satu sama lain saat belajar.

Satria duduk menghadap Melisa, ia ingin mengajak bicara Melisa namun terlihat ragu. Melisa merasakan tatapan Satria, ia pun menoleh kearahnya.

"kenapa?" tanya Melisa singkat.

"ayahmu dirut Laksmana Grup?" tanya Satria ragu-ragu.

Melisa tidak menjawab, ia hanya mengangkat bahunya sambil tetap menatap Satria dingin. Ditatap seperti itu oleh Melisa, Satria menjadi salah tingkah. Ia hanya mengangguk dan beralih pandangan ke arah lain.

"kenapa kau ingin tahu? Aku saja tidak peduli," jawab Melisa sambil menggelengkan kepala dan kembali mengangkat bahunya.

"aku hanya penasaran," Satria menjawab sambil tersenyum canggung.

"tidak usah pedulikan aku, jalani saja kehidupanmu di sini dengan baik." Ucap Melisa dengan ketus.

Satria tak menjawab, ia menatap Melisa yang kini sudah tak menatap dirinya. Dalam hatinya dipenuhi tanya, tentang gadis yang duduk di sebelahnya itu.

Tak lama ketua kelas datang dengan membawa informasi bahwa guru kimia mereka pak Anton tidak bisa masuk kelas siang ini, beliau hanya mengirim tugas lewat email sekolah, dan harus dikumpulkan hari itu juga sebelum jam pulang sekolah.

Murid-murid bersorak sorai mendengar pengumuman dari ketua kelas. Sebagian merasa lega karena ada tugas yang belum selesai mereka kerjakan. Mereka masih memiliki waktu untuk melanjutkan tugas minggu sebelumnya.

Ketua kelas lalu berkata bahwa ia sudah mendownloadnya dan mengirim ke grup kelas. Ketua kelas juga meminta agar teman-temannya tidak ribut selama jam pelajaran. Agar bu Desti, guru BP mereka tak datang.

Murid-murid yang lain hanya mengangguk, mereka paham betul bagaimana jika bu Desti sampai datang ke kelas mereka. Guru yang sangat tegas itu sangatlah menyebalkan. Jika sudah bicara, bahkan murid-murid VIP pun tak dapat melawannya.

Selain menjadi guru BP, bu Desti juga adalah wakil kepala sekolah. Ia adalah orang kepercayaan bu Natasya, ibunda Melisa. Bu Desti memiliki wewenang penuh terhadap kedisiplinan murid-murid di sekolah itu.

"boleh liat tugasnya? aku belum masuk ke grup kelas," pinta Satria pada Melisa.

Melisa tak menjawab hanya menyerahkan gawai miliknya kepada Satria. Satria pun mengambilnya dengan hati-hati, lalu membukanya.

"aku ijin liat ya," ucap Satria lagi. Kali ini hanya dibalas anggukan oleh Melisa.

Satria membuka aplikasi berwarna hijau lalu membukanya, dan di sana ada pesan masuk di satu grup bernama PT 11 IPA 1, Melisa tak pernah membuka pesan masuk di grup itu, sehingga masih ada ribuan notifikasi di tertera pada grup itu. Selain pesan dari grup, di bawahnya hanya ada pesan dari ayah dan ibunya. Tidak ada pesan lain seperti kebanyakan anak SMA yang memiliki deretan chat dengan teman, atau dengan gebetannya.

Satria melirik ke arah Melisa. Dia hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat di gawai milik Melisa. Dalam hatinya Satria bertanya "apa ia tak pernah berinteraksi dengan siapapun? atau tak ada seorangpun yang tau nomernya? tapi, bukankah ia juga ada dalam grup kelas? apakah tidak ada seorangpun yang menyimpan nomornya?"

"kenapa bengong?"

Satria dikagetkan oleh suara Melisa yang entah sejak kapan sudah menggeser kursinya dan kini ada berada sangat dekat dengan Satria. Satria hanya terpana melihat Melisa.

"boleh aku minta nomermu?" spontan Satria menanyakan itu pada Melisa.

Melisa yang ditanya tidak menjawab. Ia malah semakin lekat menatap Satria.

"tidak boleh?" tanya Satria lagi.

"untuk apa?" Melisa malah balik bertanya pada Satria.

"kita kan teman sekelas, apa salah kalau kita menyimpan nomer telepon teman sekelas kita? lagi pula aku kan anak baru, aku belum punya banyak teman. Jadi dengan berbagi nomer telepon, kita bisa jadi lebih akrab." Satria menjelaskan pada Melisa.

"tidak mau," Melisa menolak. "kau simpan saja nomer anak-anak tadi yang bersamamu saat jam istirahat."

Satria diam terpaku mendengar jawaban Melisa. Ia mengalihkan kembali pandangannya ke gawai milik Melisa itu. Mengklik chat grup kelas, dan menscroll ke paling bawah. Mencari tugas yang tadi dikirim oleh ketua kelas.

Melisa semakin mendekatkan diri ke arah Satria. Ia juga ingin melihat tugas yang dikirim pak Anton hari ini. Melihat Melisa semakin mendekatkan diri, Satria menawarkan pada Melisa untuk melihat lebih dulu.

"mau lihat duluan?"

"bareng-bareng aja," jawab Melisa seraya mengambil alat tulis di dalam tasnya.

"oke," meskipun terasa canggung bagi Satria, tapi ini adalah tugas kimia pertamanya di sekolah ini. Ia tak mau tertinggal oleh teman-teman lainnya.

Merekapun mengerjakan tugas kimia bersama di meja Satria. Selama mengerjakan tugas, tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka. Mereka fokus mengerjakan tugas. Hingga tak terasa 1 jam berlalu, Melisa yang sudah selesai menggeser kursinya, kembali ke tempatnya.

"sudah?" tanya Satria.

"belum, tapi soalnya udh dicatat semua tinggal dikerjain," jawab Melisa.

"nih, aku juga sudah selesai mencatat soalnya." Satria menyerahkan kembali gawai milik Melisa.

Melisa menerimanya, dia pun kembali sibuk dengan tugasnya.

Beberapa murid sudah selesai mengerjakan tugas, sebagian sudah dikumpulkan di meja guru, sebagian lagi menjadi bahan contekan untuk teman-temannya.

Satria juga sudah selesai mengerjakan tugas, dia pun menatap Melisa. Menunggu gadis itu selesai mengerjakan.

"kalau udah selesai kumpulin aja," ucap Melisa yang merasa dirinya ditunggu-tunggu oleh Satria.

"aku mau nunggu kamu," jawab Satria.

"masih lama loh," ucap Melisa tanpa menoleh ke arah Satria, ia masih fokus dengan tugasnya.

"ga apa, santai aja, aku tungguin kok," Satria tersenyum masih menatap Melisa.

Melisa tak menjawab, dia tetap mengerjakan tugasnya dengan fokus.

Satria memandang Melisa dari ujung kepala hingga ujung kaki, gadis bertubuh tinggi dan berbadan langsing itu terlihat begitu menawan di mata Satria. Meski sangat dingin dan terkesan angkuh, Melisa memiliki wajah yang cantik dengan tubuh yang ideal. Satria tak mengerti, gadis seperti Melisa seharusnya populer di sekolah, tapi justru Melisa terlihat seperti gadis yang terasing.

"jangan dilihat terus, nanti jatuh cinta malah repot," Melisa membuyarkan lamunan Satria. Satria yang ditegur oleh gadis yang dipandangnya sejak tadi tak merubah posisinya. Ia seperti kecanduan melihat Melisa, tak ingin mengalihkan pandangannya dari Melisa.

"emang kenapa kalau jatuh cinta?" tanya Satria.

"ga apa, suka-suka kamu. Itukan hati kamu, cuma aku ga mau tanggung jawab." Melisa tersenyum ke arah Satria, menyerahkan kertas tugas miliknya. "nih."

Namun Satria hanya terdiam menatap Melisa, ia seperti tersihir oleh gadis itu. Jantungnya berdegup dengan kencang saat melihat Melisa tersenyum. "cantik," ucapnya dalam hati.

"hey, udah jatuh cinta beneran?" Melisa melambaikan tangan di depan mata Satria.

"iya udah, eh... udah selesai maksudnya tugas kamu?" Satria tergagap, merasa bahwa Melisa tahu isi hatinya.

"udah, nih..." Melisa menyerahkan tugasnya pada Satria. Satria pun menerima kertas tugas milik Melisa itu, kemudian ia berjalan ke arah meja guru dan mengumpulkan tugas milik mereka berdua.

Saat berjalan kembali ke tempat duduknya, Satria memandang Melisa yang sibuk merapihkan alat tulisnya, jantungnya masih bergemuruh dengan kencang. Ia memegang dadanya, dan berkata. "apakah benar ini cinta?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!